Home / Rumah Tangga / Wanita Penggoda / Dipecat Sebelum Bekerja

Share

Dipecat Sebelum Bekerja

Author: Syatizha
last update Last Updated: 2022-09-23 14:40:52

Aku menarik diri. Terhenyak, mendengar bisikan Pak Sutiyoso. Apa laki-laki tua bangka ini lupa ada persyaratan kalau aku tidak boleh dibooking?!

Aku berusaha menguasai diri. Laki-laki yang rambutnya sudah memutih itu tersenyum mesum. Menjijikan!

“Aku maklum kalau Om lupa dengan syarat yang aku ajukan sebelumnya,” kataku datar. Pak Sutiyoso menautkan kedua alisnya.

Laki-laki tua bangka ini memang sudah sangat baik padaku. Dia selalu memberi tips lebih banyak dari pelanggan yang lain.

“Ooh ... Om ingat. Maksud Om itu bukan ke hotel, Lan.”

Pak Sutiyoso lantas menyeruput minumaan beralkohol dihadapannya. Bibir hitamnya mengerenyit. Mungkin merasakan asam atau entahlah. Aku belum pernah mencicipi minuman beralkohol selama di sini.

Ambu berpesan, aku tidak boleh lengah jika ingin menjaga keperawanan. Takutnya kalau aku lengah, minuman itu dimanfaatkan oleh laki-laki hidung belang, dicampur adukkan dengan pil yang tidak aku mengerti. Membayangkannya saja aku sudah bergidik ngeri.

“Terus maksud Om, booking itu apa?”

Hebat sekali orang tua ini, walaupun sudah lansia. Tetapi, masih tetap kuat meminum minuman yang mengandung alkohol. Dia masih waras, belum mabuk berat.

“Kita jalan-jalan saja. Misalnya temenin Om makan siang, nonton, shopping. Selama di sini Wulan belum pernah shopping 'kan?”

Aku berpikir sejenak. Menimang-nimang ajakan laki-laki beristrikan Ratna Ayu.

“Om tidak bohong kalau tidak akan mengajakku ke hotel? Hanya mengajakku jalan-jalan saja?” Aku memastikan jika ucapan Om Sutiyoso tidaklah bohong.

“Tidak, Lan. Lagian Om cuma minta ditemani dari pukul delapan pagi sampai jam lima sore. Setelah itu, Om antar kamu ke sini lagi.”

Aku bersandar di sofa sambil menyilangkan kedua tangan di depan dada.

“Bayarannya berapa?”

“Ini cek kosong. Wulan tinggal isi. Tetapi, satu lagi ... Di luar sana, Wulan harus bersikap manja dan centil kayak biasanya, oke?”

Om Sutiyoso menjawil dagu lancipku. Aku mengambil secarik kertas persegi panjang itu. Mengibas-ibaskannya lalu terbersit ide. Mungkin ide ini awal dari kesuksesanku yang sesungguhnya.

Aku memberikan kembali cek ke telapak tangan Pak Sutiyoso.

“Kali ini Wulan tidak mau uang. Tetapi, Wulan mau pekerjaan!” ucapku dengan sangat yakin.

“Pekerjaan? Pekerjaan apa?”

Om Sutiyoso menatapku lekat. Aroma alkohol dari mulutnya tercium jelas.

“Aku ingin bekerja di kantor, Om. Minimal jadi sekretaris.”

Kelopak mata Pak Sutiyoso membulat. Mungkin dia terkejut dengan permintaanku.

“Wulan pernah kuliah?”

“Tidak. Tetapi, waktu masih sekolah, aku salah satu siswa berprestasi. Sebelum memberikan pekerjaan, Om bisa tes aku dulu. Asalkan kasih aku materinya. Apa saja yang harus aku pelajari dan kerjakan. Apa Om ragu dengan kemampuanku?”

Aku menatap lekat laki-laki yang usianya mungkin sebaya dengan Abah.

Om Sutiyoso menggeleng cepat, “Bukan, bukan begitu, Lan. Justru Om semakin kagum sama kamu. Ternyata Wulan wanita yang ambisius. Bagus itu! Calon wanita yang sukses.”

Mendapat pujian, aku tersenyum bangga. Ya, aku memang harus sukses. Harus banyak uang. Harus!

Tiba-tiba aku membayangkan berpakaian wanita kantoran yang sering kutonton di televisi. Sepertinya aku semakin cantik jika mengenakan pakaian seperti itu. Bibirku menyunggingkan senyum percaya diri.

Aku menoleh ke arah Om Sutiyoso yang sedang meneguk minumannya kembali.

“Kalau Om keberatan, tidak masalah. Berarti besok aku tidak bisa menemani, Om!” Ancamku dengan wajah ditekuk.

Apa mungkin tua bangka ini meragukan kecerdasanku?

“Tidak, Om tidak keberatan. Om sangat senang. Setidaknya hubungan kita semakin dekat. Hahaha ....” Gelak tawa yang menjijikkan!

Aku bukan anak kecil yang tak tahu laki-laki yang dalam otaknya hanya nafsu dan nafsu saja.

Om Sutiyoso tipikal laki-laki yang haus kasih sayang. Aku memaklumi soalnya istri Om Sutiyoso itu seperti Harimau betina. Begitulah kesimpulanku menangkap cerita dari mulut Om Sutiyoso.

***

Jarum jam belum menunjukkan angka delapan pagi dengan tepat. Namun, Om Sutiyoso sudah menampakkan batang hidung.

Penghuni rumah petak di sebelah kanan kiriku mulai berkasak-kusuk. Samar kudengar mereka berbicara.

“Si Wulan ternyata sekarang jadi simpanan Om-om.” Mpok Tarmi mulai menyebar gosip murahan.

“Sayang banget, punya wajah cantik bukannya cari laki yang single dan muda malah pilih bandot tua.” Si Yeni yang usianya lebih muda setahun dariku menimpali.

“Jangan salah, bandot tua juga banyak duit. Lah, mobilnya juga bagus banget.”

Telingaku mulai terasa panas! Tetapi, biarlah. Tidak ada guna melayani perkataan mereka. Toh, Mpok Tarmi dan si Yeni tidak pernah memberikan aku yang!

Om Sutiyoso membukakan pintu mobil mewahnya. Setelah aku duduk dengan nyaman, tua bangka itu masuk ke jok pengemudi. Lalu, kendaraan yang kami tumpangi pun melaju, meninggalkan kontrakan petak.

***

Sesuai kesepakatan, sepanjang jalan aku bermanja-manja dengannya. Tak peduli dengan tatapan sinis orang lain. Bagiku sekali lagi, yang penting duit!

Tempat pertama yang kami kunjungi adalah bioskop yang terletak di pusat perbelanjaan.

Jujur saja, baru kali ini kakiku menginjakkan Mall. Waktu di Desa, jangankan ke Mall, ke pasar pun jarang sekali. Mungkin hanya menjelang Idul Fitri.

“Sayang, sambil nunggu filmnya mulai. Kita belanja dulu, ya?”

Hah? Sayang?

“Oke, Sayang!” sahutku menggamit lengannya manja.

Alamaaakk ... Tua bangka ini wajahnya langsung sumringah. Dasar laki-laki kurang kasih sayang.

Aku berjalan sambil menahan tawa.

Di depan toko sepatu, aku dilayani bak seorang Ratu. Duduk di sofa empuk, seorang karyawan wanita berambut sebahu begitu telaten memasangkan sepatu pada kaki jenjangku.

Beberapa kali kutolak sepatu yang karyawan itu pasangkan. Sebenarnya bukan aku tak suka. Tetapi, bingung harus pilih yang mana.

Aku melirik Om Sutiyoso. Dia berdiri tak jauh dariku. Aku melempar senyum genit saat kami beradu pandang.

Pemilik toko menghampiri tua bangka itu, oh rupanya Pemilik toko ini teman Om Sutiyoso.

“Yos, itu pacar kau?” tanya si Pemilik toko. Aku pura-pura acuh.

“Iya dong!”

Si tua bangka hanya tersenyum. Melipat kedua tangan ke depan dada. Perut buncitnya maju beberapa senti.

Sekitar setengah jam kami berada di toko ini. Om Sutiyoso menghampiri.

“Sayang, sepuluh menit lagi filmya dimulai. Ayo, cepat pilih sepatunya.”

“Aku suka sepatu yang ini, itu, sama yang dipegang si Mbak.”

“Ya sudah ambil semua. Mbak tolong diberesin. Hei, Jok! Uangnya nanti aku transfer sajalah. Rekening kau masih sama ‘kan?”

“Masih! Aku tunggu transferannya, Yos!” sahut Pak Joko mengacungkan ibu jari.

Kami berjalan setengah berlari. Namun, tiba-tiba Om Sutiyoso menghentikkan langkah saat seorang wanita berpakaian glamour mendekati kami. Tua bangka juga menepis tanganku dari lengannya.

“Siapa dia, Pak?”

Wanita yang kutaksir seumuran dengan Pak Sutiyoso bertanya. Matanya menelisikku dari ujung kepala sampai ujung kaki.

“Di-dia, sekretaris Bapak, Bu.”

Bu? Jangan-jangan wanita yang berdiri angkuh di hadapanku adalah istri si tua bangka.

“Benar kamu sekretarisnya?”

“Iya, Bu,” jawabku setenang mungkin.

Wanita yang bernama Ratna Ayu mendekatiku hingga jarak kami hanya beberapa senti.

“Mulai hari ini, kamu dipecat!!!”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Wanita Penggoda   Kembali ke Profesi Awal

    Sudah satu tahun aku dan Wulan menjalani bahtera rumah tangga. Sekarang buah cinta kami telah lahir. Namanya Alan Hermawan. Wulan bilang Alan artinya Ambang Wulan. Keren kan?Sudah menjadi rutinitas, tiap pagi sebelum berangkat kerja aku memandikan Alan, mencuci pakaian dan mencuci piring. Sedangkan Wulan istriku hanya memakaikan baju Alan. Tidak masalah, itu sudah sangat membantu. “Alan ... Papa Ambang berangkat kerja. Alan jagain Mama.” Bayi Alan tersenyum. Dia sangat tampan sepertiku.“Lan ... Mas berangkat.”“Iya.” Aku sudah terbiasa dengan sikap cuek Wulan. “Botol susu Alan sudah Mas bersihin semua. Nanti kalau Alan nangis, cepat-cepat kasih susu. Sukur-sukur kamu mau ngasih dia Asi.”“Aku kan udah bilang Mas. Gak mau ngasih ASI. Susu formula udah cukup buat dia!” Wulan menghardik. Entah mengapa, kadang aku merasa Wulan seolah tidak peduli dengan bayinya.“Tapi Lan, kata dokter susu ASI lebih bagus dari susu formula.” Bujukku tanpa henti.“Gak peduli. Sekarang Mas mending pergi

  • Wanita Penggoda   Ingat Mantan

    Setelah melakukan diskusi yang alot dengan si bujang lapuk. Solusi yang dia berikan sangat tidak berbobot hingga tidak terjangkau oleh otak berlianku. Maka aku putuskan, untuk mengubur kembali dua ATM ke dalam tanah belakang rumah tengah malam nanti.Mahardika keluar ruangan dengan langkah tak bersemangat, mungkin dia bersedih sebab ide yang menurutnya sangat berlian aku tolak mentah-mentah.Tak berselang lama ponsel berbunyi. Minceu? “Mayaaaang ... yey kenapa ingkar janji? Eyke nunggu yey dari bedug subuh ampe gini hari tapi belon juga nongol batang idung yey! aduuhh eyke pusiaaangg ....” Buset! Suara toa si Minceu memekakakan gendang telinga.“Tadi gue ke lampu merah. Lo nya gak ada.” Suara khas lelaki sejati menggema di sudut ruangan.“Yey pasti bohong! Yey jahara Mayaaaang ....”“Brisik lo!”“Pokonya jam lima sore eyke tunggu di tempat biasa. Awas kalo yey gak datang!” Klik!*** Senja semakin merambat cepat. Tak terasa jarum di arloji mahalku sudah menunjukkan angka empat.Me

  • Wanita Penggoda   Gak Ngerti

    Aku memerhatikan secara seksama cara makan Wulan. Cara makan dia yang sekarang berbeda sekali. Sebelumnya kalau makan dia sangat anggun, sekarang sangat rakus. Aku menelan ludah menyaksikan panorama aneh di depan mata.“Lan, Semua makanan itu habis?” Wulan mendongak sambil menjilati sisa makanan dijemari.“Enggak Mas, itu sih donat tiga lagi. Cokelat juga masih ada sepotong. Tuh bakso juga masih ada dua lagi. Mas mau? Makan aja. Lalan mau gosok gigi, abis itu tidur. Mamacih ya Mas Ambang ....”Akhirnya daripada mubazir, makanan terbuang sia-sia, sisa makanan itu aku habiskan. Ya ... aku emang sengaja menunggu sisa makanan itu. Lumayan kan hemat.*** Pagi sekali mendengar suara Wulan muntah-muntah. Sebagai suami yang siaga, aku langsung menemuinya yang berada di kamar mandi.Ooooeeekk ... oooooeeeekkk ....“Sayang, kamu gak apa-apa?” Wulan menoleh. Mukanya merah padam seperti kepiting rebus.“Maas ... obat anti mual Lalan habis. Tolong beliin ya? Kalau gini terus Lalan gak bisa kerjaa

  • Wanita Penggoda   Keceplosan

    “Pokoknya aku mau ke rumah sakit sekarang!!!” Suara Wulan setengah berteriak. Aku garuk-garuk kepala. Membayangkan biaya yang akan keluar jika berobat ke rumah sakit. “Gak bisa, Sayang. Mas harus ke kantor sekarang. Ini udah telat banget. Kamu baik-baik ya?” “Mas kejam! Gak perhatian! Gak sayang Lalan!!” Tangis istriku membahana memenuhi kamar tercinta kami.“Iya, iya, Lan ... kita ke rumah sakit sekarang.”Akhirnya aku mengalah. Jiwa lelaki sejatiku tak tega membiarkan Wulan mengeluarkan airmata walaupun setetes. Terlalu berharga.*** Tiba di rumah sakit, Wulan langsung memeriksakan kondisi tubuhnya. Dengan sabar dan penuh keikhlasan aku menunggu.Sejujurnya diriku kurang nyaman berada di rumah sakit. Apalagi jika berpapasan dengan para dokter atau perawat wanita, mereka suka melempar senyum. Seolah sangat mengagumi dan terpesona padaku. Ah, resiko orang tampan memang selalu menjadi pusat perhatian, selalu diberi senyuman gratis oleh wanita-wanita cantik.“Suami Mbak Wulandari.” A

  • Wanita Penggoda   Obat

    “Nanti juga lo tau.” Jawaban yang tidak menjawab pertanyaan! “Gue kenal gak?”“Kenal.” “Iyalah pasti kenal. Siapa sih yang gak kenal laki-laki tampan kayak gue? Hampir, hampir cewek-cewek cakep yang tinggal di Indonesia Raya ini pasti kenal Bambang Hermawan.” Terima kasih Tuhan, atas anugerah ketampanan yang Kau berikan padaku.“Gue mau tanya nih.”“Tanya aja,” sahutku cool dengan kedua tangan bersidekap di depan dada.“Waktu sama Vaniaaa ... kalau mau berhubungan itu, lo minum obat dulu?” Aku tak menyangka Mahardika bertanya soal itu. Aku kira, tanya bagaimana cara mempertahankan ketampanan atau tata cara membuat para cewek terpikat. “Jangan-jangan waktu sama Vania lo belum pernah cetak gol?”Sialan! Si Mahardika lancang! Tapi, emang bener sih. Aku melihat si imut. Lalu menggeleng.Tidak ada angin, tidak ada hujan Mahardika ketawa terpingkal-pingkal. Tingkah si bujang lapuk itu bikin malu. Para pengunjung di tempat ini menoleh dan memperhatikan kami. “Berhenti woy! Sarap lo! Dili

  • Wanita Penggoda   Cewek Bujang Lapuk

    Pagi ini, rasanya badan pegal-pegal semua. Ditambah perut yang masih keroncongan. Jam dinding sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Istriku sudah rapi dengan pakaian kerjan. Makin hari, dia makin cantik, makin montok, dan makin seksi. Tak salah aku menjadikannya istri.“Mas, bangun tidur kok melamun? Lalan udah masakin nasi goreng. Sarapan dulu gih!” Mendengar kata sarapan, mataku berbinar. Tanpa menunggu lama, langsung berlari menuju dapur. Maklum, seharian kemarin tidak makan nasi.Membuka tutup saji, ternyata benar ada nasi goreng dan ceplok telur. Wulan sungguh istri idaman. Aku tarik kursi lalu duduk. Mengambil piring, menyendok secentong nasi. Belum sempat menyuapkan nasi ke dalam mulut, wangi khas tubuh Wulan menyeruak.“Maaasshh ... Lalan berangkat duluan ya?”“Gak mau sarapan dulu?”“Gak usah nanti aja.”“Oke deh!”“Mas abis sarapan jangan lupa mandi.”“Aduh sayang, kalo mandi dulu nanti telat masuk kantor.”“Oh ya udah. Panu Masnya juga kan udah mendingan. Gak apa-apa deh.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status