Share

5. Kamu Milikku!

***

"Kasih, kamu kenapa harus pindah kost segala sih? Kan rumah kamu juga itu dikontrakkan sama orang, Zayn juga sudah pergi ke Singapura. Jadi, mending kamu di sini saja sama aku dan mama," ucap Echa.

“Aku tidak mau merepotkan kamu dan mamamu,” balas Kasih.

Echa menghela napas panjang. "Kamu baik-baik saja, kan?"

"Tentu saja aku baik-baik saja, buktinya kita bisa ngobrol berdua begini," jawab Kasih.

"Akhir-akhir ini kamu selalu pulang malam, Kasih. Kamu bahkan sulit aku hubungi, aku khawatir karena tidak biasanya kamu tidak memberi kabar begini."

"Aku memang sibuk menyiapkan study Zayn, jadi nggak sempat kasih kabar ke kamu karena terlalu letih," balas Kasih menjelaskan.

"Syukur kalau kamu baik-baik saja. Aku harap kamu dan Zayn selalu bahagia ya! Aku lega karena Zayn akhirnya bisa mewujudkan mimpinya bersekolah ke Singapura. Aku ingin nanti kalau ada apa-apa atau kamu butuh bantuan, kamu jangan sungkan bilang sama aku atau mama ya!"

"Itu pasti, Cha. Kalau ada apa-apa aku memang selalu merepotkan kamu sama Tante Icha," balas Kasih terkekeh.

"Tidak merepotkan sama sekali. Dulu keluarga kamu selalu membantu kami, aku dan mama banyak berhutang budi dengan keluarga kalian."

Kasih langsung memeluk Echa singkat. "Terima kasih karena masih menyayangi kami dan selalu ada untuk kami ya! Terima kasih karena masih berada di sisi kami, padahal semua orang meninggalkan kami dengan kejam. Hanya kamu dan Tante Icha lah yang selalu ada dengan kami. Aku bersyukur karena Tuhan mengirim bidadari seperti kalian."

"Kalian tidak akan pernah kami tinggalkan, Kasih. Kamu dan Zayn adalah keluarga bagiku dan mama! Jadi kalau ada apa-apa, kamu dan Zayn wajib kasih tahu kami. Aku lagi mode paksa ya!" balas Echa dengan memasang wajah serius.

Kasih setengah tertawa. "Iya. Aku kan sudah bilang kalau aku pasti dengan senang hati merepotkan kamu dan Tante Icha."

"Aku senang lho kalian repotkan," ujar Echa.

"Terima kasih ya!" ucap Kasih sekali lagi. "Tapi mungkin untuk sekarang dan ke depannya, aku pasti jarang bertemu kamu atau pun menjenguk Tante Icha karena posisiku sebagai Personal Assistant sangat menyita waktuku. Nanti kalau ada waktu libur, aku pasti menjenguk kalian," ucapnya.

"Jadi kamu sekarang jadi PA?" tanya Echa terkejut.

"Eh, aku memangnya belum cerita sama kamu, ya?"

Echa menggelengkan kepalanya. "Kenapa kamu baru kasih tahu? Kamu jadi PA siapa?"

"Aku lupa! Maafkan aku, Cha! Saking sibuknya ngurus persiapan Zayn, aku lupa kalau saat ini posisiku di perusahaan berubah jadi PA."

"Boss kamu siapa?"

"Aku jadi PA-nya Pak Arthur."

"Arthur Romeo?" tanya Echa agak ragu.

Kasih mengangguk. "Memang dia. Kan kamu juga tahu kalau Pak Arthur itu Presdir di perusahaan."

"Kok bisa sih?"

"Bisa kenapa?" tanya Kasih bingung.

"Maksudku kok kamu bisa jadi Personal Assistant-nya dia?"

"Kalau itu mana aku tahu, kan yang menentukan dari kepala HRD sama Pak Athur sendiri," balas Kasih.

Echa duduk di sampingnya, raut wajahnya penuh kekhawatiran. Mereka duduk di atas kasur, berdua saling bertatapan dalam percakapan serius.

"Kamu tahu kan kalau selama ini PA-nya Pak Arthur itu nggak ada yang namanya wanita? Dia selalu membenci wanita dan dulu pernah ada PA-nya itu gadis muda yang cantik, seksi, dan pintar, tapi gadis itu hanya tahan kerja tiga hari karena tidak sanggup. Kamu tahu kan bagaimana sifat dari dia?" ungkap Echa.

Kasih mengangguk. "Iya, aku tahu kok."

"Terus?" Echa menunggu dengan tatapan prihatin.

"Terus apa?" tanya Kasih, ia merasa bahwa Echa memang memiliki sesuatu yang ingin dia sampaikan.

"Kamu masih mau jadi Personal Assistant-nya? Dia terkenal sebagai pria iblis lho, Kasih," ucap Echa dengan suara khawatir.

"Aku tidak peduli, aku sudah biasa berhadapan dengan manusia yang berhati iblis, jadi ya nggak masalah. Bagiku yang penting aku kerja," jawab Kasih tanpa ragu.

"Kamu yakin?" Echa mencoba memahami pilihan sahabatnya.

"Kamu meragukanku?" Kasih menatap Echa dengan serius.

"Bukan kamu, tapi aku tidak mau kamu ada masalah karena berhubungan dengan pria monster itu. Aku hanya khawatir sama kamu," ungkap Echa dengan tulus.

'Aku memang sudah menderita karena terjebak pernikahan kontrak,' balas Kasih dalam hati, tetapi dia tidak menyampaikan pikiran itu pada Echa.

"Kasih… " panggil Echa dengan penuh kekhawatiran.

"Hmm… apa?" Kasih merespon.

"Aku khawatir sama kamu. Kamu mau nggak resign saja dan kerja di salah satu perusahaan milik teman baikku?" tawar Echa dengan harapan.

Kasih menggelengkan kepalanya. "Terima kasih atas tawarannya ya, Echa. Aku tidak ada rencana untuk resign. Kamu juga tidak perlu khawatir kalau aku jadi Personal Assistant-nya Pak Arthur karena aku pasti baik-baik saja. Aku tidak takut karena kamu juga tahu kalau selama ini aku selalu berhadapan dengan manusia yang berhati iblis, jadi masalah Pak Arthur ya aku nggak takut. Kan Pak Arthur masih normal. Masih suka makanan manusia, dia nggak mungkin menghisap darahku."

"Kasih! Kamu selalu saja bercanda, padahal aku benar-benar khawatir sama kamu karena kamu jadi PA-nya pria monster itu."

Kasih setengah tertawa. "Tenang! Kamu juga tahu siapa sahabat baikmu ini. Aku adalah pawang dari iblis, jadi aku bisa dengan mudah menaklukan mereka."

"Tapi kalau ada apa-apa dan kamu nggak betah kerja sama dia, kamu langsung hubungi aku ya!" pinta Echa.

Kasih mengangguk. "Iya, Cha. Kamu pasti orang pertama yang aku hubungi."

‘Malam ini adalah awal petaka untuk hidupku,’ batin Kasih. Tetapi dia memilih untuk menyembunyikan rasa takutnya dan bersikap tegar di hadapan sahabatnya.

***

Kasih merasa seperti sebuah boneka yang diatur geraknya oleh takdir. Proses akad nikah yang berlangsung begitu cepat di kediaman mewah Arthur hanya meninggalkan bekas-bekas kehampaan di hati Kasih. Hanya beberapa saksi dan seorang hakim yang bertindak sebagai wali nikah karena ayah Kasih telah meninggal, dan adik lelakinya, Zayn, telah pergi ke Singapura untuk mengejar studinya. Malam itu terasa dingin, tidak hanya karena cuaca, melainkan juga karena ketidaksetujuan batin Kasih terhadap pernikahan ini.

Malam pernikahan yang seharusnya diisi kebahagiaan dan kehangatan, baginya hanya merupakan awal dari lembaran kelam yang harus ia tempuh. Tubuh Kasih merasa lemas, bukan karena rasa lelah fisik, melainkan karena beban emosional yang ia rasakan. Apa yang selama ini ia jaga, seolah-olah diatur takdir untuk terenggut oleh pria yang sama sekali tidak dia inginkan dalam hidupnya.

Hembusan napas panjang melintas di bibir Kasih, sebuah usaha untuk meredakan gelombang emosi yang mendalam. Ia merelakan dirinya hancur demi balas dendam dan kebahagiaan Zayn. Zayn adalah satu-satunya keluarga yang tersisa baginya, dan demi kebebasan dan masa depan adiknya, Kasih terpaksa menerima peran sebagai istri kedua dan berjanji untuk melahirkan seorang pewaris.

Tiba-tiba, suara baritone yang menggetarkan atmosfer malam menyadarkan Kasih dari lamunannya. Arthur berdiri di hadapannya, menatapnya tajam dengan sorot mata yang memancarkan keangkeran.

"Kamu tidak datang bulan, kan?" tanya Arthur, mencoba meredakan ketegangan hatinya.

Langkah kaki Arthur terdengar mendekat, dan Kasih merasa gurat tangan pria itu menyentuh lembut wajahnya. "Kenapa wajahmu sangat tegang? Kamu takut denganku?" tanya Arthur, suara baritone-nya merayap di sekitar mereka.

"Sekali pun kamu adalah seorang monster berdarah dingin, aku tidak akan takut. Aku tidak peduli," balas Kasih dengan tenang, mencoba menyamankan dirinya sendiri.

Tawa Arthur meledak, menciptakan getaran yang memenuhi ruangan. "Aku memang monster, Kasih. Malam ini mungkin kamu tidak akan bisa melupakan bagaimana aku memiliki tubuhmu dengan utuh. Kamu harus bersiap-siap karena mulai malam ini, dan seterusnya kamu harus melayaniku! Kamu menjadi milikku!" ucapnya, suaranya sarat dengan desakan kekuasaan.

"Tidak untuk seterusnya, Tuan Arthur Romeo yang terhormat. Bukankah aku hanya jadi milikmu setelah aku melahirkan anak laki-laki untukmu?" Kasih menyuarakan pertanyaannya dengan mantap, menunjukkan bahwa ia tidak akan tunduk begitu saja.

Arthur terdiam, melihat Kasih dengan intensitas yang jarang terjadi. Beberapa detik kemudian, dia menanggapi, "Ternyata ada yang sudah tidak sabar ingin mencari mangsa lain."

Kasih tertawa sengaja, siasatnya untuk mengalihkan perhatian. "Iya. Aku adalah wanita pemburu monster."

Arthur mendadak bergairah, terpancing oleh ketegasan Kasih. Malam itu, Kasih begitu mempesona, dan ia tahu bahwa kekuatan dalam kelemahan wanita itu terkadang bisa membuat hati pria berdegup lebih cepat. Apa yang seharusnya ditakuti dan dihindari, Kasih justru mampu menghadapinya dengan keberanian yang luar biasa.

‘Gadis berusia lima belas tahun yang aku kenal dulu, kini berubah jadi wanita dewasa yang penuh pesona,’ batin Arthur.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status