"Lepas! Saya tidak mau!”
Rara terus meronta karena ajudan-ajudan suruhan Tuan Corner yang tiba-tiba datang dan menjemputnya. Sayang, tenaganya yang kecil itu bukan lawan seimbang bagi pria-pria itu. Begitu pula dengan bibinya yang hanya terdiam menyaksikannya dibawa pulang paksa, membuat Rara tidak lagi punya harapan hanya tangis dan mengiba yang bisa dia lakukan berharap para ajudan Raymond berbaik hati dan melepaskannya meski itu tidak mungkin.
Sementara itu, di ruang kerjanya, Raymond menunggu dengan amarah yang meluap. Baru kali ini ada orang yang membangkang terhadapnya. Terlebih dia adalah seorang gadis kecil.
Pria dominan itu bahkan sudah menyiapkan hukuman yang pantas Rara terima. Tak berapa lama, samar-samar Raymond mendengar suara seorang wanita yang tengah memberontak.
“Saya takut, Tuan. Tolong, lepaskan saya.”
Itu adalah suara Rara yang masih mencoba meloloskan diri. Sayangnya, asisten Raymond tidak mungkin membantah perintah atasan. Pria itu terus membawa Rara menuju ruang kerja bosnya.
Tok tok tok.
Raymon berseru mendengar ketukan pintu. “Masuk!”
Asisten Raymond yang ditugaskan untuk menjemput Rara memasuki ruangan itu. Tanpa banyak bicara, asisten tersebut meninggalkan ruangan usai wanita incaran bosnya berhasil masuk.
Baru selangkah masuk, Rara sudah merasakan hawa yang tidak enak. Cara pandang Raymond yang begitu tajam membuatnya seperti berpindah alam. Hawa dingin yang menusuk membuatnya tidak sanggup melangkahkan kaki lagi.
"Mendekatlah!" Rara yang sangat ketakutan hanya memaku di ambang pintu. Dia tahu, pria arogan itu pasti ingin memberikannya pelajaran. "Aku bilang mendekat."
Ketakutan yang begitu besar dirasakan Rara, hingga membuat dirinya akhirnya menangis.
Di hadapannya, Raymond berdecak. Kesabarannya benar-benar diuji oleh gadis kecil itu.
Dengan rahang yang mengeras Raymond beranjak dari tempat duduknya lalu menyeret Rara dan melemparnya ke sofa.
Suara rendah dan dingin itu terdengar begitu menusuk di telinga Rara. "Aku harus menggunakan bahasa apa supaya kamu mengerti dengan ucapanku?"
“Ampuni saya, Tuan. Maafkan saya.” Dalam posisinya yang meringkuk karena tidak berani bergerak di atas sofa, Rara kembali mengiba.
Pria itu mendengus. "Kelihatannya bicara denganmu harus dengan cara seperti ini." Kemudian melepas dan melemparkan jas yang dikenakannya. Kemarahan membuat suhu tubuhnya meningkat drastis.
“Apa peringatanku tidak membuatmu takut?” Raymond dengan gerakan seduketifnya mulai membuka resleting celana yang dia kenakan. Di hadapannya, Rara tengah meringis, membayangkan siksaan itu akan kembali terulang. “Aku tidak peduli kamu menangis, karena tiap kesalahan selalu ada hukumannya.”
Kemudian, seperti yang sudah bisa ditebak, pergerumulan itu kembali terjadi. Pria dengan amarah itu memasuki Rara dengan kasar, jauh lebih kasar dari semalam.
Tangisan Rara yang tidak dipedulikan itu perlahan berubah menjadi erangan-erangan yang coba wanita itu tahan. Dia benci, tubuhnya telah berkhianat dan mulai menikmati perbuatan Raymond atas dirinya.
Setelah berhasil mendapatkan pelepasan, Raymond beranjak, kembali menuju kursi singgasananya. Pria itu menyulut rokok, salah satu kebiasaannya untuk meredakan amarah—selain bercinta.
"Kabur lagi, tak hanya dirimu yang kena akibatnya, tapi semua keluarga pamanmu juga akan merasakan akibatnya." Raymond menatap sang wanita yang tangisnya tak kunjung reda itu. Di dasar hatinya, pria itu mulai merasa iba. "Kembalilah ke kamar. Bersihkan dirimu dan istirahatlah.”
Tak ingin membuat Raymond marah lagi, Rara segera beranjak. Dia kembali ke kamar dan membersihkan diri. Lagi-lagi, di bawah guyuran air dia menangis hebat.
Pengkhianatan dirinya, ketidakkuasaan dirinya keluar dari takdir menyedihkan ini perlahan membuat Rara berpikir … apakah sebaiknya dia pasrah saja? Kejadian hari ini sudah membuktikan banyak hal. Raymond begitu berkuasa, sementara dirinya begitu lemah. Terus membangkang pada pria itu malah akan menyusahkan dirinya sendiri.
"Mungkin sudah seperti ini nasibku," gumamnya.
Setelah mandi, Rara berbaring meringkuk di sofa. Lelah berlari ditambah mendapatkan serangan dari Raymond membuatnya tak bisa melawan rasa kantuk hingga akhirnya dia terlelap dalam rasa sakit.
Hanya dalam tidur Rara merasa bebas tanpa ada Raymond di sekelilingnya. Dan dalam mimpi pula dia bisa menjadi dirinya seperti yang dulu.
Beberapa saat setelah Rara tidur, Raymond menyusul gadis itu. Tak sengaja netranya melihat Rara yang tengah tertidur lelap, dia pun mendekat dan menatap wajah Rara sesaat.
"Semua wanita yang menjadi penghiburku tidak ada satu pun yang membangkang."
Raymond yang lelah juga berbaring di tempat tidurnya.
**
Tak terasa, malam telah datang. Rara yang merasa lapar mencoba keluar untuk mencari makan di dapur. Namun, saat membuka pintu, sudah ada orang yang berjaga di depan kamar.
"Mohon maaf Nona anda tidak bisa keluar dari kamar tanpa ada perintah dari Tuan Raymond.”
"Saya hanya ingin ke dapur. Saya haus dan lapar."
"Mohon tunggu di kamar, saya akan memerintahkan pelayan agar membawa makanan untuk anda."
Rara mengembuskan napas panjang. Tak ingin membuat masalah lagi, Rara menurut ucapan pengawal dengan kembali masuk ke dalam kamar sambil menunggu makanan.
Bosan berada dalam kamar, dia mencoba melihat sekeliling. Barang kali, ada hal yang bisa dia jadikan mainan untuk mengusir kesendiriannya. Di sudut kamar, netranya tak sengaja menangkap buku-buku Raymond yang tertata rapi di rak buku.
Kakinya berjalan mendekat dan melihat setiap buku tersebut.
Dia mengembuskan napas panjang lagi. Ketertarikannya menyusut saat melihat jenis buku yang dikoleksi Raymond. "Semua buku tentang bisnis."
Rara merupakan lulusan terbaik di angkatannya. Dia yang berasal dari jurusan IPA memiliki cita-cita ingin menjadi seorang dokter. Dia ingin bermanfaat untuk orang lain, terutama bagi orang miskin, seperti dirinya.
Dulu orang tuanya meninggal karena tidak mendapatkan perawatan medis. Sakit yang diderita kedua orang tuanya menurut dokter adalah penyakit orang kaya, yang biaya pengobatannya memerlukan banyak uang.
Kartu sehat gratis dari pemerintah yang dimiliki tidak bisa mengkaver semua pengobatan itu, hingga akhirnya kedua orang tua Rara meninggal.
Tidak menemukan buku yang cocok, Rara ingin kembali ke sofa. Namun, matanya kini tertuju pada buku yang bersampul seorang wanita dan pria. Buku karangan penulis Jane Austin itu diambilnya untuk dibawa ke sofa.
Rara begitu fokus membaca novel tersebut, hingga tak sadar jika ada dua pasang mata yang menatapnya.
"Siapa yang mengijinkan kamu membaca bukuku!" Suara bariton Raymond membuat Rara terkejut lalu meletakkan buku yang dia baca.
"Maafkan kelancangan saya, Tuan karena mengambil buku anda tanpa izin.” Nada suaranya lagi-lagi bergetar karena takut.
Rara segera meletakkan kembali buku yang dia baca ke tempat semula. Dia benar-benar tidak ingin membuat Raymond marah.
"Tuan sudah saya kembalikan." Dia sungguh takut tuannya itu marah karena keteledorannya.
Raymond menanggapi ucapan Rara dengan berdehem, dan ini membuat Rara terus menatapnya.
Kerutan di dahi Rara bermunculan. ‘Aneh. Dia … tidak marah?’
"Kenapa kamu terus menatapku? Tertarik?" tanya Raymond dengan pandangan yang tak lepas dari ponselnya.
Mata Rara membulat, karena pria itu tahu dia sedang ditatap padahal Raymond tengah fokus pada ponselnya. "Ti-ti dak Tuan."
Bersamaan terdengar suara ketukan dari luar. Rara segera beranjak untuk membuka pintu. Tampak beberapa pelayan datang dengan membawa makanan.
"Maafkan kami Nona telah membuat anda menunggu lama karena ada kendala di dapur."
"Tidak apa-apa." Rara membalik tubuhnya sebelum mengizinkan pelayan masuk. “Tuan, saya tadi lapar. Di luar ada pelayan membawakan makanan untuk saya," lapor Rara.
"Lalu?" tanya Raymond masih dengan pandangan yang tak lepas dari ponselnya.
"Boleh saya makan?"
Lagi-lagi Raymond hanya berdehem menanggapi pertanyaan Rara.
Seusai mendapatkan izin dari Raymond, Rara segera mempersilakan pelayan masuk untuk meletakkan makanannya.
Dia yang sudah sangat lapar segera memakan satu persatu makanan yang ada di piring tanpa menawari Raymond terlebih dahulu. Tak terasa, semua makanan yang dibawakan pelayan tandas tak bersisa.
Rara bersendawa dengan keras karena perutnya sangat kenyang. Raymond yang sedari tadi memperhatikan Rara makan pun berkomentar pedas.
"Dasar sapi!"
Pernikahan Reyhan dan Tessa sudah ditentukan, mereka rencananya akan menggelar pernikahan mereka di salah Hotel milik Raymond. Awalnya mereka akan menggelar pernikahan di salah satu tempat ibadah tapi Rara mendesak mereka untuk menggelar pernikahan di hotel suaminya. "Semua gratis Pak Rey, aku yang akan mengatur semuanya." "Bukan masalah gratis apa nggak Ra, tapi aku tidak mau merepotkan kamu dan Tuan Raymond." Rara tetap bersikeras dengan keputusannya, semua dia lakukan itung-itung balas budi atas pengorbanan Reyhan dulu, itu pun tidak sebanding dengan pengorbanan Reyhan terhadapnya. "Baiklah Ra, tapi hanya hotelnya saja untuk biaya lainnya biar aku yang menanganinya." Rara menggeleng keras, dia hanya ingin Reyhan dan Tessa terima beres. Dokter itu hanya bisa pasrah menerima keputusan dari mantan juniornya meski dia sangat tidak enak. Rara sangat bahagia melihat Reyhan dan Tessa akan menikah, oleh karenanya dia ingin turut andil mengurus pernikahan pria itu, dia melakukan in
Melihat Rara yang bisa tersenyum kembali membuatnya Nyonya Richard bahagia, dia berharap rumah tangga anaknya tidak lagi diterpa masalah, seorang ibu mana yang tega melihat anaknya menitikkan air mata."Aku titipkan anakku kepadamu bukan untuk disakiti Raymond tapi untuk dibahagiakan."Ucapan Nyonya Richard membuat Raymond mengangguk, dia paham jika kesalahannya begitu besar."Semampu dan sebisaku aku akan membahagiakan Rara, Ma," sahutnya.Tak terasa seminggu sudah berlalu, Raymond tetap tinggal di negara Jerman sedangkan David sudah harus kembali terlebih dahulu mengingat perusahaan tidak ada yang menghindle.Berbicara lah Raymond kepada Rara terkait keinginannya untuk segera kembali ke tanah air dia tidak bisa terlalu lama meninggalkan perusahaannya."Sayang bolehkah aku kembali ke tanah air? perusahaan sudah lama terlalu lama aku tinggal." Raymond sedikit takut meminta hal itu kepada sang istri, dia takut jika Rara marah.Bukannya marah Rara malah tersenyum sembari menatap suaminy
"Ma malam ini kami tidur bersama mama dan Papa ya."Permintaan bocah kecil itu membuat Rara sedikit terkejut, mengingat dirinya dan Raymond untuk sementara waktu tidur di kamar yang terpisah.Shane juga ikut-ikutan sama seperti Kania, dia merengek supaya mamanya mengijinkan mereka untuk tidur bersama."Baiklah." Rara pun pasrah.Raymond tersenyum setidaknya malam ini dia bisa tidur satu kamar dengan sang istri.Semalaman Raymond dibuat sibuk oleh kedua buah hatinya kedua anak itu terus ingin ditemenin Raymond bermain.Mereka main tebak-tebakan nama buah dan juga nama hewan, Shane yang masih belum paham tentang nama-nama binatang dan buah sedikit membuatnya selalu kalah dan sebagai hukumannya dia harus mencium Kakak dan Papanya.Melihat keseruan suami dan anaknya Rara hanya bisa menggelengkan kepala, sebenarnya dia juga ingin turut bergabung namun egonya masih tinggi.Setelah bermain kedua bocah kecil itu terkapar tak berdaya, Rara yang sudah mengantuk segera menyusul ke tempat tidur.
Beberapa episode terakhirRaymond mengirimkan laporan pembatalan kerja sama dengan Fera kepada Rara, dia ingin istrinya percaya kalau dia dan Fera benar-benar tidak ada hubungan apa-apa.Setelah foto bukti pembatalan itu dikirim Rara tak kunjung melihat pesan yang dia kirim, hal ini membuat Raymond nampak gusar dia ingin menghubungi istrinya tapi takut jika sang istri marah.Pria itu hanya bisa mengusap rambutnya dengan kasar tak tahu harus bagaimana lagi untuk merayu sang istri.Di sisi lain Rara sudah melihat foto itu, dia pun tersenyum tapi dia masih belum mau memaafkan suaminya, hal yang dilakukan Raymond kali ini masih belum cukup untuk menebus kesalahannya selama ini."Sayang kenapa tidak dibalas?" Akhirnya Raymond mengirim pesan lagi kepada sang istri.Kali ini Rara hanya membaca pesannya tanpa mau menjawab pesan yang dia kirim."Masih belum bisakah kamu memaafkanku aku sayang?" Raymond mengirim pesan kembali.Rara hanya menulis satu kata yaitu belum hal ini membuat Raymond ke
Nyonya Richard terus memantau Fera, dia sangat murka setelah tahu Fera merencanakan hal buruk kepada Raymond.Menantunya yang saat ini tidak tenang karena masalahnya dengan Rara jadi kurang fokus. Dia tidak menyadari jika Fera tengah merencanakan hal untuk menjebak Raymond."Kelihatannya dia cukup meresahkan." Nyonya Richard ingin anak buahnya segera bertindak."Kita jebak balik saja Nyonya," sahut asistennya.Senyuman tersungging di bibir wanita itu, wanita yang ingin menghancurkan anaknya harus mendapatkan balasan yang setimpal.Fera malam itu meminta Raymond untuk bertemu di rumahnya, dia berbohong jika dirinya kurang enak badan.Awalnya Raymond enggan tapi Fera bilang jika urusan dengan mantan kliennya harus segera diselesaikan agar dia bisa mendapatkan klien yang lain.Fera meminta pelayan untuk menyiapkan minuman, di dalam minuman itu dia memasukkan obat tidur."Malam ini kamu akan menjadi milikku Ray, dan foto-foto kamu bersamaku akan aku kirim pada istri kamu yang bodoh itu!"
"Aku pulang sayang." Raymond berpamitan pada Rara.Melihat suaminya hendak kembali ke tanah air membuat Rara sedih tapi dia tidak ingin terlihat lemah di hadapan Raymond.Melihat ekspresi Rara yang nampak biasa membuat Raymond sedih. "Sayang apa kamu masih marah?"Rara tidak menjawab pertanyaan sang suami, tatapan yang tajam membuat Raymond yakin jika istrinya masih belum mau memaafkannya."Sayang aku mohon." Pria itu terus memohon."Aku ingin melihat kesungguhan kamu Mas! karena jika aku dengan mudah memaafkan kamu maka kamu akan mengulanginya lagi."Pria yang biasanya berkuasa kini menunduk lemah di hadapan istrinya. "Baiklah Sayang." Dia pasrah.Ketika semua berkumpul untuk mengantar kepulangan Raymond dan David di depan, Rara berpura-pura jika tidak ada apa-apa, dia senyum semanis mungkin bahkan dia mencium tangan sang suami."Hati-hati ya Mas, cepat kesini lagi," katanya.Raymond melongo menatap sang istri, andai ini tidak sandiwara pasti dia akan senang."Tuan David titip Mas Ra