Demi mengubah ekonomi, Anjani rela mengadu nasib bekerja sebagai TKW di Singapura. Namun, pengorbanannya tak membuat Rendy setia padanya. Rendy tega mendua dengan Mira, seseorang yang selama ini cukup akrab dan dekat dengan Anjani. Parahnya, uang yang didapat Anjani, Rendy pergunakan untuk kebutuhan Mira dan juga anak-anaknya. Apa yang akan dilakukan Anjani setelah mengetahui pengorbanan dan cintanya dikhianati? Akankah dia ikhlas menerima demi Chika, putrinya? Atau membuat perhitungan dengan Rendy dan Mira karena sudah berani menyakitinya?
View More"Oke, Mas. Jangan lupa jemput aku di bandara besok, ya. Jangan, kek waktu itu. Nanti aku ngambek lagi."
"Iya, Sayang. Udah dulu, ya. Mas mau bersihin rumah. Biar besok kamu nyaman istirahatnya." "Oke. Bye, Mas. Assalamualaikum." Aku pun memutuskan sambungan telepon setelah Mas Rendy menjawab salamku. Aku mengumbar senyum. Ternyata Mas Rendy tak curiga jika aku sedang mengerjainya. Dia percaya jika istrinya ini baru terbang dari Singapura besok. Itu artinya, surprise yang telah aku rencanakan berhasil. Bekerja menjadi TKW membuatku LDR dengan Mas Rendy. Sudah tiga tahun aku tak pulang. Dan ... alhamdulilah hari ini aku kembali ke tanah air. Rindu usah ditanya lagi. Terlebih pada putri semata wayangku, Chika. Ah, tak sabar bertemu dengan keluarga kecil yang setiap hari memenuhi ingatan. "Pak, kita ke jalan Sudirman gang mangga, ya. Nanti ada rumah berpagar kuning, tembok warna hijau, itu rumah saya." Sopir taksi mengangguk tanda paham ke mana dia harus mengantarku. Ya, menuju sebuah istana yang telah lama aku rindukan. Rumah yang bisa terbeli dengan hasil jerih payahku selama bekerja di Singapura. Meskipun aku yang membeli rumah, tak pernah sekali pun diri ini menyinggung soal itu pada Mas Rendy. Sebagai istri, aku berusaha memaklumi kondisi keuangan suami. Gaji Mas Rendy yang hanya seorang buruh pabrik gula, tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Itulah sebabnya aku menguatkan hati pergi merantau demi ekonomi yang lebih baik. Taksi yang aku tumpangi sudah masuk gang tempat tinggalku. Tiba-tiba dada ini berdebar-debar tak keruan. Mungkin, efek terlalu senang karena sebentar lagi akan bertemu dengan orang-orang yang aku rindukan. "Chika pasti seneng aku pulang. Ya, Allah, aku udah nggak sabar." Aku berbicara sendiri. Rasanya sudah tak sabar memeluk Chika dan memberinya oleh-oleh yang aku bawa. Tembok rumahku sudah mulai terlihat. Ternyata tak banyak yang berubah dari semenjak kepergianku. Perasaan ini pun tiba-tiba merasa tak enak karena Mas Rendy bilang sudah merenovasi bagian beranda. Ah, sudahlah. Mungkin waktu bicara via telepon dengan Mas Rendy, telingaku salah mendengar. Tak mungkin Mas Rendy tega menghambur-hamburkan u*ng yang aku dapatkan dengan susah payah. "Di sini saja, Pak. Saya mau kasi kejutan buat suami saya," kataku pada sopir taksi dengan senyum mengembang. Sopir taksi pun menghentikan mobilnya tepat di depan gerbang rumah. Aku kemudian turun sambil menenteng tas tangan. Sedangkan sopir taksi membantu mengeluarkan koper dari dalam bagasi. Setelah mengucapkan terima kasih dan membayar upah sesuai harga, aku pun langsung menuju halaman sambil menarik koperku. Aku sudah membayangkan raut wajah terkejut Mas Rendy dan Chika. Ah, lucunya. "Ya, ampun ... ini, kok berantakan banget." Aku sedikit kesal mendapati bagian teras rumah berantakan. Bahkan debu tampak tebal hinggap di jendela. Heran. Mas Rendy bilang, setiap hari dia membersihkan rumah. Namun, kenapa penampakannya seperti ini? Apa ini? Aku baru saja pulang, tapi sudah menemukan kebohongannya. "Mas!" panggilku tepat di depan pintu. Aku berteriak sambil memutar kenop pintu. Bisa-bisanya siang-siang begini pintu dan jendela tertutup rapat. Gorden juga tak terbuka. Parah. "Mas!" panggilku sekali lagi. Kali ini nadanya lebih tinggi. Namun, Mas Rendy tetap tak menyahut. Tak mungkin dia sedang pergi. Motornya saja terparkir rapi di bawah pohon jambu. Apa dia tidur? Lalu, di mana Chika? Kenapa anak itu juga tak mendengar? Ingin rasanya bertanya pada tetangga di mana Mas Rendy. Akan tetapi, Mbak Mira, tetangga sebelah rumah sepertinya sedang pergi. Rumahnya tampak sepi padahal setahuku selalu ramai oleh anak-anaknya. Dengan kesal aku berjalan menuju samping rumah. Berharap panggilanku akan didengar oleh Mas Rendy. "Ihh ... pelan-pelan, dong, Mas." Sayup-sayup telinga ini mendengar kata-kata itu. Tunggu! Suara siapa itu? Kenapa ada suara perempuan? Apa mungkin Mas Rendy .... Seketika jantungku berdetak kencang. Keringat mulai membasahi dahi ini. Tanganku juga spontan mengepal. Amarah di dada ini rasanya hendak meletup. "Nggak nyangka kita bisa seperti ini sekarang." Lagi, suara perempuan kembali terdengar. Sepertinya aku kenal siapa dia. Bersambung ....Berharap pada manusia akhirnya memang selalu kecewa. Aku tahu itu. Akan tetapi, sulit sekali menyadarkan diri ini agar tidak berharap lagi pada Mas Harris.Hah ... sudahlah. Kenyataannya memang menyakitkan. Aku harus ikhlas semua berakhir seperti ini. Lucunya, aku dan Mas Harris bahkan belum memulai sebuah hubungan, tapi semua sudah berantakan."Ojek, Mbak?" Tiba-tiba ada tukang ojek menawarkan dirinya. Sejak tadi aku memang berdiri di pinggir jalan."Ke jalan Tunas Harapan, ya, Pak," kataku sambil menghampiri tukang ojek tadi. Namun, baru saja aku hendak naik ke motor, seseorang menarik tangan ini."Anjani ...."Ternyata orang itu adalah Mas Harris. Pria yang kini berkemeja hitam itu menatapku lekat penuh arti. Kedua matanya terlihat merah dan berair. Sepertinya dia sedang berusaha keras menahan air matanya."Mas Harris ...." Aku terkejut melihat Mas Harris ada di hadapan. Rasanya tak percaya jika pria itu menyusulku. Apa mungkin diri ini sedang bermimpi? Atau halusinasi?Mas Harris
Aku merasa takjub sekali ketika kaki ini menginjak pelataran rumah papanya Mas Harris. Bangunan megah yang terpampang di hadapan sudah cukup membuktikan bahwa keluarga Mas Harris bukan orang sembarangan.Lagi, aku merasa insecure. Apakah pantas diri ini bersanding dengan pria yang berasal dari keluarga berada? Anjani hanya wanita biasa. Tak ada kelebihan apa-apa."Anjani? Kok, bengong? Ayo." Mas Harris menepuk bahuku. Pria berkemeja hitam itu kemudian memberikan lengannya untuk aku gandeng."Selamat datang, Pak Harris. Tuan sudah menunggu di dalam. Mari silahkan masuk." Seorang pria berseragam satpam menyambut kami. Dari ucapannya, sepertinya Mas Harris sudah berjanji akan bertamu pada sang papa."Mas ... aku ...." Aku tak bisa untuk mengutarakan isi hati. Mas Harris sudah lebih dulu menggelengkan kepalanya."Mas ada di sini. Jangan takut," ucap Mas Harris menenangkan.Meski Mas Harris berkata seperti itu, tapi, jantung ini tetap saja berdebar-debar tak menentu. Ini kali pertama aku a
"Iya, ya? Keknya itu mbak pelakor yang viral itu, deh." Lagi, kalimat yang sama kembali terdengar. Beberapa orang di taman ini ternyata tahu bahwa diri ini yang sedang viral di media sosial.Perasaan yang tadi bahagia, kini seketika berubah mendung kembali. Mas Harris yang saat ini masih menunggu jawaban dariku, bangkit dan berteriak, "Kalian semua yang ada di sini dengarkan saya! Wanita di samping saya ini namanya Anjani bukan mbak pelakor! Dia tidak merebut saya dari siapa pun! Silahkan kalian cari tau siapa itu Harris Atmaja Hadiwinata. Lihat biodatanya, apakah dia seseorang yang sudah memiliki pasangan. Berita yang viral itu hoax. Saya tegaskan sekali lagi, Anjani bukan pelakor! Jika saya mendengar lagi ada yang menyebutnya demikian, saya tidak segan-segan untuk membawanya ke ranah hukum!"Aku terperangah mendengar ucapan Mas Harris. Selama ini aku mengenalnya sangat lemah lembut dalam bertutur kata. Namun, ternyata dia bisa sangat tegas ketika membelaku."Kita pergi dari sini." M
Mataku membulat sempurna mendengar penuturan Mas Harris. Tangan ini pun seketika reflek mendorongnya menjauh dariku. Pria itu benar-benar egois, dia bicara tanpa memikirkan bagaimana ke depannya."Anjani, kamu kenapa?" tanya Mas Harris tanpa rasa bersalah."Kamu yang kenapa, Mas? Kenapa kamu bilang besok kita akan menikah? Kita bahkan tidak memiliki hubungan apa-apa. Bagaimana mungkin besok kita menikah? Kamu pikir aku ini perempuan apa?"Mas Harris meraih tanganku. Namun, buru-buru aku mengibaskan tangannya. Aku benar-benar marah pada pria itu.Mas Harris menunduk. "Aku mencintaimu, Anjani. Sungguh," katanya setelah beberapa saat. Kini semua orang terdiam. Termasuk Dara. Mungkin mereka syok mendengar ungkapan hati Mas Harris barusan. "Kamu yang dari dulu mas inginkan. Kamu juga mencintai mas, kan?""Cukup, Harris! Tante benar-benar tak mengerti dengan jalan pikiran kamu! Dari segi apa pun, Dara lebih baik daripada Anjani. Tapi kenapa kamu memilih Anjani?""Karena cinta tidak butuh ka
"Saudari Mira masih dirawat di rumah sakit Graha Yasmine, Bu Anjani. Kandungannya mengalami masalah."Aku harus menelan pil pahit ketika mendatangi lapas tempat di mana Mira ditahan. Ternyata wanita perebut mantan suamiku itu belum pulih keadaannya."Kalo begitu saya permisi, ya, Pak. Terima kasih informasinya." Aku pun bergegas pergi meninggalkan lapas tahanan dan berniat langsung menuju rumah sakit.Aku sudah izin terlambat datang bekerja pada Mas Harris dan sudah berkoordinasi dengan anggotaku. Semoga sebelum siang, aku sudah sampai di resort.***"Saudari Mira butuh istirahat yang cukup. Mohon tidak mengganggunya sekarang," kata dua orang polisi yang berjaga di pintu masuk ruang perawatan Mira.Aku seperti hampir putus asa. Namun, bukan Anjani namanya jika pantang menyerah. Setelah memohon dengan sungguh dan meyakinkan hanya bicara sepuluh menit, akhirnya aku diperbolehkan masuk ke ruang perawatan Mira."Aku tidak bisa lama di sini. Aku hanya ingin tau, di mana Mas Rendy? Bu Ida d
"Lepaskan Dara, Ma! Dara nggak mau di sini!""Tapi kamu belum pulih, Dara! Mama nggak mau kamu kenapa-napa."Aku dan Mas Harris yang baru saja tiba di depan pintu ruang perawatan Dara, seketika langsung saling pandang setelah mendengar suara kegaduhan itu.Mas Harris tak langsung mengetuk pintu, dia malah menarik tanganku menjauh dari ruangan itu."Anjani, sebaiknya kamu jangan ikut masuk. Lebih baik kamu tunggu mas di kafetaria aja. Mas nggak mau bikin suasana di dalam tambah ribut."Aku berpikir, ada benarnya juga saran Mas Harris. "Ya, udah aku tunggu mas di kafetaria aja."Mas Harris langsung memintaku pergi secepatnya. Setelah itu dia pun mengetuk pintu ruang perawatan Dara.Aku masih tak habis pikir kenapa Dara sampai nekat mau bu nuh diri. Seharusnya, kan dia berpikir panjang sebelum bertindak. Benar kata orang, usia tidak menjamin kedewasaan.Mungkinkah apa yang dilakukan Dara ada hubungannya dengan Mas Harris? Wanita itu hilang akal sehat gara-gara Mas Harris mengakui aku seb
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments