Lalu ucapan penuh retorika itu diakhiri dengan satu senyuman merendahkan dari perempuan itu. Dengan wajah yang mulus tanpa celah, kulit seputih dan secerah susu serta tubuh yang langsing dan tinggi, tidak salah kalau dia mengatakan bahwa laki-lakilah yang akan mengemis padanya.
Tanjung bahkan sempat mengira bahwa mereka sedang syuting film dan perempuan itu adalah tokoh utamanya. Seperti top model atau bahkan aktris profesional yang sering wara-wiri di layar kaca.
Sangat cantik dengan karakter dan aura yang menarik.
Gigi dari istri laki-laki tua yang setengah botak dan berperut buncit itu bergemelutuk. Menahan amarah dan siap melempar botol kosong di atas meja ketika seorang pria tinggi dengan tubuh kurus menghalangi.
“Maafkan kami, Bu. Tolong jangan buat keributan di sini. Dia adalah pekerja kami.”
Mata wanita bersanggul tinggi itu melotot. “Memangnya kenapa? Dia sudah menggoda suamiku!”
“Ke mana semua pengawal, Leon? Kenapa cuma kau yang datang? Kau mau aku ditusuk dengan pecahan botol sebentar lagi? Yah … itu sih tidak masalah bagiku, kau yang rugi 'kan?” Perempuan itu mengerling santai kepada laki-laki bernama Leon seolah ditusuk pecahan botol bukanlah perkara yang besar baginya.
Seolah dia bisa menaklukkan apa saja … dan siapa saja.
Mendadak kepala Tanjung dipenuhi ide-ide yang menaarik. Tidak. Itu ide yang gila. Membayangkan jika wanita yang tidak takut apa pun itu berhadapan dengan Narumi, sang ibu tiri.
“Hah!! Perempuan murahan sepertimu tidak usah sombong! Kuperingatkan kau, jangan mendekati suamiku lagi!!’
“Maaf, Nyonya. Aku masih punya banyak stok laki-laki yang akan membayarku dengan pantas, tidak level mengemis pada suamimu yang hanya seorang manajer perusahaan biasa.”
Ucapan skak mat itu diakhiri dengan kedatangan beberapa pengawal yang meleraikan kerumunan dan membawa pergi wanita paruh baya dengan riasan cukup tebal itu beserta suaminya keluar.
Kehebohan mereda dan perhatian orang-orang mulai menyurut. Musik kembali menyala dan menghipnotis pengunjung lalu kekacauan di depan sana dibereskan oleh waitress dan pengawal.
Mata Tanjung tak pernah lepas dari perempuan bergaun hitam basah yang sedang berjalan melewati meja bar. Pandangannya terus mengikuti wanita yang berjalan dengan kepala tegak dan sangat percaya diri itu.
“Sepertinya kau tertarik padanya.”
Suara itu memutus lamunan Tanjung. Ia baru sadar bahwa wanita bergaun kuning yang sejak tadi duduk di sebelahnya masih ada.
“Siapa perempuan itu?”
Wanita yang tadi memperkenalkan diri dengan nama Laura itu menyentuh gelang emas putihnya, berpikir sejenak. “Serina. Dewi di tempat ini.”
Tanjung semakin penasaran. “Dewi?”
“Ya, dia yang menguasai tempat ini. Kerjanya cuma sebagai peliharaan club tapi dia spesial. Dia wanita penghibur top 1 yang selalu disewa oleh orang-orang berduit dan tidak sembarangan menerima bayaran. Harga sewanya sangat mahal.”
Sepertinya Laura tidak masuk dalam jajaran wanita penghibur itu.
“Kau lihat semua laki-laki memandangnya tertarik? Laki-laki itu harus mengantre setidaknya sampai satu minggu untuk dapat giliran tidur dengannya jika sudah membayar. Tentu saja akan cepat jika kau bisa membayar dua atau tiga kali lipat. Hebat, kan? Aku baru mendapati wanita penghibur berkelas sepertinya.”
Itu bukanlah prestasi yang hebat jika pekerjaannya adalah wanita penghibur.
“Tapi kalau denganku gratis. Aku akan menemanimu kapan pun kau mau.” Tangan lentik berkuku merah itu merambat ke bahu Tanjung.
“Tidak, terima kasih.” Ditepisnya tangan itu dengan sopan. “Terima kasih juga atas informasinya.”
“Ya, tidak masalah. Aku sedikit kesal karena kamu menolakku, meski gratis tapi aku bisa memuaskanmu berapa ronde pun kau mau.”
Tanjung tak lagi menghiraukan, menatap gelasnya yang sudah kosong dan tak peduli saat Laura meninggalkan kursi di sampingnya.
“Kalau Anda mau memesan Serina, langsung ke Leon—manajer club—sebaiknya cepat karena Serina akan pensiun setelah ini.”
Tanjung mengangkat wajah pada bartender bertanda nama Andi itu. “Pensiun?”
“Ya, dia akan berhenti.”
“Kenapa?” Tanjung juga bertanya-tanya mengapa dirinya sangat penasaran seperti ini.
“Entahlah, dia tidak bilang alasannya.”
Tanjung mengerjap cepat. Memutar otak sedikit lebih keras dan menemukan alasan yang sangat kuat mengapa dia begitu tertarik kepada perempuan bernama Serina.
Mungkin Serina bisa menjadi kunci kebebasannya.
Yang tertangkap saat Serina membuka mata adalah cahaya remang-remang. Lampu besar di tengah kamar mati dan yang menyala hanyalah lampu tidur di atas nakas. Suasananya tidak seterang saat ia dan Tanjung memasuki kamar. Wangi parfumnya dan parfum Tanjung menyatu dan menyebar di seluruh ruangan. Meski pendingin ruangan tetap menyala seperti tadi, tapi rasanya tidak dingin sama sekali, sebab ada tubuh yang merangkumnya dengan cara yang sangat hangat. Punggung telanjangnya menempel pada dada bidang yang terasa keras namun lembut. Serina menggerakkan kepala, menoleh dan menemukan Tanjung yang terpejam dengan damai. Tak ada kegelisahan di wajah maha tampan itu dan Serina menyukainya. Ia bahkan baru menyadari jika sejak tadi jari jemari mereka menyatu di depan dadanya. Serina tak ingin menanyakan apa yang terjadi pada perasaannya dan mengapa jantungnya berdebar halus namun penuh antusias. Untuk pertama kalinya ia tidak merasa jijik saat mendapati seorang lelaki telanjang di atas ranjangny
Tangan kokoh itu mendekap pinggangnya, terasa kuat namun seolah tengah mencari kekuatan. Serina terbawa suasana, pada embus napas Tanjung yang melemah, hangat tubuhnya, serta irama jantungnya yang berdetak cepat. “Aku akan menemanimu.” Serina mengucapkannya bukan karena merasa kasihan, sebab hatinya ingin memberitahukan pada lelaki ini, bahwa dia, “… akan berada di sisimu.”Tanjung tak menjawab. Hatinya merasa senang sekaligus pedih. Haruskah ia percaya pada Tuhan dan membiarkan wanita ini berada di sisinya? Sebab ia tak menemukan jaminan Serina akan selalu baik-baik saja dalam tampungan atap istana Maulana. “Sudah tengah malam. Bawa dia ke kamarmu, Serina.” Ucapan tegas itu memotong dari arah belakang. Sebelum Tanjung mengangkat wajah dan hendak menengok ke belakang, Serina mendekap kepala lelaki itu dan kembali menenggelamkannya di dadanya. “Tidak, dia harus pulang, Izora.” Meski suara berat itu samar, tapi masih bisa ditangkap oleh telinga. Nada keberatan, lalu menghilang seol
Wanita itu masih ada di hadapannya. Kondisinya masih sama—menyedihkan, seperti mayat hidup yang enggan mati, tak jua bisa dikatakan hidup. “Dua puluh dua tahun aku mengurungmu di sini, itu belum cukup, Rahayu.”Rahayu yang tak lagi terlihat manis dan menawan itu menatapnya dengan bola mata yang melotot, mengerti perkataan Narumi, tapi tak punya susunan kata untuk membalasnya. Bibir pucat dan pecah-pecah itu berat untuk terbuka. “Dan selama itu pula, anakmu ada di tanganku. Kusiksa dan kumanfaatkan sesukaku.” Ucapan itu memantik keseluruhan diri Rahayu. Ia memberontak, hendak maju menerjang Narumi, tapi terhalang oleh rantai dan pasung. Rambut yang berantakan tak terurus, tubuh kurus kerempeng hingga tulang-tulangnya menyembul, pakaian yang seadanya dan sudah robek-robek serta warnanya tak lagi terlihat, luntur, dan kumal. Dia tak lagi bisa disebut manusia. “Ingat ini, Rahayu. Karena dosa-dosamu di masa lalu, anakmu jadi menderita.” Narumi ikut terbawa perkataannya sendiri. Piki
Meski sudah 22 tahun berlalu tanpa melihat sang ibu, Tanjung hafal betul wajah yang kerap kali tersenyum lembut padanya. Ia menanamnya di kepala selama ini selagi ia bertarung di rumah Maulana. Mungkin ibunya juga akan terlihat kurus dan tidak terawat, tapi jelas wanita ini bukanlah ibunya. Tinggi tubuhnya, sorot matanya, proporsi wajah, dan sentuhannya. Segalanya berbeda. “A-apa maksudmu?” Serina amat terkejut mendengar pengakuan Tanjung. Wanita itu bukan ibunya? Jelas-jelas perempuan itu adalah satu-satunya orang yang berada di tempat yang diam-diam selalu Narumi kunjungi.“Aku ibumu! Anakku!!” Wanita itu kembali mendekap Tanjung, tapi Tanjung mengurainya dengan kasar. “Anda bukan ibu saya!”Kekesalan di wajahnya benar-benar tercetak dengan jelas. Lebih daripada itu, ia amat kecewa. Harapannya melambung tinggi, tapi lagi-lagi ia terjatuh ke dasar jurang yang sangat dalam. Mungkin ini adalah pertama kalinya, Serina melihat wajah itu benar-benar mengerut penuh kekesalan. Bibirnya
Haruskah Serina mengakui jika dia juga menyukai cara lelaki ini menatapnya? Lembut, penuh penghormatan, dan rasa rindu yang dalam. Ia tak berani menyimpulkan terlalu jauh, sebab setiap lelaki yang mengaku tertarik padanya, tak pernah mencintainya. Mereka hanya terobsesi pada kecantikan seorang Serina, tapi lelaki ini berbeda. Matanya memandang dengan cara yang berbeda dari para lelaki bajingan itu. “Aku sudah banyak menyakitimu. Aku ingin melihatmu lagi, tapi tidak di rumah itu, tidak di tempat di mana Ibu akan mengancammu setiap hari.”Ah, dia sangat baik. Serina akhirnya bisa merasakan perasaan terenyuh. Untuk pertama kalinya, ada pria yang menatapnya khawatir di atas ranjang. “Lalu, haruskah kita kabur saja? Tinggal berdua di rumah lain?”Ide yang diucapkan secara asal-asalan itu mampu membuat hati Tanjung berdenyut perih. Bisakah ia melakukannya? Ia menginginkannya, tapi tidak untuk sekarang ketika Narumi sanggup menemukannya ke mana pun dia pergi. Serina meletakkan tangan di
“Kalian sama. Dia perempuan yang merebut–”“Hentikan, Ibu.” Belum sempat jawaban yang ditunggu-tunggu semua orang itu terucap, Tanjung naik ke panggung diikuti oleh beberapa pengawal. “Bawa Ibu ke kamar 718. Biarkan dia istirahat.”Dua pengawal langsung memapah Narumi turun dari panggung. Orang-orang mungkin mengira wanita itu tengah mabuk, tapi hanya Tanjung yang tahu bahwa obat yang dia berikan pada minuman Narumi sudah bekerja. Sayangnya, rencananya gagal. Ia tak tahu apa yang direncanakan Serina malam ini, tapi kehadiran Serina membawa sesuatu yang beda. Ia menatap wanita itu, intens dan cukup lama. Diambilnya mikrofon dari tangan Serina lalu dia buka jasnya untuk disampirkan ke bahu Serina. Sesaat setelah napasnya terembus pendek, ia menyelipkan tangan ke bawah lutut dan punggung Serina. Wanita yang basah karena siraman wine itu dia bawa turun dari panggung. Serina mengerjap ketika tubuhnya terayun-ayun. Apa yang sedang dilakukan Tanjung di tengah orang-orang yang berbisik-b