Share

Bab 2

last update Last Updated: 2023-05-16 21:26:48

"Mari, Bu Yayuk." Aku mengangguk sopan, tak lupa tersenyum manis pada ibu dua anak yang tengah menjemur baju itu.

Ku dorong motorku hingga ke depan pagar, mengilunci mengunci pintu gerbang. Kupikir Bu Yayuk sudah masuk, karena kulihat semua cuciannya sudah dijemur semua. Ternyata dia masih menatapku dari balik pagar rumahnya.

"Buru-buru amat, Mbak Mey? Padahal tadi sudah dapat satu pelanggan, lho. Kok masih nyari pelanggan lagi. Kejar target, ya?" Ujar Bu Yayuk, sepertinya dia belum puas kalau belum memojokkan aku.

Mulut kok julidnya minta ampun. Pengen rasanya kuremas bibir bergincu merah cabe itu, agar tidak sembarangan kalau berkata. Selama tinggal di sini, aku tak pernah sibuk ngurus urusan tetangga, aku juga tidak pernah mengganggu mereka. Termasuk Bu Yayuk juga. Kenapa dia begitu usil dengan kehidupanku? Mau kejar target, mau kejar duit, suka-suka aku lah! Ngapain dia yang repot.

"Mimpi apa Ustadz Fauzi itu? Anak semata wayangnya rusak gara-gara kenal kamu. Saranku, Mbak Mei. Sebaiknya tinggalkan Mas Rahman! Toh, kamu sudah mencicipi dia, sudah merasakan keperjakaannya juga, kan?" Makin ngawur saja omongan Bu Yayuk. Dia pikir Rahman makanan yang bisa-bisa diicip-icip?

Kuakui Rahman sering datang ke rumah, tapi bukan untuk melepaskan hasrat, seperti yang dipikirkan Bu Yayuk dan tetangga lain. Rahman ke rumah lebih banyak memberi tausiah, mengingatkan aku tentang hidup setelah mati. Mengingatkan aku siksa kubur yang maha pedih, dan mengajakku bertaubat, agar terhindar dari pedihnya api neraka. Jangankan meniduri ku, tak sengaja menyentuhku saja dia beristighfar dan minta maaf berkali-kali.

"Bu Yayuk, tolong diam kalau nggak tahu apa-apa!" Salakku galak.

Aku yang awalnya menganggap ocehan BU Yayuk hanya angin lalu, kini mulai terpancing emosi.

"Lho, nggak tahu gimana? Wong aku lihat dengan mata kepalaku sendiri Mas Rahman masuk ke rumahmu, kok. Yang namanya laki-laki masuk ke rumah pel*cur, kalau bukan untuk indehoy lalu untuk apa? Masak iya belanja sayur? Sayur hitam kali, ah!" Sahut Bu Yayuk menyebalkan

Sepertinya Bu Yayuk perlu diberi syok terapi, agar tidak asal mangap kalau ngomong.

"Bu Yayuk bisa diam, nggak! Jangan suka ngomong sembarangan! Yang terjadi tidak seperti yang Ibu lihat!" Emosiku mulai naik ke ubun-ubun. Sesabar-sabarnya orang kalau terus dipancing seperti ini, lama-lama panas juga.

"Kalau aku nggak mau, kamu mau apa? Wong memang kamu pel*cur perempuan penjaja kenikmatan, kok pake ngelak segala. Ngaku saja kalau kamu itu baru saja melayani anaknya Uztaz Fauzi itu!"

"Bu Yayuk lama-lama saya tampar mulutnya!" Ancamku, tapi sepertinya dianggap main-main sama Bu Yayuk.

"Tampar aja kalau berani!" Tantangnya.

Fix! Bu Yayuk ngajak gelut. Oke, dia jual aku beli. Dia yang mulai cari gara-gara, jadi jangan menyesal kalau kubuat lipstick menornya belepotan kemana-mana.

Aku yang berada di atas motor, akhirnya turun dan menghampiri wanita berbadan bongsor itu. Sesekali menampar mulut julid kayaknya menyenangkan juga. Baru beberapa langkah aku mendekat, dari arah belakang muncul Eko, suami Bu Yayuk.

"Mbak Mey, mau kemana?"

Duh, malah ada suaminya, padahal aku sudah nafsu banget pengen ngruwes bibir istrinya. Ya sudahlah, batal saja. Kalau suami istri itu mengroyokku bisa bahaya! Lagi pula, Pak Eko itu termasuk salah satu tetangga yang sering ngajak aku kencan, tapi kutolak mentah-mentah. Sejak profesi asliku terbongkar, banyak Bapak-bapak di kompleks ini jadi genit dan ganjen padaku.

Tanpa basa-basi aku berbalik ke motorku dan langsung tancap gas. Meninggal sepasang suami istri menjengkelkan itu. Lain kali, akan kuberi pelajaran mereka!

"Lho! Mbak Mey! Kok malah kabur!" Teriak Bu Yayuk yang masih kudengar dengan jelas.

Semua gara-gara Pak Yosef. Andai dia tidak ngember mengumbar, aibku ke semua orang. Pasti saat ini hidupku masih nyaman dan tenang. Kalau dulu aku biasa pergi pagi, siangnya pulang untuk makan siang sekalian menjemput Dinda, karena orang taunya aku bekerja di salon. Padahal aku menghabiskan waktu siangku untuk perawatan wajah, dan seluruh badan, di salon milik Mami Monic. Namanya juga dagangan, harus selalu terlihat menarik di mata pelanggan. Atau sekedar nongkrong di salon itu kalau sedang tidak perawatan, atau tidak orderan. Biar terlihat seperti orang bekerja pada umumnya.

Dan sekarang, aku tak bisa pura-pura lagi pergi kerja. Orang sudah tahu apa pekerjaanku. Aku jadi tidak kerasan tinggal di lingkungan ini lagi, ingin rasanya pindah rumah. Tapi pindah juga bukan perkara mudah, butuh dana besar.

* * * * * * * *

Kuparkirkan motor maticku di bawah pohon dekat gerbang sekolah Nina, menunggu anak semata wayangku itu pulang. Sejak aku parkir ada saja mata yang menatapku nafsu, padahal pakaianku terbilang sopan tidak terbuka sama sekali.

"Mbak Mey, ya?" Seorang laki-laki awal empat puluhan berdiri di samping motorku. Aku yang tidak mengenal siapa dia, hanya menatap bingung.

"Saya Aryo, yang kemarin booking Mbak Mey, tapi Mbak tolak," lanjutnya memperkenalkan diri, sambil mengulurkan tangan bermaksud menyalamiku.

Dilihat dari penampilannya, laki-laki yang mengaku bernama Aryo ini nampak tak punya bakat 'nakal', tapi kenyataannya dia pernah membooking aku. Itu artinya dia termasuk pemain.

Aku yang sedang badmood hanya menatap risih tangannya yang terulur. Merasa diabaikan, dia pun menarik tangannya kembali dan memasukkannya ke dalam saku celana.

"Saya masih penasaran sama, Mbak Mey. Yang kata orang-orang paling pinter bikin puas." Kali ini mata Aryo menilisikku dari atas kebawah, seolah ingin menerkamku hidup-hidup.

Ingin sekali ku tampar mulut kurang ajar si Aryo ini. Bisa-bisanya ngomong seperti itu di lingkungan sekolah, kalau ada orang tua murid, atau bahkan siswanya sendiri yang mendengar bagaimana? Soal nama baik aku sudah tidak peduli, aku memang tak pantas punya nama baik. Tapi aku tak mau nama anakku ikut tercemar.

Dan yang paling kutakutkan, kalau Dinda mendengar ucapan Aryo ini. Anak itu bakal mencercaku dengan banyak pertanyaan, yang aku sendiri tak siap untuk menjelaskan.

"Maaf, Pak Aryo. Bisa meningggalkan saya sekarang?" Ucapku sopan, berharap laki-laki ini tahu diri, dan segera meninggalkanku.

Senyum di wajah Aryo lenyap seketika, wajah ramah yang tadi dia tampilkan, kini berubah kaku dan dingin.

"Pel*cur sepertimu tidak usah bersikap sok jual mahal! Lon*e aja belagu!" Usai berkata dia pergi begitu saja.

Aku hanya bisa mengelus dada, berusaha merefil stock sabar dalam dada. Memang beginilah nasib wanita penjaja kenikmatan, selalu dipandang rendah semua orang. Tidak laki-laki, tidak perempuan mulut mereka sama kejamnya. Meski dilabeli perempuan nggak bener, aku ini tetaplah manusia yang punya hati dan perasaan.

Aku masih larut meratapi nasibku, ketika Dinda datang dengan wajah sembab. Bisa kulihat jejak air mata di sana. Apa yang terjadi dengan putriku?

"Mama! Mulai sekarang jangan jemput Dinda lagi!" Sentak bocah kelas dua SD itu, kakinya dihentak-hentakkan ke tanah.

"Lho, kenapa?"

Bersambung ....

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 99

    "Gantengnya cucu Eyang ...." Umi berkata sambil menimang putraku, yang baru kulahirkan beberapa jam yang lalu itu. Cucu pertamanya, cucu yang sudah dia nanti bertahun-tahun lamanya. "Wes, diborong Rahman semua ini, Mey. Kamu nggak kebagian apa-apa. Plek ketiplek bapaknya waktu masih bayi," lanjut Umi, tanpa mengalihkan pandangannya pada bayiku. Meski ada iri menelusup di hati, karena wajah anakku yang ternyata sangat mirip bapaknya. Tapi juga bahagia sekaligus bangga, bisa memberi anak pada suami, dan cucu untuk mertuaku, dengan wajah yang identik dengan wajah mereka. "Kalian sudah siap nama, kan?""Sudah, Mi," jawabku singkat. Aku belum berani banyak bicara, luka bekas operasi masih begitu nyeri, kalau aku bergerak sedikit saja. Bahkan aku belum berani bicara banyak, karena takut. "Siapa?""Alfarisqi Rahman, Mi. Panggilannya Alfa." Umi baru datang setelah operasi selesai. Karena tak mau ambil resiko, karena kesehatan Umi sering bermasalah. Kami berangkat ke rumah sakit sendiri.

  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 98

    Mas Rahman menautkan jemari kami dan sesekali meremasnya lembut, seolah berkata, "Jangan takut, ada aku disini." Namun begitu aku tetap tak bisa mengendalikan perasaanku, gugup dan takut menguasai. Apalagi saat melihat wajah-wajah kaku majelis hakim, membuatku gentar dan ingin mundur saja. Masih ditambah tatapan dingin dan membunuh dari Adi Guntoro, yang duduk di samping pengacaranyaIni pertama kalinya aku menghadiri persidangan, dan jadi saksi. Jadi wajar, kalau perasaanku tak karu-karuan. Apalagi saat tak sengaja mata ini sekali lagi berserobok dengan mata Adi Guntoro yang duduk di samping pengacaranya. tatapannya begitu dingin seolah ingin menghabisiku saat itu juga. Membuatku ingin balik arah, dan berlari meninggalkan ruang sidang. Seolah tak ihlas suamiku melepas genggaman tangannya, ketika namaku dipanggil untuk duduk di kursi saksi. "Jangan takut, Mey. Ada aku," bisik Mas Rahman di telingaku. Bibirku tak henti merapal doa agar diberi kelancaran saat bersaksi nanti. Ternyata

  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 97

    Mas Rahman menautkan jemari kami dan sesekali meremasnya lembut, seolah berkata, "Jangan takut, ada aku disini." Namun begitu aku tetap tak bisa mengendalikan perasaanku, gugup dan takut menguasai. Apalagi saat melihat wajah-wajah kaku majelis hakim, membuatku gentar dan ingin mundur saja. Masih ditambah tatapan dingin dan membunuh dari Adi Guntoro, yang duduk di samping pengacaranyaIni pertama kalinya aku menghadiri persidangan, dan jadi saksi. Jadi wajar, kalau perasaanku tak karu-karuan. Apalagi saat tak sengaja mata ini sekali lagi berserobok dengan mata Adi Guntoro yang duduk di samping pengacaranya. tatapannya begitu dingin seolah ingin menghabisiku saat itu juga. Membuatku ingin balik arah, dan berlari meninggalkan ruang sidang. Seolah tak ihlas suamiku melepas genggaman tangannya, ketika namaku dipanggil untuk duduk di kursi saksi. "Jangan takut, Mey. Ada aku," bisik Mas Rahman di telingaku. Bibirku tak henti merapal doa agar diberi kelancaran saat bersaksi nanti. Ternyata

  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 96

    Tiga bulan berlalu, perutku mulai terlihat membuncit. Meski tak separah di Tri semester pertama, aku masih merasakan mual di pagi hari. Sebenarnya aku ingin beraktivitas, biar kehamilan ini tidak terlalu manja ini kehamilan kedua, harusnya aku kuat dan lebih siap, kan. Lagi pula aku juga sudah bosan kalau harus bad rest terus. Tapi Mas Rahman melarang. Katanya, "aku tidak mau anakku kenapa-napa, jangan ambil resiko!" Kalau aku ngeyel. "Dengan beraktivitas janin akan lebih sehat, Mas. Aku juga nggak stress dikurung terus." Tapi apa jawabnya? "Dah, nurut aja! Nggak usah banyak protes! Ini semua demi anak kita. Berkorban sedikit apa susahnya, sih?" Ternyata, perlakuan manis Mas Rahman hamil bukan untukku, tapi untuk anaknya. Dasar laki-laki, mau enaknya sendiri! Untung sayang. "Mas, capek. Pijitin!" Kuletakkan kedua kakiku di atas pangkuan Mas Rahman, yang sedang sibuk dengan laptopnya, memeriksa laporan keuangan show room. Tanpa bicara, Mas Rahman menutup laptopnya dan meletakkan di

  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 95

    "Dibilang males, ngeyel!" Mas Rahman terkekeh. "Mas Rahman menyembunyikan sesuatu, ya?" Todongku. Aku sudah nggak betah menahan rasa penasaran, dari tadi sikap Mas Rahman mencurigakan. "Mau tahu aja, apa mau tahu banget?" Selorohnya. Aku mencebik kesal, tawa Mas Rahman makin menjadi. "Sus, tadi sudah dikasih tahu belum?" Mas Rahman bertanya pada Suster Lusi. "Belum, Pak. Nggak berani saya." Sebenarnya rahasia apa yang mereka sembunyikan, sih? Aku benar-benar kepo! "Sekarang aja, Sus!" Usai Mas Rahman berkata, Suster Lusi berjalan ke arah pintu. Aku menatap bingung suamiku, tapi dia hanya senyum penuh arti, membuat rasa penasaran di hati makin menjadi. Kami masih saling tatap ketik dari terdengar suara riuh dari arah pintu. "Surprise....! Selamat ulang tahun ...." Sontak aku menoleh ke sumber suara. Di sana ada Umi dan Dinda, mereka datang membawa buket bunga. Sementara Suster Lusi membawa kue tart yang di atasnya terdapat lilin angka, yang sudah menyala. Speechless, itu ya

  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 94

    Pertama kali membuka mata, ruangan serba putih menyapa indera penglihatanku. Tanpa perlu dijelaskan, aku tahu sedang berada di ruang perawatan. Bau obat dan selang infus yang menancap di punggung tanganku, jawabannya. Apa ada masalah dengan lukaku? Infeksi? Atau kenapa? Pertanyaan itu memenuhi kepalaku, tapi aku tidak merasakan apa-apa di area itu. Pertanyaan-pertanyaan itu masih berputar-putar di kepalaku, hingga pintu terbuka dan menampilkan sosok wanita berseragam serba hijau menghampiriku. "Alhamdulillah .... Bu Rahman sudah siuman. Apa yang dirasakan, Bu? Masih pusing?" Tanya wanita bertag name Lusi itu, ramah. "Sedikit, Sus. Suami saya mana, ya? Kok nggak keliahatan?" Aku tak menemukan Mas Rahman ketika sadar tadi, dan sampai sekarang pun laki-laki itu kunjung muncul. Tak biasanya dia meninggalkan aku sendiri kalau sedang sakit, apalagi ini di rumah sakit. "Pak Rahman ijin pulang sebentar, Bu. Mengambil baju ganti katanya, dan beliau menitipkan Ibu pada saya," jelas wanita

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status