Aku menggigit bibir, mencoba menenangkan diriku sendiri. Ada terlalu banyak pertanyaan yang berputar di kepalaku. Siapa sebenarnya perempuan itu? Apa yang Papa lakukan di masa lalu? Dan siapa "dia" yang dimaksud perempuan itu?
Jantungku berdegup kencang saat aku mendengar suara kursi bergeser. Sepertinya pertemuan mereka akan segera berakhir. Apa yang harus aku lakukan sekarang?
Belum lagi aku mengambil keputusan, pintu depan terbuka.
Refleks, aku mundur ke samping, bersembunyi di balik tembok teras. Dari celah kecil, aku melihat Papa keluar lebih dulu, diikuti Mama yang wajahnya tegang. Perempuan bernama Laras itu berdiri di ambang pintu, melihat ke arah Mama dan Papa dengan sorot mata yang sulit untuk diartikan.
"Maafkan saya, Bu. Saya tidak pernah berniat kembali ke dalam kehidupan kalian," katanya pelan. “Susah payah saya mengubur masa lalu itu. Butuh waktu bertahun-tahun, tak mungkin saya menggalinya lagi.”
Mama menatapnya tajam, lalu mengalihkan pandangan ke Papa. "Saya pegang kata-kata kamu. Kita pergi, Pa, " ucapnya dingin, sebelum melangkah menuju mobil.
Aku buru-buru semakin mundur ke balik tembok agar tidak ketahuan. Setelah Papa dan Mama pergi, perempuan itu masih berdiri di sana, menatap mobil mereka yang menjauh. Aku melihatnya menghela napas panjang, lalu masuk kembali ke dalam rumah.
Ini kesempatan. Aku harus bicara dengannya.
Tanpa pikir panjang, aku melangkah cepat menuju pintu rumahnya dan mengetuk dengan sedikit keras.
Tak butuh waktu lama, pintu terbuka. Laras tampak terkejut melihatku. Matanya sedikit merah, mungkin habis menangis.
"Kamu …," katanya pelan, seolah mengenalku.
Aku menatapnya tajam. "Kita perlu bicara,” kataku. Aku bingung memanggilnya apa. Dari segi usia, jelas dia jauh lebih tua dariku. Dia mungkin seusia dengan Mama, atau sedikit lebih muda.
“Maaf, saya mau pergi,” katanya cepat. Dia pasti berbohong. Sepertinya, dia sengaja menghindar dariku.
Wanita itu mencoba menutup pintu, tetapi aku buru-buru menahannya.
"Tolong, sebentar saja," pintaku, berusaha menahan emosiku. Dia menatapku ragu, jelas ingin menolak.
“Saya nggak akan lama. Saya hanya ingin tahu satu hal,” kataku. Aku sangat penasaran dengan yang mereka bicarakan. Kalau aku bertanya langsung sama Mama atau Papa, aku pasti ketahuan menguping.
Dia diam cukup lama sebelum akhirnya menghela napas dan membuka pintu lebih lebar. "Masuklah," katanya lirih.
Aku melangkah masuk dengan hati berdebar. Rumahnya sederhana, rapi, dan terasa nyaman. Tidak ada kesan glamor atau sesuatu yang mencurigakan.
Laras berjalan ke ruang tamu dan duduk, tangannya saling menggenggam di pangkuannya. Aku memilih tetap berdiri, menatapnya tajam.
"Apa hubungan Anda dengan Papa?" tanyaku langsung. Ya, aku memanggilnya Anda, setidaknya lebih sopan daripada aku memanggilnya kamu.
Dia menatapku balik, tenang, tanpa niat mengelak. "Saya mengenal Papa dan mamamu sejak lama," jawabnya.
“Sejak kapan tepatnya?” tanyaku. Aku butuh jawaban yang lebih detail.
Wanita itu menghela napas. "Dulu saya bekerja di rumah keluargamu."
Aku mengernyit. "Bekerja?"
"Ya," katanya pelan. "Saya pernah menjadi pembantu di rumah orang tua kamu, saat saya masih muda dulu.”
"Apa dulu Anda punya hubungan spesial dengan Papa?" tanyaku langsung, tak ingin bertele-tele.
Dia tampak terkejut dengan pertanyaanku. Dia menatapku dengan ekspresi yang membuat hatiku agak berdesir, lalu menggeleng.
"Tidak seperti yang kamu pikirkan,” katanya.
Huh, tau apa dia dengan apa yang aku pikirkan?
“Kenapa Mama kayak marah tadi sama Anda? Kenapa juga, Papa datang ke sini diam-diam?"
Dia terdiam cukup lama sebelum menjawab pertanyaanku. "Karena ada sesuatu yang mereka sembunyikan darimu," katanya akhirnya.
Jantungku mencelos. "Apa?"
Wanita itu kembali menatapku lekat-lekat, lalu dengan suara pelan, dia berkata, “Saya tidak berhak untuk menjelaskan. Saya sudah berjanji, untuk tidak ada urusan lagi dengan keluarga kamu. Sebaiknya, kamu tanya orang tua kamu. Itu pun kalau mereka mau jujur.”
"Saya berhak tahu!" tegasku.
Dia menatapku dengan mata berkaca-kaca. "Kamu yang harus menanyakannya pada orang tuamu," katanya pelan, sekali lagi dia memintaku bertanya pada orang tuaku. "Karena jawaban yang kamu cari, bukan ada pada saya, tapi pada mereka."
Aku sangat tidak puas dengan jawabannya. Namun, saat aku ingin memaksanya lagi, dia memintaku pergi.
“Pergilah. Saya masih ada kepentingan yang lain. Kalau kamu sudah menemukan jawabannya dari orang tua kamu, kamu boleh cari saya lagi,” ucapnya. Tetapi, kenapa suaranya bergetar? Dia seperti berusaha keras menahan tangis. Matanya juga tampak berkabut. Dia mengedip-ngedipkan matanya, tetapi aku tau kalau dia tidak sedang kelilipan.
“Kalau Anda punya jawaban, kenapa saya harus bertanya lebih dulu pada orang tua saya. Itu hanya akan makan waktu. Saya butuh jawaban sekarang,” kataku lebih tegas lagi, agar dia tahu, kalau aku tidak main-main.
Dia menatapku, sangat dalam. Aku membuang pandanganku. Entah kenapa, aku tak bisa melawan tatapan tajam dari manik matanya yang berwarna coklat.
“Saya sudah berjanji sama Mama kamu, dan tolong, jangan paksa saya mengingkari janji saya. Kecuali, Mama kamu berani mengungkap semuanya sama kamu.”
Ternyata dia bukan perempuan yang mudah untuk dipaksa bicara. Baik, aku akan tanyakan pada Mama.
~~~~~~~
Beberapa minggu kemudian. Gedung tinggi Vantara Group tampak megah seperti biasa. Nadine baru saja masuk ruangannya ketika sekretaris pribadinya datang dengan wajah panik.“Bu Nadine, kita dapat somasi. Dari firma hukum yang mewakili Alya dan Angkasa Group.”“Somasi?” Nadine mengerutkan kening. Ia membuka dokumen yang dibawa sekretarisnya. Matanya melebar membaca isi surat itu.Somasi ini menyatakan bahwa Vantara Group, atas perintah langsung dari Nadine Ardianto, diduga terlibat dalam tindakan sabotase, manipulasi data keuangan, pelanggaran kerahasiaan perusahaan, dan pencucian uang melalui PT Saka Muda, dengan bukti rekaman digital, laporan audit independen, serta pengakuan dari salah satu mantan komisaris PT Saka Muda yang kini bekerja sama dengan pihak berwenang.Nadine melempar dokumen itu ke meja.“Ini perang,” gumamnya dingin.Di sisi lain, Alya berdiri di podium kecil dalam sebuah konferensi pers yang diselenggarakan di salah satu hotel besar.Wartawan, investor, pengamat bis
Alya menatap layar laptopnya dengan dada sesak. Tatapannya terpaku pada sosok Dimas Gunawan, pria yang selama ini dikenal sebagai pilar keuangan perusahaan. Lelaki dengan sikap kalem, tutur kata halus, dan penuh wibawa. Tak ada tanda-tanda kalau laki-laki itu akan berkhianat. Rasanya Alya sampai tak tahu harus percaya pada siapa. Dia sangat kecewa. Dikhianati seseorang yang begitu ia percaya.Ia segera meraih ponselnya dan mengetik cepat pesan untuk Kayra.[Siapkan ruangan rapat rahasia. Hanya kita berdua, pengacara, dan satu orang staf IT. Aku butuh rekaman CCTV lengkap dari tiga hari terakhir. Dan mulai sekarang, pantau semua aktivitas Dimas Gunawan. Jangan sampai dia tahu]~~~~~Kayra, dua staf IT pilihan, dan pengacara perusahaan duduk di dalam ruangan bersama dengan bos mereka, Alya. Di layar besar, mereka memutar ulang beberapa rekaman dari berbagai sudut gedung.“Ini dia,” ujar salah satu staf IT sambil memperbesar tampilan video. “Ini rekaman dari dua hari sebelum kebakaran.”
Pagi buta hape Alya berdering hingga memekakkan telinga. Disusun suara ketukan panik di depan pintu kamarnya. Alya segera membuka matanya, dia langsung melihat hape yang sudah tak berdering lagi. Mungkin karena dia terlalu lama menjawab. Alya melihat jam di dinding, masih pukul tiga pagi. “Alya!” panggil Bastian sambil mengetuk pintu kamar Alya. “Iya,” sahut Alya masih setengah mengantuk. Namun begitu, dia tetap bangkit dan melangkah agak sempoyongan ke arah pintu kamarnya sambil memegangi perutnya.Begitu membuka pintu, wajah tegang Bastian yang terlihat. “Kamu sudah angkat telepon dari Pak Jhon?” tanya Bastian. Jhon adalah kepala keamanan gudang pusat perusahaan yang ada di area kawasan industri. “Oh, tadi Pak Jhon. Belum sempat, Pa. Ada apa?” tanya Alya yang sudah mulai menghilang rasa kantuknya. Pasti ada hal penting kalau jam segini kepala keamanan sampai menghubungi.“Gudang pusat kebakaran,” kata Bastian membuat Alya tercekat. Mereka semua segera bersiap. Tak ada yang ber
Sudah tiga hari berlalu sejak pertemuannya dengan Nadine, tapi kata-kata perempuan itu masih bergema di kepala Alya.Hari itu, Alya datang lebih pagi ke kantor pusat Angkasa Group. Ia mengenakan setelan abu muda dengan blouse navy di dalamnya. Meski kehamilannya sudah masuk bulan keenam, tak satupun dari staf berani menyepelekan ketegasannya.“Bu Alya,” sapa tim logistik saat ia memasuki ruang rapat internal, “kami sudah menerima laporan dari tiga distributor besar. Mereka menolak memperpanjang kontrak. Dua di antaranya bahkan sudah menandatangani kontrak baru dengan pihak lain.”Alya menatap layar proyektor. Grafik distribusi menunjukkan penurunan tajam dalam dua minggu terakhir.“Ini tidak wajar,” gumamnya. “Distribusi kita sebelumnya stabil. Tidak ada kendala pengiriman, pembayaran lancar, hubungan baik. Tiba-tiba semua berubah drastis?”“Menurut kabar yang kami dapat, perusahaan Vantara Group yang sekarang mengurus distribusi mereka,” jelas salah satu staf.Alya mengangguk pelan.
Mendengar pertanyaan itu, Bastian langsung bungkam. Seakan-akan berusaha menemukan satu kata bijak untuk disampaikan pada Alya.“Papa sudah semakin tua. Papa sudah berjanji akan menua bersama Mama. Ibu kamu juga sudah ada yang menjaga. Mungkin, dia tetap ada di hati Papa, jadi Adik Papa,” kata Bastian. Alya tersenyum mendengar jawaban papanya. Dirinya berharap, papanya tak lagi meletakkan ibunya di dalam hati menggantikan posisi sang Mama. Hatinya bahagia akhirnya, mamanya bisa berdamai dengan ibunya. Kebahagiaannya semakin sempurna, karena ibunya juga sudah menemukan pendamping. “Ayok pulang. Malah senyum-senyum,” tegur Bastian sambil membukakan pintu mobil untuk anaknya. “Makasih papaku yang ganteng,” ucapnya lalu masuk. Bastian tertawa dan ikut masuk ke dalam mobil. ~~~~~~Hari itu langit Jakarta mendung, seolah ikut meramalkan suasana yang akan berubah dalam hidup Alya.Alya melangkah memasuki lobi gedung perkantoran megah berlantai tiga puluh dua di kawasan bisnis. Sepatunya
Setelah urusan dengan Arjuna dan keluarganya selesai tanpa banyak drama dan perjanjian hitam di atas putih kalau mereka tak akan lagi mengganggu keluarga Bastian apapun alasannya, keluarga Bastian memutuskan datang ke rumah Handoko. Suasana di ruang tamu rumah Handoko terasa mencekam bagi Ratna. Dirinya merasa dihakimi, padahal dirinya dan Bastian belum menceritakan maksud kedatangan mereka ke rumah Handoko.Handoko duduk di kursi panjang dengan punggung tegak, kedua tangan disatukan di atas pangkuan. Wajahnya tampak sangar, matanya menatap Ratna dan Bastian tanpa sedikit pun senyum.Ratna mencoba mengatur napas. Tangannya yang dingin digenggam erat oleh Bastian, memberi isyarat agar ia tak perlu takut bicara.“Jadi,” kata Handoko membuka suara, “kalian datang mau apa?”Sebelum mulai bicara, Ratna menarik nafas dalam. “Ada hal yang ingin Ratna sampaikan sama Om.”“Apa?” tanya Handoko membuat Ratna semakin menggengam tangannya yang dingin. “Tentang Alya,” kata Ratna pelan. Tak ada p