Share

Di-booking

Author: Syatizha
last update Last Updated: 2022-09-23 14:40:19

Tak terasa sudah dua bulan aku bekerja di tempat ini, bekerja sebagai pemandu karaoke.

Beruntung, gaji yang kuterima adalah harian. Bahkan uang tips dari pelanggan murni menjadi hakku. Tak ayal, tiap harinya aku bisa mengantongi sejuta bahkan dua juta rupiah.

Ambu dan Abah tiap minggu aku kirimkan uang. Sebelumnya kusuruh Jaka, adik pertama membuka rekening.

Hutang Kang Darso pun sudah lunas. Meskipun menjadi dua kali lipat. Bagiku tak masalah. Terpenting, Kang Darso tidak menceritakan pekerjaanku yang sesungguhnya pada orang-orang Desa. Orang-orang yang mengetahui pekerjaan ini hanya Kang Darso, Ambu, dan Abah.

Aku pun sudah berpesan pada mereka, jika ada orang kampung yang bertanya aku kerja apa di kota? Katakan saja, bekerja di kantor. Di perusahaan besar supaya masyarakat sana tidak memandang keluargaku dengan hina lagi. Semoga saja kebohongan itu menjadi doa.

***

Bang Suryadi, pemilik Karaoke pernah berkata, sejak kedatanganku ke tempat ini, tempatnya semakin ramai. Banyak pengunjung dari kalangan pembisnis. Apalagi tempat karaoke ini cukup tertutup. Jadi, aman untuk para bos-bos besar itu singgah.

“Kamu itu punya daya pikat tersendiri, Lan. Abang harap Wulan betah di sini, ya? Jangan sampai berhenti.” Bang Suryadi memuji sekaligus memohon.

Aku tersenyum bangga. Baru kali ini bersyukur memiliki paras cantik. Ternyata kecantikanku ada gunanya juga. Namun, tidak sedikit pula pemandu karaoke dan artis dangdut di sini terlihat sinis padaku. Entah karena mereka iri, dengki atau mungkin karena mereka tidak memiliki apa yang aku miliki.

Aku pernah mendengar percakapan Tiara dan Delia di toilet.

“Aku curiga sama si Wulan, Del,” celetuk Tiara tanpa tahu keberadaanku di salah satu bilik toilet.

“Curiga kenapa?”

“Curiga kalau si Wulan itu menggunakan susuk pemikat.”

Susuk? Dia berpikir aku pakai susuk? Susuk sate kali. Ada-ada saja mereka.

“Iya, aku juga berpikir seperti itu. Bayangkan saja, sejak kehadiran dia, tempat ini jadi ramai. Sampai kedatangan pengusaha-pengusaha elite. Edan!” Bicara Tiara bernada sinis, iri dan dengki.

“Belum lagi, para pengunjung maunya ditemani si Wulan, terutama kalangan dari bos-bos besar. Aku penasaran deh, dia pasang susuk pemikatnya di dukun mana, ya?” tanya Tiara. Kalimat terakhirnya membuatku geli. Kembali kutajamkan pendengaran.

“Aku juga tidak tahu. Eh, bukannya kamu juga pakai susuk pemikat, ya?”

“Ssssttt ... Jngan keras-keras bicaranya, Del. Nanti kalau ada yang dengar, bisa gawat.”

Kubuka pintu toilet sedikit, temannya itu menempelkan jari telunjuk pada bibirnya.

“Maaf. Tetapi, yang aku tahu, si Wulan itu tidak mau di-booking ke hotel lho.”

“Masa? Sok jual mahal amat. Munafik!”

Aku menggelengkan kepala mendengarkan percakapan mereka. sudah tidak dapat dibiarkan mulut Tiara dan si Delia. Dengan kasar, aku membuka pintu toilet.

“Siapa yang munafik? Aku?” tanyaku tanpa berbasa-basi.

Tiara dan Delia terperanjat. Mereka saling pandang. Mereka pasti tidak menyangka kalau aku ada di dalam toilet. Aku menyilangkan kedua tangan di depan dada.

Di sini aku tidak boleh lemah. Tidak boleh ada orang yang menghinaku. Cukup di desa saja. Aku harus pandai memanfaatkan perhatian istimewa pemilik tempat karaoke ini.

“Kalian mau aku laporin ke Bang Sur?” Aku memicingkan mata, memberi ancaman pada mereka.

“Laporin apa? Memangnya kita salah apa?”

Tiara pura-pura dungu. Aku mencebik. Aku tahu dalam hati mereka pasti ketar-ketir.

Tangan kananku mengeluarkan ponsel. Mengangkat benda canggih itu ke depan wajah. Menakuti mereka dengan pura-pura merekam pembicaraan antara Tiara dan Delia.

“Pembicaraan kalian sudah aku rekam. Aku bisa saja, menyuruh Bang Suryadi memilih. Pilih pecat kalian berdua, atau pilih aku yang pergi dari tempat ini!” Ancamku penuh penekanan. Wajah Tiara dan Delia langsung pias.

Semua orang di sini tahu, kalau aku karyawan spesial Bang Sur. Adanya aku di sini, omset Bang Sur naik drastis. Apalagi aku mampu menggaet pelanggan dari kalangan atas.

“Ja-jangan, Wulan ... Kami minta maaf. Tolong jangan laporin pada Bang Sur.” Tiara mulai memohon.

Aku menghela napas. Menatap satu persatu wajah seniorku itu.

Harusnya mereka lebih kuat dan berkuasa dari pada aku. Tiara dan Delia kabarnya sudah tiga tahun bekerja di tempat ini. Sedangkan aku, satu tahun pun belum.

Lagi-lagi aku bangga akan diri sendiri yang dianugrahi kecantikan alami.

“Oke, aku tidak akan lapor, asalkan omongan kalian tentang aku dijaga. Dengar baik-baik, aku Wulandari tidak pernah dan tidak akan memakai susuk! Tidak akan pernah mau di-booking! Bukan aku munafik, tetapi aku masih punya harga diri sebagai wanita! Tidak akan menghinakan diri sendiri hanya demi beberapa lembar rupiah seperti kalian! Kalian mmengert?” Suaraku meninggi. Seperti seorang bos yang memarahi bawahannya yang bekerja tidak becus.

“Mengerti, Lan .... mengerti,” sahut mereka dengan kepala merunduk dalam. Aku tersenyum puas.

“Bagus. Sekali lagi aku dengar kalian berdua membicarakan hal buruk tentang aku, aku tidak akan segan-segan menyuruh Bang Sur untuk pecat kalian berdua.” Jari telunjukku mengarah pada kedua hidung mereka.

Rasanya puas sekali, bisa memarahi dan mengancam si Tiara dan Delia.

“Kami janji, Lan ... Tidak akan mengulanginya lagi.”

Aku tersenyum puas menyaksikan ketakutan mereka. Mungkin dulu ekspresi wajah aku seperti mereka saat diancam orang kampung. Diancam karena Ambu dan Abah tidak mampu membayar hutang Teh Marni.

***

Malam ini, pelanggan dari kalangan bos besar datang. Namanya Pak Sutiyoso. Awalnya dia datang bersama Pak Dewantara. Namun sudah tiga kali datang sendirian.

Katanya Pak Dewa dan Pak Sutiyoso berteman akrab sejak mereka masih sekolah menengah.

Pak Sutiyoso ke tempat ini bukan untuk bernyanyi. Tetapi, untuk berkeluh kesah atau istilahnya curhat padaku.

Seperti biasa, aku minta bayaran tiap jam ketika menemani laki-laki berperut gendut itu. Zaman sekarang tidak ada yang gratis! Semuanya serba aku jadikan uang. Pak Sutiyoso langsung menyanggupi, tidak keberatan sama sekali.

“Kalau perlu, Om bayar lebih dari yang kamu minta. Tetapi, dengan satu syarat ....”

Mataku langsung berbinar mendengar bayaran lebih yang akan diberikan Om Sutiyoso.

“Apa syaratnya, Om?” tanyaku penasaran. Pak Sutiyoso mendekatkan bibirnya di telingaku.

“Syaratnya, kamu harus mau Om booking, bagaimana? Kamu mau ‘kan?”

Apa? Lelaki tua bangka ini mau membooking? Aku sudah bertekad tidak mau dibawa kemana-mana oleh pelanggan, hanya menemaninya berbicara dan bernyanyi.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Wanita Penggoda   Kembali ke Profesi Awal

    Sudah satu tahun aku dan Wulan menjalani bahtera rumah tangga. Sekarang buah cinta kami telah lahir. Namanya Alan Hermawan. Wulan bilang Alan artinya Ambang Wulan. Keren kan?Sudah menjadi rutinitas, tiap pagi sebelum berangkat kerja aku memandikan Alan, mencuci pakaian dan mencuci piring. Sedangkan Wulan istriku hanya memakaikan baju Alan. Tidak masalah, itu sudah sangat membantu. “Alan ... Papa Ambang berangkat kerja. Alan jagain Mama.” Bayi Alan tersenyum. Dia sangat tampan sepertiku.“Lan ... Mas berangkat.”“Iya.” Aku sudah terbiasa dengan sikap cuek Wulan. “Botol susu Alan sudah Mas bersihin semua. Nanti kalau Alan nangis, cepat-cepat kasih susu. Sukur-sukur kamu mau ngasih dia Asi.”“Aku kan udah bilang Mas. Gak mau ngasih ASI. Susu formula udah cukup buat dia!” Wulan menghardik. Entah mengapa, kadang aku merasa Wulan seolah tidak peduli dengan bayinya.“Tapi Lan, kata dokter susu ASI lebih bagus dari susu formula.” Bujukku tanpa henti.“Gak peduli. Sekarang Mas mending pergi

  • Wanita Penggoda   Ingat Mantan

    Setelah melakukan diskusi yang alot dengan si bujang lapuk. Solusi yang dia berikan sangat tidak berbobot hingga tidak terjangkau oleh otak berlianku. Maka aku putuskan, untuk mengubur kembali dua ATM ke dalam tanah belakang rumah tengah malam nanti.Mahardika keluar ruangan dengan langkah tak bersemangat, mungkin dia bersedih sebab ide yang menurutnya sangat berlian aku tolak mentah-mentah.Tak berselang lama ponsel berbunyi. Minceu? “Mayaaaang ... yey kenapa ingkar janji? Eyke nunggu yey dari bedug subuh ampe gini hari tapi belon juga nongol batang idung yey! aduuhh eyke pusiaaangg ....” Buset! Suara toa si Minceu memekakakan gendang telinga.“Tadi gue ke lampu merah. Lo nya gak ada.” Suara khas lelaki sejati menggema di sudut ruangan.“Yey pasti bohong! Yey jahara Mayaaaang ....”“Brisik lo!”“Pokonya jam lima sore eyke tunggu di tempat biasa. Awas kalo yey gak datang!” Klik!*** Senja semakin merambat cepat. Tak terasa jarum di arloji mahalku sudah menunjukkan angka empat.Me

  • Wanita Penggoda   Gak Ngerti

    Aku memerhatikan secara seksama cara makan Wulan. Cara makan dia yang sekarang berbeda sekali. Sebelumnya kalau makan dia sangat anggun, sekarang sangat rakus. Aku menelan ludah menyaksikan panorama aneh di depan mata.“Lan, Semua makanan itu habis?” Wulan mendongak sambil menjilati sisa makanan dijemari.“Enggak Mas, itu sih donat tiga lagi. Cokelat juga masih ada sepotong. Tuh bakso juga masih ada dua lagi. Mas mau? Makan aja. Lalan mau gosok gigi, abis itu tidur. Mamacih ya Mas Ambang ....”Akhirnya daripada mubazir, makanan terbuang sia-sia, sisa makanan itu aku habiskan. Ya ... aku emang sengaja menunggu sisa makanan itu. Lumayan kan hemat.*** Pagi sekali mendengar suara Wulan muntah-muntah. Sebagai suami yang siaga, aku langsung menemuinya yang berada di kamar mandi.Ooooeeekk ... oooooeeeekkk ....“Sayang, kamu gak apa-apa?” Wulan menoleh. Mukanya merah padam seperti kepiting rebus.“Maas ... obat anti mual Lalan habis. Tolong beliin ya? Kalau gini terus Lalan gak bisa kerjaa

  • Wanita Penggoda   Keceplosan

    “Pokoknya aku mau ke rumah sakit sekarang!!!” Suara Wulan setengah berteriak. Aku garuk-garuk kepala. Membayangkan biaya yang akan keluar jika berobat ke rumah sakit. “Gak bisa, Sayang. Mas harus ke kantor sekarang. Ini udah telat banget. Kamu baik-baik ya?” “Mas kejam! Gak perhatian! Gak sayang Lalan!!” Tangis istriku membahana memenuhi kamar tercinta kami.“Iya, iya, Lan ... kita ke rumah sakit sekarang.”Akhirnya aku mengalah. Jiwa lelaki sejatiku tak tega membiarkan Wulan mengeluarkan airmata walaupun setetes. Terlalu berharga.*** Tiba di rumah sakit, Wulan langsung memeriksakan kondisi tubuhnya. Dengan sabar dan penuh keikhlasan aku menunggu.Sejujurnya diriku kurang nyaman berada di rumah sakit. Apalagi jika berpapasan dengan para dokter atau perawat wanita, mereka suka melempar senyum. Seolah sangat mengagumi dan terpesona padaku. Ah, resiko orang tampan memang selalu menjadi pusat perhatian, selalu diberi senyuman gratis oleh wanita-wanita cantik.“Suami Mbak Wulandari.” A

  • Wanita Penggoda   Obat

    “Nanti juga lo tau.” Jawaban yang tidak menjawab pertanyaan! “Gue kenal gak?”“Kenal.” “Iyalah pasti kenal. Siapa sih yang gak kenal laki-laki tampan kayak gue? Hampir, hampir cewek-cewek cakep yang tinggal di Indonesia Raya ini pasti kenal Bambang Hermawan.” Terima kasih Tuhan, atas anugerah ketampanan yang Kau berikan padaku.“Gue mau tanya nih.”“Tanya aja,” sahutku cool dengan kedua tangan bersidekap di depan dada.“Waktu sama Vaniaaa ... kalau mau berhubungan itu, lo minum obat dulu?” Aku tak menyangka Mahardika bertanya soal itu. Aku kira, tanya bagaimana cara mempertahankan ketampanan atau tata cara membuat para cewek terpikat. “Jangan-jangan waktu sama Vania lo belum pernah cetak gol?”Sialan! Si Mahardika lancang! Tapi, emang bener sih. Aku melihat si imut. Lalu menggeleng.Tidak ada angin, tidak ada hujan Mahardika ketawa terpingkal-pingkal. Tingkah si bujang lapuk itu bikin malu. Para pengunjung di tempat ini menoleh dan memperhatikan kami. “Berhenti woy! Sarap lo! Dili

  • Wanita Penggoda   Cewek Bujang Lapuk

    Pagi ini, rasanya badan pegal-pegal semua. Ditambah perut yang masih keroncongan. Jam dinding sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Istriku sudah rapi dengan pakaian kerjan. Makin hari, dia makin cantik, makin montok, dan makin seksi. Tak salah aku menjadikannya istri.“Mas, bangun tidur kok melamun? Lalan udah masakin nasi goreng. Sarapan dulu gih!” Mendengar kata sarapan, mataku berbinar. Tanpa menunggu lama, langsung berlari menuju dapur. Maklum, seharian kemarin tidak makan nasi.Membuka tutup saji, ternyata benar ada nasi goreng dan ceplok telur. Wulan sungguh istri idaman. Aku tarik kursi lalu duduk. Mengambil piring, menyendok secentong nasi. Belum sempat menyuapkan nasi ke dalam mulut, wangi khas tubuh Wulan menyeruak.“Maaasshh ... Lalan berangkat duluan ya?”“Gak mau sarapan dulu?”“Gak usah nanti aja.”“Oke deh!”“Mas abis sarapan jangan lupa mandi.”“Aduh sayang, kalo mandi dulu nanti telat masuk kantor.”“Oh ya udah. Panu Masnya juga kan udah mendingan. Gak apa-apa deh.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status