Home / Rumah Tangga / Wanita Penggoda / Informasi Pekerjaan

Share

Informasi Pekerjaan

Author: Syatizha
last update Last Updated: 2022-09-23 14:39:20

Pukul enam pagi, aku menghampiri Ambu yang sedang mencuci pakaian di sumur belakang rumah, ingin mengutarakan niat pergi ke Gunung Kawi.

“Ambu ....”

Perempuan bertubuh kurus itu menoleh.

“Ada apa, Neng?”

Ibu menjawab sambil tetap menggilas pakaian di atas papan bergerigi.

Aku berjongkok di depan bak besar, mengucek-ucek pakaian yang telah direndam.

“Jangan nyuci! Nanti tangan kamu kasar. Sudah sana, biar Ambu saja yang mencuci.”

“Tangan halus juga percuma Ambu, Neng tetap saja jomblo.”

Aku menjawab terkekeh. Tetapi, tidak Ambu, tatapan matanya seolah menyiratkan kesedihan.

“Tidak apa-apa, Neng. Mungkin belum ketemu lelaki yang tepat saja. Ambu yakin, Neng cantik akan memiliki suami yang tampan dan mapan.”

Harapan yang selalu Ambu katakan membuatku merunduk sedih.

Bagaimana bisa mendapatkan lelaki yang seperti Ambu harapkan jika kehidupanku di rumah saja?

Kami terdiam, bergelut dalam pikiran masing-masing. Hanya terdengar kucuran air dari kran dan suara Ayam berkokok milik tetanggaku.

“Ambuu ...,” panggilku pelan.

“Ada apa, Neng? Kamu mau bicara sesuatu sama Ambu?”

Kepalaku merunduk. Mengaduk-aduk busa detergen di dalam bak.

“Ambu, Neng ingin ... Ingin pergi ke Gunung Kawi.”

Akhirnya apa yang aku utarakan terucap juga.

Mendengar ucapanku, Ambu menghentikkan kegiatannya.

“Mau apa kamu ke sana?”

Kedua alis Ambu bertaut, menatapku dengan sorot mata yang sulit dijelaskan.

“Mau ... Mau bertapa supaya kita cepat kaya raya, Ambu. Neng bosan hidup melarat terus, dihina orang terus. Neng pengen banyak uang kayak Kang Mardun, Ambu ....”

Terdengar helaan napas Ambu. Pandangannya nanar ke depan. Lalu, kembali menghadapku.

“Neng, Ambu juga pengen kaya raya, banyak uang, dihormati orang. Tetapi, Neng ... kalau pesugihan itu harus memakai tumbal. Ambu pernah mendengar, tumbalnya itu orang-orang terdekat.”

Aku menyimak penuturan Ambu. Benarkah apa yang dikatakan wanita yang telah melahirkanku itu? Kalau pesugihan harus memakan tumbal orang-orang terdekat.

“Contohnya si Mardun, Martinah anak keduanya meninggal mendadak setelah setahun dia jadi orang kaya. Kamu tahu itu ‘kan?” Kali ini, bulu kudukku meremang. Membayangkan salah satu anggota keluargaku menjadi tumbal. Seketika niat di hati menciut.

“Maafin Neng, Ambu ....”

Untung saja aku berkata dulu pada Ambu. Aku pikir, tidak ada

“Tidak apa-apa, Ambu mengerti niat baik kamu. Kalau Neng mau, lebih baik ke kota. Cari pekerjaan yang dapat menghasilkan uang banyak. Tetapi, tidak boleh menjual diri! Ambu tidak mau, keluarga kita makin dihina kalau mereka tahu kamu bekerja menjual diri.”

Aku merenungi perkataan Ambu. Dari pada harus mengorbankan keluarga karena pesugihan itu, lebih baik aku coba pencari peruntungan di Ibukota.

“Ambu, kalau begitu ... Neng hari ini juga mau ke kota,” kataku bersemangat.

Ambu mengembuskan napas, menggelengkan kepala, kemudian melanjutkan mencuci pakaian.

“Ke kota itu harus punya uang banyak, Neng. Kita uang dari mana? Bisa makan sehari sekali juga sudah lumayan. Sudahlah, di rumah saja. Tidak usah pergi kemana-mana!” tukas Ambu putus asa.

Tidak! Aku tidak boleh berdiam diri saja. Hanya aku harapan di keluarga ini.

Aku berdiri, masuk ke dalam rumah, meninggalkan Ambu. Di dalam kamar, mengganti pakaian hendak meminjam uang pada Juragan Beras, Kang Darso. Aku dengar, biasanya kalau pinjam uang pada Kang Darso tidak dipersulit. Selalu diberikan walaupun bunganya cukup tinggi.

Tidak salahnya aku mencoba pergi ke sana, barang kali saja Kang Darso mau memberikanku pinjaman uang untuk modal berangkat ke Jakarta.

***

Tiba di depan gerbang rumah Kang Darso, dua truk sedang diisi berkarung-karung beras. Aku memerhatikan para pekerja yang hilir mudik mengangkut karung beras di atas punggung. Para pekerja itu tidak semuanya masih muda. Ada juga yang seumuran Abah. Andai saja Abah juga bekerja, mungkin ... ah, sudahlah.

Rasanya berat sekali melangkahkan kaki untuk menemui juragan beras itu. Semua orang di desa ini tahu siapa laki-laki berambut panjang sebahu memiliki tato ular di atas lengan kanannya.

Walaupun pinjam uang padanya tidak sulit, tapi bunganya setinggi langit. Bilamana tidak dapat membayar dengan harta, maka harus bersedia menjadi pembantunya seumur hidup atau menjadi istrinya yang kesekian.

Sepertinya harus kuurungkan niat ini. Ambu selalu berpesan, kalau aku tidak boleh menikah dengan laki-laki yang telah memiliki istri. Jika tidak bisa membayar hutang Kang Darso, pastilah dia akan memintaku untuk menjadi istrinya.

Sudahlah, lebih baik aku bersabar dulu. Baru saja tubuhku berbalik tiba-tiba ada seseorang yang memanggil. Aku pun menoleh.

Rupanya Kang Darso sudah menyadari kedatanganku. Laki-laki itu melambaikan tangan. Aku menoleh kanan-kiri, barang kali saja Kang Darso bukan memanggilku.

“Wulan! Sini, kamu! Iya, kamu! Cepat, Sini!!” Suara bas itu ternyata benar memanggilku. Dadaku berdegup tak menentu. Rasa takut dan risih mulai menguasai diri. Apalagi Ambu dan Abah tidak tahu-menahu tentang keinginanku untuk meminjam uang pada Kang Darso.

“Kamu mau ketemu Akang, Lan?” tanyanya dengan tangan kiri di pinggang, dan tangan kanannya memegang rokok.

Aku mengangguk pelan. Tak jauh dari tubuh Kang Darso, terlihat Teh Zaenab sedang berdiri, memerhatikanku dengan tatapan tak menyenangkan.

“Kenapa atuh malah balik lagi?” Aku masih takut untuk menjawab, hanya mampu tersenyum.

“Ya sudah-sudah, duduk dulu di situ. Akang jadi penasaran, dengan niat kamu datang ke sini sendirian.”

Aku duduk di kursi dekat Teh Zaenab. Wanita itu wajahnya masih masam. Tidak ada keramahan sedikitpun di sana.

“Eh, Zaenab! Ambilkan air dan cemilan untuk Neng Wulan!”

“Iya, Kang,” sahut Teh Zaenab seraya berlalu.

“Ada apa, Lan? Sok atuh bicara sama Akang,” ucap Kang Darso, mengawali pembicaraan. Bibir hitamnya menghisap kembali rokok yang tinggal setengah.

Aku menelan air liur, mengumpulkan segenap keberanian.

“Itu, Kang ... Wulan ... Hmmm ... Wulan ingin ... Ingin pinjam uang.” Akhirnya kalimat itu lolos juga dari mulutku. Aku bernapas lega.

“Oh, mau pinjam uang? Memangnya Neng Wulan mau pinjam uang berapa?”

Aku mendongak, menatap dengan rasa takut pada laki-laki yang hanya mengenakan kaos oblong itu.

“Du, dua juta Kang.”

Teh Zaenab datang kembali dengan membawa dua gelas air putih.

“Memangnya kamu mau kemana, Wulan?”

Teh Zaenab bertanya setelah meletakkan dua gelas itu di atas meja.

“Wulan ingin ke kota, Teh. Ingin mencari pekerjaan di sana.”

Mendengar jawabanku, bibir Teh Zaenab tersenyum mengejek.

Aku tahu, akan banyak orang yang meragukan kalau suatu saat nanti pasti bisa berhasil. Mereka tidak akan pernah memberi dukungan apalagi mendoakan agar aku bisa sukses apalagi bisa kaya raya. Tidak akan mungkin.

“Halaaah ... paling kerja jadi Jabl*y!”

“DIAM KAMU!! MASUK KE DALAM!”

Aku memegang dada, terkejut, mendengar Kang Darso membentak Teh Zaenab.

Teh Zaenab tampak kesal, ia bergegas masuk ke dalam rumah setelah menghentakkan kaki.

“Memangnya kamu mau kerja apa di sana?” Kang Darso suaranya melembut kembali.

Aku menggeleng lemah.

Tangan kanan lelaki yang berkumis lebat itu merogoh saku celana.

“Nih, uang dua jutanya. Kamu hitung dulu.”

Aku menatap tak percaya melihat beberapa lembar uang yang diletakkan di atas meja.

Mudah sekali Kang Darso memberikan pinjaman padaku. Aku meraih lembaran-lembaran uang yang bergambar presiden pertama dengan tangan bergetar. Menghitungnya satu persatu. Setelah dihitung, uangnya cukup berjumlah dua juta rupiah.

“Cukup tidak dua juta?”

“Cukup, Kang.”

“Yaa sudah, ambil!” ucapnya lagi sambil menghisap rokok lalu membuang puntung itu ke bawah, diinjak oleh kakinya yang beralaskan sandal ber-merk.

“Terima kasih banyak ya, Kang. Wulan pasti cepat-cepat menggantinya.”

Janjiku meyakinkan Kang Darso.

“Akang punya kenalan di kota sana. Namanya Suryadi. Biasa dipanggil Abang Sur. Kamu mau tidak kerja di tempatnya?” Mendengar infomasi itu, seketika wajahku sumringah.

“Mau Kang, saya mau!” jawabku dengan wajah berbinar. Kang Darso terkekeh.

“Kamu itu mau-mau saja, Lan. Memangnya kamu tahu pekerjaannya apa?”

Iya juga ya? Bagaimana kalau pekerjaannya menjadi pengedar narkoba? Atau disuruh menjual diri?

“Memangnya ... kerja apa, Kang?”

Kang Darso membetulkan posisi tempat duduk. Menatapku dengan tatapan yang sulit dimengerti.

“Tenang saja, Lan ... Wajah kamu jangan takut begitu. Pekerjaannya enak, tidak capek! Akang jamin, kamu akan senang bekerja di sana!”

“Memangnya kerja apa, Kang?” tanyaku makin penasaran.

Jantungku mendadak berdegup, menanti jawaban Kang Darso. Menerka-nerka pekerjaan apa yang tidak capek dan membuatku senang?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Wanita Penggoda   Kembali ke Profesi Awal

    Sudah satu tahun aku dan Wulan menjalani bahtera rumah tangga. Sekarang buah cinta kami telah lahir. Namanya Alan Hermawan. Wulan bilang Alan artinya Ambang Wulan. Keren kan?Sudah menjadi rutinitas, tiap pagi sebelum berangkat kerja aku memandikan Alan, mencuci pakaian dan mencuci piring. Sedangkan Wulan istriku hanya memakaikan baju Alan. Tidak masalah, itu sudah sangat membantu. “Alan ... Papa Ambang berangkat kerja. Alan jagain Mama.” Bayi Alan tersenyum. Dia sangat tampan sepertiku.“Lan ... Mas berangkat.”“Iya.” Aku sudah terbiasa dengan sikap cuek Wulan. “Botol susu Alan sudah Mas bersihin semua. Nanti kalau Alan nangis, cepat-cepat kasih susu. Sukur-sukur kamu mau ngasih dia Asi.”“Aku kan udah bilang Mas. Gak mau ngasih ASI. Susu formula udah cukup buat dia!” Wulan menghardik. Entah mengapa, kadang aku merasa Wulan seolah tidak peduli dengan bayinya.“Tapi Lan, kata dokter susu ASI lebih bagus dari susu formula.” Bujukku tanpa henti.“Gak peduli. Sekarang Mas mending pergi

  • Wanita Penggoda   Ingat Mantan

    Setelah melakukan diskusi yang alot dengan si bujang lapuk. Solusi yang dia berikan sangat tidak berbobot hingga tidak terjangkau oleh otak berlianku. Maka aku putuskan, untuk mengubur kembali dua ATM ke dalam tanah belakang rumah tengah malam nanti.Mahardika keluar ruangan dengan langkah tak bersemangat, mungkin dia bersedih sebab ide yang menurutnya sangat berlian aku tolak mentah-mentah.Tak berselang lama ponsel berbunyi. Minceu? “Mayaaaang ... yey kenapa ingkar janji? Eyke nunggu yey dari bedug subuh ampe gini hari tapi belon juga nongol batang idung yey! aduuhh eyke pusiaaangg ....” Buset! Suara toa si Minceu memekakakan gendang telinga.“Tadi gue ke lampu merah. Lo nya gak ada.” Suara khas lelaki sejati menggema di sudut ruangan.“Yey pasti bohong! Yey jahara Mayaaaang ....”“Brisik lo!”“Pokonya jam lima sore eyke tunggu di tempat biasa. Awas kalo yey gak datang!” Klik!*** Senja semakin merambat cepat. Tak terasa jarum di arloji mahalku sudah menunjukkan angka empat.Me

  • Wanita Penggoda   Gak Ngerti

    Aku memerhatikan secara seksama cara makan Wulan. Cara makan dia yang sekarang berbeda sekali. Sebelumnya kalau makan dia sangat anggun, sekarang sangat rakus. Aku menelan ludah menyaksikan panorama aneh di depan mata.“Lan, Semua makanan itu habis?” Wulan mendongak sambil menjilati sisa makanan dijemari.“Enggak Mas, itu sih donat tiga lagi. Cokelat juga masih ada sepotong. Tuh bakso juga masih ada dua lagi. Mas mau? Makan aja. Lalan mau gosok gigi, abis itu tidur. Mamacih ya Mas Ambang ....”Akhirnya daripada mubazir, makanan terbuang sia-sia, sisa makanan itu aku habiskan. Ya ... aku emang sengaja menunggu sisa makanan itu. Lumayan kan hemat.*** Pagi sekali mendengar suara Wulan muntah-muntah. Sebagai suami yang siaga, aku langsung menemuinya yang berada di kamar mandi.Ooooeeekk ... oooooeeeekkk ....“Sayang, kamu gak apa-apa?” Wulan menoleh. Mukanya merah padam seperti kepiting rebus.“Maas ... obat anti mual Lalan habis. Tolong beliin ya? Kalau gini terus Lalan gak bisa kerjaa

  • Wanita Penggoda   Keceplosan

    “Pokoknya aku mau ke rumah sakit sekarang!!!” Suara Wulan setengah berteriak. Aku garuk-garuk kepala. Membayangkan biaya yang akan keluar jika berobat ke rumah sakit. “Gak bisa, Sayang. Mas harus ke kantor sekarang. Ini udah telat banget. Kamu baik-baik ya?” “Mas kejam! Gak perhatian! Gak sayang Lalan!!” Tangis istriku membahana memenuhi kamar tercinta kami.“Iya, iya, Lan ... kita ke rumah sakit sekarang.”Akhirnya aku mengalah. Jiwa lelaki sejatiku tak tega membiarkan Wulan mengeluarkan airmata walaupun setetes. Terlalu berharga.*** Tiba di rumah sakit, Wulan langsung memeriksakan kondisi tubuhnya. Dengan sabar dan penuh keikhlasan aku menunggu.Sejujurnya diriku kurang nyaman berada di rumah sakit. Apalagi jika berpapasan dengan para dokter atau perawat wanita, mereka suka melempar senyum. Seolah sangat mengagumi dan terpesona padaku. Ah, resiko orang tampan memang selalu menjadi pusat perhatian, selalu diberi senyuman gratis oleh wanita-wanita cantik.“Suami Mbak Wulandari.” A

  • Wanita Penggoda   Obat

    “Nanti juga lo tau.” Jawaban yang tidak menjawab pertanyaan! “Gue kenal gak?”“Kenal.” “Iyalah pasti kenal. Siapa sih yang gak kenal laki-laki tampan kayak gue? Hampir, hampir cewek-cewek cakep yang tinggal di Indonesia Raya ini pasti kenal Bambang Hermawan.” Terima kasih Tuhan, atas anugerah ketampanan yang Kau berikan padaku.“Gue mau tanya nih.”“Tanya aja,” sahutku cool dengan kedua tangan bersidekap di depan dada.“Waktu sama Vaniaaa ... kalau mau berhubungan itu, lo minum obat dulu?” Aku tak menyangka Mahardika bertanya soal itu. Aku kira, tanya bagaimana cara mempertahankan ketampanan atau tata cara membuat para cewek terpikat. “Jangan-jangan waktu sama Vania lo belum pernah cetak gol?”Sialan! Si Mahardika lancang! Tapi, emang bener sih. Aku melihat si imut. Lalu menggeleng.Tidak ada angin, tidak ada hujan Mahardika ketawa terpingkal-pingkal. Tingkah si bujang lapuk itu bikin malu. Para pengunjung di tempat ini menoleh dan memperhatikan kami. “Berhenti woy! Sarap lo! Dili

  • Wanita Penggoda   Cewek Bujang Lapuk

    Pagi ini, rasanya badan pegal-pegal semua. Ditambah perut yang masih keroncongan. Jam dinding sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Istriku sudah rapi dengan pakaian kerjan. Makin hari, dia makin cantik, makin montok, dan makin seksi. Tak salah aku menjadikannya istri.“Mas, bangun tidur kok melamun? Lalan udah masakin nasi goreng. Sarapan dulu gih!” Mendengar kata sarapan, mataku berbinar. Tanpa menunggu lama, langsung berlari menuju dapur. Maklum, seharian kemarin tidak makan nasi.Membuka tutup saji, ternyata benar ada nasi goreng dan ceplok telur. Wulan sungguh istri idaman. Aku tarik kursi lalu duduk. Mengambil piring, menyendok secentong nasi. Belum sempat menyuapkan nasi ke dalam mulut, wangi khas tubuh Wulan menyeruak.“Maaasshh ... Lalan berangkat duluan ya?”“Gak mau sarapan dulu?”“Gak usah nanti aja.”“Oke deh!”“Mas abis sarapan jangan lupa mandi.”“Aduh sayang, kalo mandi dulu nanti telat masuk kantor.”“Oh ya udah. Panu Masnya juga kan udah mendingan. Gak apa-apa deh.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status