Veronica berdiri dengan tote bag besar di tangannya. Outfit yang dia kenakan sangat berbeda dengan dua hari sebelumnya saat dia datang ke kantor itu. Jika yang lalu dia mengenakan pakaian resmi seorang wanita karir, yaitu setelan berwarna coklat gelap yang manis, kali ini sangat lain.
Kostum yang menempel di tubuhnya pagi itu, kaos cerah berwarna biru tosca dengan lengan sedikit lebar dan panjang sampai di pinggang. Lalu celana 7/8 berwarna hitam dengan model unik ada pita di sisi kiri dan kanan kaki, lengkap dengan Sepatu kets putih. Dengan penampilan itu, Veronica tampak beberapa tahun lebih muda. Apalagi dengan rambut tebal coklat miliknya dikuncir tinggi di belakang kepalanya.“Bu Veronica? Mari, silakan masuk!” Ranintya yang sama terkejutnya akhirnya bergerak menyambut Veronica.“Selamat pagi, Pak Gio, Bu Ranintya. Terima kasih,” sapa Veronica. Dia melempar senyum lebar, agar merasa lebih tenang dan tidak terlalu tegang.Dengan tote bag besar di tangan Veronica masuk dan duduk di sofa, di tempat yang sama saat pertama dia masuk ke ruangan itu. Tote bag dia letakkan di sebelah sofa dan memandang pada Gio serta Ranintya yang ada di depannya.“Anda datang dengan bawaan sebesar itu. Sudah yakin bisa menjawab pertanyaan saya?” Gio tidak pakai bas abasi langsung memulai dengan pertanyan yang tidak menyenangkan.“Ya, Pak Gio. Saya sudah menyiapkan semuanya.” Veronica tersenyum lebar. Tampak keyakinan dirinya begitu tinggi. Berbeda sekali dari saat pertama kali dia berhadapan dengan Gio.“Oke. Aku anggap ini pemaparan lanjutan dari proposal Anda. Silakan,” ujar Gio.Ranintya memperhatikan pimpinannya. Sikap dingin itu masih saja melekat pada diri Gio. Ranintya tahu seperti apa Gio saat istrinya masih hidup. Dia ramah, sering tersenyum, dan menyambut semua orang dengan hangat.Setelah istrinya berpulang, Gio mengalami kehilangan begitu dalam. Ketika dia kembali pada kehidupannya sebagai pimpinan, dia menjadi kaku dan dingin pada makhluk cantik yang disebut wanita. Meskipun tidak sedikit yang mencoba mendekat, semua seperti iklan dan angin lalu saja di mata Gio.Ranintya mengalihkan pandangannya kembali kepada Veronica. Kesan baik yang dia dapat sejak awal bertemu dengan Veronica makin kuat. Veronica wanita yang bukan hanya cantik, tetapi cerdas, berani, dan pantang menyerah. Pagi itu presentasinya untuk membujuk Gio agar menerima tawaran kerja sama luar biasa. Dia menyiapkan semua dengan sangat baik. Dia membawa gambar, membawa hasil jahitannya sendiri, dan rencana besar dari semua yang dia mau raih.“It’s not just a style, it’s your life!” Gio mengulang kalimat terakhir yang Veronica ucapkan.“Benar, Pak. Itu motto yang saya pakai.” Veronica bicara dengan mata berbinar. Dia terlihat sangat berharap Gio tidak akan menolak dia lagi.Gio masih memandangi Veronica, tapi tidak bicara apa-apa. Tentu saja ditatap seperti itu, membuat jantung Veronica berdetak lebih cepat. Apa maksud tatapan Gio? Dia suka dengan presentasinya hari itu? Atau Gio akan melempar Veronica keluar dari kantor itu dengan air mata?Gio menoleh pada Ranintya. Sekretarisnya ini wanita yang tegas tapi berhati lembut. Dia dapat diandalkan dalam semuanya. Karena itu Gio tetap bekerja dengannya sejak pertama masuk perusahaan, sebagai supervisor di perusahaan itu, hampir tujuh tahun yang lalu.“Menurut Bu Rani, Ibu tertarik?” Gio bertanya.Mata Veronica cepat pindah melihat Ranintya. Dia berdoa dalam hati Ranintya akan mengiyakan. Setidaknya itu menjadi dukungan buat Veronica.“Anakku dua-duanya sudah masuk usia dewasa. Kalau mereka melihat produk ini …” Ranintya mengarahkan matanya pada Veronica. “… akan langsung minta aku belikan.”Dan senyum lebar muncul di bibir Ranintya.“Really?” Gio menatap Ranintya.“Yup. Anak muda suka yang simple, tapi bisa dipakai untuk berbagai event.” Ranintya berdiri. “Lihat ini …”Sekretaris Gio malah memberi penjelasan tambahan yang melengkapi presentasi Veronica dan memastikan jika apa yang Veronica sedang rintis pasti akan sangat digemari anak muda. Tentu saja Veronica bersorak girang di dalam hati.“Ayo, Pak, terima tawaranku. Aku tidak akan mengecewakanmu,” ucap hati Veronica.Setelah Ranintya selesai dengan perkataannya, Gio kembali memandang Veronica. Wanita muda itu memang menarik dan cerdas. Semangat juangnya luar biasa. Apa salah jika Gio memberikan kesempatan padanya?“Oke, Bu Rani. Kita akan buat perjanjian kerja sama. Berapa lama semua akan siap?” Gio bicara sambil melihat Ranintya. Suaranya tenang, tapi nada datar dan dingin masih terasa di sana.Mata Veronica bergerak-gerak melihat bergantian dengan cepat pada Gio dan Ranintya. Hatinya makin meletup. Dia melihat titik terang yang jelas dengan mendengar ucapan Gio.“Kalau hari ini tidak ada jadwal mendesak, saya pasti bisa selesaikan, Pak. Jadi, besok jam tiga siang, saya rasa kita bisa bertemu lagi untuk kesepakatan dan perjanjian kerja,” jawab Ranintya.“Oh, God …” bisik hati Veronica. Letupan makin menjadi di dadanya mendengar itu.“Baik.” Gio mengangguk-angguk. Lalu dia memandang pada Veronica. “Anda sudah mendengarnya, Nona. Besok jam tiga siang, kita bertemu lagi.”“Terima kasih banyak. Saya akan datang tepat waktu,” sahut Veronica.Ranintya tersenyum lebar melihat ekspresi Veronica. Ada sesuatu yang menarik dalam diri wanita itu. Seharusnya sebagai pria Gio lebih cepat bisa melihatnya. Sayang saja …“Apa saya bisa meminta nomor untuk bisa menghubungi jika ada sesuatu atau-““Bu Rani saja.” Gio menyahut cepat.“Baik, terima kasih,” ujar Veronica. Dia tahu, setelah ini pun belum tentu Gio akan bersedia bertemu dengannya lagi.Ah, sudahlah. Yang penting kerja sama terjalin, perjanjian terjadi, semua akan aman. Toh, perjalanan bisnisnya sangat mungkin hanya akan berurusan dengan anak buah CEO Sedingin Kulkas itu.*****“Aku berhasil! Aku berhasil!” Sambil memeluk erat pigura di dadanya, Veronica tersenyum lebar dan berjalan berkeliling, berputar-putar di kamarnya.“Ya Tuhan, terima kasih. Aku berhasil. Pilihanku pindah ke sini ternyata bukan pilihan yang salah,” kata Veronica.Dia memandangi lagi gambar dua wajah di pigura itu. Ada haru bertumpuk, tetapi sedih juga datang menyusup. Setiap melihat pigura itu, luka dan kecewa seolah-olah memenuhi hati Veronica. Sayangnya tidak ada yang bisa dia lakukan meskipun kerinduan sering menyambangi hari-harinya. Dia harus merelakan semua yang telah terjadi.“It is okay, Ve. You’re okay.” Veronica memejamkan matanya. Dia menarik napas dalam-dalam, berusaha kembali menetralkan napas dan emosinya.“Semua sudah lewat. Sudah saatnya kamu bangkit. Langkah awal sudah terlampaui. Tahap berikutnya, ayo, kerjakan. Semangat, Ve,” lanjut Veronica. Dia terus menguatkan hatinya untuk tidak merasa kecil dan sendirian.Masih ada beberapa urusan lain selain perjanjian dengan Gio Hendrick yang harus Veronica siapkan. Tidak ada waktu untuk bersedih atau meratapi apa yang sudah terjadi. Dia datang ke kota Malang untuk memulai semuanya baru. Jadi, jika dia masih tertarik lagi pada hidupnya yang lalu, semua akan tidak berarti.Duduk di depan meja kerjanya, Veronica melihat lagi catatan-catatan yang dia buat. Dia pastikan mana yang sudah terselesaikan, mana yang harus dia atur kembali. Sementara mengingat semuanya, pikirannya terbawa saat dia bertemu dengan CEO Sedingin Kulkas itu.Secara postur tubuh, Gio mungkin bisa disebut hampir di atas rata-rata pria umumnya di Indonesia. Tinggi, gagah, keren, berkelas, dan cerdas, serta punya kharisma sebagai seorang pemimpin. Tetapi sebagai seorang pria dengan pencapaian sebagus itu, Gio jelas bukan orang yang menikmati hidup.“Dia seorang yang sukses tapi mengapa seperti sepi dan kosong hidupnya? Susah sekali senyum. Datar dan kaku begitu. Kasihan sekali,” kata Veronica sambil membayangkan wajah tampan Gio.Veronica menggeleng-geleng keras. Mengapa dia malah memikirkan pria itu? Ah, aneh!Veronica mendorong Gio agar menjauh. Dengan cepat Veronica bangun dan turun dari ranjang besar itu. Veronica merapikan rambut dan baju yang dia kenakan. “Papa!!” Terdengar lagi teriakan Maureen. “Ah, aku salah strategi. Kenapa aku suruh mereka nyusul ke sini sekarang?” Kesal, Gio berkata. Veronica tersenyum mendengar kalimat itu. Dia mendekati Gio, mengecup pipinya, lalu cepat bergerak menuju ke pintu dan membukanya. Di depan pintu, Maureen berdiri memandang dengan cemas. Di belakangnya Felipe dan Reggy berdiri sama cemasnya, menatap Veronica. “Mama. Mama ga apa-apa?” Maureen mencermati Veronica dengan mata bergerak cepat melihat dari atas ke bawah. “Nggak apa-apa,” kata Veronica. “Papa mana?” tanya Felipe. “Ada di dalam. Masuklah,” jawab Veronica sambil membuka lebih lebar pintu kamar itu. Ketiga anak itu semakin bingung. Veronica terlihat baik-baik saja. Dia tampak tenang dan tidak ada lagi marah meluap seperti yang dia tunjukkan saat masih di rumah. Veronica mendah
Gio mengepalkan tangannya menatap dengan marah pada Veronica. “Oh, kamu mencurigaiku?! Oke! Sekarang, kamu ikut aku. Biar kamu tahu sekalian apa yang aku lakukan tadi malam. Biar kamu puas!” Gio berkata lebih keras dengan wajah juga memerah. “Buat apa? Kamu mau kenalkan aku sama wanita itu? Buat apa!?” sentak Veronica. Geram makin melambung di dadanya yang terasa panas membara. Gio menarik lengan Veronica, tidak memberi kesempatan istrinya menolak. Sekalipun Veronica mencoba melepaskan tangan, Gio tidak melonggarkan pegangan tangannya. “Papa!” Maureen memanggil Gio dengan hati porak poranda. Dia marah, sangat marah papanya bertindak kasar pada Veronica yang tidk lain dan tidak bukan adalah istrinya. Reggy dan Felipe pun bergerak maju dua langkah karena sangat terkejut mendapati orang tuanya sampai ribut di depan mereka. “Kalian juga mau tahu!? Silakan menyusul. Aku akan share lokasinya. Jelas?” Gio melihat pada ketiga anaknya yang melotot dengan pandangan bingung bercampur
“Hmm …” Veronica tersenyum tipis. Ya, kejutan luar biasa! Gio ada main hati dengan wanita lain di belakang Veronica. “Mungkin. Mama belum tahu.”Veronica berusaha tersenyum dengan tatapan tenang, meskipun hatinya terasa pilu.“Tepat banget lagi, Mama ultah di hari Sabtu. Semua ada di rumah,” kata Maureen dengan senyum lebar. “Ah, aku mau masak yang spesial buat Mama, deh, buat sarapan.”“Wah, terima kasih banyak. Tapi Mama mau pergi belanja. Di kulkas tinggal sedikit bahan makanan,” ujar Veronica. Rencananya ingin menenangkan diri harus dia lakukan.“Oke. Pas Mama balik, sarapan sudah siap.” Maureen berucap dengan dua jempol terangkat.Veronica melempar senyum kecil, lalu meninggalkan rumah. Veronica sengaja berjalan saja menuju ke swalayan yang ada di dekat distro. Dia akan ambil waktu di sana menenangkan diri sebelum nanti kembali ke rumah.Lantao 3 di distro memang jadi tempat para karyawan Veronica tinggal sejak Veronica menikah dan tinggal dengan Gio serta anak-anaknya. Ruangan m
Veronica menoleh ke jam dinding di kamar, hampir setengah sepuluh malam. Gio belum juga pulang. Ke mana sebenarnya pria itu? Biasanya, dia akan memberitahu dengan jelas ke mana pergi, ada urusan apa, dan dengan siapa. Tapi kali itu, dia bukan hanya bersikap dingin, tetapi juga tidak mau bicara apapun pada Veronica. Bagi Veronica, sikap Gio itu kembali menjadi CEO tampan sedingin kulkas.Sekali lagi Veronica mengirimkan pesan pada Gio. Tentu saja berharap Gio akan membalasnya.- Kak, belum bisa pulang? Aku tunggu atau aku tidur lebiih dulu?Gio akhirnya membalas pesan itu, setelah hampir sepuluh menit berlalu.- terserahJawaban itu membuat Veronica kesal. Sedang sibuk apa, sih, sampai membalas pesan saja tidak bisa dengan kata-kata yang melegakan? Tidak sabar, Veronica menelpon suaminya. Beberapa kali mencoba, Gio pun menerima panggilan itu.“Kenapa?” tanya Gio datar.“Kakak ada apa? Beritahu aku yang jelas. Aku bingung dengan sikap Kak Gio,” kata Veronica tanpa basa-basi.“Jangan leb
Hari hampir malam saat Gio tiba di rumah. Empat hari di luar kota, sangat melelahkan. Dia ingin sekali segera istirahat, bertemu keluarga, dan menikmati waktu untuk menyegarkan penat dirinya. Maureen menyambut Gio di depan pintu. Dengan senyum lebar dia memeluk kuat Gio. Meskipun sudah menjadi gadis dewasa, Maureen tetap saja manja. “Senang Papa pulang. Kak Reggy juga sudah di rumah. Lengkap keluarga kita,” kata Maureen masih bergelayut manja pada ayahnya. “Gimana Reggy? Dia baik?” tanya Gio sambil berjalan menuju ke kamarnya. “Baik. Lagi keluar sama Kak Sita. Biasalah, kangen-kangenan, hee … abis LDR,” jawab Maureen. “Reen masak apa buat makan malam? Papa lapar.” Gio meletakkan koper di dekat lemari pakaiannya. “Ada, udah siap. Tapi mama belum pulang,” kata Maureen. “Ga apa-apa. Ga usah tunggu, keburu sakit perut,” ujar Gio. “Oya, Pa, tiga hari lagi mama ultah. Mau bikin acara, ga?” tanya Maureen. “Oya?” Gio menatap Maureen. Bagaimana bisa dia tidak ingat? “Yaa … Papa sama
Pasak melangkah menjauh, Randy dan Maureen menuju motor. Tak lama mereka sudah di jalanan yang cukup ramai. Randy mengantar Maureen pulang. Di jalan dia cerita tentang Pasak. Dia pembalap yang sangat lihai dan tajam menyerang lawan. Kayak pasak menghujam tanah dengan dalam. Karena itu dia dipanggil Pasak. Satu lagi Maureen bertemu teman lama Randy. Dan dia mengatakan sesuatu yang memang Randy akui pada Maureen. Randy dulu suka balapan liar tapi dia sudah berhenti. Maureen tersenyum. Dia makin yakin, Randy sungguh-sungguh mau mengubah hidupnya. "Senangnya Kakak di rumah lagi. Kangen banget aku." Maureen memeluk Reggy yang baru masuk rumah. "Aku juga lega akhirnya kembali ke rumah. Kangen masakan kamu sama mama," ucap Reggy dengan senyum. khasnya. "Udah, Reggy istirahat dulu, nanti aja ceritanya," kata Veronica. "Bawa oleh-oleh ga, Kak?" tanya Maureen mengikuti Reggy ke kamarnya. "Ada. Pasti aku bawa buat adikku yang cantik ini." Reggy mengusap kepala Maureen. "Biar aku belum pern