Share

Bab 2. Tampan Tapi Sedingin Kulkas

Veronica menatap Gio dengan mulut sedikit terbuka. Wajah Gio makin dekat. Ketampanannya makin tak terelakkan. Kedua manik tajam itu menghujam hingga ke ulu hati. Debaran kuat pun melanda dada Veronica.

“Saya … Pak, saya yakin …” Veronica masih berusaha menjawab, tidak ingin dia akan pulang tanpa hasil.

Gio kembali tersenyum sinis. Dia berdiri bersiap meninggalkan ruangan itu. “Anda membuang waktu saya, Nona,” ucap Gio.

Lalu pria itu melangkah menuju ke arah pintu.

Veronica mengepalkan kedua tangannya. Tidak, ini belum berakhir.

“Pak Gio, percaya saya, ini bukan a-“

“Dua hari lagi, jam sepuluh. Temui saya di sini, dengan jawaban yang saya tahu, itu menjadi alasan kuat kita bisa bekerja sama,” sela Gio. Rasa penasarannya pada kegigihan wanita muda itu membuat Gio ingin memberinya kesempatan.

“Baik. Saya akan bawakan beberapa contoh. Terima kasih, Pak. Saya pastikan Bapak tidak akan kecewa.” Veronica menatap Gio dengan mata lebar. Semangatnya bangkit mendengar yang Gio sampaikan.

“Silakan.” Gio menunjuk dengan tangannya ke arah pintu, meminta Veronica meninggalkan tempat itu.

Dengan cepat Veronica membereskan bawaannya, lalu dia keluar. Begitu Veronica ada di luar ruangan, Gio menutup dan mengunci kantornya. Tanpa bicara apa-apa pria tampan itu berjalan meninggalkan Veronica yang masih terdiam di tempatnya berdiri.

“Huuffhhh …” Veronica mengembuskan napas berat. Rasanya seperti baru selesai sidang skripsi saja.

“CEO itu tampan dan keren sekali. Tapi ihh, dingin kayak kulkas.” Veronica masih memandangi Gio yang dengan gagahnya berjalan makin jauh. Ternyata yang dia dengar dari seorang teman tentang sikap dingin CEO yang satu ini dan dijuluki CEO Sedingin Kulkas, tepat disematkan padanya.

“Setidaknya dia masih mau ketemu, berarti dia tertarik dengan tawaranku. Aku akan buktikan, aku bisa lebih dari yang dia harapkan. Pasti bisa, Veronica, pasti bisa.” Veronica bicara tegas pada dirinya sendiri.

Tidak menunda lagi, Veronica pun turun menuju lantai dasar kantor itu dan keluar gedung. Veronica berjalan terus ke arah tempat parkir untuk mengambil motornya. Tinggal beberapa meter lagi, sebuah mobil hitam berjalan melintas di depan Veronica. Jendela mobil itu terbuka. Veronica bisa melihat dengan jelas wajah tampan Gio. Dengan kacamata hitam dia makin keren mengendari mobil yang pas banget untuk seorang CEO.

“Siang, Pa …” Veronica membatalkan salam yang dia ucapkan. Senyum yang sudah tersungging terpaksa dia simpan cepat.

Gio tidak melihat Veronica rupanya. Atau pura-pura tidak lihat? Aneh jika pria itu tidak ingat Veronica yang baru sekian menit sebelumya bertemu dan bicara dengannya.

“Aishhh, sombong banget. Dasar kulkas,” ucap Veronica. Kesal juga dicuekin seperti itu.

Veronica meneruskan langkah menuju motornya dan segera melaju menuju ke perumahan tempat di mana dia tinggal dan sekaligus membuka usahanya.

Dia akan bekerja keras menyiapkan semua dan kembali dua hari lagi dengan kejutan baut CEO tampan yang sedingin kulkas itu!

*****

Veronica mengangkat kedua tangannya, meregangkan otot yang kaku, sampai ke punggungnya. Dia menoleh ke dinding dan melihat jam yang terpajang di sana.

“Astaga, hampir jam dua belas malam. Pantas saja lelah sekali rasanya,” katanya terkejut sendiri.

Veronica mengambil jedai dan mengikat rambut tebalnya agak tinggi di atas kepala. Lalu dia bangun dan mengambil minum. Segelas langsung ludes dia habiskan. Dia perhatikan ruangan kerjanya. Berantalan. Tapi tiga kaos dan dua celana sudah selesai dia kerjakan. Lumayan juga.

Sejak pulang dari kantor CEO dingin itu, Veronica hampir tidak keluar ruangan kerjanya. Membuat bermacam design lalu menjahit model yang paling bagus untuk dia bawa sebagai contoh. Selain itu dia memikirkan keunikan apa dari produknya yang akan bisa bertahan untuk semua pelanggan yang akan membeli hasil karyanya.

“Bagus juga dia bertanya begitu,” kata Veronica. “Akhirnya aku akan punya ciri istimewa dari apa yang aku akan pasarkan. Ah, entah kamu sengaja ingin mengecilkan aku, Pak CEO. Atau ... jika memang itu saran darimu, aku akan sangat berterima kasih. Kamu tidak akan rugi kalau kamu, CEO Sedingin Kulkas, mau menerima tawaran kerja sama ini.”

Veronica kembali tersenyum. Dia bahkan sudah punya motto atau slogan untuk design produk miliknya.

“Kita akan lihat besok, kamu tidak akan menolak aku lagi, Pak CEO.” Veronica berkata dengan yakin sembari membentangkan kaos berwarna biru terang yang ada di depannya.

Veronica lega, dia sudah bergerak lumayan cepat, mendapat kemajuan cukup banyak. Saatnya dia istirahat. Besok waktu bertemu dengan CEO sedingin kulkas itu, Veronica harus tampil cantik, sangat maksimal, dengan kostum yang menggambarkan produk andalan miliknya.

Masuk ke kamarnya, Veronica masuk ke kamar mandi membersihkan diri dan segera berganti dengan pakaian tidurnya. Lalu Veronica naik ke atas ranjang dan duduk berselonjor. Dia menoleh ke sisi kiri. Tepat di sebelah ranjang, di atas nakas, pigura ukuran A5 berdiri di sana. Dua wajah tersenyum pada Veronica. Satu seorang pria tampan dengan rambut ikal, di sampingnya seorang anak perempuan dengan lesung pipi yang bagus.

Tangan Veronica terulur dan mengambil pigura itu. Dia pandangi dua wajah yang masih tersenyum padanya. Veronica mengusapnya, ikut tersenyum tetapi dengan hati mulai merasa sendu.

I miss you a lot. But don’t worry, I am okey.” Veronica bicara lirih.

Lalu dia merebahkan badan dan mendekap pigura itu di dadanya. Dengan posisi seperti itu, tidak lama Veronica pun terlelap.

Krringggg!!!

Veronica melonjak kaget mendengar deringan kencang itu! Segera dia bangun dan duduk. Tangannya dengan cepat mematikan weker yang ada di atas nakas. Lalu dia meletakkan kembali pigura di tempatnya.

“Guys, wish me luck. Perjuanganku kembali dimulai hari ini,” kata Veronica sambil memandang pada pigura itu.

Dengan sigap Veronica bersiap. Dia akan memastikan lagi semua yang akan dia bawa untuk bertemu CEO dingin itu tidak ada yang tertinggal. Dia akan siap menjawab apa saja yang nanti mungkin ditanyakan sang CEO.

“Hari ini, aku siap, Pak CEO. Kamu akan terkejut dan tidak mungkin membiarkan aku pulang dengan tangan hampa.” Veronica dengan yakin berkata.

*****

“Pak, jadi akan bertemu Veronica Prawira hari ini?” Ranintya bertanya pada Gio saat mereka usai briefing dengan beberapa karyawan.

“Ya. Benar, untung Ibu ingatkan. Hampir aku lupa. Jam sepuluh.” Gio mengangguk-angguk.

“Pak Gio yakin mau menerima proposal wanita itu?” tanya Ranintya lagi.

“Itu semacam kudapan saja di perusahaan ini, kan?” Gio menaikkan kedua alisnya menatap Ranintya

Ranintya tersenyum, lalu menaikan kedua bahunya. “Apa Pak Gio merasa sesuatu dengan dia? Maaf, Veronica ini cantik sekali, dan cerdas.”

“Ah, Ibu Rani ada-ada saja. Aku ga mikir sama sekali,” sahut Gio cepat.

Ranintya menarik napas dalam. Dia sudah bisa menduga kalimat itu yang akan Gio ucapkan. Masih saja, tidak peduli dengan urusan wanita.

“Sudah lima tahun, Pak Gio beneran tidak ingin move on?” Ranintya belum lelah mengulik hati Gio.

“Aku tidak ingin melukai anak-anakku, Bu Rani. Mereka punya papa setia dan hanya akan cinta pada mama mereka.” Gio menjawab sambil melihat ke layar ponselnya. Wajah tiga buah hatinya terpampang di sana. Senyum lebar dan ceria yang tampak.

“Mereka butuh seorang ibu. Khususnya Maureen. Dia sudah remaja, dia butuh wanita untuk mendampinginya di masa puber ini. Pasti tidak mudah buat Maureen.” Ranitya bicara dari hatinya sebagai seorang ibu yang telah melewati masa-masa itu.

“Hmm … aku belum memikirkannya, Bu Rani. Kami hidup baik-baik, kurasa itu cukup,” ujar Gio sambil tersenyum kecil.

Ranintya tidak tahu akan bicara apa lagi. Sudah beberapa kali Ranintya bicara soal ini, Gio selalu menghindar. Ranintya tahu, Gio harus berjuang begitu rupa menjadi ayah dan juga ibu bagi tiga anak kesayangannya, sejak istri tercintanya berpulang. Ranintya juga tahu, di dasar hati Gio, dia butuh pendamping, tapi terus dia sisihkan rasa itu. Demi anak-anaknya, demi citra diri sebagai ayah yang sayang keluarga, tetap setia pada istrinya, sekalipun sang istri sudah pergi untuk selamanya.

Tok tok tok!!

Gio dan Ranintya menoleh ke arah pintu mendengar ketukan itu. Mata Gio melebar melihat siapa yang berdiri di sana dan menatap padanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status