Share

Bab 3. Perjanjian Terjadi

Veronica berdiri dengan tote bag besar di tangannya. Outfit yang dia kenakan sangat berbeda dengan dua hari sebelumnya saat dia datang ke kantor itu. Jika yang lalu dia mengenakan pakaian resmi seorang wanita karir, yaitu setelan berwarna coklat gelap yang manis, kali ini sangat lain.

Kostum yang menempel di tubuhnya pagi itu, kaos cerah berwarna biru tosca dengan lengan sedikit lebar dan panjang sampai di pinggang. Lalu celana 7/8 berwarna hitam dengan model unik ada pita di sisi kiri dan kanan kaki, lengkap dengan Sepatu kets putih. Dengan penampilan itu, Veronica tampak beberapa tahun lebih muda. Apalagi dengan rambut tebal coklat miliknya dikuncir tinggi di belakang kepalanya.

“Bu Veronica? Mari, silakan masuk!” Ranintya yang sama terkejutnya akhirnya bergerak menyambut Veronica.

“Selamat pagi, Pak Gio, Bu Ranintya. Terima kasih,” sapa Veronica. Dia melempar senyum lebar, agar merasa lebih tenang dan tidak terlalu tegang.

Dengan tote bag besar di tangan Veronica masuk dan duduk di sofa, di tempat yang sama saat pertama dia masuk ke ruangan itu. Tote bag dia letakkan di sebelah sofa dan memandang pada Gio serta Ranintya yang ada di depannya.

“Anda datang dengan bawaan sebesar itu. Sudah yakin bisa menjawab pertanyaan saya?” Gio tidak pakai bas abasi langsung memulai dengan pertanyan yang tidak menyenangkan.

“Ya, Pak Gio. Saya sudah menyiapkan semuanya.” Veronica tersenyum lebar. Tampak keyakinan dirinya begitu tinggi. Berbeda sekali dari saat pertama kali dia berhadapan dengan Gio.

“Oke. Aku anggap ini pemaparan lanjutan dari proposal Anda. Silakan,” ujar Gio.

Ranintya memperhatikan pimpinannya. Sikap dingin itu masih saja melekat pada diri Gio. Ranintya tahu seperti apa Gio saat istrinya masih hidup. Dia ramah, sering tersenyum, dan menyambut semua orang dengan hangat.

Setelah istrinya berpulang, Gio mengalami kehilangan begitu dalam. Ketika dia kembali pada kehidupannya sebagai pimpinan, dia menjadi kaku dan dingin pada makhluk cantik yang disebut wanita. Meskipun tidak sedikit yang mencoba mendekat, semua seperti iklan dan angin lalu saja di mata Gio.

Ranintya mengalihkan pandangannya kembali kepada Veronica. Kesan baik yang dia dapat sejak awal bertemu dengan Veronica makin kuat. Veronica wanita yang bukan hanya cantik, tetapi cerdas, berani, dan pantang menyerah. Pagi itu presentasinya untuk membujuk Gio agar menerima tawaran kerja sama luar biasa. Dia menyiapkan semua dengan sangat baik. Dia membawa gambar, membawa hasil jahitannya sendiri, dan rencana besar dari semua yang dia mau raih.

It’s not just a style, it’s your life!” Gio mengulang kalimat terakhir yang Veronica ucapkan.

“Benar, Pak. Itu motto yang saya pakai.” Veronica bicara dengan mata berbinar. Dia terlihat sangat berharap Gio tidak akan menolak dia lagi.

Gio masih memandangi Veronica, tapi tidak bicara apa-apa. Tentu saja ditatap seperti itu, membuat jantung Veronica berdetak lebih cepat. Apa maksud tatapan Gio? Dia suka dengan presentasinya hari itu? Atau Gio akan melempar Veronica keluar dari kantor itu dengan air mata?

Gio menoleh pada Ranintya. Sekretarisnya ini wanita yang tegas tapi berhati lembut. Dia dapat diandalkan dalam semuanya. Karena itu Gio tetap bekerja dengannya sejak pertama masuk perusahaan, sebagai supervisor di perusahaan itu, hampir tujuh tahun yang lalu.

“Menurut Bu Rani, Ibu tertarik?” Gio bertanya.

Mata Veronica cepat pindah melihat Ranintya. Dia berdoa dalam hati Ranintya akan mengiyakan. Setidaknya itu menjadi dukungan buat Veronica.

“Anakku dua-duanya sudah masuk usia dewasa. Kalau mereka melihat produk ini …” Ranintya mengarahkan matanya pada Veronica. “… akan langsung minta aku belikan.”

Dan senyum lebar muncul di bibir Ranintya.

“Really?” Gio menatap Ranintya.

“Yup. Anak muda suka yang simple, tapi bisa dipakai untuk berbagai event.” Ranintya berdiri. “Lihat ini …”

Sekretaris Gio malah memberi penjelasan tambahan yang melengkapi presentasi Veronica dan memastikan jika apa yang Veronica sedang rintis pasti akan sangat digemari anak muda. Tentu saja Veronica bersorak girang di dalam hati.

“Ayo, Pak, terima tawaranku. Aku tidak akan mengecewakanmu,” ucap hati Veronica.

Setelah Ranintya selesai dengan perkataannya, Gio kembali memandang Veronica. Wanita muda itu memang menarik dan cerdas. Semangat juangnya luar biasa. Apa salah jika Gio memberikan kesempatan padanya?

“Oke, Bu Rani. Kita akan buat perjanjian kerja sama. Berapa lama semua akan siap?” Gio bicara sambil melihat Ranintya. Suaranya tenang, tapi nada datar dan dingin masih terasa di sana.

Mata Veronica bergerak-gerak melihat bergantian dengan cepat pada Gio dan Ranintya. Hatinya makin meletup. Dia melihat titik terang yang jelas dengan mendengar ucapan Gio.

“Kalau hari ini tidak ada jadwal mendesak, saya pasti bisa selesaikan, Pak. Jadi, besok jam tiga siang, saya rasa kita bisa bertemu lagi untuk kesepakatan dan perjanjian kerja,” jawab Ranintya.

Oh, God …” bisik hati Veronica. Letupan makin menjadi di dadanya mendengar itu.

“Baik.” Gio mengangguk-angguk. Lalu dia memandang pada Veronica. “Anda sudah mendengarnya, Nona. Besok jam tiga siang, kita bertemu lagi.”

“Terima kasih banyak. Saya akan datang tepat waktu,” sahut Veronica.

Ranintya tersenyum lebar melihat ekspresi Veronica. Ada sesuatu yang menarik dalam diri wanita itu. Seharusnya sebagai pria Gio lebih cepat bisa melihatnya. Sayang saja …

“Apa saya bisa meminta nomor untuk bisa menghubungi jika ada sesuatu atau-“

“Bu Rani saja.” Gio menyahut cepat.

“Baik, terima kasih,” ujar Veronica. Dia tahu, setelah ini pun belum tentu Gio akan bersedia bertemu dengannya lagi.

Ah, sudahlah. Yang penting kerja sama terjalin, perjanjian terjadi, semua akan aman. Toh, perjalanan bisnisnya sangat mungkin hanya akan berurusan dengan anak buah CEO Sedingin Kulkas itu.

*****

“Aku berhasil! Aku berhasil!” Sambil memeluk erat pigura di dadanya, Veronica tersenyum lebar dan berjalan berkeliling, berputar-putar di kamarnya.

“Ya Tuhan, terima kasih. Aku berhasil. Pilihanku pindah ke sini ternyata bukan pilihan yang salah,” kata Veronica.

Dia memandangi lagi gambar dua wajah di pigura itu. Ada haru bertumpuk, tetapi sedih juga datang menyusup. Setiap melihat pigura itu, luka dan kecewa seolah-olah memenuhi hati Veronica. Sayangnya tidak ada yang bisa dia lakukan meskipun kerinduan sering menyambangi hari-harinya. Dia harus merelakan semua yang telah terjadi.

“It is okay, Ve. You’re okay.” Veronica memejamkan matanya. Dia menarik napas dalam-dalam, berusaha kembali menetralkan napas dan emosinya.

“Semua sudah lewat. Sudah saatnya kamu bangkit. Langkah awal sudah terlampaui. Tahap berikutnya, ayo, kerjakan. Semangat, Ve,” lanjut Veronica. Dia terus menguatkan hatinya untuk tidak merasa kecil dan sendirian.

Masih ada beberapa urusan lain selain perjanjian dengan Gio Hendrick yang harus Veronica siapkan. Tidak ada waktu untuk bersedih atau meratapi apa yang sudah terjadi. Dia datang ke kota Malang untuk memulai semuanya baru. Jadi, jika dia masih tertarik lagi pada hidupnya yang lalu, semua akan tidak berarti.

Duduk di depan meja kerjanya, Veronica melihat lagi catatan-catatan yang dia buat. Dia pastikan mana yang sudah terselesaikan, mana yang harus dia atur kembali. Sementara mengingat semuanya, pikirannya terbawa saat dia bertemu dengan CEO Sedingin Kulkas itu.

Secara postur tubuh, Gio mungkin bisa disebut hampir di atas rata-rata pria umumnya di Indonesia. Tinggi, gagah, keren, berkelas, dan cerdas, serta punya kharisma sebagai seorang pemimpin. Tetapi sebagai seorang pria dengan pencapaian sebagus itu, Gio jelas bukan orang yang menikmati hidup.

“Dia seorang yang sukses tapi mengapa seperti sepi dan kosong hidupnya? Susah sekali senyum. Datar dan kaku begitu. Kasihan sekali,” kata Veronica sambil membayangkan wajah tampan Gio.

Veronica menggeleng-geleng keras. Mengapa dia malah memikirkan pria itu? Ah, aneh!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status