Setelah mengantarkan Vita pulang, saat Tanjung kembali, ia melihat Narumi yang masih duduk di kursinya, tidak berpindah sedikit pun. Gelas tehnya sudah kosong dan perempuan itu tetap menyilangkan kaki sambil menatap tajam Tanjung.
Sekilas Tanjung melirik kursi sang ayah yang sudah kosong.
“Aku tidak mengizinkanmu mengantarnya.”
Kalimat itu diakhiri oleh titik. Artinya tidak boleh ada bantahan. Dan seperti biasa, Tanjung hanya berdiri kaku di hadapan wanita itu.
Bibir tipis yang terpoles lipstik merah itu mengetat. “Dan siapa yang menyuruhmu membawanya ke sini?”
Tanjung mengepalkan tangan. Rahangnya yang tajam kian mengeras. “Dia kekasihku. Aku tidak perlu izin siapa pun.”
Satu alis Narumi terangkat, seolah mendengar omong kosong dari bocah TK. “Tidak perlu izin siapa pun?” Wanita berumur kepala lima itu menatap bosan pada cangkirnya. “Kau yakin?”
Pertanyaan penuh intimidasi itu seolah menembak dada Tanjung telak. Sudah jutaan kali dia mendengarnya dan seolah menjadi remot pengendali yang menundukkannya.
Saat dia tidak menjawab, cangkir itu melayang menimpa dada kirinya. Begitu tiba-tiba tapi sudah Tanjung prediksi sebelumnya. Gelas itu kemudian jatuh menimpa kakinya sampai akhirnya mengenai lantai dan pecah berserakan.
Tubuh Tanjung menegak, sangat familiar dengan rasa sakit itu. Kedua tangannya ia bawa ke belakang. Melakukan apa yang sejak dulu selalu ia lakukan. Bersikap seolah dirinyalah yang paling bersalah.
“Matamu sudah katarak sampai tidak melihatku, hm? Aku adalah ibumu, tentu kau harus mendapatkan restuku untuk menikah dengan siapa pun. Jangan menjadi anak durhaka, Tanjung. Karena aku sudah merawatmu dengan senang hati dan menampungmu di rumahku. Jadi tahu diri dan balas budilah sedikit saja.”
Tanjung menunduk menahan getaran di tubuhnya. Rasa marah, terhina dan emosi yang berkecamuk berpadu di dadanya.
“Kau sudah kehilangan rasa takutmu padaku?”
Tanjung mengangkat wajah. Pada mata yang ujungnya meruncing, sangat tajam meski tidak dipenuhi riasan yang tebal. Sorot mata setajam elang yang seolah siap memotong-motong habis lawan bicaranya dan sikap yang sangat percaya diri. Rasanya aura hitam Narumi tak pernah luntur dan selalu sukses membuat Tanjung gentar.
“Ingat ini, Tanjung. Kau tidak akan pernah menjadi siapa-siapa tanpaku.” Silangan kaki yang angkuh itu terurai. Narumi bangkit dan berdiri menjulang seolah menegaskan bahwa dirinya-lah yang punya kuasa tertinggi untuk menentukan hidup orang-orang di rumah ini.
Kemudian kaki jenjang yang terawat itu meninggalkan sofa dan menjauh dari ruang tengah. Ketukan sepatu tingginya seperti palu yang memukul-mukul kepala Tanjung.
Ruang tengah yang maha luas bernuansa emas itu terasa sangat panas menembus organ-organ tubuhnya.
Sampai kapan dirinya harus dikuasai oleh perempuan itu?
***
Dia berada di sini, di kursi bar depan bartender sambil memutar gelas champagne-nya dengan pandangan kosong. Tak terpengaruh dengan entakan musik yang kian cepat dan goyangan orang-orang yang kesetanan.
Mungkin untuk melepas penat sekejap sebelum kembali ke dalam medan pertempuran—rumah—atau mungkin untuk melampiaskan seluruh emosinya yang tertahan sejak tadi.
Ia sampai berpikir untuk melakukan hal-hal gila malam ini, namun kembali mengingat konsekuensi apa yang akan dia dapatkan.
Wanita itu akan membabat habis semua harga dirinya dan melukai mentalnya sampai hancur tak bersisa. Lagi dan lagi. Tanjung akan terus dikuasai oleh perempuan itu.
Ia mendesah frustrasi ketika seorang perempuan berbadan indah dan bargaun kuning duduk di sampingnya, dengan sengaja meliukkan pinggang. Tanjung hanya melirik sekilas lalu kembalii fokus pada gelas champagne-nya yang masih tersisa setengah, tak tertarik meski tubuh serupa gitar spanyol itu sudah menggeliat menggodanya.
“Sendirian? Kau sepertinya punya banyak masalah.” Perempuan berwajah kecil dengan bibir yang berkilat merah muda itu mengerling menggoda meskipun Tanjung mengabaikannya.
“Aku memperhatikanmu sejak tadi. Kau sangat … sesuai tipeku.” Dengan terang-terangan perempuan berambut cokelat bergelombang itu menelusuri tubuh dan penampilan Tanjung.Tanjung menenggak minumannya tanpa mengindahkan.
“Aku bisa membantumu melupakan masalahmu.” Wanita itu mengibas rambut dan memperlihatkan leher jenjang dan tulang selangka yang mencuat indah.
Tanjung akhirnya memberikan perhatian. “Kalau menyelesaikan masalahku, kau bisa?”
Senyum menggoda sang wanita luntur ketika mendapati pertanyaan menantang itu.
“Masalah bukan untuk dilupakan, tapi diselesaikan.” Tanjung kembali menenggak minumannya sampai habis kemudian membanting gelas ke meja bar.
Bersamaan dengan itu, suara ribut-ribut mulai terdengar sampai mengalahkan bunyi musik. Namun, Tanjung tidak cukup penasaran untuk menoleh.
Sampai keributan itu semakin pecah dan orang-orang di lantai dansa berhenti bergoyang dan mulai mengintip ke kerumunan yang dipenuhi suara jeritan perempuan, bantingan botol dan suara perkelahian.
Mau tak mau Tanjung menoleh juga, dan pemandangan pertama yang dilihatnya adalah seorang perempuan setengah baya—yang dandanannya seperti istri pejabat—sedang menuang minuman ke dalam gelas sebanyak mungkin sampai meluber ke mana-mana. Raut wajahnya terlihat sangat marah.
Kemudian wanita itu melemparkan isinya ke dada seorang perempuan muda bergaun hitam lalu menuang lagi kemudian maju untuk menyiram kepala perempuan muda itu.
Tanjung menyipit melihat kehebohan itu, lebih seperti pembully-an masa sekolah di mana sang korban hanya diam dan tidak menanggapi. Tapi korban yang ini sama sekali tidak tertekan dan hanya berekspresi santai, bahkan tersenyum saat wine merah itu sudah selesai melaksanakan tugasnya alias sudah membasahi sekujur tubuhnya.
Tanjung mulai tertarik.
Karakter seperti apa yang dimiliki seseorang sampai dia hanya tersenyum di tengah penindasan yang memalukan itu?
Ia memutar kursi 90 derajat untuk menonton lebih jauh.
Lalu suara musik mulai memelan dan tenggelam.
“Dasar Jalang! Berainya kau menggoda suamiku! Perempuan tidak tahu malu!”
Sedang sang suami yang masih rapi dan kering sama sekali tak berkutik, hanya megap-megap seperti ikan yang berada di daratan, ingin melerai tapi takut.
“Dasar gatal! Cari laki-laki yang tidak bersuami! Jangan menggoda suamiku lalu mengeruk uangnya, Pelacur!”
Tanjung bergidik oleh hinaan yang luar biasa memalukan itu. Tapi anehnya, sang perempuan muda yang sudah lengket oleh red wine itu lagi-lagi hanya tersenyum.
Rambut hitamnya yang basah ia kibaskan dengan cara yang lihai dan terlihat seolah sedang menggoda, lalu mengikat rambutnya tinggi-tinggi sampai bahunya yang indah terekspos, basah dan berkilat.
Dia pasti ahli menggoda pria, batin Tanjung. Semakin tertarik.
Dan ia bisa melihat pria-pria yang menonton terkesima bahkan menelan ludah dengan wajah mendamba.
Perempuan muda itu berdiri percaya diri. Tak goyah sama sekali. Sorot matanya memberikan ejekan.
“Saya hanya menyediakan jasa, Nyonya. Dia yang datang pada saya. Anda pernah beli tas ‘kan?” Lalu matanya mengarah pada tas mahal di tangan wanita paruh baya itu. “Apa tas itu yang datang kepada Anda untuk menawarkan diri dan meminta-minta untuk dibeli?”
Hening menyergap, bahkan suara musik sudah terhenti sama sekali.
“Dia hanya terpajang di etalase. Pembeli seperti Anda yang akan datang untuk melihat lalu membayar. Saya adalah tas itu, alias pelacur alias jalang dan perempuan yang menjual tubuh saya. Karena laki-laki itu yang datang pada saya, merayu bahkan mengemis-ngemis.”
Lalu ucapan penuh retorika itu diakhiri dengan satu senyuman merendahkan dari perempuan itu. Dengan wajah yang mulus tanpa celah, kulit seputih dan secerah susu serta tubuh yang langsing dan tinggi, tidak salah kalau dia mengatakan bahwa laki-lakilah yang akan mengemis padanya.Tanjung bahkan sempat mengira bahwa mereka sedang syuting film dan perempuan itu adalah tokoh utamanya. Seperti top model atau bahkan aktris profesional yang sering wara-wiri di layar kaca.Sangat cantik dengan karakter dan aura yang menarik.Gigi dari istri laki-laki tua yang setengah botak dan berperut buncit itu bergemelutuk. Menahan amarah dan siap melempar botol kosong di atas meja ketika seorang pria tinggi dengan tubuh kurus menghalangi.“Maafkan kami, Bu. Tolong jangan buat keributan di sini. Dia adalah pekerja kami.”Mata wanita bersanggul tinggi itu melotot. “Memangnya kenapa? Dia sudah menggoda suamiku!”“Ke mana semua pe
“Sial! Badanku lengket semua!” Serina duduk di sofa ruangan Bos, tempat yang ditempati Leon dan Brata—pemilik club. Leon duduk di hadapannya sambil terus menghela napas. “Harusnya kau tidak usah meladeninya. Langsung panggil aku atau pengawal saja.” Serina tidak menanggapi, malah sibuk menyeka dadanya yang lengket dengan tisu basah. “Kita bisa menyelesaikan masalahnya dengan baik-baik dan mengantar mereka pulang dengan tenang.” Serina memutar bola mata, menjauhkan tisu basah yang sudah penuh dengan bekas wine dari dadanya. “Lalu membayar ganti rugi? Memang apa salahnya berargumen sedikit? Bukannya menyentil kelamin suaminya, dia malah menyerangku. Bodoh sekali. Memangnya aku yang menggendong suaminya untuk datang ke sini?” Leon mendesah takjub pada pilihan kata-kata Serina yang unik. Ia menyandarkan punggung ke sofa dengan wajah lelah lalu menatap Serina tidak enak. “Ini penghinaan terakhir yang kudapatkan. Setelah ini aku harap kau melindungi para pekerja dengan baik. Bukan m
Didorong oleh rasa penasaran yang tinggi, Tanjung sampai ke koridor panjang yang remang-remang dan jauh dari ingar bingar musik. Mengikuti punggung perempuan bergaun hitam tadi. Wanita itu menyusuri lorong ini dengan langkah terburu-buru.Ia terus berjalan meskipun sudah kehilangan jejak dan tiak tahu di ruangan mana wanita itu masuk. Semuanya terlihat sama. Hingga ia mendengar bunyi ketukan sepatu yang bergema cepat dan suara umpatan. Suara itu semakin dekat sampai akhirnya ia bisa mendengar jelas makian apa yang tengah bergaung itu.“Sial! Brata Berengsek! Dia kira aku sapi perah yang bisa menghasilkan uang seenak dia?! Sialan! Dia pikir aku tidak berani melukai tubuh atau wajahku untuk keluar dari sini? Lihat saja kau, Berengsek! Akan kuhancurkan club sialanmu ini!”Rentetan umpatan itu membuat bulu kuduk Tanjung merinding, sampai ketika ia bisa melihat seorang perempuan tinggi yang berjalan cepat ke arahnya. Ia menyipitkan mata dan mengenali wanita itu.Wanita yang sangat menarik
“Jadi istriku.”Serina hampir mengira dirinya salah dengar. Dada mereka bersentuhan dan ia bisa merasakan gerakan naik turun dada Tanjung yang semakin cepat.Ia mendorong laki-laki itu dan memberikan jarak di antara mereka. Syukurlah, kali ini tubuh Tanjung bergerak, dan Serina bisa melihat mata Tanjung yang bergetar dan memerah. Bola mata Tanjung seperti tidak fokus, seolah berusaha menghindari tatapan Serina. “Istri kau bilang?” Serina tidak habis pikir. “Banyak laki-laki yang tertarik padaku, tapi baru kali ini ada yang memintaku menjadi istrinya.”Serina gemas sekali. Ingin rasanya ia mengangkat dagu laki-laki itu dan membuatnya menatap matanya. Ia seperti sedang berhadapan dengan murid SD yang sedang mengakui kesalahannya di depan guru. “Apa alasanmu? Kita baru pertama kali bertemu.” Lalu Serina membulatkan mata lima detik kemudian. “Oh, apa cinta pada pandangan pertama?” Ditatapnya lelaki itu ngeri.Tanjung tidak menjawab.Dan Serina menertawakan terang-terangan. “Kau ingin m
Serina belum mengambil keputusan yang bulat sepenuhnya. Ia patahkan sorot mata yang berbinar itu dalam satu tatapan tegas.“Jangan senang dulu. Aku ingin kau menghadapi seseorang terlebih dulu.”Namun, tidak seperti dugaannya. Binar di mata Tanjung tidak surut sama sekali. “Aku akan menghadapinya.”Tanjung bisa menghadapi segala jenis orang kecuali Narumi. Ia bisa bernegosiasi dengan cepat dan mengambil keputusan akhir yang menguntungkan. “Mana orangnya?”Alih-alih menunjukkan orangnya, Serina malah melempar surat kontrak yang sejak tadi diremasnya ke atas meja. “Ini surat kontrakku bersama orang itu. Namanya Brata, pemilik tempat ini. Sesuai dengan tanggal perjanjian, seharusnya aku sudah bisa kelaur dari sini hari ini, tapi si Brata sialan itu malah mencantumkan pasal penipuan di bagian bawah.”Tanjung membaca baik-baik isi surat itu dan menemukan poin terakhir yang membuat dahinya berkerut. Sekarang dia tidak terlihat seperti anak kecil yang merengek lagi. Sorot matanya serius dan
Serina mengedikkan kepala tidak peduli melihat mayat laki-laki mungil malang yang jatuh di bawah ranjang. Lalu pandangannya yang tak acuh kembali ia tujukan pada Brata yang masih mematung tidak percaya.“Pakai bajumu, lalu bicara denganku di ruangan lain.”Brata akhirnya tersadar dari keterkejutannya, napasnya menyentak marah. “Apa yang kau lakukan, Serina?!”Serina mengangkat dagu alih-alih merasa bersalah. “Membunuhnya.” Menunjuk laki-laki bersimbah darah di bawah ranjang dengan santai.Gemelutuk gigi Brata terdengar jelas di tengah keheningan kamar. “Beraninya kau melakukan itu padanya!”“Sudahlah, Brata. Jangan sampai peluru ini ikut menembus kepalamu. Aku tunggu di ruangan yang bersih.”Serina tak memedulikan ekspresi bengis Brata sedikit pun. Ia melengos keluar dari kamar yang sudah bersimbah darah itu dengan tak acuh. Tanjung mengekor secara otomatis di belakangnya.“Kenapa kau membunuhnya?”Serina terus berjalan tanpa mengindahkan pertanyaan Tanjung, pun mengabaikan para pria
Serina menggeliat marah, mencoba melepaskan diri dari belitan tangan Tanjung untuk kembali menyerang Brata, tapi Tanjung memeluknya kian erat sampai Serina hanya bisa mendengus penuh amarah.“Lepaskan aku, akan kubunuh si keparat itu!”“Kau mengajakku ke sini bukan untuk menyaksikan semua tindakan kriminalmu!”Detik itu juga Serina terdiam. Seolah kata kriminal itu begitu melekat di kepalanya. Berulang kali dia mendengarnya dan berulang kali pula dia selalu terpengaruh.Melihat Serina menjadi lumayan tenang, Tanjung melonggarkan pelukannya. “Kau bilang aku harus menghadapi seseorang untuk membuatmu menyetujui tawaranku. Apa dia orangnya?” Tanjung melirik Brata yang masih terbatuk-batuk.Serina tidak menjawab. Hanya deru napasnya yang berembus tidak teratur. “Biar aku yang menyelesaikannya. Diamlah dan serahkan semuanya padaku.”Serina mendengus kasar—masih menggeliat marah di atas pangkuan Tanjung. “Aku akan mengatasinya. Percayakan padaku.”Serina masih enggan turun dari atas paha
Serina kehilangan kendali diri. Malam ini adalah malam yang sangat tidak beruntung untuknya. Dihunjamnya Brata sangat tajam. Matanya penuh dendam dan kebencian. “Kau tidak lihat kondisinya? Aku harus membawanya ke rumah sakit dulu.” “Kalian pasti akan kabur setelah ini. Jangan membodohiku.” “Lalu apa maumu?” “Pengawalku akan mengikuti kalian.” “Jangan gila! Kami akan ke rumah sakit sekarang!” Di tengah ringisannya yang semakin kesakitan, Tanjung meraba-raba dompet di saku celananya. Tangannya gemetar dan tidak mampu bergerak dengan bebas. Serina sangat membenci situasi ini. Sungguh. Alih-alih kembali kepada keluarganya dan tidur dengan nyaman, sekarang dia harus berhadapan dengan dua laki-laki menyebalkan. “Apa sih yang kau cari?!” “Dompet,” jawab lelaki itu lirih. Serina akhirnya membantu, gemas melihat Tanjung yang terus merogoh sakunya, tapi tidak mengeluarkan apa-apa. Ia memasukkan tangan ke saku lelaki itu, agak sulit karena ia harus menyorongkan tubuh sebab tangan ki