Share

2. Perempuan Muda yang Menarik

Setelah mengantarkan Vita pulang, saat Tanjung kembali, ia melihat Narumi yang masih duduk di kursinya, tidak berpindah sedikit pun. Gelas tehnya sudah kosong dan perempuan itu tetap menyilangkan kaki sambil menatap tajam Tanjung. 

Sekilas Tanjung melirik kursi sang ayah yang sudah kosong.

“Aku tidak mengizinkanmu mengantarnya.” 

Kalimat itu diakhiri oleh titik. Artinya tidak boleh ada bantahan. Dan seperti biasa, Tanjung hanya berdiri kaku di hadapan wanita itu.

Bibir tipis yang terpoles lipstik merah itu mengetat. “Dan siapa yang menyuruhmu membawanya ke sini?”

Tanjung mengepalkan tangan. Rahangnya yang tajam kian mengeras. “Dia kekasihku. Aku tidak perlu izin siapa pun.”

Satu alis Narumi terangkat, seolah mendengar omong kosong dari bocah TK. “Tidak perlu izin siapa pun?” Wanita berumur kepala lima itu menatap bosan pada cangkirnya. “Kau yakin?”

Pertanyaan penuh intimidasi itu seolah menembak dada Tanjung telak. Sudah jutaan kali dia mendengarnya dan seolah menjadi remot pengendali yang menundukkannya.

Saat dia tidak menjawab, cangkir itu melayang menimpa dada kirinya. Begitu tiba-tiba tapi sudah Tanjung prediksi sebelumnya. Gelas itu kemudian jatuh menimpa kakinya sampai akhirnya mengenai lantai dan pecah berserakan.

Tubuh Tanjung menegak, sangat familiar dengan rasa sakit itu. Kedua tangannya ia bawa ke belakang. Melakukan apa yang sejak dulu selalu ia lakukan. Bersikap seolah dirinyalah yang paling bersalah.

“Matamu sudah katarak sampai tidak melihatku, hm? Aku adalah ibumu, tentu kau harus mendapatkan restuku untuk menikah dengan siapa pun. Jangan menjadi anak durhaka, Tanjung. Karena aku sudah merawatmu dengan senang hati dan menampungmu di rumahku. Jadi tahu diri dan balas budilah sedikit saja.”

Tanjung menunduk menahan getaran di tubuhnya. Rasa marah, terhina dan emosi yang berkecamuk berpadu di dadanya. 

“Kau sudah kehilangan rasa takutmu padaku?”

Tanjung mengangkat wajah. Pada mata yang ujungnya meruncing, sangat tajam meski tidak dipenuhi riasan yang tebal. Sorot mata setajam elang yang seolah siap memotong-motong habis lawan bicaranya dan sikap yang sangat percaya diri. Rasanya aura hitam Narumi tak pernah luntur dan selalu sukses membuat Tanjung gentar.

“Ingat ini, Tanjung. Kau tidak akan pernah menjadi siapa-siapa tanpaku.” Silangan kaki yang angkuh itu terurai. Narumi bangkit dan berdiri menjulang seolah menegaskan bahwa dirinya-lah yang punya kuasa tertinggi untuk menentukan hidup orang-orang di rumah ini.

Kemudian kaki jenjang yang terawat itu meninggalkan sofa dan menjauh dari ruang tengah. Ketukan sepatu tingginya seperti palu yang memukul-mukul kepala Tanjung. 

Ruang tengah yang maha luas bernuansa emas itu terasa sangat panas menembus organ-organ tubuhnya.

Sampai kapan dirinya harus dikuasai oleh perempuan itu?

*** 

Dia berada di sini, di kursi bar depan bartender sambil memutar gelas champagne-nya dengan pandangan kosong. Tak terpengaruh dengan entakan musik yang kian cepat dan goyangan orang-orang yang kesetanan.

Mungkin untuk melepas penat sekejap sebelum kembali ke dalam medan pertempuran—rumah—atau mungkin untuk melampiaskan seluruh emosinya yang tertahan sejak tadi.

Ia sampai berpikir untuk melakukan hal-hal gila malam ini, namun kembali mengingat konsekuensi apa yang akan dia dapatkan.

Wanita itu akan membabat habis semua harga dirinya dan melukai mentalnya sampai hancur tak bersisa. Lagi dan lagi. Tanjung akan terus dikuasai oleh perempuan itu.

Ia mendesah frustrasi ketika seorang perempuan berbadan indah dan bargaun kuning duduk di sampingnya, dengan sengaja meliukkan pinggang. Tanjung hanya melirik sekilas lalu kembalii fokus pada gelas champagne-nya yang masih tersisa setengah, tak tertarik meski tubuh serupa gitar spanyol itu sudah menggeliat menggodanya.

“Sendirian? Kau sepertinya punya banyak masalah.” Perempuan berwajah kecil dengan bibir yang berkilat merah muda itu mengerling menggoda meskipun Tanjung mengabaikannya.

 

“Aku memperhatikanmu sejak tadi. Kau sangat … sesuai tipeku.” Dengan terang-terangan perempuan berambut cokelat bergelombang itu menelusuri tubuh dan penampilan Tanjung. 

Tanjung menenggak minumannya tanpa mengindahkan. 

“Aku bisa membantumu melupakan masalahmu.” Wanita itu mengibas rambut dan memperlihatkan leher jenjang dan tulang selangka yang mencuat indah.

Tanjung akhirnya memberikan perhatian. “Kalau menyelesaikan masalahku, kau bisa?”

Senyum menggoda sang wanita luntur ketika mendapati pertanyaan menantang itu.

“Masalah bukan untuk dilupakan, tapi diselesaikan.” Tanjung kembali menenggak minumannya sampai habis kemudian membanting gelas ke meja bar. 

Bersamaan dengan itu, suara ribut-ribut mulai terdengar sampai mengalahkan bunyi musik. Namun, Tanjung tidak cukup penasaran untuk menoleh. 

Sampai keributan itu semakin pecah dan orang-orang di lantai dansa berhenti bergoyang dan mulai mengintip ke kerumunan yang dipenuhi suara jeritan perempuan, bantingan botol dan suara perkelahian.

Mau tak mau Tanjung menoleh juga, dan pemandangan pertama yang dilihatnya adalah seorang perempuan setengah baya—yang dandanannya seperti istri pejabat—sedang menuang minuman ke dalam gelas sebanyak mungkin sampai meluber ke mana-mana. Raut wajahnya terlihat sangat marah.

Kemudian wanita itu melemparkan isinya ke dada seorang perempuan muda bergaun hitam lalu menuang lagi kemudian maju untuk menyiram kepala perempuan muda itu. 

Tanjung menyipit melihat kehebohan itu, lebih seperti pembully-an masa sekolah di mana sang korban hanya diam dan tidak menanggapi. Tapi korban yang ini sama sekali tidak tertekan dan hanya berekspresi santai, bahkan tersenyum saat wine merah itu sudah selesai melaksanakan tugasnya alias sudah membasahi sekujur tubuhnya.

Tanjung mulai tertarik.

Karakter seperti apa yang dimiliki seseorang sampai dia hanya tersenyum di tengah penindasan yang memalukan itu?

Ia memutar kursi 90 derajat untuk menonton lebih jauh.

Lalu suara musik mulai memelan dan tenggelam.

“Dasar Jalang! Berainya kau menggoda suamiku! Perempuan tidak tahu malu!”

Sedang sang suami yang masih rapi dan kering sama sekali tak berkutik, hanya megap-megap seperti ikan yang berada di daratan, ingin melerai tapi takut.

“Dasar gatal! Cari laki-laki yang tidak bersuami! Jangan menggoda suamiku lalu mengeruk uangnya, Pelacur!”

Tanjung bergidik oleh hinaan yang luar biasa memalukan itu. Tapi anehnya, sang perempuan muda yang sudah lengket oleh red wine itu lagi-lagi hanya tersenyum.

Rambut hitamnya yang basah ia kibaskan dengan cara yang lihai dan terlihat seolah sedang menggoda, lalu mengikat rambutnya tinggi-tinggi sampai bahunya yang indah terekspos, basah dan berkilat.

Dia pasti ahli menggoda pria, batin Tanjung. Semakin tertarik.

Dan ia bisa melihat pria-pria yang menonton terkesima bahkan menelan ludah dengan wajah mendamba.

Perempuan muda itu berdiri percaya diri. Tak goyah sama sekali. Sorot matanya memberikan ejekan. 

“Saya hanya menyediakan jasa, Nyonya. Dia yang datang pada saya. Anda pernah beli tas ‘kan?” Lalu matanya mengarah pada tas mahal di tangan wanita paruh baya itu. “Apa tas itu yang datang kepada Anda untuk menawarkan diri dan meminta-minta untuk dibeli?”

Hening menyergap, bahkan suara musik sudah terhenti sama sekali.

“Dia hanya terpajang di etalase. Pembeli seperti Anda yang akan datang untuk melihat lalu membayar. Saya adalah tas itu, alias pelacur alias jalang dan perempuan yang menjual tubuh saya. Karena laki-laki itu yang datang pada saya, merayu bahkan mengemis-ngemis.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status