Share

Bab 5

"Mey! Sekali lagi Umi tanya. Siapa laki-laki yang sudah menghamili kamu, Mey!" Suara Umi tak lagi terdengar lembut, melainkan melengking tinggi saking jengkelnya karena dari tadi aku hanya membisu.

"Mey! Jawab Mey! Kamu tidak bisa terus-terusan nutupin identitas baj*ng*n itu, Mey!" Bukannya menjawab, tangisku justru semakin kencang.

"Plak!" Tamparan Umi mendarat di pipiku, perih dan panas itu yang kurasakan, tapi itu tak sebanding dengan sakit yang dirasakan Umi. Karena anak gadisnya hamil di luar nikah.

Umi sampai menamparku, itu berarti aku sudah membuat kesalahan yang tidak bisa dimaafkan. Ingin sekali aku mengatakan bahwa Rey lah laki-laki itu, tapi mengingat penolakannya waktu itu membuatku memilih bungkam.

"Katakan, Mey, katakan! Jangan hanya membisu kamu!" Umi mencengkeram bahuku, dan mengguncangnya kasar.

"Kamu mau bunuh Umi, Mey. Bunuh Umi saja, Mey! Bunuh! Daripada kamu permalukan kami seperti ini!" Umi berkata sambil menangis tersedu.

Aku masih bergeming, mulutku terkunci rapat. Hanya isak tangis yang keluar.

"Sudah, Mi. Nggak usah dipaksa! Biarkan saja dia tutup mulut, kalau sampai siang ini dia tidak juga buka suara. Kita usir saja saja, dia! Anak nggak tahu diuntung, hanya bisa bikin malu orang tua. Buat apa dipelihara!" Abah menarik tangan Umi, membimbing wanita yang melahirkanku itu keluar kamar.

Dadaku seperti diremas jutaan tangan mengiringi keluarnya mereka dari kamarku. Sebelumnya, saat aku mendapatkan haid pertamaku. Umi selalu berpesan padaku, agar aku bisa menjaga diri. Selalu menutup aurat, jangan pernah berpampilan yang mengundang perhatian lawan jenis.

"Kamu jangan pernah pacar-pacaran, Mey! Haram hukumnya! kalau sampai Umi dan Abah lihat kamu dekat-dekat dengan lawan jenismu, kami tidak akan segan-segan menghukummu! Umi keluarkan kamu dari sekolah, kamu bakal Umi taruh di pondok!"

Nasehat demi nasehat yang disertai ancaman, nyatanya tak membuatku takut. Justru semakin membuatku penasaran dan tertantang untuk mencicipi yang namanya pacaran, indahnya cinta di masa remaja.

Gayung bersambut, Reynald cowok bengal tapi tampan yang banyak digilai para gadis di sekolah menyatakan cintanya padaku. Tanpa pikir panjang, tanpa melihat bagaimana latar belakang keluarganya. Aku menerima cinta Rey, dan kami resmi berpacaran sejak itu.

Rey yang biasa gonta-ganti cewek itu, mengajari aku bagaimana caranya menikmati hidup. Aku yang biasa alim diajak bolos, main ke tempat sepi, nonton film dewasa bahkan mempratekkan adegan dalam film tersebut. Awalnya aku masih malu-malu, lama kelamaan aku menjadi kecanduan. Dan perbuatan terlarang itu kami lakukan setiap ada kesempatan.

Apalagi Umi dan Abah sibuk mengisi pengajian di mana-mana, kadang sampai menginap di luar kota beberapa hari. Aku yang sendirian di rumah, karena adik semata wayangju di pondok. Jadi bebas melakukan apa saja tanpa pengawasan orang tua. Bahkan aku pernah melakukannya di kamarku sendiri, di rumah ini.

"Ini semua salah Abah, Mi. Salah Abah membiarkan dia sekolah di sekolah umum, bukan pesantren. Dia jadi terkontaminasi mental rusak anak-anak jaman sekarang," ucap Abah dengan suara serak. Meski tak melihat, aku tahu Abah sedang menangis.

"Jangan menyalahkan diri sendiri, Bah. Kita sudah memaksa Mey sekolah di pesantren, tapi anak itu sakit-sakitan. Dan Abah memboyongnya pulang. Memang kita gagal, Bah. Tapi kita sudah berusaha semampu kita," timpal Umi.

"Ya Allah.... Punya dosa apa kita? Disaat kita mendidik anak orang lain untuk berahlaqul karimah, anak kita justru rusak lahir batin."

"Terus gitu harus bagaimana, Bah. Mey masih tutup mulut, dia tak mau mengatakan siapa ayah dari bayi yang dia kandung. Masa iya anak itu lahir tanpa ayah?"

"Begitu aku tahu siapa laki-laki itu, aku tidak segan-segan menghajarnya sampai babak belur."

"Jangan, Bah. Kita bicara baik-baik saja, agar laki-laki itu mau menikahi Mey."

"Hh!" Terdengar Abah membuang nafas kasar. "Padahal Gus Azmi sudah mengutarakan niatnya menghitbah Mey setelah lulus SMA. Sudah ganteng, pinter, sholeh, berasal dari keluarga terhormat pula. Eh, malah Mey hamil duluan."

"Ya, mau gimana lagi, Bah. Memang bukan jodohnya. Terus ini gimana? Kata bidan tadi, kemungkinan kandungan Mey sudah empat bulan jalan, jantungnya sudah berdetak normal. Kalau Mey tidak segera dinikahkan bisa makin malu kita."

Pasti saat aku pingsan tadi Umi dan Abah memanggil bidan dekat rumah untuk memeriksaku, hingga mereka tahu aku tengah mengandung.

"Ya kita harus paksa Mey mengaku, siapa laki-laki itu. Kalau dia masih bungkam juga, kita usir dia. Biar dia merasakan sulitnya hidup tanpa orang tua."

Mendengar percakapan mereka aku hanya bisa menangis, meratapi nasib buruk yang menimpa diri ini. Kalau sampai aku diusir dari rumah, aku mau tinggal di mana? Di rumah kakek nenekku? Mereka pasti menolak menampung aku yang sedang berbadan dua. Kalau nekat hidup sendiri, aku bisa apa? Belum lulus SMA, tidak punya pengalaman kerja apa-apa, hamil pula. Mana ada perusahaan yang mau menerima? Kalau tidak bekerja, siapa yang akan menghidupi aku?

Mengandalkan Rey juga tidak mungkin, dia bahkan menolak bertanggung jawab. Bagaimana mungkin dia mau menghidupi aku dan anakku? Pikiran-pikiran itu kini memenuhi kepalaku.

* * * * * * *

"Makan, Mey!" Umi datang membawa nampan berisi nasi lengkap dengan lauk pauknya, beserta segela air putih dingin yang nampak menggoda.

Siang-siang begini Umi berada di rumah, berarti hari ini Umi tidak pergi mengajar.

"Umi buatkan sup iga sapi kesukaanmu, Mey. Rasanya seger, orang hamil pasti pengennya makan yang seger-seger," ucap Umi sambil meletakkan nampan dipangkuanku.

Tanganku gemetaran saat mencoba menyendok nasi dari piring, sejak semalam aku perutku belum terisi. Sejak Rey menolak bertanggung jawab, selera makanku menghilang. Tadi pagi baru makan beberapa suap langsung muntah-muntah, apalagi sempat dihajar Abah. Lemas lah sekujur tubuhku, bahkan mengangkat sendok saja tidak mampu.

"Sini! Biar Umi suapin." Suara Umi terdengar lembut, sepertinya kemarahannya sudah mereda. Diambilnya nampan dari pangkuanku. "Aa...! " Umi menginstruksikan aku agar membuka mulut.

"Kamu harus tetap makan, Mey. Bayi dalam kandunganmu butuh asupan gizi, jangan nurutin males," ucap Umi sambil terus menyuapi aku.

"Dia hadir bukan atas keinginannya, Mey. Andai diberi pilihan, dia tidak akan mau dilahirkan ke dunia yang penuh tipu muslihat. Ayo, a... lagi!"

"Kamu sudah membuat satu kesalahan besar, jangan pernah melakukan kesalahan lagi dengan menyia-nyiakan anakmu. Di luar sana, banyak pasangan yang ingin punya keturunan tapi tidak diberi. Jadi kamu harus bersyukur sudah diberi kepercayaan, jaga dia, Mey. Seperti kamu menjaga nyawamu sendiri. " Umi terus saja bicara, meski tak mendapat respon dariku.

"Sudah, Mi. Kenyang." Aku menolak suapan terakhir Umi. Kuraih gelas di atas nampan lalu menyesap isinya hingga tandas.

Wanita empat puluh tiga tahun itu meletakkan nampan di atas meja rias kamarku. Lalu kembali duduk di tepi ranjang.

"Kamu sudah siap cerita sama, Umi?" Aku menatap wanita berwajah sembab itu. Gurat kesedihan terlihat jelas di sana.

"Umi tidak akan marah, asal kamu mau jujur. Masalah ini harus segera diselesaikan, sebelum perutmu makin besar." Aku tertunduk, masih belum berani mengatakan yang sebenarnya.

Umi mengenggam jemariku, dan membelai punggungnya dengan lembut.

"Katakan, Sayang. Jangan takut! Umi akan selalu ada untuk kamu." Umi menatapku dengan lelehan air mata, membuatku tak sanggup membalasnya.

"Na---manya Re---Rey, Mi?" Ucapku terbata.

"Rey? Rey siapa, Mey?"

"Reynaldi, anaknya Bu Ester kompleks sebelah."

"Bu Ester, istrinya Pak Yohanes?" Aku mengangguk lemah.

"Astaghfirullah, Mey ...." Usai berkata, Umi jatuh pingsan.

Bersambung ....

.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status