Joan, manajer Bumantara Band duduk di sofa sambil memegangi kepalanya yang seperti akan pecah. Belum tuntas menyelesaikan skandal yang menimpa Tiffany dan Satria, kini Joan harus dihadapkan dengan pertikaian dua manusia itu.“Gue udah ada feeling sih kalau akhirnya bakalan ribut kayak gini.”Tiba-tiba suara Joan memecah keheningan studio. Ia pun membuyarkan lamunan Tiffany yang tengah tercenung di seberangnya.“Maksudnya?” tanya Tiffany dari kursi bulatnya.“Ya gue udah tau aja kalau si Lauren bakalan mancing-mancing. Dari sebelum lo sama Satria dateng ke sini juga dia emang udah ngedumel
“Lo kenapa sih, Jun? Malah cekikikan gitu,” ujar Tiffany keheranan. Juna memijiti pelipisnya sambil menumpu sikunya pada arm-rest mobil. Iamemalingkan wajah dari Kevin yang juga duduk di captain seat samping. Juna membuat Kevin begitu penasaran hingga solois itu terus menautkan lirikannya pada Juna. Matanya memicing seperti orang yang kesal. “Enggak apa-apa, Fan,” sahut Juna sambil terkekeh. “Terus, lo mau apa nelpon gue? Masih mau bahas soal obrolan tadi? Sumpah, Jun … gue nggak tau apa-apa lagi soal itu.”
Tiffany beranjak dan segera keluar dari ruangan produser dengan wajah yang muram. “Gue nggak maksa lo, Jun. Eum ... maksud gue, gue nggak maksa Kevin buat ngisi konten gue," keluh Tiffany yang masih melanjutkan teleponnya dengan Juna. "Sumpah, Jun. Gue sama sekali nggak berniat buat ngambil kesempatan atau apapun itu,” lirih Tiffany dengan suara yang bergetar menahan tangis. Ia benar-benar mencemaskan pertemuannya dengan Kevin. Meskipun beberapa hari yang lalu Kevin sudah melindunginya dari dua wanita paruh baya yang menghinanya, namun tetap saja Tiffany merasa enggan untuk berinteraksi dengan pria itu. “I—iya, tenang aja Fan, gue ngerti,” sahut Juna dengan canggung, sebab Kevin tidak mengizinkannya untuk mematikan fitur
Tiffany bangun lebih awal dari biasanya. Di atas kasurnya, wanita berambut hitam panjang bergelombang itu menatap layar ponselnya dengan cemas. Tidak jelas dengan apa yang dibacanya, yang di pikirannya saat ini hanyalah jawaban yang akan diberikan Juna atas undangannya. "Jun, plis jangan terima. Pliiiis!" ucap Tiffany sambil merintih. "Ya Tuhan ... Jangan lagi," keluhnya sambil menyeka air mata yang mulai menetes. "Ya Tuhan ...." Tiffany terus dibayang-bayangi oleh ketakutannya untuk bertemu dengan Kevin. Ia masih belum bisa menyingkirkan rasa enggannya kepada Kevin. Citra Kevin dalam benak dan hatinya seolah membusuk dan menjadi stigma yang negatif. Tiffany benar-benar tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika Juna sampai menerima undangannya itu. “Halah! Keluarga …. Shit!" umpatnya ketika mulai mengingat tema podcast yang akan dibawakannya nanti. "Apa yang harus aku bicarain soal keluarga?” keluh Tiffany sambil meringis kesal. Kali ini ia benar-benar terjebak dalam du
“Baik, Pak. Kalau begitu langsung saya kirim saja skripnya ke email Bapak, ya,” ujar Hasna dengan antusias di telepon. “Iya, saya tunggu,” balas Juna dengan respons yang berbanding terbalik. “Kalau begitu, selamat siang Pak, sekali lagi saya ucapkan terima kasih.” “Iya, selamat siang,” sahut Juna sebelum akhirnya panggilan itu berakhir. Juna menarik napasnya dalam-dalam sambil menyandarkan punggungnya pada jok mobil depan. “Kamu harus bersiap menanggung resikonya,” tandasnya pada Kevin yang kini tengah menahan rasa pusingnya di pilot seat. Reyhan yang duduk di samping Kevin hanya bisa terdiam menelan ludahnya setelah menyadari bahwa bosnya itu sedang menahan sakit. Namun, ia tidak bisa berkata apa-apa, sebab sejak tadi malam, Reyhan terjebak dalam situasi mencekam akibat perang dingin di antara Kevin dan Juna. “Minum, Vin?” lirih Reyhan yang segera ditolak oleh Kevin. Tut … tut … Juna melakukan panggilan pada nomor telepon Tiffany sambil menyalakan loudspeaker-nya. Ia masih in
Tiffany dengan gugup menatap dirinya sendiri di depan cermin rias yang ada di ruang tunggu studio Youtubenya. Dengan make-up natural, wajah orientalnya terlihat begitu cantik memesona bak aktris Korea Selatan yang kerap ia tonton di drama-drama. Rambut hitam panjangnya terurai dengan begitu indah, sedikit dibuat bergelombang lengkap dengan poni see through-nya. Ia memang benar-benar tampak seperti aktris dari Negeri Ginseng. “Sambil ngemil, Mbak,” ujar Jelita seraya meletakkan sejumlah makanan ringan di atas
“Ih, Teteh aja atuh,” ujar Yuna—kakak perempuan Dimas. Wanita yang sudah berkepala tiga itu menawarkan dirinya sendiri untuk menjadi manajer Tiffany sementara waktu. Dimas tercenung, berpikir sambil memiringkan kepalanya ke kanan. Apa jadinya kalau saudara perempuannya itu bekerja dengan Tiffany? Ya … Tiffany memang sudah begitu dekat dengan keluarganya Dimas, termasuk dengan Yuna. Mereka sering berbicara tentang banyak hal, dan terlihat begitu cocok untuk menjadi teman curhat. Akan tetapi, apakah hal itu akan berlaku dalam urusan pekerjaan? “Sibuk loh Teh, kalau jadi manajernya Fany.” Dimas mencoba membuat Yuna mengurungkan kesanggupannya. “Gapapa. Lagian kan sekarang Teteh lagi nggak ada
“Resign?” Satria bergumam setelah Joan memberinya informasi atas keluarnya Lauren dari pekerjaan yang selama bertahun-tahun telah dilakoninya. “Iya, sampai nangis-nangis tuh si Fany nelpon gue malem-malem.” Satria meregangkan tubuh sebelum ia merebahkan tubuhnya di sofa basecamp Bumantara Band. Sambil melihat langit-langit ruangan yang ditempeli stiker bintang-bintang oleh Tiffany, mulutnya beberapa kali mendesir. Pikirannya melayang pada masa-masa sekolah dulu, ketika ia dan Tiffany hanyut menikmati lika-liku hidup di kala kasmaran. “Syukurlah kalau gitu, gua nggak perlu capek-capek nguras emosi lagi buat nendang si Lauren. Dia terlalu toxic buat hubungan gua sama Fany,” ujar Satr