“Aww!”
Rara membuka matanya di pagi hari. Dia mengerang kesakitan saat berusaha bangun dari tidur. Semalam, Raymond benar-benar menghajarnya habis-habisan. Melihat pria yang kini masih tertidur di ranjang dengan wajah tenang, air mata Rara kembali mencuat. Perasaannya berkecamuk tak karuan.
Dia merasa tubuhnya kotor dan tidak lagi berdaya. Satu-satunya harta yang seharusnya dia jaga telah direnggut Raymond dengan paksa tanpa rasa simpati.
Dengan tertatih, Rara memaksakan diri menuju kamar mandi. Dia ingin membersihkan diri dari bau percintaan paksa semalam. Dia menggosok tubuhnya dengan kasar di bawah guyuran air, dan tangisnya yang tidak kunjung reda. Jejak-jejak kemerahan di tubuhnya, tanda yang diberikan Raymond benar-benar menyeramkan dan benar-benar membuatnya jijik.
Usai kembali segar, meski masih merasa marah dan sedih, Rara kembali memasuki kamar dengan kimono handuk yang disediakan di kamar mandi. Betapa terkejutnya dia, mendengar Raymond berujar dingin.
"Siapa yang menyuruhmu memakai handukku?"
Rara menunduk. Baju yang dia pakai semalam sobek karena keganasan Raymond. "Maafkan saya Tuan, tapi baju saya sobek," jawabnya dengan pelan.
Tanpa banyak bicara, Raymond beranjak dari ranjang dan menghilang ke area wardrobe.
"Pakai ini." Dia melemparkan sebuah kemeja miliknya pada Rara yang langsung dipungut oleh wanita itu tanpa banyak melawan.
Usai kemeja itu terpasang, Rara mengembalikan handuk yang dia pakai ke tempat semula. “Terima kasih, Tuan.”
"Buang saja. Aku tidak menggunakan barang bekas orang lain."
Rara kembali dibuat sakit hati oleh pria itu. Sekotor apakah dirinya, hingga Raymond enggan memakai handuk yang hanya dia gunakan untuk menutupi tubuhnya sebentar?
Namun, Rara tidak punya tenaga untuk menyahut. Dia memilih untuk menuruti ucapan Raymond, membuang handuk yang masih layak guna itu ke tong sampah.
Melihat Raymond yang hendak memasuki kamar mandi, Rara memberanikan diri bersuara. "Tuan apa boleh saya pergi ke rumah Bibi untuk ambil baju?”
Bukannya jawaban yang Rara dapatkan, melainkan tatapan maut dari Raymond yang seketika membuat Rara menunduk ketakutan.
Namun, Rara tidak tinggal diam. Dia memang tidak lagi mendebat Raymond, tetapi otak cerdiknya terus memikirkan cara agar bisa cepat keluar dari neraka ini.
Maka, usai sarapan dirinya berhasil mengelabui para pelayan dan penjaga yang stand by di dekatnya sedari tadi, Rara berlari sekencang dan secepat mungkin menjauhi rumah Raymond.
Tanpa uang sepeser pun, Rara terus berlari menuju rumah bibinya. Dia ingin meminta penjelasan pada bibinya tentang semua ini.
“Kamu kabur dari rumah Tuan Corner?!”
Bibi Rara menyambutnya dengan pandangan marah. Wanita paruh baya itu bahkan berkacak pinggang melihat Rara yang masih ngos-ngosan usai perjalanan cukup melelahkan. Dia terkejut karena Rara bisa melarikan diri dari rumah Tuan Corner.
"Bi, jawab Rara! Kenapa Bibi menjual Rara?"
Suara Rara bergetar. Perasaan marah, kecewa, juga sakit hati mengingat kejadian mengerikan yang semalam dia lewati tiba-tiba kembali menghampiri.
"Kamu masih tanya?” Matanya menatap sinis dan rendah ke arah Rara. “Kamu di sini hanya menambah beban. Lagian, bukankah enak bisa hidup di rumah mewah?”
Air mata Rara jatuh tak tertahankan. Tidak dia sangka, bibinya begitu tega menjual dirinya yang ternyata dianggap beban.
“Aku bisa bekerja apa saja untuk membantu keluarga Bibi. Kenapa Bibi tega sekali?” Dia kemudian beralih menatap pamannya, yang sedari tadi terdiam.
Berbeda dengan bibinya, Paman Rara itu menunjukkan raut bersalahnya. Penyakit stroke yang menyerangnya, membuat pamannya itu tidak berdaya. Jangankan untuk bergerak, untuk berbicara pun sulit dilakukannya.
“Kamu pikir, berapa gajimu kalau kerja dengan ijazah SMA?” kata Bibi Rara tajam. “Sudahlah, kamu syukuri saja nasibmu yang baru. Masih untung aku pilih Tuan Corner, bukan aki-aki bau tanah!” Bibi Rara berjalan mendekati keponakannya. Dia mendorong Rara, tidak ingin terlibat dan berurusan lagi dengan Tuan Corner yang begitu berkuasa itu. “Aku sudah pontang-panting urusin pamanmu yang penyakitan, nggak ada lagi waktu urusin kamu di sini. Sekarang, mending kamu kembali ke Tuan Corner!”
Saat Rara kembali terusir oleh bibinya sendiri, Tuan Corner yang sekarang berada di kantor tengah dibuat geram oleh laporan sang asisten. Kabar Rara yang berhasil kabur dari selusin penjaga di rumah, membuat dia berang. Bagaimana mungkin gadis kecil itu mengelabui orang-orang yang dia pekerjakan?
‘Sial! Dasar gadis pembangkang!’ Raymond mengumpat dalam diam. Rahangnya mengeras usai mendapat laporan dari orang rumah. "Batalkan semua meeting, kita pulang sekarang.”
Sesampainya di rumah Raymond menghajar semua pengawal karena keteledoran mereka.
"Dasar bodoh, menjaga satu wanita saja tidak becus!" Satu per satu penjaga, juga pelayan di rumah bergantian mendapatkan tamparan darinya. Pria itu mengendurkan dasinya dengan kasar. Dia menatap asisten pribadinya, satu-satunya orang yang bisa dia andalkan. “Pecat mereka semua dan cari wanita itu. Bawa dia kembali dalam waktu satu jam, atau kamu juga akan kupecat!”
Pernikahan Reyhan dan Tessa sudah ditentukan, mereka rencananya akan menggelar pernikahan mereka di salah Hotel milik Raymond. Awalnya mereka akan menggelar pernikahan di salah satu tempat ibadah tapi Rara mendesak mereka untuk menggelar pernikahan di hotel suaminya. "Semua gratis Pak Rey, aku yang akan mengatur semuanya." "Bukan masalah gratis apa nggak Ra, tapi aku tidak mau merepotkan kamu dan Tuan Raymond." Rara tetap bersikeras dengan keputusannya, semua dia lakukan itung-itung balas budi atas pengorbanan Reyhan dulu, itu pun tidak sebanding dengan pengorbanan Reyhan terhadapnya. "Baiklah Ra, tapi hanya hotelnya saja untuk biaya lainnya biar aku yang menanganinya." Rara menggeleng keras, dia hanya ingin Reyhan dan Tessa terima beres. Dokter itu hanya bisa pasrah menerima keputusan dari mantan juniornya meski dia sangat tidak enak. Rara sangat bahagia melihat Reyhan dan Tessa akan menikah, oleh karenanya dia ingin turut andil mengurus pernikahan pria itu, dia melakukan in
Melihat Rara yang bisa tersenyum kembali membuatnya Nyonya Richard bahagia, dia berharap rumah tangga anaknya tidak lagi diterpa masalah, seorang ibu mana yang tega melihat anaknya menitikkan air mata."Aku titipkan anakku kepadamu bukan untuk disakiti Raymond tapi untuk dibahagiakan."Ucapan Nyonya Richard membuat Raymond mengangguk, dia paham jika kesalahannya begitu besar."Semampu dan sebisaku aku akan membahagiakan Rara, Ma," sahutnya.Tak terasa seminggu sudah berlalu, Raymond tetap tinggal di negara Jerman sedangkan David sudah harus kembali terlebih dahulu mengingat perusahaan tidak ada yang menghindle.Berbicara lah Raymond kepada Rara terkait keinginannya untuk segera kembali ke tanah air dia tidak bisa terlalu lama meninggalkan perusahaannya."Sayang bolehkah aku kembali ke tanah air? perusahaan sudah lama terlalu lama aku tinggal." Raymond sedikit takut meminta hal itu kepada sang istri, dia takut jika Rara marah.Bukannya marah Rara malah tersenyum sembari menatap suaminy
"Ma malam ini kami tidur bersama mama dan Papa ya."Permintaan bocah kecil itu membuat Rara sedikit terkejut, mengingat dirinya dan Raymond untuk sementara waktu tidur di kamar yang terpisah.Shane juga ikut-ikutan sama seperti Kania, dia merengek supaya mamanya mengijinkan mereka untuk tidur bersama."Baiklah." Rara pun pasrah.Raymond tersenyum setidaknya malam ini dia bisa tidur satu kamar dengan sang istri.Semalaman Raymond dibuat sibuk oleh kedua buah hatinya kedua anak itu terus ingin ditemenin Raymond bermain.Mereka main tebak-tebakan nama buah dan juga nama hewan, Shane yang masih belum paham tentang nama-nama binatang dan buah sedikit membuatnya selalu kalah dan sebagai hukumannya dia harus mencium Kakak dan Papanya.Melihat keseruan suami dan anaknya Rara hanya bisa menggelengkan kepala, sebenarnya dia juga ingin turut bergabung namun egonya masih tinggi.Setelah bermain kedua bocah kecil itu terkapar tak berdaya, Rara yang sudah mengantuk segera menyusul ke tempat tidur.
Beberapa episode terakhirRaymond mengirimkan laporan pembatalan kerja sama dengan Fera kepada Rara, dia ingin istrinya percaya kalau dia dan Fera benar-benar tidak ada hubungan apa-apa.Setelah foto bukti pembatalan itu dikirim Rara tak kunjung melihat pesan yang dia kirim, hal ini membuat Raymond nampak gusar dia ingin menghubungi istrinya tapi takut jika sang istri marah.Pria itu hanya bisa mengusap rambutnya dengan kasar tak tahu harus bagaimana lagi untuk merayu sang istri.Di sisi lain Rara sudah melihat foto itu, dia pun tersenyum tapi dia masih belum mau memaafkan suaminya, hal yang dilakukan Raymond kali ini masih belum cukup untuk menebus kesalahannya selama ini."Sayang kenapa tidak dibalas?" Akhirnya Raymond mengirim pesan lagi kepada sang istri.Kali ini Rara hanya membaca pesannya tanpa mau menjawab pesan yang dia kirim."Masih belum bisakah kamu memaafkanku aku sayang?" Raymond mengirim pesan kembali.Rara hanya menulis satu kata yaitu belum hal ini membuat Raymond ke
Nyonya Richard terus memantau Fera, dia sangat murka setelah tahu Fera merencanakan hal buruk kepada Raymond.Menantunya yang saat ini tidak tenang karena masalahnya dengan Rara jadi kurang fokus. Dia tidak menyadari jika Fera tengah merencanakan hal untuk menjebak Raymond."Kelihatannya dia cukup meresahkan." Nyonya Richard ingin anak buahnya segera bertindak."Kita jebak balik saja Nyonya," sahut asistennya.Senyuman tersungging di bibir wanita itu, wanita yang ingin menghancurkan anaknya harus mendapatkan balasan yang setimpal.Fera malam itu meminta Raymond untuk bertemu di rumahnya, dia berbohong jika dirinya kurang enak badan.Awalnya Raymond enggan tapi Fera bilang jika urusan dengan mantan kliennya harus segera diselesaikan agar dia bisa mendapatkan klien yang lain.Fera meminta pelayan untuk menyiapkan minuman, di dalam minuman itu dia memasukkan obat tidur."Malam ini kamu akan menjadi milikku Ray, dan foto-foto kamu bersamaku akan aku kirim pada istri kamu yang bodoh itu!"
"Aku pulang sayang." Raymond berpamitan pada Rara.Melihat suaminya hendak kembali ke tanah air membuat Rara sedih tapi dia tidak ingin terlihat lemah di hadapan Raymond.Melihat ekspresi Rara yang nampak biasa membuat Raymond sedih. "Sayang apa kamu masih marah?"Rara tidak menjawab pertanyaan sang suami, tatapan yang tajam membuat Raymond yakin jika istrinya masih belum mau memaafkannya."Sayang aku mohon." Pria itu terus memohon."Aku ingin melihat kesungguhan kamu Mas! karena jika aku dengan mudah memaafkan kamu maka kamu akan mengulanginya lagi."Pria yang biasanya berkuasa kini menunduk lemah di hadapan istrinya. "Baiklah Sayang." Dia pasrah.Ketika semua berkumpul untuk mengantar kepulangan Raymond dan David di depan, Rara berpura-pura jika tidak ada apa-apa, dia senyum semanis mungkin bahkan dia mencium tangan sang suami."Hati-hati ya Mas, cepat kesini lagi," katanya.Raymond melongo menatap sang istri, andai ini tidak sandiwara pasti dia akan senang."Tuan David titip Mas Ra