Share

4

Author: KARTIKA DEKA
last update Last Updated: 2025-03-16 05:37:16

Aku menggigit bibir, mencoba menenangkan diriku sendiri. Ada terlalu banyak pertanyaan yang berputar di kepalaku. Siapa sebenarnya perempuan itu? Apa yang Papa lakukan di masa lalu? Dan siapa "dia" yang dimaksud perempuan itu?

Jantungku berdegup kencang saat aku mendengar suara kursi bergeser. Sepertinya pertemuan mereka akan segera berakhir. Apa yang harus aku lakukan sekarang? 

Belum lagi aku mengambil keputusan, pintu depan terbuka.

Refleks, aku mundur ke samping, bersembunyi di balik tembok teras. Dari celah kecil, aku melihat Papa keluar lebih dulu, diikuti Mama yang wajahnya tegang. Perempuan bernama Laras itu berdiri di ambang pintu, melihat ke arah Mama dan Papa dengan sorot mata yang sulit untuk diartikan. 

"Maafkan saya, Bu. Saya tidak pernah berniat kembali ke dalam kehidupan kalian," katanya pelan. “Susah payah saya mengubur masa lalu itu. Butuh waktu bertahun-tahun, tak mungkin saya menggalinya lagi.”

Mama menatapnya tajam, lalu mengalihkan pandangan ke Papa. "Saya pegang kata-kata kamu. Kita pergi, Pa, " ucapnya dingin, sebelum melangkah menuju mobil.

Aku buru-buru semakin mundur ke balik tembok agar tidak ketahuan. Setelah Papa dan Mama pergi, perempuan itu masih berdiri di sana, menatap mobil mereka yang menjauh. Aku melihatnya menghela napas panjang, lalu masuk kembali ke dalam rumah.

Ini kesempatan. Aku harus bicara dengannya. 

Tanpa pikir panjang, aku melangkah cepat menuju pintu rumahnya dan mengetuk dengan sedikit keras.

Tak butuh waktu lama, pintu terbuka. Laras tampak terkejut melihatku. Matanya sedikit merah, mungkin habis menangis.

"Kamu …," katanya pelan, seolah mengenalku.

Aku menatapnya tajam. "Kita perlu bicara,” kataku. Aku bingung memanggilnya apa. Dari segi usia, jelas dia jauh lebih tua dariku. Dia mungkin seusia dengan Mama, atau sedikit lebih muda. 

“Maaf, saya mau pergi,” katanya cepat. Dia pasti berbohong. Sepertinya, dia sengaja menghindar dariku. 

Wanita itu mencoba menutup pintu, tetapi aku buru-buru menahannya.

"Tolong, sebentar saja," pintaku, berusaha menahan emosiku. Dia menatapku ragu, jelas ingin menolak. 

“Saya nggak akan lama. Saya hanya ingin tahu satu hal,” kataku. Aku sangat penasaran dengan yang mereka bicarakan. Kalau aku bertanya langsung sama Mama atau Papa, aku pasti ketahuan menguping. 

Dia diam cukup lama sebelum akhirnya menghela napas dan membuka pintu lebih lebar. "Masuklah," katanya lirih.

Aku melangkah masuk dengan hati berdebar. Rumahnya sederhana, rapi, dan terasa nyaman. Tidak ada kesan glamor atau sesuatu yang mencurigakan. 

Laras berjalan ke ruang tamu dan duduk, tangannya saling menggenggam di pangkuannya. Aku memilih tetap berdiri, menatapnya tajam.

"Apa hubungan Anda dengan Papa?" tanyaku langsung. Ya, aku memanggilnya Anda, setidaknya lebih sopan daripada aku memanggilnya kamu. 

Dia menatapku balik, tenang, tanpa niat mengelak. "Saya mengenal Papa dan mamamu sejak lama," jawabnya.

“Sejak kapan tepatnya?” tanyaku. Aku butuh jawaban yang lebih detail. 

Wanita itu menghela napas. "Dulu saya bekerja di rumah keluargamu."

Aku mengernyit. "Bekerja?"

"Ya," katanya pelan. "Saya pernah menjadi pembantu di rumah orang tua kamu, saat saya masih muda dulu.” 

"Apa dulu Anda punya hubungan spesial dengan Papa?" tanyaku langsung, tak ingin bertele-tele.

Dia tampak terkejut dengan pertanyaanku. Dia menatapku dengan ekspresi yang membuat hatiku agak berdesir, lalu menggeleng. 

"Tidak seperti yang kamu pikirkan,” katanya. 

Huh, tau apa dia dengan apa yang aku pikirkan? 

“Kenapa Mama kayak marah tadi sama Anda? Kenapa juga, Papa datang ke sini diam-diam?"

Dia terdiam cukup lama sebelum menjawab pertanyaanku. "Karena ada sesuatu yang mereka sembunyikan darimu," katanya akhirnya.

Jantungku mencelos. "Apa?"

Wanita itu kembali menatapku lekat-lekat, lalu dengan suara pelan, dia berkata, “Saya tidak berhak untuk menjelaskan. Saya sudah berjanji, untuk tidak ada urusan lagi dengan keluarga kamu. Sebaiknya, kamu tanya orang tua kamu. Itu pun kalau mereka mau jujur.”

"Saya berhak tahu!" tegasku.

Dia menatapku dengan mata berkaca-kaca. "Kamu yang harus menanyakannya pada orang tuamu," katanya pelan, sekali lagi dia memintaku bertanya pada orang tuaku. "Karena jawaban yang kamu cari, bukan ada pada saya, tapi pada mereka."

Aku sangat tidak puas dengan jawabannya. Namun, saat aku ingin memaksanya lagi, dia memintaku pergi. 

“Pergilah. Saya masih ada kepentingan yang lain. Kalau kamu sudah menemukan jawabannya dari orang tua kamu, kamu boleh cari saya lagi,” ucapnya. Tetapi, kenapa suaranya bergetar? Dia seperti berusaha keras menahan tangis. Matanya juga tampak berkabut. Dia mengedip-ngedipkan matanya, tetapi aku tau kalau dia tidak sedang kelilipan. 

“Kalau Anda punya jawaban, kenapa saya harus bertanya lebih dulu pada orang tua saya. Itu hanya akan makan waktu. Saya butuh jawaban sekarang,” kataku lebih tegas lagi, agar dia tahu, kalau aku tidak main-main. 

Dia menatapku, sangat dalam. Aku membuang pandanganku. Entah kenapa, aku tak bisa melawan tatapan tajam dari manik matanya yang berwarna coklat. 

“Saya sudah berjanji sama Mama kamu, dan tolong, jangan paksa saya mengingkari janji saya. Kecuali, Mama kamu berani mengungkap semuanya sama kamu.”

Ternyata dia bukan perempuan yang mudah untuk dipaksa bicara. Baik, aku akan tanyakan pada Mama. 

~~~~~~~

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Wanita Lain di Hati Papa   64

    Ratna duduk di depan meja riasnya. Dia menatap wajahnya yang sembab. Meski kemarin dia sempat merelakan Bastian, kini hatinya terasa berat. Rasa sakit di hatinya semakin menjadi, kala mengetahui suaminya masih saja memendam rasa pada Laras. Padahal sudah sekian lama. Bukan hanya satu atau dua tahun, tetapi lebih dari dua puluh tahun. Meskipun Bastian hanya memendam rasa, tetap saja dirinya merasa dikhianati.Ratna memandangi pantulan wajahnya di cermin. Jari-jarinya mengelus pelan pipinya yang basah karena tangis semalam. Pipi yang mulai menua karena usia. Di balik sorot matanya yang lelah, ada bara dendam yang mulai menyala.“Kalau aku terus diam, mereka akan menginjak-injak harga diriku,” gumamnya pelan. Tangannya meraih kotak perhiasan kecil yang ada di laci meja rias. Namun bukan kalung atau cincin yang dia cari. Di bawah tumpukan perhiasan itu, terselip sebuah kartu nama tua, nama seseorang dari masa lalunya. Seseorang yang dulu pernah berdiam di hatinya. Seseorang yang kini mun

  • Wanita Lain di Hati Papa   63

    “Tetap dipaksa nikah sama Axel,” jawab Alya sambil menghempaskan dengan lembut bobot tubuhnya di atas ranjang. Kedua kakinya dinaikkan dan duduk bersila di atas ranjangnya. “Hmm, ya sudahlah. Berarti memang jodohnya,” kata Reza. Dahi Alya mengernyit mendengarnya. “Abang nggak mau perjuangin?”“Perjuangin apa?” “Ya Audi.”“Untuk apa?” Alya menghela nafas. Tak tahu, apa Reza benar-benar tak mengerti maksudnya, atau hanya sekedar pura-pura saja. “Memang Abang nggak ada gitu, getar-getar perasaan sama Audi?” Reza yang menelepon Alya di teras rumahnya, berdiri lalu duduk di tembok pembatas teras yang hanya setinggi pinggangnya saja. Dia duduk sambil menatap bintang di langit yang kelam. “Ya biasa aja,” katanya.“Padahal aku pikir Abang mulai naksir sama dia.” “Belum bisa secepat itu.” Sesaat keadaan menjadi hening. Dia tau, apa yang Reza maksudkan. Sama seperti dirinya, yang belum bisa benar-benar melupakan Reza sebagai kekasih. Namun, perasaannya dipaksa harus menerima kenyataan

  • Wanita Lain di Hati Papa   62

    Audi melihat papanya dengan mata berkaca-kaca. Dia tak mungkin melawan, tetapi hatinya menolak untuk menerima. Akhirnya, Audi memutuskan keluar dari kamar rawat Axel. Sampai di luar, langkahnya tergesa keluar dari rumah sakit. Air matanya sudah mulai menggenang. Dia tak peduli, saat banyak mata yang memperhatikan dirinya. Sampai di luar, Audi langsung memesan taksi online. Beruntung, taksi yang dipesan cepat datang. Begitu masuk ke dalam taksi dan driver memastikan lokasi tujuan, tangis Audi pecah. Si driver hanya bisa melihat dari kaca spion. Dia mengira Audi baru ditimpa kemalangan karena baru keluar dari rumah sakit. Sepanjang jalan Audi tak bicara. Hanya suara isak tangisnya yang sesekali masih terdengar. Tujuannya kali ini, ke rumah Alya. Begitu sampai, Audi mencoba untuk bersikap biasa saja. Dia tak mau terlihat habis menangis di depan keluarga Alya. Setelah memencet bel, Ratna yang buka. “Assalamualaikum, Tante,” sapa Audi mencoba sambil memamerkan senyumnya. “Waalaikumsa

  • Wanita Lain di Hati Papa   61

    Sepanjang jalan Axel terus menggerutu. Dia kesal, malu juga tak tau harus menjawab apa kalau nanti orang tuanya bertanya. Pastinya Audi akan mengatakan pada orang tuanya kalau dia tak mau menikah dengan Axel. “Kurang ajar kamu Reza!” teriaknya sambil memukul setir mobilnya sendiri. Mobil melaju kencang menerobos jalanan malam yang lengang. Lampu-lampu jalanan berkelebatan seperti bayangan malam yang menakutkan. Kedua tangannya mencengkeram setir kuat-kuat, napasnya memburu."Kamu sudah hancurin semuanya, Reza," gumamnya, suaranya berat, penuh dendam. "Kali ini, giliran aku yang akan ngambil semuanya darimu."Axel melihat hapenya, perhatiannya terbelah, antara hape dan jalan. Dia mencari kontak Naura. Beberapa kali melakukan panggilan, tetapi panggilannya justru ditolak. Hal itu membuat Axel geram.Lelaki itu membanting ponselnya ke kursi penumpang sambil mendengus kasar.“Si al, si al, si al!” makinya terus menerus Ia semakin menginjak pedal gas, kecepatannya naik drastis, menyusu

  • Wanita Lain di Hati Papa   60

    Wajah tunangan Audi tampak menjadi pucat ketika Reza mengatakan kenal dengan dirinya. Audi melihatnya. Audi merasa kalau pernah ada masalah antara Reza dan lelaki yang akan menjadi calon pendamping hidupnya itu. “Bagaimana kabarmu, Axel?” tanya Reza sambil mendekat.Pemuda pemilik mata elang itu mengulurkan tangannya, tetapi tubuh Axel terasa kaku hingga tak menyambut uluran tangan Reza. Reza hanya tersenyum sinis seraya menggenggam angin. Audi memandang wajah tunangannya itu. “Apa kalian pernah ada masalah?” tanyanya. “Eh ….” Axel agak bingung menjawab pertanyaan Audi. Mimik wajah Axel tak bisa berbohong, dia panik, tetapi berusaha untuk disembunyikan.“Harusnya tidak.” Reza yang menjawab pertanyaan Audi. Kini ketiga pasang mata mengarah pada Reza. “Kami dulu bersahabat, sangat dekat. Bukan sebentar, tapi dari sejak masa masih kuliah,” jelas Reza. “Dulu?” tanya Alya dengan dahi mengerut. “Berarti sekarang, nggak lagi?” “Dia yang jadi musuh dalam selimut,” kata Reza dengan tenan

  • Wanita Lain di Hati Papa   59

    “Ya Mama juga nggak yakin. Tapi kan, kamu yang menjalani, jadi kamu berhak menolak. Jangan asal terima saja,” kata Ratna.“Kita lihat nanti aja. Siapa tau kan, calon yang dipilihkan Kakek memang baik,” balas Alya. Ratna berhenti mengunyah dan melihat saja Alya.“Apa kamu bisa secepat itu move on?” tanya Ratna yang seperti tak percaya. “Kalau jadiannya aja bisa cepat banget, kenapa move on nya nggak bisa cepat, Ma. Lagian, Bang Reza itu kan, bukan nyakiti Alya. Hikmahnya, Alya jadi punya Abang,” jawab Alya seperti tak ada beban. Ratna masih menatap putrinya, mencoba membaca ekspresi di balik senyum tipis yang ditampilkan Alya. Tetapi, seperti biasa, gadis itu terlalu pandai menyembunyikan isi hatinya.“Jangan cuma karena kamu ingin terlihat kuat, kamu jadi membohongi perasaan sendiri,” ucap Ratna pelan, hampir seperti gumaman.Alya tertawa kecil. “Mama nggak usah khawatir. Alya nggak sekuat itu kok. Cuma … daripada terus mikirin hal yang udah lewat, mending Alya fokus ke hal yang bi

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status