Setelah Nara pergi, perdebatan masih saja terjadi antara Dava dengan sang ibu. Dava terus menolak untuk menikahi Nara, sedangkan Nani terus memaksanya.
"Ibu ini apa-apaan? Kenapa ibu minta Nara nikah sama aku, pake acara tes kesuburan segala. Ibu mikirin perasaan kita nggak sih?"
"Dava, apa ibu nggak salah denger kamu bilang gitu sama ibu? Kamu minta ibu mengerti perasaan kamu. Kamu sendiri apa mengerti perasaan ibu? Ibu pengen cucu dari kamu, Dava. Keturunan dari darah daging kamu."
"Tapi aku maunya Hanum yang mengandung, Bu. Bukan perempuan lain. Coba ibu bayangkan gimana perasaan Hanum saat tau Ibu memaksa aku menikah sama Nara, yang mana Nara sendiri sahabat Hanum. Ibu bisa bayangkan bagaimana sakitnya dia?"
"Ibu tau ini sakit, tapi Hanum juga harus tau diri. Tiga tahun ibu menunggu keturunan dari kalian, tapi mana? Nggak ada, kan?"
"Ibu sabar dong, Bu. Kami juga lagi berusaha." Dava coba bicara dengan lembut.
"Kenapa sih kamu itu nggak paham-paham? Kurang sabar apa ibu nunggu selama tiga tahun? Toh Nara jadi istri kamu juga nggak nyampe tiga tahun. Cuma sampai anak itu lahir, kamu bisa menceriakan Nara. Paling lama juga dua tahun. Minta Hanum bersandar selam dua tahun degan mengizinkan kamu menikah lagi sama Nara. Setelah itu selesai perkara."
Dava menghela napas dalam, lalu menghembuskannya secara perlahan. "Ibu sama Hanum itu sama-sama perempuan, Ibu tau bagaimana sakitnya berbagi suami? Aku aja membayangkan Hanum menikah dengan pria lain, aku nggak bisa, Bu."
"Kamu juga jangan lupa, Dava. Aku ini seorang Ibu. Kamu nggak paham bagaimana perasaan ibu menginginkan cucu, keturunan dari putranya sendiri, bukan anak adopsi." Setelah berkata demikian, Nani pun berdiri
"Ibu mau ke mana?" tanya Dava juga ikut berdiri.
"Ibu mau pergi ke pasar sama bi Ratih. Tadi ngajak istri kamu malah nggak bisa, bilangnya sakit perut, datang bulan hari pertama. Bikin tambah emosi aja. Masa sakit datang bulan sampai nggak bisa jalan, pura-pura paling. Bilang aja kalau nggak mau temenin ibu ke pasar." Nani bicara sangat ketus.
"Hanum bilang sama Ibu sakit perut?" tanya Dava khawatir. Tadi pagi sebelum ia berangkat kerja, sang istri terlihat baik-baik saja. Tetapi, tiba-tiba saja Nani mengatakan Hanum mengalami sakit perut sampai tidak bisa berjalan. Itu artinya sakit yang diderita sangat sakit.
"Iya dia bilang sih kayak gitu. Nggak tau benar apa bohong. Udah, kamu nggak usah khawatir, palingan juga bohong."
Dava menggeleng-gelengkan kepalanya. "Astaghfirullah, Ibu. Pedes banget perkataan Ibu. Hanum nggak pernah bohong, Bu. Kalau dia bilang lagi sakit, pasti beneran sakit. Ibu lupa ya waktu itu Hanum pernah pingsan waktu nganterin Ibu ke pasar? Hanum lagi sakit tapi dia memaksakan diri."
Nani mengibaskan tangannya tidak peduli. "Halah, palingan juga itu cuma acting. Kamu aja yang mudah percaya."
Setelah berkata demikian, Nani pun pergi dari dari pabrik. Dava menghela napas panjang, lalu menghembuskannya secara perlahan, coba mengontrol emosi, karena bagaimanapun Nani adalah ibu kandungnya.
Setelah merasa tenang, ia mengirim pesan kepada sang istri yang berisi, "Sayang, lagi apa?"
Menunggu balasan dengan perasaan was-was. Tidak lama terdengar notifikasi pesan masuk. Dia pun segera membukanya.
"Iya, Mas. Ada apa? Aku lagi nonton TV," jawab Hanum.
Dava mengetik balasan lagi yang berisi, "Coba kirim foto."
Hanum memberikan apa yang suaminya minta, lalu Dava membalasnya lagi. "Kok cuma TV-ya yang difoto? Wajah kamunya mana?"
Tidak langsung membalas. Setelah beberapa menit, barulah Hanum membalas pesan Dava dengan mengirim foto dirinya yang sedang duduk di sofa. Dia tampak mengenakan kaus berwarna biru dan wajahnya yang pucat tetap terlihat jelas, walau sudah ia coba tutupi dengan makeup.
"Wajah kamu pucet, kenapa?"
"Nggak, kok. Pucat gimana?"
"Wajah kamu pucat, Hanum. Kamu coba samarkan pakai makeup, kan?"
"Yah, ketahuan deh." Berikut emoticon menutup wajah dengan tangannya.
"Jawab aku, kenapa wajah kamu pucat?"
"Nggak apa-apa, Mas. Ini efek sakit perut, biasa hari pertama datang bulan."
"Tapi kok sampai kayak gitu?"
"Ya memang begini, mau bagaimana lagi?"
Dava coba menghubungi Hanum lewat video call, tetapi ditolak. Tidak hanya satu kali, bahkan sampai beberapa kali, hingga akhirnya Dava kembali mengirimi sang istri sebuah pesan.
"Kenapa?" tanya Dava singkat.
"Nggak apa-apa, Mas. Jangan video call. Chat aja, ya."
"Kenapa? Kamu menyembunyikan sesuatu dari aku?"
"Nggak ada, Mas."
"Ibu mengatakan sesuatu?"
Kali ini Hanum menjawab pertanyaan Dava dengan emoticon menangis, lalu Dava pun bertanya, "Tuh, kan. Kamu nangis? Kenapa, Hanum?"
"Ibu kamu minta aku mengizinkan kamu menikah lagi supaya bisa punya anak. Aku nggak mau, terus ibu kamu marah."
Dava terkejut dengan balasan sang istri yang menyatakan bahwa ibunya sudah meminta izin lagi untuk yang kesekian kalinya. Lagi Dan lagi, sejujurnya Dava pun merasa kesal.
"Kamu nggak usah menanggapi omongan ibu ya, Hanum. Sampai kapan pun aku nggak akan pernah mengkhianati kamu." Dava coba menenangkan.
"Pengen aku juga gitu, Mas. Tapi permintaan itu udah sering diulang-ulang dari dulu. Aku harus gimana? Bukan mau aku susah punya anak, aku udah berusaha dengan segala cara, tapi dari sekian banyak usaha yang kita lakukan, nggak ada satu pun yang berhasil." Di akhir kalimat Hanum menyertakan emoticon menangis.
"Sabar ya, Hanum. Nanti malam aku coba ngomong sama ibu, supaya nggak maksa kamu terus."
"Nggak usah, Mas. Nanti malah Ibu marah sama aku."
"Nggak, kok. Aku juga bilangnya nggak pake marah-marah, aku bilanginnya juga pelan-pelan."
"Ya udah terserah kamu, Mas."
"Ya udah, sekarang kamu minum obat, istirahat ya, Sayang. Kalau kamu mau sesuatu, bilang sama aku, ya."
"Iya, Mas."
"Ya udah, aku kerja lagi."
Selesai berbalas pesan dengan Hanum, Dava meletakkan ponselnya di atas meja, lalu Dava melanjutkan pekerjaan yang sempat terganggu gara-gara Nani datang ke kantor.
Konsentrasinya saat ini sedang terganggu. Pekerjaan yang ingin segera ia selesaikan, kembali tertunda. Pikirannya habis oleh ucapan sang ibu. Menikatkan dirinya dengan Nara.
Dava melihat ke arah luar, ke arah di mana saat ini Nara sedang berkutat dengan laptopnya. Saat Nara hendak mengambil berkas di samping kirinya, dia melihat ke arah Dava, lalu tersenyum. Dava tidak mau menanggapinya, lalu menutup tirai secara otomatis dari remote control.
"Tidak seharusnya kamu menerima kesepakatan gila ibu aku, Nara." Dava bicara sambil memijat keningnya yang terasa pening.
***
Di luar sana. Nara yang sudah siap menerima tawaran Nani, mengirim pesan kepada Nani yang berisi, "Ibu Nani, ini saya Nara. Besok hari Minggu, kita bisa melakukan tes kesuburan."
Tidak perlu waktu lama, Nara pun mendapat jawaban. "Oke, kirim alamat rumah kamu, nanti ibu jemput. Terima kasih, Nara."
Malam hari. Dava yang baru saja sampai di rumah, masuk ke dalam langsung mencari keberadaan Hanum. Dia melihat sang istri sedang berada di dapur, berkutat dengan masakannya yang entah sedang membuat apa.Dava meletakkan tas kerjanya di atas sofa, berjalan menuju dapur sambil melepaskan kancing lengan, lalu menggulung bagian lengannya sampai sikut. Dalam hati ia berkata, "Ya Allah. Berilah kepercayaan kepada kami untuk memiliki keturunan, hamba tidak tega kalau harus mengikuti keinginan ibu hamba. Kami hidup berkecukupan, kami sangat menyukai anak-anak, usia kami sudah cukup matang, apakah itu semua belum cukup, Ya Allah?"Terus ia bergumam. Berjalan menaiki dua anak tangga sebagai pembatas antar ruang keluarga dengan ruang makan. menghampiri istri tercinta, memeluknya dari belakang secara tiba-tiba, hal itu sontak membuat Hanum terkejut."Mas Dava, ngagetin aja deh. Untung adonannya nggak jatuh." Hanum bicara seraya melihat wajah wajah Dava dari samping."Namanya juga kejutan." Setel
"Ibu ini apa-apaan sih, Bu?" pekik Heru selaku ayah dari Dava. Pasalnya Heru juga kurang setuju atas ide sang istri yang ingin menikahkan lagi putranya dengan wanita lain, hanya karena ingin segera memiliki cucu dari dari darah daging putranya."Ayah, di dalam agama, poligami itu diperbolehkan. Apa lagi ini Hanum punya kekurangan. Dia nggak bisa hamil. Alasan ibu kuat ingin menikahkan Dava sama Nara." Nani yang saat ini duduk sofa panjang, bicara sambil membelakangi Heru karena sebal. Sejak tadi sang suami terus saja menentang pendapatnya."Ayah tau, Bu. Tapi coba Ibu pikirkan lagi bagaimana perasaan Hanum, pasti sakit. Kalau Ibu ada di posisi Hanum, apa Ibu mau membagi aku dengan wanita lain?" seru Heru."Ya nggak maulah, tapi cukup tau diri aja nggak bisa ngasih keturunan, kok.""Bukan nggak bisa, Bu. Tapi belum. Lebih tempatnya Allah belum ngasih keturunan." Dava yang baru datang pun langsung menyahuti statement tentang istrinya yang selalu dikatakan tidak bisa memberikan keturunan
Setelah mendapatkan penanganan khusus dari rumah sakit, Dava pun memutuskan untuk pulang dan meninggalkan sang ibu di rumah sakit dengan ditemani oleh Laras juga Heru.Dava menarik napas panjang ketika berada di depan pintu kamarnya untuk menenangkan diri, lalu membuka pintu secara perlahan, masuk ke dalam tanpa menghidupkan lampu utama.Terlihat sang istri tengah tertidur pulas di atas ranjang, ia pun memilih berbaring di sebelahnya, memeluk Hanum dari belakang.Merasakan kehadiran seseorang, Hanum pun membuka matanya, lalu bertanya, "Mas Dava, kamu udah pulang?""Iya," jawab Dava singkat."Maaf aku tidur duluan. Tadi habis minum obat anti nyeri, tapi malah ngantuk banget," ucap Hanum sambil mengusap punggung tangan Dava yang melingkar di perutnya."Nggak apa-apa, Sayang. Seharusnya aku yang minta maaf karna pulang terlambat.""Nggak masalah. Yang penting kamu pulang dalam keadaan utuh, sehat, dan baik-baik aja." Hanum bicara sambil tersenyum tulus."Kamu nggak marah?" tanya Dava lagi
Dava mempersilahkan Nara duduk di kursi di depannya seraya menutup laptop. Setelah Nara duduk, Dava mulai bicara dengan raut wajah penuh keseriusan. "Aku sangat mencintai istri aku, Nara." "Saya tau, Pak. Hanum sahabat saya sejak dulu, dia selalu menceritakan kepada saya juga Gina betapa Anda sangat mencintainya dan betapa Hanum juga sangat mencintai Anda, hingga akhirnya kalian menikah dan hidup bahagia sampai sekarang," terang Nara sambil tersenyum mengingat akan masa itu. Saat mereka masih sangat dekat, tidak seperti sekarang yang seperti memiliki jarak semenjak Nara diisukan menyukai Dava."Tapi Nara, kebahagiaan kita terancam punah. Hanum akan menderita jika aku menikahi kamu." Sudah bisa dibayangkan bagaimana kehidupan rumah tangganya bersama Hanum akan seperti apa jika dirinya menikahi Nara. Hanum pasti akan menderita."Loh kenapa?" Dahi Nara mengerut. "Aku datang untuk membantu melengkapi kekurangan rumah tangga Bapak loh, Pak.""Kami tidak pernah merasa kekurangan, Nara. Kam
"Kenapa kamu nggak bilang kalau ibu dirawat?" tanya Hanum masih berdiri di depan pintu."Itu ...." Dava melihat ke arah sang ibu, lalu menjawab pertanyaan Hanum. "Aku nggak mau buat kamu khawatir.""Harusnya kamu bilang, Mas. Biar aku bisa ikut jaga ibu."Belum sempat Dava bicara, Nani menyahutinya. "Kamu itu ke sini mau mengintrogasi Dava atau mau menjenguk ibu?""Maaf, Bu. Hanum nggak bermaksud seperti itu.""Ya udahlah nggak usah tanya panjang lebar. Kamu bawa apa?" tanya Nani.Hanum mengangkat jinjingan yang ia bawa. "Makanan kesukaan Ibu." Dia bicara sambil tersenyum."Ya udah bawa ke sini!"Hanum berjalan menghampiri Heru lebih dulu untuk bersalaman. Dava, Laras, lalu Nani. Hatinya bertanya-tanya sendiri saat melihat ada Nara di sana dan anehnya lagi mereka berdua terlihat sangat akrab, ibu terlihat begitu ramah. Hanum bisa menilai demikian, karena saat ia datang, Nani bersama Nara sedang mengobrol saling
Hari berlalu, saat ini Hanum sedang mengobrol di ruang keluarga bersama Gina, sahabat Hanum yang sengaja ingin datang berkunjung setelah cukup lama tidak bertemu.Sedang asik mengobrol, ponselnya berdering. Notifikasi pesan masuk, lalu Hanum pun mengambil handphone dari atas meja, melihat nama Mas Dava tertera jelas pada layar handphonenya. Dia membuka pesan tersebut yang berisi, "Hanum, kamu di rumah?""Iya, Mas. Ada apa?" balas Hanum. Sambil menunggu, ia kembali mengobrol bersama Gina. Membicarakan pekerjaan yang sedang Gina geluti saat ini.Tidak lama setelah itu, dering ponsel kembali terdengar. Ada balasan dari Dava, kembali Hanum membaca isinya. "Aku mau minta tolong dong. Tolong siapin beberapa baju, karna malam ini aku mau pergi ke luar kota.""Iya, Mas. Tapi kok mendadak?" balas Hanum lagi.Bukan hanya Hanum, Gina pun memiliki panggilan masuk dari seseorang. "Num, gue angkat telpon dulu, ya.""Oh iya." Hanum mempersilakan.Gina berdiri, berjalan ke arah pintu akses menuju tam
Hanum: Kamu ke mana aja, Mas? Kenapa nomernya baru aktif?Balasan yang Hanum kirim kepada sang suami yang sejak pergi tugas tidak ada kabar selama beberapa hari. Lama tidak mendapatkan balasan, Hanum pun memutuskan menghubungi Dava dalam sambungan telepon, tetapi tidak ada yang menjawab, hingga akhirnya ia pun memutuskan kembali mengirim pesan.Hanum: Kenapa nggak diangkat?Dava: Maaf, Sayang. Di sini susah sinyal, mau ganti kartu juga tanggung banget cuma satu Minggu di sini. Kamu apa kabar?Hanum: Aku nggak bisa bilang kabar aku baik, karena pada kenyataannya sekarang aku lagi nangis, aku takut kamu kenapa-kenapa. Kamu tau, selama kamu nggak ada kabar, selama itu juga aku nggak bisa tidur.Pada kalimat terakhir Hanum menyisipkan emoticon menangis.Dava: Jangan nangis dong, nanti aku ikut nangis di sini. Kamu sabar sebentar ya, Sayang. Aku pasti pulang."Hanum: Iya, Mas. Tapi kapan kamu pulang?Dava: Kemungkina
Setelah pingsan beberapa menit, akhirnya Hanum pun sadar. Dia membuka matanya perlahan, melihat Dava ada di sebelahnya sedang memegang tangannya dengan erat."Kamu udah sadar, Sayang?" tanya Dava tanpa melepaskan genggamannya. Dia mengusap kening Hanum yang sedikit mengeluarkan keringat.Hanum melihat ke arah Dava, Nani juga Haru yang saat ini berdiri di belakang Dava, lalu melihat ke ujung ranjang ada Nara. Saat melihat Nara, Hanum langsung bangkit dari tidurnya."Jangan dulu bangun. Kamu istirahat dulu, Num," ucap Dava."Lepas!" Hanum berusaha melepaskan tangannya, tetapi Dava malah semakin mengeratkan genggamannya."Kamu mau ke mana?"Sambil beringsut turun Hanum berkata, "Ini bukan rumah aku lagi. Kamu bukan suami aku, kita udah nggak punya hubungan apa-apa lagi. Buat apa aku tinggal di sini?""Hanum! Jangan egois kamu. Dava berhak bahagia dengan memiliki keturunan di mana kamu sendiri nggak bisa ngasih. Masih untung