Share

Bunuh Diri

"Aku terima nikah dan kawinnya Rebeka Alzelia Yosie dengan mahar uang sebanyak dua ratus ribu rupiah dibayar tunai," ucapan lantang dengan sekali tarikan napas menggema di telinga Rebeka. 

Air mata Rebeka kian deras mengalir melewati pipinya. Dia tidak menyangka, mimpinya untuk menikah terwujud juga, tetapi bukan sama orang yang didamba oleh Rebeka untuk menjadi imamnya. 

"Sah!" suara para saksi pun kini terdengar bak panduan suara.

Hancur bersama penyesalan. Itulah kini yang menghiasi hati Rebeka. Apalagi, sejak tadi dia selalu mengedarkan pandangannya, tetapi kakak tercinta yang biasa selalu ada ketika suka dan duka Rebeka, kali ini tidak menampakkan batang hidungnya untuk menyaksikan betapa rapuhnya Rebeka saat ini.

"Kak, begitu besarkah rasa bencimu padaku saat ini? Aku butuh kamu untuk bersandar mencurahkan segala kehancuranku dan memelukmu untuk sedikit membalut lukaku. Kenapa kamu tidak ada di sampingku ketika badai menghantamku hingga hancur?" Rebeka membatin dalam isakan tangisnya yang begitu pilu.

"Aku butuh kamu, Kak," lirih Rebeka yang kini bersuara dengan pelannya.

 Lamunan Rebeka tersentak ketika pria yang baru saja melantunkan ijab kabul untuknya, menyikut lengan Rebeka. Reflek Rebeka menoleh ke arahnya dan menatap bengis ke arah pria itu.

"Ini, tanda tanganilah." Dia menyodorkan sebuah buku kecil kepada Rebeka dengan posisi telah terbuka.

Rebeka diam sejenak. Tatapannya nanar, ingin rasanya dia mencabik dua buah buku yang ada di hadapannya hingga tak berbentuk. Namun, di sisi lain Rebeka juga tidak mau mempermalukan orang tuanya yang sangat terpandang. Apalagi di sana juga ada teman-teman sosialita mamanya yang senang bergibah.

"Ayo tanda tangan," bisik Defza yang membuat Rebeka muak.

Defza adalah pria yang tidak dikenal asal-usulnya oleh Rebeka. Dia baru saja magang di perusahaan papa Rebeka beberapa minggu lalu, tetapi kini telah menjelma menjadi suami sah untuk Rebeka. Dari postur tubuh, dia memang begitu gagah. Tampang dan rupa Defza juga tidak kalah saing dari Zidan. Akan tetapi, caranya datang ke dalam kehidupan Rebeka sangat salah besar. Dia menghancurkan mimpi yang telah lama Rebeka ukir, dan kehadirannya juga memberi luka teramat dalam untuk Rebeka.

Dengan tangan yang terasa berat digerakkan, Rebeka mengambil pulpen yang sudah ada di atas meja di hadapannya. Tanpa berucap sepatah kata pun, Rebeka mencoretkan tinta hitam ke atas buku kecil sebagai lambang pernikahannya dengan lelaki di sampingnya sudah sah secara agama dan hukum.

Air mata Rebeka kembali berderai. Dia benar-benar tidak berdaya menghadapi kenyataan yang saat ini datang menyapanya. Sekelebat bayangan Alina menyeruak di memori Rebeka. Andai saja Alina ada di sampingnya saat ini, sudah pasti Rebeka akan memeluk erat kakaknya itu dan mencurahkan segala gemuruh yang tertahan di dadanya. Ingin rasanya Rebeka menangis sejadi-jadinya di pelukan sang kakak. Akan tetapi, apa boleh buat. Tempat berpijak dan bersandar Rebeka selama ini telah dihancurkan pula oleh sebuah kekecewaan yang melandanya.

"Kak, peluk aku. Aku butuh kamu!" batin Rebeka berteriak histeris. Air matanya mengucur bak mata air yang tiada henti.

Menit berlalu, jam pun berganti. Siang telah menghampiri senja. Kini tinggallah keluarga inti Rebeka saja. Semua tamu sudah pada pulang dan tidak seorang pun yang masih tertinggal di sana. Mata Rebeka begitu merah dengan daging sekitarnya yang telah membengkak. Dia meringkuk dalam tangis yang tiada henti. Isakannya begitu pilu, menyayat hati orang yang dari tadi mengintip Rebeka dari balik pintu kamar di mana Rebeka berada.

"Sudah, jangan menangis lagi! Ini semua terjadi juga karena ulahmu. Jangan terus-terusan merasa tersakiti di dalam kondisi ini. Mama juga lebih sakit dan kecewa mendapati kenyataan yang harus diterima," bentak mama Rebeka yang entah sejak kapan berada di samping Rebeka.

Rebeka hanya diam. Hanya isakan tangisnya yang kian menjadi. Isakan tangis yang seakan melayangkan protes pada apa yang disampaikan wanita paruh baya di sampingnya. Putus asa memporak porandakan jiwa Rebeka. Dalam tangisnya terlintas ingin bunuh diri ketika nanti dia sudah sendirian.

"Hampir saja kamu menodai nama keluarga kita yang terpandang dengan batalnya pernikahanmu. Untung saja papamu tahu siapa pria yang menjadi gigolomu untuk mengkhianati Zidan. Kamu juga tidak memikirkan mama yang akan menjadi bahan gibahan teman-teman sosialita mama, karena mempunyai anak murahan sepertimu. Sudah jelas ada tunangan yang baik budi pekertinya dan juga sudah mau menikah mengarungi rumah tangga bersama Zidan, masih saja tidur dengan pria lain," bukannya mendapatkan support, Rebeka malah menerima cacian dari sang Mama. 

Lengkap sudah tusukan menyayat hati Rebeka. Keputusannya untuk bunuh diri pun makin bulat. Tidak ada lagi harapan dan pertimbangan untuk Rebeka bertahan hidup. Semua seakan sudah menjadi semu dan tidak akan bisa lagi ada cinta dalam hidupnya. Kini tangis Rebeka tak terdengar lagi. Dia pun bangkit dan menghapus air matanya. Dengan tatapan yang sulit diartikan, Rebeka menatap mamanya dengan saksama. Sedangkan wanita paruh baya yang ditatap Rebeka mendengus sinis dan seolah sedang mengejek Rebeka.

"Terima kasih, Ma," ucapan pertama yang keluar dari mulut Rebeka dan berhasil membuat wanita di depannya menarik sebelah ujung bibirnya ke atas membentuk senyuman yang melecehkan.

"Terima kasih untuk mama yang telah berhasil kamu permalukan?" Sebelah alis wanita paruh baya itu terangkat dengan sorot mata menyampaikan kemarahan.

Wanita paruh baya yang bernama Anita Lenarti Kusuma itu melayangkan sindiran kepada Rebeka. Dia seolah masih belum bisa mencampakkan rasa kecewa yang diberikan Rebeka padanya.

"Terima kasih, Ma. Terima kasih telah menjadi mama untukku. Terima kasih telah membesarkan aku, dan terima kasih atas waktunya selama ini. Semoga ke depannya Mama akan bahagia," Rebeka berbicara lembut tanpa ada lagi air mata yang menemaninya. 

Tenang saat berbicara. Namun, raut kesedihan tidak bisa terusir dari air muka Rebeka. Dia bisa saja terlihat biasa-biasa saja, tetapi sorot matanya tidak bisa berbohong dengan keadaan yang ada. Mamanya bisa melihat itu, tetapi dia seolah mengabaikan pandangan di depan mata. Dia masih saja ingin melayangkan kata-kata yang terus mengusik hati Rebeka untuk terus larut dalam kesedihan.

"Terima kasih juga karena pengorbananku itu kamu balas tunai. Kamu telah berhasil membuat aku kecewa! Kamu anak yang tidak tahu di untung!" balas Anita yang langsung mengunci mulut Rebeka untuk lanjut berbicara.

"Maaf, Ma," hanya itu yang bisa Rebeka sampaikan. Tiada kata lagi yang bisa dia rangkai selain kata Maaf untuk menebus hinaan dari mamanya.

Anita pergi keluar kamar meninggalkan Rebeka yang masih diam mematung. Sekian menit setelah mamanya pergi dari kamar itu, rebeka segera mencari cara bagaimana dia bisa menghilang dari dunia ini. Rebeka ingin mengakhiri yang terjadi hari ini dengan melenyapkan nyawanya sendiri. Rebeka membuka laci dan mengobrak-abrik tempat make up-nya, tetapi tidak ada satu pun barang yang bisa dia gunakan sebagai alat. Kini Rebeka beralih ke lemari pakaiannya, dengan cekatan membuka lemari itu dan langsung saja matanya berbinar ketika netranya menangkap potret syal yang berada di dalam sana.

Rebeka mengambil syal itu dan menatapnya nanar. "Ini dia. Semoga setelah ini tidak ada lagi kesedihan dan kekecewaan pada orang-orang sekitarku."

Tanpa menunda waktu, Rebeka langsung melilit erat lehernya dengan syal miliknya. Rebeka menarik kedua sisi ujung syal yang bagian tengahnya telah melilit leher Rebeka. Kini kerongkongan Rebeka terasa tercekat dan oksigen yang masuk ke paru-parunya terasa berkurang. Sesekali Rebeka terbatuk, tetapi kesadarannya masih utuh. Walau oksigen sudah terasa mulai berkurang, tetapi Rebeka tidak melepaskan tarikannya di ujung syal yang telah menyumbat oksigen masuk ke dalam saluran pernapasannya. Rebeka terus mengencangkan tarikan ujung syal itu, berharap oksigen di tubuhnya cepat habis.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status