Aku semakin mendekatkan diri ke tembok kamar. Berharap, pendengaran ini salah. Namun, nyatanya telinga ini masih berfungsi dengan baik. Aku tak salah mengenali pemilik suara itu.
"Ternyata kamu jago, ya, Mas." "Iya, dong." Menjijikkan! Aku cukup paham maksud pembicaraan Mas Rendy dan Mbak Mira. Sungguh, aku tak terima dikhianati. Apalagi dengan orang yang dekat dan akrab denganku. Aku mencoba tenang dan mengatur napas. Surprise ini harus dilanjutkan. Mas Rendy harus diberi pelajaran berharga karena berani mendua. Aku mengeluarkan ponsel dari dalam tas dan mulai mencari riwayat panggilan dengan Mas Rendy. Setelah menemukan, aku pun langsung menghubunginya. Sekuat tenaga aku menahan tangis dan amarah agar tak pecah. Aku harus bisa berpura-pura tak mengetahui semuanya. "Halo, Mas. Kamu di mana?" tanyaku pada Mas Rendy dengan nada lembut mendayu. Padahal ingin sekali kumaki pria itu. "Kan, kamu tau mas lagi bersihin rumah? Ada apa, sih?" Nada bicara Mas Rendy terdengar kesal. Ya, kesal karena aku sudah mengganggu kesenangannya bersama Mbak Mira. "Buka pintu, dong. Aku udah di depan." "Apa?! Kamu udah di depan? Bukannya kamu baru pulang besok?" Mas Rendy terdengar panik. Hmm ... dasar pria kurap, gatel. Kelabakan, kan kamu sekarang. "Iya, kan mau kasi surprise. Buruan bukain pintu. Aku udah gak sabar ketemu kamu dan Chika." "I-iya." Sambungan telepon terputus. Aku yakin saat ini Mas Rendy dan Mbak Mira panik bukan main. Mereka pasti bingung bagaimana cara menutupi aibnya yang menjijikkan agar jangan ketahuan. "Hai, Sayang," sapa Mas Rendy setelah pintu rumah terbuka lebar. Wajahnya terlihat sekali sedang dilanda panik dan ketegangan. "Kamu, ya pinter banget bikin mas kaget," sambungnya. Kali ini dia berusaha untuk memelukku. Namun, dengan cepat aku menghindar. "Jangan main peluk aja, dong, Mas," ucapku sambil menjauhkan tangannya. "Kamu bilang, kan lagi bersih-bersih. Aku nggak mau kena debu yang nempel di badan kamu." Sebenarnya itu hanya alasan. Mana mungkin aku mau disentuh oleh tangan yang baru saja menyentuh wanita lain. Jejak Mbak Mira pasti masih melekat di tubuh Mas Rendy. Hih ... najis! Mas Rendy tampak kaget dengan sikapku. Namun, dia tak mau mempermasalahkannya. Dia memilih menarik koper dan masuk mengikuti langkahku. "Chika, Bunda pulang! Chika!" panggilku pada Chika. Jujur aku penasaran di mana bocah berusia delapan tahun itu karena sejak tadi belum terlihat. "Sayang, Chika lagi gak ada. Dia lagi nginep di rumah ibu." "Nginep? Kok, kamu biarin? Kan, aku mau pulang." "Katanya lagi kangen sama ibu. Makanya mas izinin dia nginep. Lagian, kan mas taunya kamu pulang besok." Modus. Aku yakin, Mas Rendy sengaja mengantar Chika ke rumah Ibu agar bebas berduaan dengan Mbak Mira. Aku kenal anakku, dia tak dekat dengan ibunya Mas Rendy. Ya, ibu mertuaku itu agak cerewet dan judes pada Chika. Itulah sebabnya Chika kurang betah bila berada di rumah neneknya. Berbeda saat di rumah ibuku, Chika sangat betah dan susah diajak pulang. Namun, hanya sebentar Chika merasakan kasih sayang beliau. Sebab ibuku sudah berpulang sejak Chika berusia empat tahun. "Sayang, kamu duduk aja dulu, ya," kata Mas Rendy ketika aku baru saja menyentuh gagang pintu kamar. Ya, kamarku dan Mas Rendy yang seharusnya menjadi privasi kami berdua, tapi Mas Rendy justru membawa orang asing masuk. "Lho, kenapa, Mas? Aku, kan capek mau istirahat." Aku terus memainkan sandiwara meski rasanya ingin sekali mencakar wajah Mas Rendy sekarang juga. "Itu ... anu ... kamarnya masih kotor. Banyak debu. Nanti kamu bersin-bersin." Mas Rendy gelagapan. Ternyata dia tak cukup pintar bermain peran. "Oh, gitu. Ya, udah, aku mau taruh barang-barang aja." "Biar mas aja." Mas Rendy sigap menahan tangan ini. "Kamu duduk aja. Biar mas yang bawa barang-barang kamu masuk," sambungnya seraya meraih tas tangan milikku. Mas Rendy masuk ke kamar dan langsung buru-buru menutupnya. Kelihatan sekali dia menyembunyikan bangkai di dalam sana. Dia pikir aku tak tahu. Awas kamu Mas, akan aku beri pelajaran. Mas Rendy pikir, aku adalah istri yang b0d0h. Yang bisa diboh0ngi sesuka hati. Sekarang, akan aku tunjukkan siapa aku. "Mas, ada tamu," ujarku sedikit keras. Saat ini aku masih berdiri di depan kamar "Siapa?" Mas Rendy menyahut dari dalam kamar. Aku yakin sekali saat ini dia sedang meminta Mbak Mira agar tetap sabar bersembunyi. "Mbak Mira, nih nyariin. Katanya ada perlu!" jawabku dengan sangat lantang. Mas Rendy pasti kebingungan sekarang. Dalam hitungan ketiga dia pasti akan keluar dari kamar dan bertanya padaku dengan wajah keheranan. Satu, dua, tiga. Dan .... "Mbak Mira nyariin aku?" Benar, kan? Si kurap itu langsung keluar dari kamar. Dari gelagatnya tampak sekali dia bingung. Aku mengangguk pelan sambil tersenyum penuh kepalsuan. Rasanya muak sekali melihat wajah Mas Rendy. Aku pikir, setelah tiga tahun tak bersua, kami akan memadu cinta. Namun nyatanya, ranj4ng kami sudah ternoda. Dan aku jijik tidur di sana. Ah, terlalu puitis untuk menuliskan kekesalan ini. Intinya aku sudah tak tahan lagi untuk meredam 4m4rah yang sudah membuncah. Mas Rendy pikir aku robot pencari u4ng yang bisa dia peralat? Sementara dia dan wanita simpanannya bebas menikmati. Bullshit. "Mana? Kok, nggak ada?" Mas Rendy celingukan. Aku jadi penasaran, apa, ya yang ada dalam ot4k pria itu sekarang? "Masa segede itu kamu nggak lihat, Mas?" Aku masih ingin bermain-main dengan pria kurap itu. "Maksudnya?" "Nggak perlu tanya maksudku! Justru aku yang harusnya bertanya, apa maksudmu menyembunyikan Mbak Mira di kamar kita?!" Bersambung ....Wanita Lain di Ranjang Suamiku (9)Ungkapan hati Pak Harris membuat darahku berdesir. Ternyata dia adalah pria buaya sama seperti Mas Rendy. Dia itu sudah menikah, eh bisa-bisanya bicara seperti itu padaku."Saya harus pergi. Terima kasih atas bantuan Anda pada putri saya." Aku berdiri. Sudah tak tahan lagi berlama-lama di tempat ini."Anjani." Pak Harris meraih pergelangan tanganku. "Saya belum selesai bicara," sambungnya tanpa ada rasa bersalah. Matanya menatapku lekat seolah-olah mencegahku jangan pergi.Aku mengibaskan tangannya. "Jangan sentuh saya!""Ma-maaf," kata Pak Harris. Kini dia menunduk. Mungkin merasa segan karena refleks memegang tangan ini tadi.Aku tak lagi menoleh ke Pak Harris. Aku segera masuk ke dalam kafe untuk mengajak Chika pergi. Niat hati mau mencari rumah, eh malah bertemu buaya cap sampah."Anjani! Tolong dengarkan saya. Saya nggak maksud untuk mempermainkan kamu. Saya—""Saya sibuk banyak urusan!" Dengan terpaksa aku melihat ke arah Pak Harris yang ternya
Wanita Lain di Ranjang Suamiku (8)Mendapat pertanyaan seperti itu dari pria berjas hitam tadi, seketika membuatku menunduk malu. Dasar ceroboh! Bisa-bisanya aku melihat orang tanpa berkedip."Kamu belum menjawab pertanyaan saya, lho. Kenapa tadi ngelihatin saya begitu?"Aku mendongakkan kepala, kembali melihat orang berwajah tampan di hadapan. Dan ... akhirnya ingatan ini bekerja dengan sempurna. Sekarang, aku sudah ingat siapa dia."Maaf, saya cuma refleks karena kaget. Maaf kalau Anda tidak nyaman."Pria itu mengangguk, kemudian tanpa aku duga dia menarik kursi kosong dan duduk di sampingku. "Masa iya cuma refleks? Saya, nggak percaya."Entah kenapa, tiba-tiba jantungku berdegup kencang. Rasanya canggung sekali berada satu meja dengan Pak Harris. Ya, nama pria itu adalah Harris. Bos tempatku bekerja sebelum menjadi TKW sekaligus pemilik sanggraloka terbesar di kota ini.Aku tidak tahu kenapa kami bisa bertemu di sini. Namun, aku yakin tidak ada yang kebetulan di dunia ini. Semua ya
Wanita Lain di Ranjang Suamiku (7)"Pak Wahyu? Ada apa, ya sepertinya ada yang penting?" tanyaku pada Pak Wahyu. Beliau adalah pemilik toko bangunan di desa kami."Begini Anjani, saya ke sini mau nagih hutang sama kamu. Kata Bu Ida, mertuamu, kamu mau bayar hutangmu hari ini."Penuturan Pak Wahyu sontak membuatku kaget. Kenapa lagi-lagi aku dihadapkan dengan utang tidak jelas? Pasti ini ulah Mas Rendy dan ibunya lagi. Dasar keluarga sampah cuma bisa membuatku susah."Hutang apa, ya, Pak? Saya merasa nggak pernah punya utang ke Bapak?""Memang bukan kamu yang berhutang ke toko saya, Anjani. Tapi nama kamu yang dipakai Rendy dalam catatan bon saya."Astaghfirullah! Mas Rendy benar-benar jahat! Tega sekali dia menjadikan diri ini tumbal demi bisa berhutang. Aku jadi penasaran, bahan bangunan apa yang diambil dari toko Pak Wahyu? Sementara tak satu pun dari bagian rumah berubah. Termasuk beranda yang katanya waktu itu direnovasi."Begini, Pak Wahyu. Saya benar-benar tidak tahu perihal ini
"Anjani! Tunggu Anjani!" pekik ibunya Mas Rendy sambil berlari ke arahku. "Makin ngelunjak, ya, kamu! Maksudnya apa kamu menjual rumah ini?!""Ini rumahku. Suka-suka aku mau menjualnya atau tidak," jawabku dengan wajah ketus.Ya, aku memutuskan menjual rumah yang sekarang aku tempati. Selain ingin jauh dari Mas Rendy, aku sudah tak nyaman tinggal di sini karena pernah dipergunakan untuk berzina. Mana mau aku terkena sialnya."Enak aja kamu jual! Kembalikan dulu uangku!"Aku menatap ibunya Mas Rendy tajam. "Nggak mau! Uangku udah habis buat bayar hutang-hutang Mas Rendy.""Itu namanya enak di kamu susah di ibu. Hutang itu kan untuk makan dan keperluan Chika. Wajarlah kamu yang membayarnya. Apa gunanya kamu kerja jauh-jauh sampe luar negeri kalo bukan untuk Chika."Hari masih terlalu pagi. Namun, emosi ini sudah naik gara-gara ibunya Mas Rendy. Entah kapan ucapannya tidak membuatku sakit hati."Bu, Mas Rendy itu ayahnya Chika. Seharusnya dia yang menafkahi Chika. Jadi anggap saja uang I
Aku menatap geram wajah Mas Rendy. Aku sangat yakin dialah biang semua masalah. Dia harus tanggung jawab karena sudah membuat kacau balau hidupku."Ke mana semua uang yang aku kirim ke kamu, Mas? Apa benar yang Ibu bilang?"Mas Rendy gelagapan. Dia seperti tengah berpikir keras untuk memberikan jawaban yang terbaik."Jawab!" seruku lantang. Aku benar-benar kehilangan kesabaran dan akal sehat sekarang. Siapa yang tak marah jika dibohongi, dibodohi dan diselingkuhi oleh suami sendiri?"Jangan teriak-teriak, Anjani! Nggak malu kamu sama tetangga?""Ibu diam! Jangan ikut campur!"Aku bahkan kehilangan rasa hormat dan sopan santun pada orang tua. Toh, dia juga tidak pernah memperlakukan diri ini layaknya menantu. Selama ini, ibunya Mas Rendy hanya melihat kekurangan dan kesalahanku saja."Istrimu memang keterlaluan, Ren. Ibu yang ngurus Chika, tapi dia sama sekali tidak menghormati ibu." Ibu menangis. Dia pikir aku peduli?Drama! Aku muak dengan semua ini. Ya Allah ... ampuni hamba, tapi h
"Kurang aj*r sekali kamu mengusir anakku!" teriak orang itu lagi sambil terus mempercepat langkahnya agar cepat sampai di dekatku. "Mentang-mentang sekarang udah kaya, udah bisa beli ini itu. Sombongnya selangit!"Hati ini bertambah sakit mendengar ucapan ibu mertuaku. Bisa-bisanya marah-marah padahal belum tahu masalah sebenar. Seharusnya cari tahu dulu karena apa aku mengusir anak tercintanya itu."Bunda ...," teriak Chika sembari menghambur ke pelukanku. "Bunda udah pulang? Chika kangen Bunda." Chika berkata sambil terus memelukku. Ya, Allah, putriku ternyata sudah besar. Ada rasa bersalah dalam dada karena tidak bisa hadir dalam tiap pertumbuhannya.Kuciumi Chika dengan air mata berlinangan. Sesak sekali dada ini mengingat kebahagiaan kami sudah tak bisa seperti dulu lagi setelah ini. Chika pasti yang akan menjadi korban atas apa yang terjadi."Bunda kenapa nangis?""Bunda bahagia, Nak. Bunda senang akhirnya bisa meluk kamu. Maaf, ya bunda baru pulang sekarang," jawabku dengan air