"Gantengnya cucu Eyang ...." Umi berkata sambil menimang putraku, yang baru kulahirkan beberapa jam yang lalu itu. Cucu pertamanya, cucu yang sudah dia nanti bertahun-tahun lamanya. "Wes, diborong Rahman semua ini, Mey. Kamu nggak kebagian apa-apa. Plek ketiplek bapaknya waktu masih bayi," lanjut Umi, tanpa mengalihkan pandangannya pada bayiku. Meski ada iri menelusup di hati, karena wajah anakku yang ternyata sangat mirip bapaknya. Tapi juga bahagia sekaligus bangga, bisa memberi anak pada suami, dan cucu untuk mertuaku, dengan wajah yang identik dengan wajah mereka. "Kalian sudah siap nama, kan?""Sudah, Mi," jawabku singkat. Aku belum berani banyak bicara, luka bekas operasi masih begitu nyeri, kalau aku bergerak sedikit saja. Bahkan aku belum berani bicara banyak, karena takut. "Siapa?""Alfarisqi Rahman, Mi. Panggilannya Alfa." Umi baru datang setelah operasi selesai. Karena tak mau ambil resiko, karena kesehatan Umi sering bermasalah. Kami berangkat ke rumah sakit sendiri.
"Menikahlah denganku, Mey. Tinggalkan pekerjaanmu, kita mulai hidup baru," ucap Rahman dengan tatapan penuh permohonan. Aku terdiam, tak tahu harus menjawab apa. Ini bukan yang pertama, entah berapa kali dia mengutarakan niatnya mempersuntingku, berkali-kali pula kutolak keinginannya. Tapi itu tak menyurutkan niatnya memperistiku. Bukannya sok jual mahal, atau aku tidak tertarik dengan Rahman. Tapi aku cukup tahu diri, siapa lah diri ini. Janda anak satu, sedangkan dia? Perjaka thing-thing, meski tak setampan opa-opa Korea, Rahman bisa dibilang good looking. Kulitnya sawo matang khas pria Indonesia, rahangnya tegas. Santun perainganya, dan yang paling aku suka, tatap matanya yang teduh.Kalau soal janda, mungkin masih bisa ditoleransi. Tapi profesi ku? Itu yang membuat aku inscure, dan tak berani menerima lamaran Rahman. Aku ini wanita panggilan, pekerjaanku memberi kepuasan pada laki-laki hidung belang dengan imbalan sejumlah uang. Apa pantas bersanding dengan pemuda se-alim Rahman
"Mari, Bu Yayuk." Aku mengangguk sopan, tak lupa tersenyum manis pada ibu dua anak yang tengah menjemur baju itu. Ku dorong motorku hingga ke depan pagar, mengilunci mengunci pintu gerbang. Kupikir Bu Yayuk sudah masuk, karena kulihat semua cuciannya sudah dijemur semua. Ternyata dia masih menatapku dari balik pagar rumahnya. "Buru-buru amat, Mbak Mey? Padahal tadi sudah dapat satu pelanggan, lho. Kok masih nyari pelanggan lagi. Kejar target, ya?" Ujar Bu Yayuk, sepertinya dia belum puas kalau belum memojokkan aku. Mulut kok julidnya minta ampun. Pengen rasanya kuremas bibir bergincu merah cabe itu, agar tidak sembarangan kalau berkata. Selama tinggal di sini, aku tak pernah sibuk ngurus urusan tetangga, aku juga tidak pernah mengganggu mereka. Termasuk Bu Yayuk juga. Kenapa dia begitu usil dengan kehidupanku? Mau kejar target, mau kejar duit, suka-suka aku lah! Ngapain dia yang repot. "Mimpi apa Ustadz Fauzi itu? Anak semata wayangnya rusak gara-gara kenal kamu. Saranku, Mbak Mei
"Mama! Mulai sekarang jangan jemput Dinda lagi!" Sentak bocah kelas dua SD itu, kakinya dihentak-hentakkan ke tanah. "Lho, kenapa?" Tanyaku spontan. Jelas aku heran, kenapa tiba-tiba Dinda melarang kau menjemputnya? Ada apa? Biasanya dia selalu protes kalau aku menggunakan jasa ojol, menggantikan aku yang tak sempat menjemput karena sedang melayani klien.Hanya berdua hidup di kota ini, membuatku tak punya keluarga atau saudara yang bisa dimintai tolong. Apa-apa harus kulakukan sendiri. "Kok yang jemput Kang Ojol sih, Ma? Kan aku maunya dijemput Mama!" Protes Dinda karena aku urung menjemputnya waktu itu. "Mama kerja, Sayang," ujarku beralasan. "Kan, bisa ditinggal sebentar, Ma.""Pekerjaannya nggak bisa ditinggal, Sayang. Bos Mama bisa marah besar." Mana mungkin aku meninggalkan klien yang lagi On, bisa komplain dia sama Mami Monic dan aku kena denda. Sebenarnya aku lebih suka melayani klien disiang hari, agar tidak perlu pulang malam. Ya, biar terlihat seperti pekerja pada um
Aku masih duduk di samping brangkar di mana Adinda terbaring, dengan selang menancap dibeberapa bagian tubuhnya. Sejak tadi aku hanya bisa menangis sambil terus menggenggam erat tangannya. Dinda sudah menjalani operasi, tapi dia belum sadar juga padahal sudah hampir lima jam aku menunggu. Mata Dinda masih saja Terpejam, membuat aku seperti kehilangan harapan. Aku merasa dunia sudah begitu tak adil padaku. Kenapa hidupku selalu di rundung masalah? Kenapa? Apa pendosa sepertiku tak pantas bahagia? Tiba-tiba ingatanku kembali ke masa lalu, masa dimana tiba-tiba Dinda hadir dalam hidupku, saat usiaku begitu belia, saat aku belum siap mengadapi kejamnya dunia. "Rey, aku hamil." Sambil berkata aku menunjukkan test pack bergaris dua milikku pada Reynald pacarku. Kami sudah menjalin hubungan cinta sejak kelas 11, kini saat ujian kelulusan di depan mata, aku mendapati kenyataan diri ini berbadan dua. Wajah Rey mendadak pucat, bahkan tangannya tremor saat mengambil test pack dari genggaman
"Mey! Sekali lagi Umi tanya. Siapa laki-laki yang sudah menghamili kamu, Mey!" Suara Umi tak lagi terdengar lembut, melainkan melengking tinggi saking jengkelnya karena dari tadi aku hanya membisu. "Mey! Jawab Mey! Kamu tidak bisa terus-terusan nutupin identitas baj*ng*n itu, Mey!" Bukannya menjawab, tangisku justru semakin kencang. "Plak!" Tamparan Umi mendarat di pipiku, perih dan panas itu yang kurasakan, tapi itu tak sebanding dengan sakit yang dirasakan Umi. Karena anak gadisnya hamil di luar nikah. Umi sampai menamparku, itu berarti aku sudah membuat kesalahan yang tidak bisa dimaafkan. Ingin sekali aku mengatakan bahwa Rey lah laki-laki itu, tapi mengingat penolakannya waktu itu membuatku memilih bungkam. "Katakan, Mey, katakan! Jangan hanya membisu kamu!" Umi mencengkeram bahuku, dan mengguncangnya kasar. "Kamu mau bunuh Umi, Mey. Bunuh Umi saja, Mey! Bunuh! Daripada kamu permalukan kami seperti ini!" Umi berkata sambil menangis tersedu. Aku masih bergeming, mulutku terk
"Abah .... " Umi menghambur ke pelukan Abah, begitu sadar dari pingsannya.Umi sudah berada di kamarnya sendiri sekarang. Saat jatuh pingsan tadi, Abah segera membawa Umi keluar dari kamarku. Abah yang tidak tahu apa-apa terlihat bingung, demi menenangkan kekasih hatinya, Abah balas memeluk Umi dan mengelus lembut punggungnya. Membiarkan Umi menumpahkan tangisnya di sana. "Sekarang cerita! Kenapa Umi sampai pingsan tadi? Ada apa?" Tanya Abah setelah Umi terlihat lebih tenang. "Yang menghamili Mey ternyata --- ternyata ---" Tangis Umi kembali pecah. Abah menghela nafas, melepas beban yang menyesakkan dadanya. Hari ini terlalu banyak kejadian yang mengejutkan pria penuh wibawa itu. Kejutan yang tak pernah Abah ingin kan tentu saja. "Ternyata apa, Mi? Ngomong yang bener! Kalau kamu nangis terus begini, kepala Abah tambah pusing," gumam Abah sambil terus mengelus punggung Umi, sementara tangan lainnya digunakan untuk memijit keningnya. "Laki-laki baj*ngan itu, ter --- ternyata anak
Meski susah payah, akhirnya kaleng berbentuk tabung itu berhasil kubuka. Tanpa pikir panjang kutenggak cairan itu hingga hampir tandas. Pahit getir menyapa lidah, tapi tak menyurutkan niatku untuk menghabiskannya. Belum hilang rasa pahit yang menyiksa lidah, tiba-tiba dadaku terasa sesak leherku seperti tercekik. Aku kesulitan bernafas, mata berkunang-kunang kepala pusing luar biasa. Hingga semua menjadi gelap, aku tak ingat apa-apa lagi. "Mey ...!" Hanya teriakan histeris Umi yang kuingat terakhir kali, sebelum kesadaranku benar-benar hilang. Perlahan aku membuka mata, hal pertama yang tertangkap indera penglihatanku adalah ruangan serba putih. Seketika aku berfikir, bahwa aku berada di alam lain. Tapi bau obat yang menusuk hidung membuatku sadar, aku tengah berada di rumah sakit. Di tanganku tertancap selang infus, begitu juga hidungku yang terdapat selang alat bantu nafas. Padahal aku berharap mati saja, daripada hidup hanya menjadi aib dan beban orang tua. Tapi rupanya Allah b