Share

Bab 4

Setelah Nara pergi, perdebatan masih saja terjadi antara Dava dengan sang ibu. Dava terus menolak untuk menikahi Nara, sedangkan Nani terus memaksanya.

"Ibu ini apa-apaan? Kenapa ibu minta Nara nikah sama aku, pake acara tes kesuburan segala. Ibu mikirin perasaan kita nggak sih?"

"Dava, apa ibu nggak salah denger kamu bilang gitu sama ibu? Kamu minta ibu mengerti perasaan kamu. Kamu sendiri apa mengerti perasaan ibu? Ibu pengen cucu dari kamu, Dava. Keturunan dari darah daging kamu."

"Tapi aku maunya Hanum yang mengandung, Bu. Bukan perempuan lain. Coba ibu bayangkan gimana perasaan Hanum saat tau Ibu memaksa aku menikah sama Nara, yang mana Nara sendiri sahabat Hanum. Ibu bisa bayangkan bagaimana sakitnya dia?"

"Ibu tau ini sakit, tapi Hanum juga harus tau diri. Tiga tahun ibu menunggu keturunan dari kalian, tapi mana? Nggak ada, kan?"

"Ibu sabar dong, Bu. Kami juga lagi berusaha." Dava coba bicara dengan lembut.

"Kenapa sih kamu itu nggak paham-paham? Kurang sabar apa ibu nunggu selama tiga tahun? Toh Nara jadi istri kamu juga nggak nyampe tiga tahun. Cuma sampai anak itu lahir, kamu bisa menceriakan Nara. Paling lama juga dua tahun. Minta Hanum bersandar selam dua tahun degan mengizinkan kamu menikah lagi sama Nara. Setelah itu selesai perkara."

Dava menghela napas dalam, lalu menghembuskannya secara perlahan. "Ibu sama Hanum itu sama-sama perempuan, Ibu tau bagaimana sakitnya berbagi suami? Aku aja membayangkan Hanum menikah dengan pria lain, aku nggak bisa, Bu."

"Kamu juga jangan lupa, Dava. Aku ini seorang Ibu. Kamu nggak paham bagaimana perasaan ibu menginginkan cucu, keturunan dari putranya sendiri, bukan anak adopsi." Setelah berkata demikian, Nani pun berdiri

"Ibu mau ke mana?" tanya Dava juga ikut berdiri.

"Ibu mau pergi ke pasar sama bi Ratih. Tadi ngajak istri kamu malah nggak bisa, bilangnya sakit perut, datang bulan hari pertama. Bikin tambah emosi aja. Masa sakit datang bulan sampai nggak bisa jalan, pura-pura paling. Bilang aja kalau nggak mau temenin ibu ke pasar." Nani bicara sangat ketus.

"Hanum bilang sama Ibu sakit perut?" tanya Dava khawatir. Tadi pagi sebelum ia berangkat kerja, sang istri terlihat baik-baik saja. Tetapi, tiba-tiba saja Nani mengatakan Hanum mengalami sakit perut sampai tidak bisa berjalan. Itu artinya sakit yang diderita sangat sakit.

"Iya dia bilang sih kayak gitu. Nggak tau benar apa bohong. Udah, kamu nggak usah khawatir, palingan juga bohong."

Dava menggeleng-gelengkan kepalanya. "Astaghfirullah, Ibu. Pedes banget perkataan Ibu. Hanum nggak pernah bohong, Bu. Kalau dia bilang lagi sakit, pasti beneran sakit. Ibu lupa ya waktu itu Hanum pernah pingsan waktu nganterin Ibu ke pasar? Hanum lagi sakit tapi dia memaksakan diri."

Nani mengibaskan tangannya tidak peduli. "Halah, palingan juga itu cuma acting. Kamu aja yang mudah percaya."

Setelah berkata demikian, Nani pun pergi dari dari pabrik. Dava menghela napas panjang, lalu menghembuskannya secara perlahan, coba mengontrol emosi, karena bagaimanapun Nani adalah ibu kandungnya.

Setelah merasa tenang, ia mengirim pesan kepada sang istri yang berisi, "Sayang, lagi apa?"

Menunggu balasan dengan perasaan was-was. Tidak lama terdengar notifikasi pesan masuk. Dia pun segera membukanya.

"Iya, Mas. Ada apa? Aku lagi nonton TV," jawab Hanum.

Dava mengetik balasan lagi yang berisi, "Coba kirim foto."

Hanum memberikan apa yang suaminya minta, lalu Dava membalasnya lagi. "Kok cuma TV-ya yang difoto? Wajah kamunya mana?"

Tidak langsung membalas. Setelah beberapa menit, barulah Hanum membalas pesan Dava dengan mengirim foto dirinya yang sedang duduk di sofa. Dia tampak mengenakan kaus berwarna biru dan wajahnya yang pucat tetap terlihat jelas, walau sudah ia coba tutupi dengan makeup.

"Wajah kamu pucet, kenapa?"

"Nggak, kok. Pucat gimana?"

"Wajah kamu pucat, Hanum. Kamu coba samarkan pakai makeup, kan?"

"Yah, ketahuan deh." Berikut emoticon menutup wajah dengan tangannya.

"Jawab aku, kenapa wajah kamu pucat?"

"Nggak apa-apa, Mas. Ini efek sakit perut, biasa hari pertama datang bulan."

"Tapi kok sampai kayak gitu?"

"Ya memang begini, mau bagaimana lagi?"

Dava coba menghubungi Hanum lewat video call, tetapi ditolak. Tidak hanya satu kali, bahkan sampai beberapa kali, hingga akhirnya Dava kembali mengirimi sang istri sebuah pesan.

"Kenapa?" tanya Dava singkat.

"Nggak apa-apa, Mas. Jangan video call. Chat aja, ya."

"Kenapa? Kamu menyembunyikan sesuatu dari aku?"

"Nggak ada, Mas."

"Ibu mengatakan sesuatu?"

Kali ini Hanum menjawab pertanyaan Dava dengan emoticon menangis, lalu Dava pun bertanya, "Tuh, kan. Kamu nangis? Kenapa, Hanum?"

"Ibu kamu minta aku mengizinkan kamu menikah lagi supaya bisa punya anak. Aku nggak mau, terus ibu kamu marah."

Dava terkejut dengan balasan sang istri yang menyatakan bahwa ibunya sudah meminta izin lagi untuk yang kesekian kalinya. Lagi Dan lagi, sejujurnya Dava pun merasa kesal.

"Kamu nggak usah menanggapi omongan ibu ya, Hanum. Sampai kapan pun aku nggak akan pernah mengkhianati kamu." Dava coba menenangkan.

"Pengen aku juga gitu, Mas. Tapi permintaan itu udah sering diulang-ulang dari dulu. Aku harus gimana? Bukan mau aku susah punya anak, aku udah berusaha dengan segala cara, tapi dari sekian banyak usaha yang kita lakukan, nggak ada satu pun yang berhasil." Di akhir kalimat Hanum menyertakan emoticon menangis.

"Sabar ya, Hanum. Nanti malam aku coba ngomong sama ibu, supaya nggak maksa kamu terus."

"Nggak usah, Mas. Nanti malah Ibu marah sama aku."

"Nggak, kok. Aku juga bilangnya nggak pake marah-marah, aku bilanginnya juga pelan-pelan."

"Ya udah terserah kamu, Mas."

"Ya udah, sekarang kamu minum obat, istirahat ya, Sayang. Kalau kamu mau sesuatu, bilang sama aku, ya."

"Iya, Mas."

"Ya udah, aku kerja lagi."

Selesai berbalas pesan dengan Hanum, Dava meletakkan ponselnya di atas meja, lalu Dava melanjutkan pekerjaan yang sempat terganggu gara-gara Nani datang ke kantor.

Konsentrasinya saat ini sedang terganggu. Pekerjaan yang ingin segera ia selesaikan, kembali tertunda. Pikirannya habis oleh ucapan sang ibu. Menikatkan dirinya dengan Nara.

Dava melihat ke arah luar, ke arah di mana saat ini Nara sedang berkutat dengan laptopnya. Saat Nara hendak mengambil berkas di samping kirinya, dia melihat ke arah Dava, lalu tersenyum. Dava tidak mau menanggapinya, lalu menutup tirai secara otomatis dari remote control.

"Tidak seharusnya kamu menerima kesepakatan gila ibu aku, Nara." Dava bicara sambil memijat keningnya yang terasa pening.

***

Di luar sana. Nara yang sudah siap menerima tawaran Nani, mengirim pesan kepada Nani yang berisi, "Ibu Nani, ini saya Nara. Besok hari Minggu, kita bisa melakukan tes kesuburan."

Tidak perlu waktu lama, Nara pun mendapat jawaban. "Oke, kirim alamat rumah kamu, nanti ibu jemput. Terima kasih, Nara."

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Safiiaa
pelakor dibela sama mertua ini mah...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status