Share

Wanita Penjaja Cinta
Wanita Penjaja Cinta
Penulis: Muzdalifah Muthohar

Bab 1

"Menikahlah denganku, Mey. Tinggalkan pekerjaanmu, kita mulai hidup baru," ucap Rahman dengan tatapan penuh permohonan.

Aku terdiam, tak tahu harus menjawab apa. Ini bukan yang pertama, entah berapa kali dia mengutarakan niatnya mempersuntingku, berkali-kali pula kutolak keinginannya. Tapi itu tak menyurutkan niatnya memperistiku.

Bukannya sok jual mahal, atau aku tidak tertarik dengan Rahman. Tapi aku cukup tahu diri, siapa lah diri ini. Janda anak satu, sedangkan dia? Perjaka thing-thing, meski tak setampan opa-opa Korea, Rahman bisa dibilang good looking. Kulitnya sawo matang khas pria Indonesia, rahangnya tegas. Santun perainganya, dan yang paling aku suka, tatap matanya yang teduh.

Kalau soal janda, mungkin masih bisa ditoleransi. Tapi profesi ku? Itu yang membuat aku inscure, dan tak berani menerima lamaran Rahman. Aku ini wanita panggilan, pekerjaanku memberi kepuasan pada laki-laki hidung belang dengan imbalan sejumlah uang. Apa pantas bersanding dengan pemuda se-alim Rahman? Apa keluarganya setuju, anak yang mereka didik dengan baik, diberi bekal ilmu agama yang cukup, menikahi pel*cur sepertiku? Mau ditaruh di mana wajah mereka? Orang tua religius bermenantukan perempuan bekas banyak orang.

"Mau sampai kapan kamu akan seperti ini? Apa kamu nggak capek? Apa kamu nggak malu dengan anakmu yang beranjak remaja?" Lanjut Rahman, yang membuatku merasa tertampar.

Bukan tak ingin meninggalkan profesi yang dianggap rendah oleh siapapun ini, bukan. Kalau ditanya 'apa tidak capek?' tentu aku sangat capek. Aku juga ingin berhenti secepatnya, tapi apa bisa? Mami Monic pasti tidak akan membiarkan aku pergi begitu saja. Aku ini primadona diantara gadis peliharaan Mami.

'Apa tidak malu dengan anakku yang sudah beranjak remaja?' Tentu aku sangat malu, sampai saat ini dia bahkan tidak tahu apa profesi ibunya ini. Yang dia tahu aku bekerja di salon kecantikan.

"Apalagi yang kamu cari? Kamu takut kekurangan? Kamu takut Dinda tak mampu melanjutkan sekolah. Meski aku bukan orang kaya, Insya Allah aku akan bertanggung jawab pada kalian berdua, aku membiayai pendidikan Dinda hingga kuliah. Aku janji, Mey. Asal kamu bersedia menjadi istriku."

Aku tak tahu harus berkata apalagi, Rahman begitu keras kepala. Kenapa harus aku? Wanita pendosa yang ingin dia jadikan istri. Di luar sana banyak gadis-gadis muda yang cantik dan menarik, kenapa dia justru memilih aku?

"Man, bukannya aku menolak niat baikmu. Tapi aku cukup sadar diri, kita ini bagai bumi dan langit. Tak mungkin kita bersatu dengan alasan apapun. Pel*cur macam aku tak pantas bersanding denganmu. Cari saja wanita lain! Umurku lebih tua darimu, dan jangan lupakan pekerjaanku menjijikkan!"

"Harus berapa kali kubilang, Mey. Aku tidak peduli itu semua. Aku menerima kamu apa adanya. Aku mau kamu, Mey. Hanya kamu, bukan wanita lain," tegasnya.

"Kamu jangan egois, Man! Kamu jangan mementingkan dirimu sendiri, pikirkan juga perasaan orang tuamu! Kamu pikir mereka mau punya menantu perempuan nggak bener kayak aku? Mereka juga punya harapan, punya impian. Kelak anaknya menikah dengan perempuan baik-baik, yang sholehah, yang menjunjung harga diri. Bukan perempuan murahan macam aku, Man," ucapku meluapkan unek-unek di hati.

"Kamu lupa, manusia tempatnya dan dosa? Pintu ampunan Allah selalu terbuka, bagi hambanya yang bertaubat, Mey. Selagi nyawa masih dikandung badan, kesempatan itu masih ada. Ayo, lah! Tinggalkan pekerjaanmu, menikahlah denganku! Aku janji akan membimbingmu menjadi wanita sholehah."

Selalu itu yang dia katakan. Dia pikir bertaubat itu gampang? Sudah lama aku meninggalkan kewajiban sebagai hamba Allah, aku bahkan lupa bagaimana caranya berdoa. Kalau aku bertobat, itu artinya aku harus belajar dari nol lagi. Ribet!

"Sudah lah, Man. Sebaiknya kamu pulang saja! Aku mau kerja!" Aku bangkit dari duduk ku, lalu menyandang sling bag yang tergeletak di atas meja.

"Mey!" Rahman mencekal tanganku, tapi sedetik kemudian dia lepaskan. Rahman tidak bersentuhan dengan wanita yang bukan mahramnya. Itu tadi terjadi karena reflek saja, dia ingin menahan langkahku.

"Maaf," ucapnya lirih. "Tolong kamu pertimbangkan lagi niatku ini, Mey. Umur kita tak ada yang tahu. Aku hanya tak mau kamu meninggal sebelum sempat bertaubat." Aku hanya mengangguk pelan, lalu meninggalkan Rahman.

Aku menunggu Rahman keluar dari rumahku, karena aku akan pergi, jadi pintunya harus kukunci.

Rahman menatapku sejenak, lalu masuk mobil dan membawa kendaraannya itu menjauh. Aku menghela nafas lega, capek juga mendebat laki-laki keras kepala itu.

"Mau dines, Mbak Mey?" Sindir Bu Yayuk tetangga depan rumahku. Aku hanya tersenyum tipis, sambil menunduk.

Di kompleks ini semua tetangga sudah tahu, kalau profesi asliku adalah pel*cur. Itu gara-gara Pak Yosef yang menyebarkan berita ini. Awalnya, dilingkunganku tidak ada yang tahu pekerjaanku yang sebenarnya. Yang mereka tahu aku bekerja di salon, kalau misal aku pulang malam dan ada tetangga yang kebetulan melihat lalu bertanya, aku pasti menjawab. "Lembur, Bu. Tadi ngerias pengantin, harus nunggu sampai acara selesai." Dan mereka percaya.

Masalah ini berawal ketika aku harus melayani salah satu tamu Mami, aku yang tidak pernah tahu siapa teman kencanku sebelum bertemu, akhirnya berangkat ke hotel yang ditunjuk tanpa berfikir apa-apa. Tak disangka ketika sudah berada di dalam hotel, ternyata laki-laki hidung belang yang menyewaku malam itu adalah, Pak Yosef.

"Mey? Ini beneran kamu?" Tentu Pak Yosef tidak menyangka, tetangganya yang terlihat kalem ini adalah wanita penghibur.

Kalau di rumah, aku selalu memakai kulot panjang yang dipadu kaos oblong, atau kaos polo. Setiap keluar rumah aku selalu memakai baju tertutup, tidak ketat, meski tidak berjilbab. Dan malam itu aku memakai baju seksi yang serba ketat dan terbuka.

"Aku nggak nyangka, Mey? Sejak kapan kamu menekuni profesi ini? Tau gitu dari dulu aku boking kamu terus, Mei. Sudah lama aku tergoda dengan tubuhmu, tapi kamu cuek, sok jual mahal. Aku jadi enggan mendekati." Pak Yosef terkenal mata keranjang itu terus menilisik tubuhku dari atas ke bawah. Tatapannya seolah ingin menerkam ku hidup-hidup.

"Pak Yosef, apa tidak sebaiknya kita langsung saja? Keburu malam, nanti Bu Indri nyariin." Aku kenal baik dengan istri Pak Yosef, meski rumahnya ada di ujung gank, kami berteman baik.

"Kamu sudah tidak sabar rupanya." Tangan besar Pak Yosef mengelus pundakku.

Meski setengah hati, akhirnya aku melayani Pak Yosef. Karena dia sudah terlanjur membayar pada Mami Monic.

Ternyata tak sampai disitu, Pak Yosef berkali-kali menelfonku. Ingin kembali membokingku, tapi aku tolak. Aku tak tega melihat Bu Indri tersakiti, wanita itu sering curhat padaku, kalau Pak Yosef suka main perempuan. Walaupun kalau aku tolak dia akan mencari wanita penghibur lain, setidaknya aku tidak merasa berdosa pada Bu Indri.

Dan sejak itu lah Pak Yosef menyebar berita, bahwa aku ini open BO. Tak berhenti sampai disitu, Pak Yosef menempel gambarku dalam pose dan pakain menggoda di pos kamling. Jadilah seluruh komplek tahu apa sebenarnya pekerjaanku.

Namaku sudah tercemar, bagaimana mungkin aku menerima Rahman. Anak tokoh agama di kompleks ini?

Bersambung ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status