Share

Bab 2

"Mari, Bu Yayuk." Aku mengangguk sopan, tak lupa tersenyum manis pada ibu dua anak yang tengah menjemur baju itu.

Ku dorong motorku hingga ke depan pagar, mengilunci mengunci pintu gerbang. Kupikir Bu Yayuk sudah masuk, karena kulihat semua cuciannya sudah dijemur semua. Ternyata dia masih menatapku dari balik pagar rumahnya.

"Buru-buru amat, Mbak Mey? Padahal tadi sudah dapat satu pelanggan, lho. Kok masih nyari pelanggan lagi. Kejar target, ya?" Ujar Bu Yayuk, sepertinya dia belum puas kalau belum memojokkan aku.

Mulut kok julidnya minta ampun. Pengen rasanya kuremas bibir bergincu merah cabe itu, agar tidak sembarangan kalau berkata. Selama tinggal di sini, aku tak pernah sibuk ngurus urusan tetangga, aku juga tidak pernah mengganggu mereka. Termasuk Bu Yayuk juga. Kenapa dia begitu usil dengan kehidupanku? Mau kejar target, mau kejar duit, suka-suka aku lah! Ngapain dia yang repot.

"Mimpi apa Ustadz Fauzi itu? Anak semata wayangnya rusak gara-gara kenal kamu. Saranku, Mbak Mei. Sebaiknya tinggalkan Mas Rahman! Toh, kamu sudah mencicipi dia, sudah merasakan keperjakaannya juga, kan?" Makin ngawur saja omongan Bu Yayuk. Dia pikir Rahman makanan yang bisa-bisa diicip-icip?

Kuakui Rahman sering datang ke rumah, tapi bukan untuk melepaskan hasrat, seperti yang dipikirkan Bu Yayuk dan tetangga lain. Rahman ke rumah lebih banyak memberi tausiah, mengingatkan aku tentang hidup setelah mati. Mengingatkan aku siksa kubur yang maha pedih, dan mengajakku bertaubat, agar terhindar dari pedihnya api neraka. Jangankan meniduri ku, tak sengaja menyentuhku saja dia beristighfar dan minta maaf berkali-kali.

"Bu Yayuk, tolong diam kalau nggak tahu apa-apa!" Salakku galak.

Aku yang awalnya menganggap ocehan BU Yayuk hanya angin lalu, kini mulai terpancing emosi.

"Lho, nggak tahu gimana? Wong aku lihat dengan mata kepalaku sendiri Mas Rahman masuk ke rumahmu, kok. Yang namanya laki-laki masuk ke rumah pel*cur, kalau bukan untuk indehoy lalu untuk apa? Masak iya belanja sayur? Sayur hitam kali, ah!" Sahut Bu Yayuk menyebalkan

Sepertinya Bu Yayuk perlu diberi syok terapi, agar tidak asal mangap kalau ngomong.

"Bu Yayuk bisa diam, nggak! Jangan suka ngomong sembarangan! Yang terjadi tidak seperti yang Ibu lihat!" Emosiku mulai naik ke ubun-ubun. Sesabar-sabarnya orang kalau terus dipancing seperti ini, lama-lama panas juga.

"Kalau aku nggak mau, kamu mau apa? Wong memang kamu pel*cur perempuan penjaja kenikmatan, kok pake ngelak segala. Ngaku saja kalau kamu itu baru saja melayani anaknya Uztaz Fauzi itu!"

"Bu Yayuk lama-lama saya tampar mulutnya!" Ancamku, tapi sepertinya dianggap main-main sama Bu Yayuk.

"Tampar aja kalau berani!" Tantangnya.

Fix! Bu Yayuk ngajak gelut. Oke, dia jual aku beli. Dia yang mulai cari gara-gara, jadi jangan menyesal kalau kubuat lipstick menornya belepotan kemana-mana.

Aku yang berada di atas motor, akhirnya turun dan menghampiri wanita berbadan bongsor itu. Sesekali menampar mulut julid kayaknya menyenangkan juga. Baru beberapa langkah aku mendekat, dari arah belakang muncul Eko, suami Bu Yayuk.

"Mbak Mey, mau kemana?"

Duh, malah ada suaminya, padahal aku sudah nafsu banget pengen ngruwes bibir istrinya. Ya sudahlah, batal saja. Kalau suami istri itu mengroyokku bisa bahaya! Lagi pula, Pak Eko itu termasuk salah satu tetangga yang sering ngajak aku kencan, tapi kutolak mentah-mentah. Sejak profesi asliku terbongkar, banyak Bapak-bapak di kompleks ini jadi genit dan ganjen padaku.

Tanpa basa-basi aku berbalik ke motorku dan langsung tancap gas. Meninggal sepasang suami istri menjengkelkan itu. Lain kali, akan kuberi pelajaran mereka!

"Lho! Mbak Mey! Kok malah kabur!" Teriak Bu Yayuk yang masih kudengar dengan jelas.

Semua gara-gara Pak Yosef. Andai dia tidak ngember mengumbar, aibku ke semua orang. Pasti saat ini hidupku masih nyaman dan tenang. Kalau dulu aku biasa pergi pagi, siangnya pulang untuk makan siang sekalian menjemput Dinda, karena orang taunya aku bekerja di salon. Padahal aku menghabiskan waktu siangku untuk perawatan wajah, dan seluruh badan, di salon milik Mami Monic. Namanya juga dagangan, harus selalu terlihat menarik di mata pelanggan. Atau sekedar nongkrong di salon itu kalau sedang tidak perawatan, atau tidak orderan. Biar terlihat seperti orang bekerja pada umumnya.

Dan sekarang, aku tak bisa pura-pura lagi pergi kerja. Orang sudah tahu apa pekerjaanku. Aku jadi tidak kerasan tinggal di lingkungan ini lagi, ingin rasanya pindah rumah. Tapi pindah juga bukan perkara mudah, butuh dana besar.

* * * * * * * *

Kuparkirkan motor maticku di bawah pohon dekat gerbang sekolah Nina, menunggu anak semata wayangku itu pulang. Sejak aku parkir ada saja mata yang menatapku nafsu, padahal pakaianku terbilang sopan tidak terbuka sama sekali.

"Mbak Mey, ya?" Seorang laki-laki awal empat puluhan berdiri di samping motorku. Aku yang tidak mengenal siapa dia, hanya menatap bingung.

"Saya Aryo, yang kemarin booking Mbak Mey, tapi Mbak tolak," lanjutnya memperkenalkan diri, sambil mengulurkan tangan bermaksud menyalamiku.

Dilihat dari penampilannya, laki-laki yang mengaku bernama Aryo ini nampak tak punya bakat 'nakal', tapi kenyataannya dia pernah membooking aku. Itu artinya dia termasuk pemain.

Aku yang sedang badmood hanya menatap risih tangannya yang terulur. Merasa diabaikan, dia pun menarik tangannya kembali dan memasukkannya ke dalam saku celana.

"Saya masih penasaran sama, Mbak Mey. Yang kata orang-orang paling pinter bikin puas." Kali ini mata Aryo menilisikku dari atas kebawah, seolah ingin menerkamku hidup-hidup.

Ingin sekali ku tampar mulut kurang ajar si Aryo ini. Bisa-bisanya ngomong seperti itu di lingkungan sekolah, kalau ada orang tua murid, atau bahkan siswanya sendiri yang mendengar bagaimana? Soal nama baik aku sudah tidak peduli, aku memang tak pantas punya nama baik. Tapi aku tak mau nama anakku ikut tercemar.

Dan yang paling kutakutkan, kalau Dinda mendengar ucapan Aryo ini. Anak itu bakal mencercaku dengan banyak pertanyaan, yang aku sendiri tak siap untuk menjelaskan.

"Maaf, Pak Aryo. Bisa meningggalkan saya sekarang?" Ucapku sopan, berharap laki-laki ini tahu diri, dan segera meninggalkanku.

Senyum di wajah Aryo lenyap seketika, wajah ramah yang tadi dia tampilkan, kini berubah kaku dan dingin.

"Pel*cur sepertimu tidak usah bersikap sok jual mahal! Lon*e aja belagu!" Usai berkata dia pergi begitu saja.

Aku hanya bisa mengelus dada, berusaha merefil stock sabar dalam dada. Memang beginilah nasib wanita penjaja kenikmatan, selalu dipandang rendah semua orang. Tidak laki-laki, tidak perempuan mulut mereka sama kejamnya. Meski dilabeli perempuan nggak bener, aku ini tetaplah manusia yang punya hati dan perasaan.

Aku masih larut meratapi nasibku, ketika Dinda datang dengan wajah sembab. Bisa kulihat jejak air mata di sana. Apa yang terjadi dengan putriku?

"Mama! Mulai sekarang jangan jemput Dinda lagi!" Sentak bocah kelas dua SD itu, kakinya dihentak-hentakkan ke tanah.

"Lho, kenapa?"

Bersambung ....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status