Pukul enam pagi, aku menghampiri Ambu yang sedang mencuci pakaian di sumur belakang rumah, ingin mengutarakan niat pergi ke Gunung Kawi.
“Ambu ....”Perempuan bertubuh kurus itu menoleh.“Ada apa, Neng?”Ibu menjawab sambil tetap menggilas pakaian di atas papan bergerigi.Aku berjongkok di depan bak besar, mengucek-ucek pakaian yang telah direndam.“Jangan nyuci! Nanti tangan kamu kasar. Sudah sana, biar Ambu saja yang mencuci.”“Tangan halus juga percuma Ambu, Neng tetap saja jomblo.”Aku menjawab terkekeh. Tetapi, tidak Ambu, tatapan matanya seolah menyiratkan kesedihan.“Tidak apa-apa, Neng. Mungkin belum ketemu lelaki yang tepat saja. Ambu yakin, Neng cantik akan memiliki suami yang tampan dan mapan.”Harapan yang selalu Ambu katakan membuatku merunduk sedih.Bagaimana bisa mendapatkan lelaki yang seperti Ambu harapkan jika kehidupanku di rumah saja?Kami terdiam, bergelut dalam pikiran masing-masing. Hanya terdengar kucuran air dari kran dan suara Ayam berkokok milik tetanggaku.“Ambuu ...,” panggilku pelan.“Ada apa, Neng? Kamu mau bicara sesuatu sama Ambu?”Kepalaku merunduk. Mengaduk-aduk busa detergen di dalam bak.“Ambu, Neng ingin ... Ingin pergi ke Gunung Kawi.”Akhirnya apa yang aku utarakan terucap juga.Mendengar ucapanku, Ambu menghentikkan kegiatannya.“Mau apa kamu ke sana?”Kedua alis Ambu bertaut, menatapku dengan sorot mata yang sulit dijelaskan.“Mau ... Mau bertapa supaya kita cepat kaya raya, Ambu. Neng bosan hidup melarat terus, dihina orang terus. Neng pengen banyak uang kayak Kang Mardun, Ambu ....”Terdengar helaan napas Ambu. Pandangannya nanar ke depan. Lalu, kembali menghadapku.“Neng, Ambu juga pengen kaya raya, banyak uang, dihormati orang. Tetapi, Neng ... kalau pesugihan itu harus memakai tumbal. Ambu pernah mendengar, tumbalnya itu orang-orang terdekat.”Aku menyimak penuturan Ambu. Benarkah apa yang dikatakan wanita yang telah melahirkanku itu? Kalau pesugihan harus memakan tumbal orang-orang terdekat.“Contohnya si Mardun, Martinah anak keduanya meninggal mendadak setelah setahun dia jadi orang kaya. Kamu tahu itu ‘kan?” Kali ini, bulu kudukku meremang. Membayangkan salah satu anggota keluargaku menjadi tumbal. Seketika niat di hati menciut.“Maafin Neng, Ambu ....”Untung saja aku berkata dulu pada Ambu. Aku pikir, tidak ada“Tidak apa-apa, Ambu mengerti niat baik kamu. Kalau Neng mau, lebih baik ke kota. Cari pekerjaan yang dapat menghasilkan uang banyak. Tetapi, tidak boleh menjual diri! Ambu tidak mau, keluarga kita makin dihina kalau mereka tahu kamu bekerja menjual diri.”Aku merenungi perkataan Ambu. Dari pada harus mengorbankan keluarga karena pesugihan itu, lebih baik aku coba pencari peruntungan di Ibukota.“Ambu, kalau begitu ... Neng hari ini juga mau ke kota,” kataku bersemangat.Ambu mengembuskan napas, menggelengkan kepala, kemudian melanjutkan mencuci pakaian.“Ke kota itu harus punya uang banyak, Neng. Kita uang dari mana? Bisa makan sehari sekali juga sudah lumayan. Sudahlah, di rumah saja. Tidak usah pergi kemana-mana!” tukas Ambu putus asa.Tidak! Aku tidak boleh berdiam diri saja. Hanya aku harapan di keluarga ini.Aku berdiri, masuk ke dalam rumah, meninggalkan Ambu. Di dalam kamar, mengganti pakaian hendak meminjam uang pada Juragan Beras, Kang Darso. Aku dengar, biasanya kalau pinjam uang pada Kang Darso tidak dipersulit. Selalu diberikan walaupun bunganya cukup tinggi.Tidak salahnya aku mencoba pergi ke sana, barang kali saja Kang Darso mau memberikanku pinjaman uang untuk modal berangkat ke Jakarta.***Tiba di depan gerbang rumah Kang Darso, dua truk sedang diisi berkarung-karung beras. Aku memerhatikan para pekerja yang hilir mudik mengangkut karung beras di atas punggung. Para pekerja itu tidak semuanya masih muda. Ada juga yang seumuran Abah. Andai saja Abah juga bekerja, mungkin ... ah, sudahlah.Rasanya berat sekali melangkahkan kaki untuk menemui juragan beras itu. Semua orang di desa ini tahu siapa laki-laki berambut panjang sebahu memiliki tato ular di atas lengan kanannya.Walaupun pinjam uang padanya tidak sulit, tapi bunganya setinggi langit. Bilamana tidak dapat membayar dengan harta, maka harus bersedia menjadi pembantunya seumur hidup atau menjadi istrinya yang kesekian.Sepertinya harus kuurungkan niat ini. Ambu selalu berpesan, kalau aku tidak boleh menikah dengan laki-laki yang telah memiliki istri. Jika tidak bisa membayar hutang Kang Darso, pastilah dia akan memintaku untuk menjadi istrinya.Sudahlah, lebih baik aku bersabar dulu. Baru saja tubuhku berbalik tiba-tiba ada seseorang yang memanggil. Aku pun menoleh.Rupanya Kang Darso sudah menyadari kedatanganku. Laki-laki itu melambaikan tangan. Aku menoleh kanan-kiri, barang kali saja Kang Darso bukan memanggilku.“Wulan! Sini, kamu! Iya, kamu! Cepat, Sini!!” Suara bas itu ternyata benar memanggilku. Dadaku berdegup tak menentu. Rasa takut dan risih mulai menguasai diri. Apalagi Ambu dan Abah tidak tahu-menahu tentang keinginanku untuk meminjam uang pada Kang Darso.“Kamu mau ketemu Akang, Lan?” tanyanya dengan tangan kiri di pinggang, dan tangan kanannya memegang rokok.Aku mengangguk pelan. Tak jauh dari tubuh Kang Darso, terlihat Teh Zaenab sedang berdiri, memerhatikanku dengan tatapan tak menyenangkan.“Kenapa atuh malah balik lagi?” Aku masih takut untuk menjawab, hanya mampu tersenyum.“Ya sudah-sudah, duduk dulu di situ. Akang jadi penasaran, dengan niat kamu datang ke sini sendirian.”Aku duduk di kursi dekat Teh Zaenab. Wanita itu wajahnya masih masam. Tidak ada keramahan sedikitpun di sana.“Eh, Zaenab! Ambilkan air dan cemilan untuk Neng Wulan!”“Iya, Kang,” sahut Teh Zaenab seraya berlalu.“Ada apa, Lan? Sok atuh bicara sama Akang,” ucap Kang Darso, mengawali pembicaraan. Bibir hitamnya menghisap kembali rokok yang tinggal setengah.Aku menelan air liur, mengumpulkan segenap keberanian.“Itu, Kang ... Wulan ... Hmmm ... Wulan ingin ... Ingin pinjam uang.” Akhirnya kalimat itu lolos juga dari mulutku. Aku bernapas lega.“Oh, mau pinjam uang? Memangnya Neng Wulan mau pinjam uang berapa?”Aku mendongak, menatap dengan rasa takut pada laki-laki yang hanya mengenakan kaos oblong itu.“Du, dua juta Kang.”Teh Zaenab datang kembali dengan membawa dua gelas air putih.“Memangnya kamu mau kemana, Wulan?” Teh Zaenab bertanya setelah meletakkan dua gelas itu di atas meja.“Wulan ingin ke kota, Teh. Ingin mencari pekerjaan di sana.”Mendengar jawabanku, bibir Teh Zaenab tersenyum mengejek.Aku tahu, akan banyak orang yang meragukan kalau suatu saat nanti pasti bisa berhasil. Mereka tidak akan pernah memberi dukungan apalagi mendoakan agar aku bisa sukses apalagi bisa kaya raya. Tidak akan mungkin.“Halaaah ... paling kerja jadi Jabl*y!”“DIAM KAMU!! MASUK KE DALAM!” Aku memegang dada, terkejut, mendengar Kang Darso membentak Teh Zaenab.Teh Zaenab tampak kesal, ia bergegas masuk ke dalam rumah setelah menghentakkan kaki.“Memangnya kamu mau kerja apa di sana?” Kang Darso suaranya melembut kembali.Aku menggeleng lemah.Tangan kanan lelaki yang berkumis lebat itu merogoh saku celana.“Nih, uang dua jutanya. Kamu hitung dulu.”Aku menatap tak percaya melihat beberapa lembar uang yang diletakkan di atas meja.Mudah sekali Kang Darso memberikan pinjaman padaku. Aku meraih lembaran-lembaran uang yang bergambar presiden pertama dengan tangan bergetar. Menghitungnya satu persatu. Setelah dihitung, uangnya cukup berjumlah dua juta rupiah.“Cukup tidak dua juta?”“Cukup, Kang.”“Yaa sudah, ambil!” ucapnya lagi sambil menghisap rokok lalu membuang puntung itu ke bawah, diinjak oleh kakinya yang beralaskan sandal ber-merk.“Terima kasih banyak ya, Kang. Wulan pasti cepat-cepat menggantinya.”Janjiku meyakinkan Kang Darso.“Akang punya kenalan di kota sana. Namanya Suryadi. Biasa dipanggil Abang Sur. Kamu mau tidak kerja di tempatnya?” Mendengar infomasi itu, seketika wajahku sumringah.“Mau Kang, saya mau!” jawabku dengan wajah berbinar. Kang Darso terkekeh.“Kamu itu mau-mau saja, Lan. Memangnya kamu tahu pekerjaannya apa?”Iya juga ya? Bagaimana kalau pekerjaannya menjadi pengedar narkoba? Atau disuruh menjual diri?“Memangnya ... kerja apa, Kang?”Kang Darso membetulkan posisi tempat duduk. Menatapku dengan tatapan yang sulit dimengerti.“Tenang saja, Lan ... Wajah kamu jangan takut begitu. Pekerjaannya enak, tidak capek! Akang jamin, kamu akan senang bekerja di sana!”“Memangnya kerja apa, Kang?” tanyaku makin penasaran.Jantungku mendadak berdegup, menanti jawaban Kang Darso. Menerka-nerka pekerjaan apa yang tidak capek dan membuatku senang?Tak terasa sudah dua bulan aku bekerja di tempat ini, bekerja sebagai pemandu karaoke. Beruntung, gaji yang kuterima adalah harian. Bahkan uang tips dari pelanggan murni menjadi hakku. Tak ayal, tiap harinya aku bisa mengantongi sejuta bahkan dua juta rupiah.Ambu dan Abah tiap minggu aku kirimkan uang. Sebelumnya kusuruh Jaka, adik pertama membuka rekening. Hutang Kang Darso pun sudah lunas. Meskipun menjadi dua kali lipat. Bagiku tak masalah. Terpenting, Kang Darso tidak menceritakan pekerjaanku yang sesungguhnya pada orang-orang Desa. Orang-orang yang mengetahui pekerjaan ini hanya Kang Darso, Ambu, dan Abah. Aku pun sudah berpesan pada mereka, jika ada orang kampung yang bertanya aku kerja apa di kota? Katakan saja, bekerja di kantor. Di perusahaan besar supaya masyarakat sana tidak memandang keluargaku dengan hina lagi. Semoga saja kebohongan itu menjadi doa. ***Bang Suryadi, pemilik Karaoke pernah berkata, sejak kedatanganku ke tempat ini, tempatnya semakin ramai. Ban
Aku menarik diri. Terhenyak, mendengar bisikan Pak Sutiyoso. Apa laki-laki tua bangka ini lupa ada persyaratan kalau aku tidak boleh dibooking?! Aku berusaha menguasai diri. Laki-laki yang rambutnya sudah memutih itu tersenyum mesum. Menjijikan!“Aku maklum kalau Om lupa dengan syarat yang aku ajukan sebelumnya,” kataku datar. Pak Sutiyoso menautkan kedua alisnya. Laki-laki tua bangka ini memang sudah sangat baik padaku. Dia selalu memberi tips lebih banyak dari pelanggan yang lain.“Ooh ... Om ingat. Maksud Om itu bukan ke hotel, Lan.” Pak Sutiyoso lantas menyeruput minumaan beralkohol dihadapannya. Bibir hitamnya mengerenyit. Mungkin merasakan asam atau entahlah. Aku belum pernah mencicipi minuman beralkohol selama di sini. Ambu berpesan, aku tidak boleh lengah jika ingin menjaga keperawanan. Takutnya kalau aku lengah, minuman itu dimanfaatkan oleh laki-laki hidung belang, dicampur adukkan dengan pil yang tidak aku mengerti. Membayangkannya saja aku sudah bergidik ngeri.
Bagaimana ini, bekerja saja belum, tetapi, sudah dipecat? Kedua bola mata Nyonya Sutiyoso seolah menusuk tajam bak Harimau yang ingin menerkam mangsa.Pantas saja, Om Sutiyoso begitu takut padanya. Terlihat sekali dari sikap wanita itu kalau ia sangat angkuh dan sok berkuasa.Aku berusaha mengendalikan diri tanpa menanggapi pemecatan sepihak yang dilontarkan oleh istri Om Sutiyoso.“Mengerti tidak?!!” tanya Nyonya Sutiyoso membentukku.“Mengerti,” sahutku seraya membuang wajah ke arah Om Sutiyoso, lalu dengan sengaja menyunggingkan senyum nakal.“Dasar, J*lang! Tidak tahu tata krama!!” Tubuhku didorong Nyonya Sutiyoso hingga terhuyung ke belakang.Jalang? Dia bilang aku jalang? Kurang ajar sekali mulutnya si Ratna!Aku mendongak, membalas tatapan mata bengisnya.“Eh, Nyonya! Tolong ya dijaga mulutnya! Saya bukan jalang! Saya Cuma sekretaris suami Anda! Gayanya saja sok berpendidikan, tetapi bicara Anda busuk!!” ucapku geram, membalas tatapan tajamnya.Entah kekuatan dari
Aku berdiri di depan gedung bertingkat. Mengecek kembali alamat kantor Pak Dewa yang dikirim oleh Pak Sutiyoso. Kemarin sore lupa bertanya Pak Dewa alamat kantornya, hingga malam hari aku terpaksa mengirim pesan pada Pak Sutiyoso karena Cuma nomor dia yang kupunya.Aku menghampiri satpam yang duduk di depan pos. “Maaf, Pak. Ini kantor Pak Dewantara kan?” “Iya betul.”Lega rasanya mendengar jawaban Pak Satpam.“Mbak mau cari siapa?” tanya Sugiono nama satpam tersebut.“Saya Wulandari, Pak. Mau kerja di sini. Kemarin Pak Dewa sendiri yang nawarin," kataku mengenalkan diri. Pak Satpam itu menelisik penampilanku dari ujung rambut hingga ujung kaki. Meskipun aku sangat risih, tapi aku tetap memaksakan untuk tersenyum.“Oh udah buat janji?”“Udah, Pak.” Lantas satpam itu memerhatikan penampilanku lagi. Dia seperti baru melihat wanita saja. Apa karena aku terlalu cantik atau terlalu menarik? Hahhaha ...“Ya sudah, mari saya antar.”Aku tak menyangka, satpam dengan kumis tebal itu memili
“Sama-sama, Sayang ....”Hidung Sutiyoso kembang kempis mendapat pujian dariku. Sekali-kali memuji supaya dia bertambah baik dan selalu memenuhi permintaanku. Aku yakin, pasti sudah lama sekali dia tidak mendapat pujian dari seorang wanita. “Ya udah, Om tunggu, ya? Wulan mandi dulu.” Bukannya menjawab, laki-laki tua itu malah menelan ludah, lidahnya menjilat bibir atas.Pasti otaknya sedang mesum. Dasar bandot tua!“Eh, kok malah bengong? Mau nungguin gak?” tanyaku mendelik ke arahnya. Dari tadi kedua mata Sutiyoso tak lepas memandangku.“I-iya, Lan. Om, tunggu,” sahutnya dengan menyeringai. Idih, tua Bangka genit! Kalau bukan karena uang, malas sekali mendekatinya.Aku pun beranjak mengambil handuk di kamar dan membawa pakaian ganti. Kemudian Menuju kamar mandi yang terletak di dekat dapur. Kalau keluar hanya dibalut handuk, pasti kelihatan dari ruang tamu. Tak sudi tubuhku dilihat oleh Pak Sutiyoso.Selain dikunci, pintu kamar mandi aku tutup dengan ember yang diisi penuh. Ember
“Maaf, Mbak ini siapa ya? Kok bisa tahu nama saya?” tanyaku sembari menelisik perut buncitnya. Ya ampun gimana kalau wanita ini benar istri lain tua bangka itu? Terus kasarin aku, jambak-jambak atau menampar pipi ini? Gak mungkin aku tega melawannya.“Kenalkan, saya Vera. Sekretaris Pak Dewa.” Ucapnya menjawab segala pertanyaan dalam pikiranku. Ah ... lega rasanya ternyata sekretarisnya Pak Dewa. Aku menyambut uluran tangan wanita yang mengenalkan dirinya Vera.“Ooh ... Mbak Vera? Iya Pak Dewa sempat menyebut nama Mbak waktu saya di kantor. Mari Mbak, silakan masuk.” Aku mempersilahkan wanita yang mengenakan tas berwarna putih gading itu dengan ramah. Untunglah dugaanku salah. Aku kira istri lain Pak Sutiyoso. “Duduk, Mbak. Saya ambilkan air dulu.” Wanita itu menurut. Menyimpan tas di atas meja.Dari dapur kuperhatikan wanita yang usinya sekitar tiga puluh tahunan dengan seksama. Penampilannya sederhana tapi sangat elegan. Kelihatan berkelas dan berpendidikan. Dan sepertinya dia o
Hah? Sedikit dermawan? Sayang sekali. Ternyata dia bukan idamanku. Padahal wajahnya sangat tampan. Tetapi, kalau pelit, ogah!Aku menarik tangan dari genggamannya. Maleslah, naksir cowok pelit! Misalnya laki-laki itu paling tampan sedunia pun, kalau dia pelit, bagiku tetap jelek!! Dalam hidupku saat ini hanya uang, uang dan uang! Urusan cinta nomor sekian. Rasa sakit hatiku karena dikhianati pacar dan tikung sahabat sendiri, cukup membuatku malas jatuh hati pada pria. Sudahlah, aku harus fokus mengumpulkan uang sebanyak mungkin supaya keluargaku di desa dinaikan harkat martabatnya dan dihormati oleh Warga desa. Aku harus fokus! fokus!“Kalau udah selesai, saya pamit ya, Pak.”“Oh iya silakan. Saya harap pikiran Anda tidak dibayangi oleh paras tampan yang saya miliki. Tidur Anda tetap nyenyak, selera makan Anda tetap enak.”Aku paksakan bibir ini tersenyum walaupun sebenarnya agak mual mendengar celotehan Pak Bambang.“I-iya, Pak. Mari Pak, permisi.”Keluar dari ruangan itu, handphone
Kupandangi bergantian dua lelaki yang sedang saling beradu tatap. Raut wajah lelaki muda itu terlihat geram, tangan kanannya mengepal. Sedangkan Pak Sutiyoso dipenuhi kegugupan.“Rahasiakan apa yang kamu lihat! kalau tidak ingin namamu dicoret dari daftar ahli waris," desis Pak Sutiyoso mengancam. Lalu menarik lenganku agar berjalan menjauhi lelaki muda itu.Mungkinkah dia anaknya? Tapi kenapa tidak ada keramahan dan keakraban sama sekali? Atau mungkin karena melihatku menggandeng tua bangka ini? Makanya laki-laki itu sangat geram. Tapi untunglah tidak ada caci maki dan amarah yang ditujukan padaku.Tiba di dalam mobil, tak sabar ingin aku bertanya perihal laki-laki berkulit cokelat sawo matang itu.“Dia anak tiri, Om," jawab laki-laki yang sedang mengalami masa puber kesekian saat kutanya siapa laki-laki tadi. “Jadi, dulu itu Ratna Ayu berstatus janda waktu Om nikahi?” Aku mempertegas status wanita yang tempo hari melabrak kami di pusat perbelanjaan.Pak Sutiyoso mengangguk. Lalu, m