"Mama! Mulai sekarang jangan jemput Dinda lagi!" Sentak bocah kelas dua SD itu, kakinya dihentak-hentakkan ke tanah. "Lho, kenapa?" Tanyaku spontan. Jelas aku heran, kenapa tiba-tiba Dinda melarang kau menjemputnya? Ada apa? Biasanya dia selalu protes kalau aku menggunakan jasa ojol, menggantikan aku yang tak sempat menjemput karena sedang melayani klien.Hanya berdua hidup di kota ini, membuatku tak punya keluarga atau saudara yang bisa dimintai tolong. Apa-apa harus kulakukan sendiri. "Kok yang jemput Kang Ojol sih, Ma? Kan aku maunya dijemput Mama!" Protes Dinda karena aku urung menjemputnya waktu itu. "Mama kerja, Sayang," ujarku beralasan. "Kan, bisa ditinggal sebentar, Ma.""Pekerjaannya nggak bisa ditinggal, Sayang. Bos Mama bisa marah besar." Mana mungkin aku meninggalkan klien yang lagi On, bisa komplain dia sama Mami Monic dan aku kena denda. Sebenarnya aku lebih suka melayani klien disiang hari, agar tidak perlu pulang malam. Ya, biar terlihat seperti pekerja pada um
Aku masih duduk di samping brangkar di mana Adinda terbaring, dengan selang menancap dibeberapa bagian tubuhnya. Sejak tadi aku hanya bisa menangis sambil terus menggenggam erat tangannya. Dinda sudah menjalani operasi, tapi dia belum sadar juga padahal sudah hampir lima jam aku menunggu. Mata Dinda masih saja Terpejam, membuat aku seperti kehilangan harapan. Aku merasa dunia sudah begitu tak adil padaku. Kenapa hidupku selalu di rundung masalah? Kenapa? Apa pendosa sepertiku tak pantas bahagia? Tiba-tiba ingatanku kembali ke masa lalu, masa dimana tiba-tiba Dinda hadir dalam hidupku, saat usiaku begitu belia, saat aku belum siap mengadapi kejamnya dunia. "Rey, aku hamil." Sambil berkata aku menunjukkan test pack bergaris dua milikku pada Reynald pacarku. Kami sudah menjalin hubungan cinta sejak kelas 11, kini saat ujian kelulusan di depan mata, aku mendapati kenyataan diri ini berbadan dua. Wajah Rey mendadak pucat, bahkan tangannya tremor saat mengambil test pack dari genggaman
"Mey! Sekali lagi Umi tanya. Siapa laki-laki yang sudah menghamili kamu, Mey!" Suara Umi tak lagi terdengar lembut, melainkan melengking tinggi saking jengkelnya karena dari tadi aku hanya membisu. "Mey! Jawab Mey! Kamu tidak bisa terus-terusan nutupin identitas baj*ng*n itu, Mey!" Bukannya menjawab, tangisku justru semakin kencang. "Plak!" Tamparan Umi mendarat di pipiku, perih dan panas itu yang kurasakan, tapi itu tak sebanding dengan sakit yang dirasakan Umi. Karena anak gadisnya hamil di luar nikah. Umi sampai menamparku, itu berarti aku sudah membuat kesalahan yang tidak bisa dimaafkan. Ingin sekali aku mengatakan bahwa Rey lah laki-laki itu, tapi mengingat penolakannya waktu itu membuatku memilih bungkam. "Katakan, Mey, katakan! Jangan hanya membisu kamu!" Umi mencengkeram bahuku, dan mengguncangnya kasar. "Kamu mau bunuh Umi, Mey. Bunuh Umi saja, Mey! Bunuh! Daripada kamu permalukan kami seperti ini!" Umi berkata sambil menangis tersedu. Aku masih bergeming, mulutku terk
"Abah .... " Umi menghambur ke pelukan Abah, begitu sadar dari pingsannya.Umi sudah berada di kamarnya sendiri sekarang. Saat jatuh pingsan tadi, Abah segera membawa Umi keluar dari kamarku. Abah yang tidak tahu apa-apa terlihat bingung, demi menenangkan kekasih hatinya, Abah balas memeluk Umi dan mengelus lembut punggungnya. Membiarkan Umi menumpahkan tangisnya di sana. "Sekarang cerita! Kenapa Umi sampai pingsan tadi? Ada apa?" Tanya Abah setelah Umi terlihat lebih tenang. "Yang menghamili Mey ternyata --- ternyata ---" Tangis Umi kembali pecah. Abah menghela nafas, melepas beban yang menyesakkan dadanya. Hari ini terlalu banyak kejadian yang mengejutkan pria penuh wibawa itu. Kejutan yang tak pernah Abah ingin kan tentu saja. "Ternyata apa, Mi? Ngomong yang bener! Kalau kamu nangis terus begini, kepala Abah tambah pusing," gumam Abah sambil terus mengelus punggung Umi, sementara tangan lainnya digunakan untuk memijit keningnya. "Laki-laki baj*ngan itu, ter --- ternyata anak
Meski susah payah, akhirnya kaleng berbentuk tabung itu berhasil kubuka. Tanpa pikir panjang kutenggak cairan itu hingga hampir tandas. Pahit getir menyapa lidah, tapi tak menyurutkan niatku untuk menghabiskannya. Belum hilang rasa pahit yang menyiksa lidah, tiba-tiba dadaku terasa sesak leherku seperti tercekik. Aku kesulitan bernafas, mata berkunang-kunang kepala pusing luar biasa. Hingga semua menjadi gelap, aku tak ingat apa-apa lagi. "Mey ...!" Hanya teriakan histeris Umi yang kuingat terakhir kali, sebelum kesadaranku benar-benar hilang. Perlahan aku membuka mata, hal pertama yang tertangkap indera penglihatanku adalah ruangan serba putih. Seketika aku berfikir, bahwa aku berada di alam lain. Tapi bau obat yang menusuk hidung membuatku sadar, aku tengah berada di rumah sakit. Di tanganku tertancap selang infus, begitu juga hidungku yang terdapat selang alat bantu nafas. Padahal aku berharap mati saja, daripada hidup hanya menjadi aib dan beban orang tua. Tapi rupanya Allah b
Umi dan Abah benar-benar membuktikan ucapan mereka. Setelah kesehatanku pulih, aku langsung di kirim ke rumah Mbah Putri yang terletak di kaki gunung Slamet. Bahkan kami langsung berangkat dari rumah sakit, tidak mampir dulu ke rumah. Rupanya Abah dan Umi sudah mempersiapkan semua. Meski tak ingin, mau tak mau harus tinggal di sini tanpa bisa menolak. Menyembunyikan diri sekaligus menyembunyikan aib. Kini aku sadar, nama baik dan harga diri keluarga lebih dari segalanya bagi kedua orang tuaku. Bahkan dari aku, anak kandungnya. Selama perjalanan ke rumah Mbah Putri suasana di malam mobil sangat hening, hanya suara murottal dari tape mobil saja yang terdengar. Mereka tenggelam dalam fikiran masing-masing. "Ingat Mey! Jaga diri baik-baik, jaga sikap, jaga nama baik keluarga. Kejadian ini harus kamu jadikan pelajaran! Umi tidak mau dengar laporan kamu melakukan kesalahan lagi!" Pesan Umi sebelum meninggalkanku di rumah Mbah Putri. Sementara Abah, hanya diam tak bersuara. Sejak percoba
Aku hanya bisa menangis tergugu, meratapi nasib malang akibat kesalahanku sendiri. "Sudah, Ning. Jangan nangis terus, tangis Ning hanya memperberat langkah Abah di alam sana." Mbak Khalifah terus menghiburku, tapi itu tidak berarti apa-apa. Aku sedih, benar-benar sedih. Saat abahku berpulang, aku tidak diijinkan pulang sekedar melihat jenazahnya untuk terakhir kali. Mbah Putri melarang ku ikut, karena perutku sudah sangat besar akan jadi bahan gunjingan di sana. Nanti kasihan Abah. Begitu kata Mbah Putri. Usia kandunganku sudah menginjak 39 minggu, sudah dekat dekat HPL. Meski memaksa ikut, Mbah Putri tetap bersikeras melarang. "Abahmu pesen. Apapun yang terjadi, jangan sampai ada yang tahu kehamilanmu," ujar Mbah Putri karena aku terus merengek minta ikut. "Tapi, Mbah. Aku ini anaknya." Aku berusaha memprotes tapi, berharap Mbah Putri luluh, tapi wanita sepuh itu tetap pada pendiriannya. Aku tak boleh ikut, karena akan membuka aib yang mati-matian mereka tutupi. Akhirnya Mbah
Mungkin Umi sudah kebelet tapi sungkan membangunkanku, hingga beliau nekat ke kamar mandi sendiri. Dan akhirnya jatuh. Aku masih tak tahu harus melakukan apa. Minta tolong tetangga untuk membawa Umi ke rumah sakit? Rasanya tidak mungkin, selain sikap tetangga yang tak ramah, uang dari mana untuk membayar biaya rumah sakit? Sedangkan aku hanya memegang uang yang tak seberapa. Kalau akhirnya Umi terpaksa dirawat, siapa yang menjaganya nanti? Tak mungkin aku meninggalkan anakku sendirian di rumah, sedangkan di rumah sakit tidak boleh membawa anak kecil. Aku benar-benar pusing memikirkan semuanya sendiri, rasanya pengen nangis pengen menjerit, tapi sadar semua itu tidak akan menyelesaikan masalah. Abizar sudah ku hubungi, berharap dia pulang agar ada yang membantuku menjaga dan merawat Umi, dan yang terpenting ada yang diajak musyawarah kalau ada masalah seperti ini. Tapi Abizar baru bisa pulang besok, namanya naik angkutan umum perjalanannya memakan waktu lebih lama. Aku membaringka