Share

Bab 4

Aku masih duduk di samping brangkar di mana Adinda terbaring, dengan selang menancap dibeberapa bagian tubuhnya. Sejak tadi aku hanya bisa menangis sambil terus menggenggam erat tangannya.

Dinda sudah menjalani operasi, tapi dia belum sadar juga padahal sudah hampir lima jam aku menunggu. Mata Dinda masih saja Terpejam, membuat aku seperti kehilangan harapan. Aku merasa dunia sudah begitu tak adil padaku. Kenapa hidupku selalu di rundung masalah? Kenapa? Apa pendosa sepertiku tak pantas bahagia?

Tiba-tiba ingatanku kembali ke masa lalu, masa dimana tiba-tiba Dinda hadir dalam hidupku, saat usiaku begitu belia, saat aku belum siap mengadapi kejamnya dunia.

"Rey, aku hamil." Sambil berkata aku menunjukkan test pack bergaris dua milikku pada Reynald pacarku.

Kami sudah menjalin hubungan cinta sejak kelas 11, kini saat ujian kelulusan di depan mata, aku mendapati kenyataan diri ini berbadan dua.

Wajah Rey mendadak pucat, bahkan tangannya tremor saat mengambil test pack dari genggamanku.

"Ha---hamil, Mey?" Rey tergagap, bisa kulihat dengan jelas ketakutan dalam tatapannya. "Kamu serius? Ini nggak keliru?"

"Iya, Rey. Sudah tiga bulan lebih aku tidak mendapat tamu bulanan, akhir-akhir ini badanku sering terasa lemas, kepalaku pusing dan mau muntah tiap bangun tidur. Iseng-iseng kau cek, ternyata benar aku hamil." Rey menatapku nanar.

"Tapi kita masih sekolah, Mey. Aku belum bekerja, bagaimana aku bisa bertanggung jawab? Aku belum siap, Mey. Belum siap." Mata Rey memerah saat berkata.

Sudah setahun lebih kami berpacaran, tak pernah kulihat Rey setakut ini. Biasanya dia bersikap tegas dan berani, apalagi saat ada cowok lain yang berusaha mendekatiku. Dia tak segan-segan memberi pelajaran pada cowok itu. Tapi sekarang aku hanya melihat Rey yang rapuh, Rey yang penakut.

"Tapi aku sudah terlanjur hamil, Rey. Mau nggak mau kamu harus menikahiku," tuntutku.

Berani berbuat harus berani bertanggung jawab. Dia sendiri yang berkata seperti itu saat kami melakukannya pertama kali. "Kamu jangan khawatir, Mey. Aku bertanggung kalau sampai terjadi sesuatu padamu." Aku yang kala itu sedang dimabuk kepayang hanya pasrah saja, saat Rey merenggut kesucianku. Kini, saat benih yang dia tanam tumbuh di rahim ku, dia berniat lepas tangan.

"Mau makan apa kita nanti? Batu! Aku nggak kerja, Mey! Orang tuaku juga bukan orang kaya! Bagaimana mungkin aku menambahi beban mereka dengan menikahimu?"

Tangisku pecah seketika mendengar ucapan Rey. Kalau bukan dia yang bertanggung jawab, lalu siapa? Hanya dia laki-laki yang pernah menyentuhku, aku berani jamin itu.

"Lalu aku harus bagaimana, Rey? Semua sudah terlanjur terjadi. Ayo lah! Kita menghadap orang tua kita, dan mengatakan yang sejujurnya. Kita tidak mungkin terus-terusan menutupi masalah ini, makin lama perutku makin membesar, Rey," ucapku berusaha membujuk Rey, agar dia mau bertanggung jawab.

"Gugurkan!" Ucapnya yakin.

"Apa kamu bilang? Gugurkan? Kamu gila, Rey!" Pekikku tak terima. Bagaimana mungkin dia menyuruhku membunuh darah dagingnya sendiri.

"Sudah kubilang. Aku tidak siap menikahimu! Kamu harus menggugurkan kandunganmu!" Aku hampir tak percaya mendengar ucapan Rey. Dengan entengnya dia berkata seperti itu, apa dia lupa janjinya padaku?

"Rey, kamu kejam, Rey! Kamu tega!"

Air mata yang dari tadi kutahan akhirnya tumpah juga. Aku sedang terpuruk, aku butuh dukungan dari orang yang kucintai. Tapi apa yang kudapat? Rey, orang yang seharusnya bertanggung jawab justru tak mau tahu. Jangankan bertanggung jawab, menghibur hatiku saja dia tidak mau. Aku harus menahan duka ini sendiri. Halaman belakang sekolah jadi saksi, betapa hancurnya aku saat itu.

* * * * * * * * *

"Huek!" Aku segera berlari ke kamar mandi, untuk mengeluarkan semua isi perutku.

Aku yang sedang menikmati sarapan di meja makan bersama kedua orang tua dan adikku, saat mual tiba-tiba menyerang. Sekuat tenaga aku menahan agar jangan sampai muntah, tapi perutku tidak bisa diajak kompromi. Rasa tidak dan perut seperti diaduk-aduk menyiksaku begitu luar biasa.

"Kamu masuk angin, Mey?" Umi menyusul ku, beliau mengolesiku tengkuk ku dengan minyak kayu putih kemudian memijit nya lembut.

Aku hanya mengangguk lemah, rasanya tak punya daya walau sekedar berkata. Umi belum tahu, anak gadisnya ini sedang berbadan dua. Pasti tak pernah terlintas dalam benak Umi, gadis yang kemana-mana selalu berkerudung ini hamil di luar nikah. Di mata Umi dan Abah, aku ini anak manis yang tak pernah membuat masalah.

"Kamu sih, semua kegiatan diikuti. Jadi capek sendiri, kan? Sudah lah, nggak usah ikut segala kegiatan ekstrakurikuler itu. Sebentar lagi kamu ujian, fokus belajar." Lagi, aku hanya bisa mengangguk sebagai jawaban.

Setiap pergi kencan dengan Rey, aku selalu minta dengan alasan mengikuti kegiatan ekstrakurikuler di sekolah. Umi dan abahku percaya saja, tak tahu kalau anaknya ini sudah menghianati kepercayaan mereka.

Abahku kepala sekolah di sebuah MTS swasta di kota ini, sementara Umi bekerja sebagai guru Aliyah di Yayasan yang sama. Kedua orang tuaku termasuk orang yang terpandang, Abah bahkan sering memberikan ceramah di banyak majelis taklim. Umi juga ketua Fatayat Cabang kota ini. Sungguh keluarga yang religius, tapi nyatanya aku tumbuh jadi gadis rusak.

Umi dan Abahku sibuk mengejar surga, sementara mereka lupa bahwa putri sulungnya ini butuh bimbingan. Mereka lupa pergaulan jaman sekarang begitu mengerikan. Mereka lupa mengawasi aku yang mudah terseret edannya zaman.

"Kalau masih nggak enak badan, kamu nggak usah sekolah. Biar Umi yang ijinkan pada wali kelasmu," lanjut Umi sambil membimbingku berjalan ke kamarku.

Baru beberapa langkah aku berjalan tiba-tiba tubuhku terasa ringan, lalu semua menjadi gelap. Yang terakhir kudengar adalah teriakan Umi memanggilku.

"Mey ....!"

* * * * * * * *

Mataku mengerjap, yang pertama kali kulihat Umi menangis di sampingku.

"Apa salah Abah dan Umi, Mey? Apa salah kami hingga kamu tega melempar kotoran di muka kami? Katakan apa salah kami, Mey!" Raung Umi dengan berderai air mata.

Aku yang belum sadar sepenuhnya masih belum bisa mencerna, apa maksud ucapan Umi.

"Lebih baik kamu bunuh Umi, daripada kamu permalukan kami seperti ini!" Ucap Umi diantara isak tangisnya.

Mempermalukan? Mendengar kata mempermalukan ingatanku kembali pada kondisiku yang sudah berbadan dua ini.

Tanpa diduga, Abah yang datang dari arah luar tiba-tiba menarik kasar tanganku. Aku diseret dari tempat tidur. Pukulan membabi buta dilayangkan ke tubuhku. Abah seperti kesetanan, dia menghajarku habis-habisan. Aku yang masih lemah hanya bisa pasrah, tanpa bisa menghindar apalagi melawan. Hanya Umi yang mati-matian berusaha menghentikan aksi Abah, di peluknya tubuhku agar tak jadi sasaran amarah Abah. Saat itu yang ada dalam fikiranku, mati lebih baik daripada hidup jadi aib keluarga.

"Jangan kamu halangi, Mi. Anak kurang ajar ini harus mendapat pelajaran!" Desis Abah murka.

"Jangan, Bah. Dia anak kita, jangan sakiti dia, Bah," melas Umi dengan suara gemetar.

"Dia sudah mempermalukan kita, Mi! Dia menerima hukuman!" Teriak ayah Emosi.

"Tapi bukan begini caranya, Bah. Abah bisa menjadi pembunuh, kalau terus memukul dia. Yang terjadi pada Mey, itu salah kita juga, Bah."

Ucapan Umi berhasil meredam amarah Abah yang sempat meledak. Laki-laki cinta pertamaku itu melepaskan sapu yang tadi dia pakai untuk memukulku.

"Aku sudah mendidiknya dengan baik, aku membekalinya dengan ilmu agama yang cukup. Kenapa dia bisa jadi liar begini? Punya dosa apa aku, sampai mendapat cobaan begitu besar." Untuk pertama kalinya, aku melihat laki-laki berwibawa dan karismatik ini menangis sesenggukan.

Apa yang kulakukan, benar-benar sudah menghancurkan nama baik dan harapan mereka.

"Mey, jujur sama Umi. Siapa laki-laki yang sudah menghamilimu."

Ingin sekali aku menjawab jujur apa adanya, tapi lidah ini seperti kelu tak sanggup mengucap sepatah kata.

Bersambung ....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status