Share

Bab 3

"Mama! Mulai sekarang jangan jemput Dinda lagi!" Sentak bocah kelas dua SD itu, kakinya dihentak-hentakkan ke tanah.

"Lho, kenapa?" Tanyaku spontan.

Jelas aku heran, kenapa tiba-tiba Dinda melarang kau menjemputnya? Ada apa? Biasanya dia selalu protes kalau aku menggunakan jasa ojol, menggantikan aku yang tak sempat menjemput karena sedang melayani klien.

Hanya berdua hidup di kota ini, membuatku tak punya keluarga atau saudara yang bisa dimintai tolong. Apa-apa harus kulakukan sendiri.

"Kok yang jemput Kang Ojol sih, Ma? Kan aku maunya dijemput Mama!" Protes Dinda karena aku urung menjemputnya waktu itu.

"Mama kerja, Sayang," ujarku beralasan.

"Kan, bisa ditinggal sebentar, Ma."

"Pekerjaannya nggak bisa ditinggal, Sayang. Bos Mama bisa marah besar." Mana mungkin aku meninggalkan klien yang lagi On, bisa komplain dia sama Mami Monic dan aku kena denda.

Sebenarnya aku lebih suka melayani klien disiang hari, agar tidak perlu pulang malam. Ya, biar terlihat seperti pekerja pada umumnya, pergi pagi pulang soren. Tapi karena Dinda sering protes, akhirnya aku sering menolak klien yang minta dilayani siang hari. Demi bisa mengantar jemput Dinda sekolah. Lalu kenapa tiba-tiba dia tidak mau lagi kuantar jemput?

"Pokoknya Mama jangan antar jemput aku lagi! Aku malu, Ma!" Dinda menjawab dengan nada ketus, tak lagi manja seperti biasanya.

Biasanya aku langsung tancap gas, kalau Dinda sudah naik ke boncengan. Tapi kali ini aku justru turun dari motor, memasang standar dan menghampiri Dinda yang duduk di atas motor dengan wajah ditekuk.

"Malu kenapa? Coba ngomong sama Mama," bujukku dengan suara lembut, sambil mengelus lembut punggung Dinda.

Tak kusangka, Dinda menepis tanganku. "Jangan pegang-pegang!" Sentaknya kasar.

Dadaku berdenyut nyeri, anak yang susah payah kurawat dan kubesarkan bisa-bisanya bersikap kasar padaku. Apa yang membuat Dinda berubah seperti itu? Pertanyaan itu kini memenuhi benakku.

"Dinda!" Untuk pertama kali sejak dia lahir ke dunia, aku membentaknya.

Selama ini aku begitu menyayanginya, rela melakukan apa saja asal dia bahagia. Bahkan aku rela mela*c*r demi agar dia bisa hidup layak, tidak kekurangan. Kini dia berani membentakku. Jelas aku kecewa dan sakit hati.

Sontak tangis Dinda pecah, air mata yang tadi sempat kering kini kembali tumpah. Tanpa mengucapkan sepatah kata Dinda turun dari motor dan lari ke arah jalan. Tapi pikir panjang aku mengejar Dinda.

"Dinda! Ayo pulang, Nak!" Dengan nafas terengah-engah kupanggil Dinda, agar dia mau pulang. Apapun masalahnya tak baik masalah diselesaikan di pinggir jalan seperti ini.

Bukannya berhenti, Dinda justru mempercepat langkahnya, membuatku tertinggal cukup jauh.

"Dinda! Mama minta maaf! Ayo kita pulang, Nak." Teriakku lantang, karena tak dia tak mau berhenti dan aku sudah kelelahan.

Langkah Dinda terhenti, dia menoleh sejenak menatapku penuh kebencian. "Dinda nggak mau pulang! Dinda benci Mama!"

Itu kata terakhir yang Dinda ucapkan, sebelum akhirnya sebuah mobil angkutan umum yang tengah oleng menabraknya.

Aku yang masih syok hanya bisa terpaku di tempatku berdiri, tak menyangka kejadian naas itu menimpa putri semata wayangku.

Orang-orang yang berada di tempat itu langsung berlari, sebagian menolong Dinda, sebagian lagi mengejar angkot yang berusaha melarikan diri. Setelah itu aku tak ingat apa-apa lagi, semua berubah menjadi gelap.

* * * * * * * * * * * *

Perlahan mataku mengerjab, pertama kali yang tertangkap indera penglihatanku adalah ruangan yang serba putih. Bau obat yang menusuk hidung, membuatku sadar bahwa aku berada di rumah sakit.

"Mama Dinda sudah sadar? Syukur lah, saya sempat panik tadi." Seorang laki-laki muda, yang kuingat sebagai salah satu guru Dinda berdiri di samping brangkar tempatku berbaring.

Mendengar laki-laki itu menyebut nama Dinda, membuatku teringat kembali kejadian yang membawaku ke tempat ini.

"Dinda! Dinda mana, Pak?" Spontan aku bangkit sekaligus duduk, begitu kesadaranku pulih seutuhnya.

"Tenang, Bu, tenang! Dinda sedang mendapat penanganan dari dokter, kita tunggu hasilnya, ya? Ibu minum dulu!" Pak Guru itu mengosongkan botol air mineral yang isinya masih penuh.

Aku hanya menatap botol air minum itu, lalu menatap Pak Guru dengan tatapan bingung.

"Dinda kenapa, Pak? Dia baik-baik saja, kan?" Cercaku.

"Diminum dulu, Bu! Ibu pasti haus." Tanpa menjawab Pak Guru yang kulupa namanya itu, menjejalkan botol minuman yang sudah dibuka tutupnya itu ke tanganku.

Tanpa berkata apa-apa aku langsung menyesap minuman itu, hingga tinggal setengahnya. Ternyata aku memang haus, terbukti ada sedikit rasa lega ketika minuman melewati tenggorokan, dan memenuhi lambungku.

"Sudah enakan?" Aku mengangguk pelan. "Ibu istirahat saja dulu, kalau sudah mendingan nanti kita ke ruangan Dinda," lanjutnya setelah melihatku seperti orang linglung.

"Dinda mengalami kecelakaan, dan Ibu pingsan di pinggir jalan. Kami pihak sekolah memutuskan membawa kalian berdua ke rumah sakit terdekat. Dinda mengalami benturan di kepala, mengenai parah dan tidaknya saya sendiri belum tahu. Saya belum bertemu dokter, dan belum mendapatkan penjelasan apa-apa." Tanpa diminta Pak Guru Rifan menjelaskan kronologi kejadian yang menimpa Dinda.

Kalau yang itu aku masih ingat betul, Dinda berlari sambil menangis, lalu sebuah angkot menabraknya. Hingga Dinda terkapar di atas aspal.

"Oh, ya, kita belum kenalan tadi. Saya Rifan, wali kelas Dinda. Nanti kita akan sering ketemu di acara penerimaan rapot ya, Bu." Laki-laki tersenyum ramah sambil mengulurkan tangan.

Aku merasa laki-laki ini sengaja menyembunyikan sesuatu, dengan bersikap ramah dan mengalihkan pembicaraan.

"Apa yang terjadi dengan Dinda, Pak?" Kejarku.

"Dinda mengalami kecelakaan, Bu."

"Bukan yang itu. Yang saya tanyakan, apa yang terjadi di sekolah, kenapa Dinda nangis-nangis hingga menyebabkan kecelakaan terjadi?" Laki-laki menghela nafas.

"Dinda dibuli teman-temannya, Bu. Entah siapa yang memulai, yang jelas satu kelas meledak Dinda 'anak pel*cur'."

Kini aku mengerti, kenapa Dinda menolak aku antar jemput. Kenapa Dinda bilang malu punya Mama aku. Ternyata profesi asliku sudah sampai di telinga Dinda. Ini yang aku takutkan.

Yang bersekolah di sekolah Dinda memang kebanyakan anak-anak dari komplek ku, mungkin mereka mendengar dari orang tua mereka, dan menyebarkannya di sekolah. Jelas Dinda malu, dikatain anak pela*ur.

"Sebenarnya ini bukan pertama kalinya terjadi, saya sudah menasehati anak-anak untuk tidak lagi membully Dinda. Tapi entah kenapa anak-anak tidak mau mendengar nasehat saya. Kejadiannya saat jam istirahat, Bu. Jadi saya tidak berada di kelas, semua yang terjadi diluar kuasa saya. Sebagai guru, saya mohon maaf yang sebesar-besarnya, karena kelalaian saya Dinda mengalami tindakan yang tidak menyenangkan," ucap Pak Rifan panjang lebar.

Rahasia yang kusembunyikan selama bertahun-tahun akhirnya terbongkar, aku harus apa? Harus bagaimana menjelaskan pada Dinda setelah dia sadar nanti? Apa dia bisa menerima alasanku?

"Ya Tuhan.... Tolong aku. Bantu aku menghadapi masalah ini, Tuhan ...." Doaku dalam hati. Tapi apakah doa pendosa sepertiku didengar oleh Tuhan?

Bersambung ....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status