Share

MULAI HIJRAH

"Jadi, maukah kamu memaafkan kebodohanku ini?" tanya Leon serius menatap Anin. "Maukah kamu tetap menjadi tunanganku?" Ia menatap Anin penuh harap.

Lama Anin terdiam dan berpikir. Sampai akhirnya ia berbicara.

"Aku ... Aku sebelumnya ingin meminta maaf karena telah menuduhmu saat itu," ucap Anin pelan syarat dengan penyesalan.

"Aku sudah memaafkanmu, tapi ..." Anin menjeda ucapannya. "Maaf, Aku ... tidak bisa menjadi tunangan mu lagi, Kak," ucap Anin menatap Leon dalam-dalam. "Maaf," lirihnya lagi.

Leon terlihat kecewa, dia menghela napas panjang untuk menenangkan dirinya.

"Saat ini, aku sedang mencoba memperbaiki diriku menjadi wanita yang lebih baik." Anin mulai berbicara lagi.

Leon masih setia mendengarkan wanita yang sangat dia cintai itu berbicara.

"Menikah adalah ibadah terpanjang. Dan aku ingin melakukannya bersama dengan lelaki yang memiliki tujuan yang sama denganku," ucap Anin kembali. "Aku ingin bersamanya tidak hanya di dunia, tapi juga sampai ke surga." Anin mengucapkannya sambil menatap Leon lekat.

Leon menatap gadis yang dicintainya dengan lekat. Kemudian Leon berkata, "Aku ... Aku akan berubah demi kamu, Sayang," Leon menatap Anin dengan tatapan rindu. Oh ... Betapa inginnya dia merengkuh Anin kedalam pelukannya.

"Kamu salah, Kak." Anin menggelengkan kepala tanda tidak setuju. " Aku tidak ingin kamu berubah karena aku," sambungnya.

"No, Anin ... Bukan begitu ... maksudku ...," Leon menjawab dengan terbata.

"Kamu tidak perlu memaksakan diri untuk merubah dirimu demi diriku." Anin melanjutkan kata-katanya. "Aku pun baru memulai langkahku untuk lebih dekat kepada Tuhan," jelasnya sambil menundukkan pandangan kembali.

"Aku berharap dengan begitu, hatiku menjadi lebih tenang," ucap Anin penuh harap.

Leon menghela napas panjang. Mungkin ini saatnya untuk merelakannya pergi dari sisiku, batinnya.

"Baiklah ... Jika itu, keputusanmu," mata Leon sendu menatap wanita yang sangat dia cintai itu.

"Mari kita akhiri pertunangan ini baik-baik," ucap Anin setenang mungkin. Lalu ia menghela napasnya panhjang.

"Jika memang Tuhan takdirkan kita berjodoh, aku harap kita berdua sudah menjadi manusia yang lebih baik dari sekarang," seru Anin lagi. "Kalaupun kita tidak berjodoh, aku akan berdoa semoga kita berdua mendapatkan jodoh terbaik yang ditetapkan Tuhan." Anin berucap sambil tersenyum, lalu air mata pun mengalir tanpa permisi dipipinya.

Ya, bukankah cara mencintai yang terbaik adalah membiarkannya bahagia apapun pilihannya, batin Leon menguatkan. Relakan dia, batin Leon berbisik.

Berakhirlah sudah hubungan keduanya. Anin berharap ini keputusan yang terbaik untuk mereka.

Kejadian dimasa yang akan datang adalah Rahasia Tuhan. Kita punya kehendak, Tuhan pun punya kehendak. Tapi kehendak Tuhan lah yang terbaik. Biarlah waktu yang akan menjawabnya. Biarkan waktu juga yang akan menyembuhkan setiap luka yang datang.

Jika kamu melepas sesuatu karena Allah, maka Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik bukan. Anin mencoba menghibur dirinya dengan kata-kata itu. Walaupun airmata mengalir deras sepanjang perjalanan pulangnya.

****

2tahun kemudian

Sudah dua tahun sejak pertunanganku dengan Kak Leon putus. Aku pun telah lulus kuliah, dan sekarang aku sedang fokus untuk memperdalam bahasa arab di salah satu lembaga pendidikan bahasa Arab di Jakarta.

Satu tahun terakhir ini juga aku disibukkan dengan mengikuti berbagai kajian-kajian agama, baik itu secara offline maupun online. Dan baru beberapa bulan ini, aku pun memutuskan untuk bercadar.

Sedang kabar Kak Leon, terakhir yang kudengar dari Kak Raga kalau dia sudah lulus kuliah dan sekarang sedang fokus meneruskan perusahaan orang tuanya di New York. Tante Rena pun sekarang tinggal di New York bersama dengan Om Frans suaminya, karena Om Frans sering sakit-sakitan. Hanya sesekali Tante Rena ke Jakarta untuk mengunjungi saudara atapun mengecek keadaan rumahnya di Jakarta.

"Nin, kamu jadi ikut tes daftar ke UIM (Universitas Islam Madinah)?" tanya Ayah.

"Jadi Yah, in syaa Allah. Anin ingin menuntut ilmu disana," jawabku penuh harap. "2bulan lagi Anin tes," jelasku.

"Kalau nanti, kamu keterima disana. Kamu bisa tinggal sama Bibi Maryam, adik sepupu ayah yang tinggal di Madinah." ucap Ayah. "Nanti Ayah bicarakan dulu sama bibimu," sambungnya.

Aku mengangguk menyetujui saran ayah.

"Ibu doain semoga Anin lulus tes masuk UIM," seru Ibu bersemangat.

"Aamiin," ucap semua yang ada di meja makan.

"Makasih, Bu," Aku memeluk Ibu erat.

Setelah selesai makan malam bersama, lalu kami beristirahat menuju kamar masing-masing.

Baru saja aku ingin terlelap, hapeku berbunyi. Ada pesan dari Salma, teman sekelasku dikelas bahasa Arab. Kami ingin mengerjakan tugas bersama esok hari. Setelah aku membalas pesan Salma, lalu aku pun tertidur.

Pagi harinya Salma sudah berada di depan rumahku.

"Assalammu'alaikum," Salma mengucap salam.

"Wa'alaikumussalam," jawab Kak Raga. "Teman kuliahnya Anin ya?" tanya Kak Raga sambil memperhatikan Salma.

"Iya, Kak," jawab Salma sambil menunduk.

"Tinggalnya dimana?" tanya Kak Raga iseng.

"Hah ... I ... Itu ..." Salma menjawab gugup.

"Hayo, ngapain nanyain alamat Salma?" Aku datang berseru menghampiri keduanya. " Yuk, masuk!" Anin menggamit lengan Salma masuk kedalam rumah.

"Jangan godain Salma lho Kak, Bapaknya Ustadz," ancamku.

Lalu aku dan Salma menuju kamarku. Setelah sampai didalam kamar, aku turun kembali mengambilkan minum dan kukis buatan ibu untuk kami berdua.

" Salma, airnya diminum dulu," Anin menyodorkan sebotol air putih dingin untuk Salma.

"Makasih, Nin," jawab Salma.

"Kamu jadi ikutan tes di UIM juga?" Aku memulai percakapan.

"Tak tahulah, Nin. Abah tidak mengijinkanku sepertinya," ucapnya sedih. " Aku ingin dijodohkan dengan anak sahabatnya Abah," lanjutnya bercerita.

Aku terkejut mendengar cerita Salma, kuggenggam tangan sahabatku itu, mencoba memberikannya kekuatan.

Setelah mendengar segala keluh kesahnya, kami pun mulai mngerjakan tugas kuliah. Kurang lebih dua jam lamanya kami berkutat dengan kitab-kitab bahasa Arab. Setelah selesai Salma berpamitan pulang

"Sudah mau pulang?" Ibu bertanya padaku sambil menatap Salma.

"Sudah, Bu. Anin mau antar Salma kedepan," ucapku.

"Salma, permisi pulang dulu, Bu." Salma berpamitan sambil menyalimi tangan ibu.

"Iyaa, hati-hati dijalan ya. Salam buat ibunya Salma," ucap Ibu tersenyum ramah.

Salma mengangguk sambil tersenyum ke arah Ibu, lalu kami pun menuju garasi tempat motor Salma parkir. Saat Salma hendak memakai helm, lalu Kak Raga muncul dari balik kemudi mobilnya.

Sesaat pandangan keduanya bertemu. Lalu akhirnya Salma mengucap salam dan mengendarai motornya pulang.

Saat hendak masuk kedalam rumah. Tiba-tiba Kak Raga memanggilku. Ia berkata "Anin ... Papahnya Leon meninggal dunia,"

Deg!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status