Share

Wanita Penjaja Cinta
Wanita Penjaja Cinta
Penulis: Muzdalifah Muthohar

Bab 1

last update Terakhir Diperbarui: 2023-05-16 21:25:53

"Menikahlah denganku, Mey. Tinggalkan pekerjaanmu, kita mulai hidup baru," ucap Rahman dengan tatapan penuh permohonan.

Aku terdiam, tak tahu harus menjawab apa. Ini bukan yang pertama, entah berapa kali dia mengutarakan niatnya mempersuntingku, berkali-kali pula kutolak keinginannya. Tapi itu tak menyurutkan niatnya memperistiku.

Bukannya sok jual mahal, atau aku tidak tertarik dengan Rahman. Tapi aku cukup tahu diri, siapa lah diri ini. Janda anak satu, sedangkan dia? Perjaka thing-thing, meski tak setampan opa-opa Korea, Rahman bisa dibilang good looking. Kulitnya sawo matang khas pria Indonesia, rahangnya tegas. Santun perainganya, dan yang paling aku suka, tatap matanya yang teduh.

Kalau soal janda, mungkin masih bisa ditoleransi. Tapi profesi ku? Itu yang membuat aku inscure, dan tak berani menerima lamaran Rahman. Aku ini wanita panggilan, pekerjaanku memberi kepuasan pada laki-laki hidung belang dengan imbalan sejumlah uang. Apa pantas bersanding dengan pemuda se-alim Rahman? Apa keluarganya setuju, anak yang mereka didik dengan baik, diberi bekal ilmu agama yang cukup, menikahi pel*cur sepertiku? Mau ditaruh di mana wajah mereka? Orang tua religius bermenantukan perempuan bekas banyak orang.

"Mau sampai kapan kamu akan seperti ini? Apa kamu nggak capek? Apa kamu nggak malu dengan anakmu yang beranjak remaja?" Lanjut Rahman, yang membuatku merasa tertampar.

Bukan tak ingin meninggalkan profesi yang dianggap rendah oleh siapapun ini, bukan. Kalau ditanya 'apa tidak capek?' tentu aku sangat capek. Aku juga ingin berhenti secepatnya, tapi apa bisa? Mami Monic pasti tidak akan membiarkan aku pergi begitu saja. Aku ini primadona diantara gadis peliharaan Mami.

'Apa tidak malu dengan anakku yang sudah beranjak remaja?' Tentu aku sangat malu, sampai saat ini dia bahkan tidak tahu apa profesi ibunya ini. Yang dia tahu aku bekerja di salon kecantikan.

"Apalagi yang kamu cari? Kamu takut kekurangan? Kamu takut Dinda tak mampu melanjutkan sekolah. Meski aku bukan orang kaya, Insya Allah aku akan bertanggung jawab pada kalian berdua, aku membiayai pendidikan Dinda hingga kuliah. Aku janji, Mey. Asal kamu bersedia menjadi istriku."

Aku tak tahu harus berkata apalagi, Rahman begitu keras kepala. Kenapa harus aku? Wanita pendosa yang ingin dia jadikan istri. Di luar sana banyak gadis-gadis muda yang cantik dan menarik, kenapa dia justru memilih aku?

"Man, bukannya aku menolak niat baikmu. Tapi aku cukup sadar diri, kita ini bagai bumi dan langit. Tak mungkin kita bersatu dengan alasan apapun. Pel*cur macam aku tak pantas bersanding denganmu. Cari saja wanita lain! Umurku lebih tua darimu, dan jangan lupakan pekerjaanku menjijikkan!"

"Harus berapa kali kubilang, Mey. Aku tidak peduli itu semua. Aku menerima kamu apa adanya. Aku mau kamu, Mey. Hanya kamu, bukan wanita lain," tegasnya.

"Kamu jangan egois, Man! Kamu jangan mementingkan dirimu sendiri, pikirkan juga perasaan orang tuamu! Kamu pikir mereka mau punya menantu perempuan nggak bener kayak aku? Mereka juga punya harapan, punya impian. Kelak anaknya menikah dengan perempuan baik-baik, yang sholehah, yang menjunjung harga diri. Bukan perempuan murahan macam aku, Man," ucapku meluapkan unek-unek di hati.

"Kamu lupa, manusia tempatnya dan dosa? Pintu ampunan Allah selalu terbuka, bagi hambanya yang bertaubat, Mey. Selagi nyawa masih dikandung badan, kesempatan itu masih ada. Ayo, lah! Tinggalkan pekerjaanmu, menikahlah denganku! Aku janji akan membimbingmu menjadi wanita sholehah."

Selalu itu yang dia katakan. Dia pikir bertaubat itu gampang? Sudah lama aku meninggalkan kewajiban sebagai hamba Allah, aku bahkan lupa bagaimana caranya berdoa. Kalau aku bertobat, itu artinya aku harus belajar dari nol lagi. Ribet!

"Sudah lah, Man. Sebaiknya kamu pulang saja! Aku mau kerja!" Aku bangkit dari duduk ku, lalu menyandang sling bag yang tergeletak di atas meja.

"Mey!" Rahman mencekal tanganku, tapi sedetik kemudian dia lepaskan. Rahman tidak bersentuhan dengan wanita yang bukan mahramnya. Itu tadi terjadi karena reflek saja, dia ingin menahan langkahku.

"Maaf," ucapnya lirih. "Tolong kamu pertimbangkan lagi niatku ini, Mey. Umur kita tak ada yang tahu. Aku hanya tak mau kamu meninggal sebelum sempat bertaubat." Aku hanya mengangguk pelan, lalu meninggalkan Rahman.

Aku menunggu Rahman keluar dari rumahku, karena aku akan pergi, jadi pintunya harus kukunci.

Rahman menatapku sejenak, lalu masuk mobil dan membawa kendaraannya itu menjauh. Aku menghela nafas lega, capek juga mendebat laki-laki keras kepala itu.

"Mau dines, Mbak Mey?" Sindir Bu Yayuk tetangga depan rumahku. Aku hanya tersenyum tipis, sambil menunduk.

Di kompleks ini semua tetangga sudah tahu, kalau profesi asliku adalah pel*cur. Itu gara-gara Pak Yosef yang menyebarkan berita ini. Awalnya, dilingkunganku tidak ada yang tahu pekerjaanku yang sebenarnya. Yang mereka tahu aku bekerja di salon, kalau misal aku pulang malam dan ada tetangga yang kebetulan melihat lalu bertanya, aku pasti menjawab. "Lembur, Bu. Tadi ngerias pengantin, harus nunggu sampai acara selesai." Dan mereka percaya.

Masalah ini berawal ketika aku harus melayani salah satu tamu Mami, aku yang tidak pernah tahu siapa teman kencanku sebelum bertemu, akhirnya berangkat ke hotel yang ditunjuk tanpa berfikir apa-apa. Tak disangka ketika sudah berada di dalam hotel, ternyata laki-laki hidung belang yang menyewaku malam itu adalah, Pak Yosef.

"Mey? Ini beneran kamu?" Tentu Pak Yosef tidak menyangka, tetangganya yang terlihat kalem ini adalah wanita penghibur.

Kalau di rumah, aku selalu memakai kulot panjang yang dipadu kaos oblong, atau kaos polo. Setiap keluar rumah aku selalu memakai baju tertutup, tidak ketat, meski tidak berjilbab. Dan malam itu aku memakai baju seksi yang serba ketat dan terbuka.

"Aku nggak nyangka, Mey? Sejak kapan kamu menekuni profesi ini? Tau gitu dari dulu aku boking kamu terus, Mei. Sudah lama aku tergoda dengan tubuhmu, tapi kamu cuek, sok jual mahal. Aku jadi enggan mendekati." Pak Yosef terkenal mata keranjang itu terus menilisik tubuhku dari atas ke bawah. Tatapannya seolah ingin menerkam ku hidup-hidup.

"Pak Yosef, apa tidak sebaiknya kita langsung saja? Keburu malam, nanti Bu Indri nyariin." Aku kenal baik dengan istri Pak Yosef, meski rumahnya ada di ujung gank, kami berteman baik.

"Kamu sudah tidak sabar rupanya." Tangan besar Pak Yosef mengelus pundakku.

Meski setengah hati, akhirnya aku melayani Pak Yosef. Karena dia sudah terlanjur membayar pada Mami Monic.

Ternyata tak sampai disitu, Pak Yosef berkali-kali menelfonku. Ingin kembali membokingku, tapi aku tolak. Aku tak tega melihat Bu Indri tersakiti, wanita itu sering curhat padaku, kalau Pak Yosef suka main perempuan. Walaupun kalau aku tolak dia akan mencari wanita penghibur lain, setidaknya aku tidak merasa berdosa pada Bu Indri.

Dan sejak itu lah Pak Yosef menyebar berita, bahwa aku ini open BO. Tak berhenti sampai disitu, Pak Yosef menempel gambarku dalam pose dan pakain menggoda di pos kamling. Jadilah seluruh komplek tahu apa sebenarnya pekerjaanku.

Namaku sudah tercemar, bagaimana mungkin aku menerima Rahman. Anak tokoh agama di kompleks ini?

Bersambung ....

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 99

    "Gantengnya cucu Eyang ...." Umi berkata sambil menimang putraku, yang baru kulahirkan beberapa jam yang lalu itu. Cucu pertamanya, cucu yang sudah dia nanti bertahun-tahun lamanya. "Wes, diborong Rahman semua ini, Mey. Kamu nggak kebagian apa-apa. Plek ketiplek bapaknya waktu masih bayi," lanjut Umi, tanpa mengalihkan pandangannya pada bayiku. Meski ada iri menelusup di hati, karena wajah anakku yang ternyata sangat mirip bapaknya. Tapi juga bahagia sekaligus bangga, bisa memberi anak pada suami, dan cucu untuk mertuaku, dengan wajah yang identik dengan wajah mereka. "Kalian sudah siap nama, kan?""Sudah, Mi," jawabku singkat. Aku belum berani banyak bicara, luka bekas operasi masih begitu nyeri, kalau aku bergerak sedikit saja. Bahkan aku belum berani bicara banyak, karena takut. "Siapa?""Alfarisqi Rahman, Mi. Panggilannya Alfa." Umi baru datang setelah operasi selesai. Karena tak mau ambil resiko, karena kesehatan Umi sering bermasalah. Kami berangkat ke rumah sakit sendiri.

  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 98

    Mas Rahman menautkan jemari kami dan sesekali meremasnya lembut, seolah berkata, "Jangan takut, ada aku disini." Namun begitu aku tetap tak bisa mengendalikan perasaanku, gugup dan takut menguasai. Apalagi saat melihat wajah-wajah kaku majelis hakim, membuatku gentar dan ingin mundur saja. Masih ditambah tatapan dingin dan membunuh dari Adi Guntoro, yang duduk di samping pengacaranyaIni pertama kalinya aku menghadiri persidangan, dan jadi saksi. Jadi wajar, kalau perasaanku tak karu-karuan. Apalagi saat tak sengaja mata ini sekali lagi berserobok dengan mata Adi Guntoro yang duduk di samping pengacaranya. tatapannya begitu dingin seolah ingin menghabisiku saat itu juga. Membuatku ingin balik arah, dan berlari meninggalkan ruang sidang. Seolah tak ihlas suamiku melepas genggaman tangannya, ketika namaku dipanggil untuk duduk di kursi saksi. "Jangan takut, Mey. Ada aku," bisik Mas Rahman di telingaku. Bibirku tak henti merapal doa agar diberi kelancaran saat bersaksi nanti. Ternyata

  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 97

    Mas Rahman menautkan jemari kami dan sesekali meremasnya lembut, seolah berkata, "Jangan takut, ada aku disini." Namun begitu aku tetap tak bisa mengendalikan perasaanku, gugup dan takut menguasai. Apalagi saat melihat wajah-wajah kaku majelis hakim, membuatku gentar dan ingin mundur saja. Masih ditambah tatapan dingin dan membunuh dari Adi Guntoro, yang duduk di samping pengacaranyaIni pertama kalinya aku menghadiri persidangan, dan jadi saksi. Jadi wajar, kalau perasaanku tak karu-karuan. Apalagi saat tak sengaja mata ini sekali lagi berserobok dengan mata Adi Guntoro yang duduk di samping pengacaranya. tatapannya begitu dingin seolah ingin menghabisiku saat itu juga. Membuatku ingin balik arah, dan berlari meninggalkan ruang sidang. Seolah tak ihlas suamiku melepas genggaman tangannya, ketika namaku dipanggil untuk duduk di kursi saksi. "Jangan takut, Mey. Ada aku," bisik Mas Rahman di telingaku. Bibirku tak henti merapal doa agar diberi kelancaran saat bersaksi nanti. Ternyata

  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 96

    Tiga bulan berlalu, perutku mulai terlihat membuncit. Meski tak separah di Tri semester pertama, aku masih merasakan mual di pagi hari. Sebenarnya aku ingin beraktivitas, biar kehamilan ini tidak terlalu manja ini kehamilan kedua, harusnya aku kuat dan lebih siap, kan. Lagi pula aku juga sudah bosan kalau harus bad rest terus. Tapi Mas Rahman melarang. Katanya, "aku tidak mau anakku kenapa-napa, jangan ambil resiko!" Kalau aku ngeyel. "Dengan beraktivitas janin akan lebih sehat, Mas. Aku juga nggak stress dikurung terus." Tapi apa jawabnya? "Dah, nurut aja! Nggak usah banyak protes! Ini semua demi anak kita. Berkorban sedikit apa susahnya, sih?" Ternyata, perlakuan manis Mas Rahman hamil bukan untukku, tapi untuk anaknya. Dasar laki-laki, mau enaknya sendiri! Untung sayang. "Mas, capek. Pijitin!" Kuletakkan kedua kakiku di atas pangkuan Mas Rahman, yang sedang sibuk dengan laptopnya, memeriksa laporan keuangan show room. Tanpa bicara, Mas Rahman menutup laptopnya dan meletakkan di

  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 95

    "Dibilang males, ngeyel!" Mas Rahman terkekeh. "Mas Rahman menyembunyikan sesuatu, ya?" Todongku. Aku sudah nggak betah menahan rasa penasaran, dari tadi sikap Mas Rahman mencurigakan. "Mau tahu aja, apa mau tahu banget?" Selorohnya. Aku mencebik kesal, tawa Mas Rahman makin menjadi. "Sus, tadi sudah dikasih tahu belum?" Mas Rahman bertanya pada Suster Lusi. "Belum, Pak. Nggak berani saya." Sebenarnya rahasia apa yang mereka sembunyikan, sih? Aku benar-benar kepo! "Sekarang aja, Sus!" Usai Mas Rahman berkata, Suster Lusi berjalan ke arah pintu. Aku menatap bingung suamiku, tapi dia hanya senyum penuh arti, membuat rasa penasaran di hati makin menjadi. Kami masih saling tatap ketik dari terdengar suara riuh dari arah pintu. "Surprise....! Selamat ulang tahun ...." Sontak aku menoleh ke sumber suara. Di sana ada Umi dan Dinda, mereka datang membawa buket bunga. Sementara Suster Lusi membawa kue tart yang di atasnya terdapat lilin angka, yang sudah menyala. Speechless, itu ya

  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 94

    Pertama kali membuka mata, ruangan serba putih menyapa indera penglihatanku. Tanpa perlu dijelaskan, aku tahu sedang berada di ruang perawatan. Bau obat dan selang infus yang menancap di punggung tanganku, jawabannya. Apa ada masalah dengan lukaku? Infeksi? Atau kenapa? Pertanyaan itu memenuhi kepalaku, tapi aku tidak merasakan apa-apa di area itu. Pertanyaan-pertanyaan itu masih berputar-putar di kepalaku, hingga pintu terbuka dan menampilkan sosok wanita berseragam serba hijau menghampiriku. "Alhamdulillah .... Bu Rahman sudah siuman. Apa yang dirasakan, Bu? Masih pusing?" Tanya wanita bertag name Lusi itu, ramah. "Sedikit, Sus. Suami saya mana, ya? Kok nggak keliahatan?" Aku tak menemukan Mas Rahman ketika sadar tadi, dan sampai sekarang pun laki-laki itu kunjung muncul. Tak biasanya dia meninggalkan aku sendiri kalau sedang sakit, apalagi ini di rumah sakit. "Pak Rahman ijin pulang sebentar, Bu. Mengambil baju ganti katanya, dan beliau menitipkan Ibu pada saya," jelas wanita

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status