Share

Bab 4

last update Terakhir Diperbarui: 2023-05-16 21:30:23

Aku masih duduk di samping brangkar di mana Adinda terbaring, dengan selang menancap dibeberapa bagian tubuhnya. Sejak tadi aku hanya bisa menangis sambil terus menggenggam erat tangannya.

Dinda sudah menjalani operasi, tapi dia belum sadar juga padahal sudah hampir lima jam aku menunggu. Mata Dinda masih saja Terpejam, membuat aku seperti kehilangan harapan. Aku merasa dunia sudah begitu tak adil padaku. Kenapa hidupku selalu di rundung masalah? Kenapa? Apa pendosa sepertiku tak pantas bahagia?

Tiba-tiba ingatanku kembali ke masa lalu, masa dimana tiba-tiba Dinda hadir dalam hidupku, saat usiaku begitu belia, saat aku belum siap mengadapi kejamnya dunia.

"Rey, aku hamil." Sambil berkata aku menunjukkan test pack bergaris dua milikku pada Reynald pacarku.

Kami sudah menjalin hubungan cinta sejak kelas 11, kini saat ujian kelulusan di depan mata, aku mendapati kenyataan diri ini berbadan dua.

Wajah Rey mendadak pucat, bahkan tangannya tremor saat mengambil test pack dari genggamanku.

"Ha---hamil, Mey?" Rey tergagap, bisa kulihat dengan jelas ketakutan dalam tatapannya. "Kamu serius? Ini nggak keliru?"

"Iya, Rey. Sudah tiga bulan lebih aku tidak mendapat tamu bulanan, akhir-akhir ini badanku sering terasa lemas, kepalaku pusing dan mau muntah tiap bangun tidur. Iseng-iseng kau cek, ternyata benar aku hamil." Rey menatapku nanar.

"Tapi kita masih sekolah, Mey. Aku belum bekerja, bagaimana aku bisa bertanggung jawab? Aku belum siap, Mey. Belum siap." Mata Rey memerah saat berkata.

Sudah setahun lebih kami berpacaran, tak pernah kulihat Rey setakut ini. Biasanya dia bersikap tegas dan berani, apalagi saat ada cowok lain yang berusaha mendekatiku. Dia tak segan-segan memberi pelajaran pada cowok itu. Tapi sekarang aku hanya melihat Rey yang rapuh, Rey yang penakut.

"Tapi aku sudah terlanjur hamil, Rey. Mau nggak mau kamu harus menikahiku," tuntutku.

Berani berbuat harus berani bertanggung jawab. Dia sendiri yang berkata seperti itu saat kami melakukannya pertama kali. "Kamu jangan khawatir, Mey. Aku bertanggung kalau sampai terjadi sesuatu padamu." Aku yang kala itu sedang dimabuk kepayang hanya pasrah saja, saat Rey merenggut kesucianku. Kini, saat benih yang dia tanam tumbuh di rahim ku, dia berniat lepas tangan.

"Mau makan apa kita nanti? Batu! Aku nggak kerja, Mey! Orang tuaku juga bukan orang kaya! Bagaimana mungkin aku menambahi beban mereka dengan menikahimu?"

Tangisku pecah seketika mendengar ucapan Rey. Kalau bukan dia yang bertanggung jawab, lalu siapa? Hanya dia laki-laki yang pernah menyentuhku, aku berani jamin itu.

"Lalu aku harus bagaimana, Rey? Semua sudah terlanjur terjadi. Ayo lah! Kita menghadap orang tua kita, dan mengatakan yang sejujurnya. Kita tidak mungkin terus-terusan menutupi masalah ini, makin lama perutku makin membesar, Rey," ucapku berusaha membujuk Rey, agar dia mau bertanggung jawab.

"Gugurkan!" Ucapnya yakin.

"Apa kamu bilang? Gugurkan? Kamu gila, Rey!" Pekikku tak terima. Bagaimana mungkin dia menyuruhku membunuh darah dagingnya sendiri.

"Sudah kubilang. Aku tidak siap menikahimu! Kamu harus menggugurkan kandunganmu!" Aku hampir tak percaya mendengar ucapan Rey. Dengan entengnya dia berkata seperti itu, apa dia lupa janjinya padaku?

"Rey, kamu kejam, Rey! Kamu tega!"

Air mata yang dari tadi kutahan akhirnya tumpah juga. Aku sedang terpuruk, aku butuh dukungan dari orang yang kucintai. Tapi apa yang kudapat? Rey, orang yang seharusnya bertanggung jawab justru tak mau tahu. Jangankan bertanggung jawab, menghibur hatiku saja dia tidak mau. Aku harus menahan duka ini sendiri. Halaman belakang sekolah jadi saksi, betapa hancurnya aku saat itu.

* * * * * * * * *

"Huek!" Aku segera berlari ke kamar mandi, untuk mengeluarkan semua isi perutku.

Aku yang sedang menikmati sarapan di meja makan bersama kedua orang tua dan adikku, saat mual tiba-tiba menyerang. Sekuat tenaga aku menahan agar jangan sampai muntah, tapi perutku tidak bisa diajak kompromi. Rasa tidak dan perut seperti diaduk-aduk menyiksaku begitu luar biasa.

"Kamu masuk angin, Mey?" Umi menyusul ku, beliau mengolesiku tengkuk ku dengan minyak kayu putih kemudian memijit nya lembut.

Aku hanya mengangguk lemah, rasanya tak punya daya walau sekedar berkata. Umi belum tahu, anak gadisnya ini sedang berbadan dua. Pasti tak pernah terlintas dalam benak Umi, gadis yang kemana-mana selalu berkerudung ini hamil di luar nikah. Di mata Umi dan Abah, aku ini anak manis yang tak pernah membuat masalah.

"Kamu sih, semua kegiatan diikuti. Jadi capek sendiri, kan? Sudah lah, nggak usah ikut segala kegiatan ekstrakurikuler itu. Sebentar lagi kamu ujian, fokus belajar." Lagi, aku hanya bisa mengangguk sebagai jawaban.

Setiap pergi kencan dengan Rey, aku selalu minta dengan alasan mengikuti kegiatan ekstrakurikuler di sekolah. Umi dan abahku percaya saja, tak tahu kalau anaknya ini sudah menghianati kepercayaan mereka.

Abahku kepala sekolah di sebuah MTS swasta di kota ini, sementara Umi bekerja sebagai guru Aliyah di Yayasan yang sama. Kedua orang tuaku termasuk orang yang terpandang, Abah bahkan sering memberikan ceramah di banyak majelis taklim. Umi juga ketua Fatayat Cabang kota ini. Sungguh keluarga yang religius, tapi nyatanya aku tumbuh jadi gadis rusak.

Umi dan Abahku sibuk mengejar surga, sementara mereka lupa bahwa putri sulungnya ini butuh bimbingan. Mereka lupa pergaulan jaman sekarang begitu mengerikan. Mereka lupa mengawasi aku yang mudah terseret edannya zaman.

"Kalau masih nggak enak badan, kamu nggak usah sekolah. Biar Umi yang ijinkan pada wali kelasmu," lanjut Umi sambil membimbingku berjalan ke kamarku.

Baru beberapa langkah aku berjalan tiba-tiba tubuhku terasa ringan, lalu semua menjadi gelap. Yang terakhir kudengar adalah teriakan Umi memanggilku.

"Mey ....!"

* * * * * * * *

Mataku mengerjap, yang pertama kali kulihat Umi menangis di sampingku.

"Apa salah Abah dan Umi, Mey? Apa salah kami hingga kamu tega melempar kotoran di muka kami? Katakan apa salah kami, Mey!" Raung Umi dengan berderai air mata.

Aku yang belum sadar sepenuhnya masih belum bisa mencerna, apa maksud ucapan Umi.

"Lebih baik kamu bunuh Umi, daripada kamu permalukan kami seperti ini!" Ucap Umi diantara isak tangisnya.

Mempermalukan? Mendengar kata mempermalukan ingatanku kembali pada kondisiku yang sudah berbadan dua ini.

Tanpa diduga, Abah yang datang dari arah luar tiba-tiba menarik kasar tanganku. Aku diseret dari tempat tidur. Pukulan membabi buta dilayangkan ke tubuhku. Abah seperti kesetanan, dia menghajarku habis-habisan. Aku yang masih lemah hanya bisa pasrah, tanpa bisa menghindar apalagi melawan. Hanya Umi yang mati-matian berusaha menghentikan aksi Abah, di peluknya tubuhku agar tak jadi sasaran amarah Abah. Saat itu yang ada dalam fikiranku, mati lebih baik daripada hidup jadi aib keluarga.

"Jangan kamu halangi, Mi. Anak kurang ajar ini harus mendapat pelajaran!" Desis Abah murka.

"Jangan, Bah. Dia anak kita, jangan sakiti dia, Bah," melas Umi dengan suara gemetar.

"Dia sudah mempermalukan kita, Mi! Dia menerima hukuman!" Teriak ayah Emosi.

"Tapi bukan begini caranya, Bah. Abah bisa menjadi pembunuh, kalau terus memukul dia. Yang terjadi pada Mey, itu salah kita juga, Bah."

Ucapan Umi berhasil meredam amarah Abah yang sempat meledak. Laki-laki cinta pertamaku itu melepaskan sapu yang tadi dia pakai untuk memukulku.

"Aku sudah mendidiknya dengan baik, aku membekalinya dengan ilmu agama yang cukup. Kenapa dia bisa jadi liar begini? Punya dosa apa aku, sampai mendapat cobaan begitu besar." Untuk pertama kalinya, aku melihat laki-laki berwibawa dan karismatik ini menangis sesenggukan.

Apa yang kulakukan, benar-benar sudah menghancurkan nama baik dan harapan mereka.

"Mey, jujur sama Umi. Siapa laki-laki yang sudah menghamilimu."

Ingin sekali aku menjawab jujur apa adanya, tapi lidah ini seperti kelu tak sanggup mengucap sepatah kata.

Bersambung ....

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 99

    "Gantengnya cucu Eyang ...." Umi berkata sambil menimang putraku, yang baru kulahirkan beberapa jam yang lalu itu. Cucu pertamanya, cucu yang sudah dia nanti bertahun-tahun lamanya. "Wes, diborong Rahman semua ini, Mey. Kamu nggak kebagian apa-apa. Plek ketiplek bapaknya waktu masih bayi," lanjut Umi, tanpa mengalihkan pandangannya pada bayiku. Meski ada iri menelusup di hati, karena wajah anakku yang ternyata sangat mirip bapaknya. Tapi juga bahagia sekaligus bangga, bisa memberi anak pada suami, dan cucu untuk mertuaku, dengan wajah yang identik dengan wajah mereka. "Kalian sudah siap nama, kan?""Sudah, Mi," jawabku singkat. Aku belum berani banyak bicara, luka bekas operasi masih begitu nyeri, kalau aku bergerak sedikit saja. Bahkan aku belum berani bicara banyak, karena takut. "Siapa?""Alfarisqi Rahman, Mi. Panggilannya Alfa." Umi baru datang setelah operasi selesai. Karena tak mau ambil resiko, karena kesehatan Umi sering bermasalah. Kami berangkat ke rumah sakit sendiri.

  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 98

    Mas Rahman menautkan jemari kami dan sesekali meremasnya lembut, seolah berkata, "Jangan takut, ada aku disini." Namun begitu aku tetap tak bisa mengendalikan perasaanku, gugup dan takut menguasai. Apalagi saat melihat wajah-wajah kaku majelis hakim, membuatku gentar dan ingin mundur saja. Masih ditambah tatapan dingin dan membunuh dari Adi Guntoro, yang duduk di samping pengacaranyaIni pertama kalinya aku menghadiri persidangan, dan jadi saksi. Jadi wajar, kalau perasaanku tak karu-karuan. Apalagi saat tak sengaja mata ini sekali lagi berserobok dengan mata Adi Guntoro yang duduk di samping pengacaranya. tatapannya begitu dingin seolah ingin menghabisiku saat itu juga. Membuatku ingin balik arah, dan berlari meninggalkan ruang sidang. Seolah tak ihlas suamiku melepas genggaman tangannya, ketika namaku dipanggil untuk duduk di kursi saksi. "Jangan takut, Mey. Ada aku," bisik Mas Rahman di telingaku. Bibirku tak henti merapal doa agar diberi kelancaran saat bersaksi nanti. Ternyata

  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 97

    Mas Rahman menautkan jemari kami dan sesekali meremasnya lembut, seolah berkata, "Jangan takut, ada aku disini." Namun begitu aku tetap tak bisa mengendalikan perasaanku, gugup dan takut menguasai. Apalagi saat melihat wajah-wajah kaku majelis hakim, membuatku gentar dan ingin mundur saja. Masih ditambah tatapan dingin dan membunuh dari Adi Guntoro, yang duduk di samping pengacaranyaIni pertama kalinya aku menghadiri persidangan, dan jadi saksi. Jadi wajar, kalau perasaanku tak karu-karuan. Apalagi saat tak sengaja mata ini sekali lagi berserobok dengan mata Adi Guntoro yang duduk di samping pengacaranya. tatapannya begitu dingin seolah ingin menghabisiku saat itu juga. Membuatku ingin balik arah, dan berlari meninggalkan ruang sidang. Seolah tak ihlas suamiku melepas genggaman tangannya, ketika namaku dipanggil untuk duduk di kursi saksi. "Jangan takut, Mey. Ada aku," bisik Mas Rahman di telingaku. Bibirku tak henti merapal doa agar diberi kelancaran saat bersaksi nanti. Ternyata

  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 96

    Tiga bulan berlalu, perutku mulai terlihat membuncit. Meski tak separah di Tri semester pertama, aku masih merasakan mual di pagi hari. Sebenarnya aku ingin beraktivitas, biar kehamilan ini tidak terlalu manja ini kehamilan kedua, harusnya aku kuat dan lebih siap, kan. Lagi pula aku juga sudah bosan kalau harus bad rest terus. Tapi Mas Rahman melarang. Katanya, "aku tidak mau anakku kenapa-napa, jangan ambil resiko!" Kalau aku ngeyel. "Dengan beraktivitas janin akan lebih sehat, Mas. Aku juga nggak stress dikurung terus." Tapi apa jawabnya? "Dah, nurut aja! Nggak usah banyak protes! Ini semua demi anak kita. Berkorban sedikit apa susahnya, sih?" Ternyata, perlakuan manis Mas Rahman hamil bukan untukku, tapi untuk anaknya. Dasar laki-laki, mau enaknya sendiri! Untung sayang. "Mas, capek. Pijitin!" Kuletakkan kedua kakiku di atas pangkuan Mas Rahman, yang sedang sibuk dengan laptopnya, memeriksa laporan keuangan show room. Tanpa bicara, Mas Rahman menutup laptopnya dan meletakkan di

  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 95

    "Dibilang males, ngeyel!" Mas Rahman terkekeh. "Mas Rahman menyembunyikan sesuatu, ya?" Todongku. Aku sudah nggak betah menahan rasa penasaran, dari tadi sikap Mas Rahman mencurigakan. "Mau tahu aja, apa mau tahu banget?" Selorohnya. Aku mencebik kesal, tawa Mas Rahman makin menjadi. "Sus, tadi sudah dikasih tahu belum?" Mas Rahman bertanya pada Suster Lusi. "Belum, Pak. Nggak berani saya." Sebenarnya rahasia apa yang mereka sembunyikan, sih? Aku benar-benar kepo! "Sekarang aja, Sus!" Usai Mas Rahman berkata, Suster Lusi berjalan ke arah pintu. Aku menatap bingung suamiku, tapi dia hanya senyum penuh arti, membuat rasa penasaran di hati makin menjadi. Kami masih saling tatap ketik dari terdengar suara riuh dari arah pintu. "Surprise....! Selamat ulang tahun ...." Sontak aku menoleh ke sumber suara. Di sana ada Umi dan Dinda, mereka datang membawa buket bunga. Sementara Suster Lusi membawa kue tart yang di atasnya terdapat lilin angka, yang sudah menyala. Speechless, itu ya

  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 94

    Pertama kali membuka mata, ruangan serba putih menyapa indera penglihatanku. Tanpa perlu dijelaskan, aku tahu sedang berada di ruang perawatan. Bau obat dan selang infus yang menancap di punggung tanganku, jawabannya. Apa ada masalah dengan lukaku? Infeksi? Atau kenapa? Pertanyaan itu memenuhi kepalaku, tapi aku tidak merasakan apa-apa di area itu. Pertanyaan-pertanyaan itu masih berputar-putar di kepalaku, hingga pintu terbuka dan menampilkan sosok wanita berseragam serba hijau menghampiriku. "Alhamdulillah .... Bu Rahman sudah siuman. Apa yang dirasakan, Bu? Masih pusing?" Tanya wanita bertag name Lusi itu, ramah. "Sedikit, Sus. Suami saya mana, ya? Kok nggak keliahatan?" Aku tak menemukan Mas Rahman ketika sadar tadi, dan sampai sekarang pun laki-laki itu kunjung muncul. Tak biasanya dia meninggalkan aku sendiri kalau sedang sakit, apalagi ini di rumah sakit. "Pak Rahman ijin pulang sebentar, Bu. Mengambil baju ganti katanya, dan beliau menitipkan Ibu pada saya," jelas wanita

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status