Biarkan Veronica menikmati kegembiraan karena berhasil melewati satu tahap dari rencananya. Ada baiknya mengintip kehidupan CEO tampan dan dingin, Gio Hendrick.
"Congratulations, Pak Gio Hendrick! Ini lebih dari espektasi. Rencana Bapak berjalan sempurna." Senyum manis dengan mata biru berbinar menatap Georgio Leonard Hendrick.Pria berusia empat puluh empat tahun itu tersenyum dengan tatapan tenang. Auranya yang selalu memunculkan kesan seorang pemimpin yang berkharisma, hadir lagi."Ya, aku juga tidak menduga yang tercapai bahkan lebih baik dari yang direncanakan. Melegakan, semua yang terlibat bekerja luar biasa." Gio kembali mengurai senyum tipis khas miliknya. Dia memandangi wajah ayu di depannya."Tidak berlebihan kalau keberhasilan ini dirayakan, bukan?" Wanita dengan rambut coklat terang itu mencondongkan tubuhnya merapat pada meja, menatap lebih dalam pada mata tegas Gio."Ah, aku tidak memikirkan itu, Bu Shiany," ujar Gio. Dia agak kaget tiba-tiba Shiany mengatakan itu."Sesekali menyenangkan diri sendiri kurasa wajar, Pak Gio Hendrick." Shiany, menggerakkan kedua bahunya yang terbuka. Pesona wanita muda itu merebak, Gio tak bisa menyangkal itu.Setelan rok pendek di atas lutut dan blouse tanpa lengan berwarna kuning cerah membuat Shiany makin menyala. Apalagi potongan kain begitu melekat press di tubuhnya yang indah.Gio tidak bergerak, masih duduk nyaman di kursinya."Aku pesan tempat sekarang, Pak. Di sini saja ... hmm ..." Shiany mencari di internet tempat makan mewah sekaligus berada di sebuah hotel.Saat Shiany menyebutkan nama tempat yang dia akan booking, Gio mengerutkan keningnya. Wajah datar milik pria gagah itu langsung terpampang."Kurasa aku tidak bisa malam ini." Gio berkata dengan suara datar juga, sejalan dengan ekspresi mukanya.Shiany tidak sedikitpun mengalihkan pandangan. Dia harus bisa menaklukkan duda tampan berhati dingin itu. Sudah cukup lama, Shiany penasaran dengan Gio Hendrick. Teman-teman bisnisnya mengatakan CEO salah satu perusahaan tekstil terbesar di kota Malang itu, pria sedingin kulkas. Meski telah sekian tahun menduda, tidak satu kali pun dia tampak dekat dengan wanita.Siapa yang menyangka, dalam event kerja sama beberapa perusahaan sekota, Shiany ditugaskan kantornya mewakili perusahaan tempat dia bekerja. Shiany tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk mendekati Gio."Ayolah, Pak. Kita harus merayakan keberhasilan ini." Shiany membujuk. Dia berdiri dan mendekati Gio.Dengan ponsel di tangan, dia merapat pada Gio menunjukkan indahnya lokasi yang dia pilih untuk pesta keberhasilan mereka menggelar expo besar selama dua bulan.Gio bergidik saat tubuh Shiany menempel di samping kirinya. Shiany wanita muda yang cantik, cerdas, dan menawan. Pria manapun akan mudah terpesona dengan penampilannya yang seksi dan berani."Tempatnya manis banget, Pak. Ini akan jadi momen tak terlupakan di hari penuh kemenangan. Bagaimana?" Shiany membujuk lagi.Gio memperhatikan layar ponsel wanita berusia dua puluh enam tahun itu. Siapa yang tidak tahu tempat yang Shiany pilih memang berkelas, wah, dan favorit di kota kecil itu."Nikmati keberhasilan kamu, Pak Gio. Rayakan denganku," kata Shiany dengan nada sengaja dibuat begitu rupa merayu Gio."Oke. Pesan saja." Akhirnya Gio mengalah. Dia tidak mau berdebat panjang dengan Shiany.Dalam waktu lima belas menit, Gio harus melanjutkan pekerjaannya, ada pertemuan yang sudah terjadwal harus dia hadiri."Yes. Aku sudah booking tempat dan kamar," ujar Shiany dengan senyum lebar. Ternyata tidak sesulit yang dia kira. Baru juga Shiany menempel di bahu Gio, pria tampan itu setuju saja yang Shiany katakan."Kamar?" Gio melirik Shiany."Pak, bisa jadi akan sampai malam sekali kita di sana. Kenapa tidak sekalian kita menginap?" Shiany memegang lengan Gio. Wanita itu semakin berani."Jam berapa kamu booking tempat?" tanya Gio. Hatinya meletup membayangkan yang akan terjadi saat dia berdua dengan Shiany di resto lalu lanjut di kamar hotel."Jam delapan malam. Kalau lebih sore resto sangat penuh, aku kurang enjoy suka suasana yang teduh, romantis. Bagaimana menurutmu?" Shiany berlagak seolah-olah Gio telah benar-benar takluk padanya."Hmm?" Gio masih tak bergerak. Hanya lirikan mata tajam dan tegas milik pria tampan itu yang bereaksi."Kurasa Bapak mengerti maksudku." Shiany kembali melempar senyum paling manis. "Sekarang, aku harus kembali. Sampai nanti. Kita bertemu di sini atau ...""Sebentar," sahut Gio.Dia menggerakkan badannya hingga sedikit memaksa Shiany menjauh memberi jarak di antara mereka. Gio bangun dari kursinya, dia berjalan ke arah tengah ruangan.Pria itu mengeluarkan ponselnya lalu menghubungi seseorang. Shiany memperhatikan Gio, ingin tahu siapa yang Gio telpon.Tidak sampai dua menit, muncul seorang pria dan seorang wanita di pintu ruangan itu."Selamat siang, Pak. Ada yang bisa saya bantu?" Pria yang adalah salah satu karyawan itu bertanya dengan serius."Ah, begini, kalian telah bekerja sangat baik membantu pelaksanaan expo. Hasilnya sukses besar. Bu Shiany mau membuat perayaan untuk itu.""Pak Gio?" Shiany melebarkan mata mendengar itu."Oya? Beneran, Pak?" Karyawan wanita yang berdiri sedikit di belakang teman kerjanya ikut bicara. Wajahnya seketika cerah, tatapan tegang yang sebelumnya tampak, hilang."Yup. Makan malam dan menginap di hotel, malam ini." Gio menegaskan sekaligus memberikan alamat lokasi yang akan mereka pakai."Wahh!!" Kedua karyawan itu saling memandang dengan wajah sumringah. Gio sengaja mengajak mereka. Keduanya asisten Gio dalam menjalankan proyek besar itu."Pak Gio?" Lagi, Shiany ingin menyela. Dia kaget Gio mengajak karyawannya ikut."Terima kasih banyak, Bu. Aku bahkan tidak terpikir memberikan reward untuk mereka. Setelah ini mereka pasti akan bekerja dengan lebih baik," lanjut Gio."Bu Shiany, terima kasih." Kedua karyawan itu bergantian mengucap terima kasih dengan kegirangan.Shiany tersenyum tipis dan mengangguk. Rasa kesal mulai memenuhi hatinya."Baiklah, kalian bisa kembali bekerja. Aku dan Bu Shiany juga akan melanjutkan pekerjaan. Nanti malam jangan telat," kata Gio."Siap, Pak!" jawab keduanya serempak lalu berbalik dan meninggalkan ruangan itu."Pak Gio, aku hanya memesan satu meja dan satu kamar. Perayaan ini buat kita berdua. Karena-""Kita bekerja bukan hanya berdua, Bu. Mereka lebih keras bekerja dari kita. Jika boleh, yang lain pun akan aku undang untuk merayakan bersama-sama," tukas Gio menyela ucapan Shiany."Pak Gio, Bapak melukai perasaanku." Shiany menatap tajam pada Gio.Tatapan itu sangat berbeda dengan sebelumnya. Bukan tatapan kekaguman, sebaliknya ada marah di sana."Aku tidak bermaksud seperti itu. Aku ingin berbagi kebahagiaan dengan para karyawan. Aku kira Bu Shiany juga punya pikiran yang sama." Sangat tenang, dengan nada datar Gio bicara.Dia mencermati Shiany yang memandang padanya dengan wajah sedikit memerah. Gio tahu wanita muda itu tidak terima dengan keputusan Gio menyertakan kedua asistennya ikut dalam acara dadakan yang Shiany buat."Ya, oke. Tidak apa-apa. Mereka bisa ikut." Senyum kecut muncul di bibir merah menyala Shiany. Dia berjalan mendekat dan berdiri satu langkah berjarak dengan Gio.Dia tidak punya pilihan. Toh, dia masih punya kesempatan terus di dekat duda mempesona itu. Dia akan buktikan pada teman-temannya dia bisa membuat Gio luluh dan dengan rela menjadikan Shiany pujaan hati."Malam ini, kita rayakan bersama." Shiany melepas tatapan penuh rayuan pada Gio. "Berikutnya aku akan memberimu kejutan, Pak Gio Hendrick."Cepat tetapi halus, Shiany lebih mendekat dan meraih kedua bahu Gio. Sedikit berjinjit, Shiany memeluk Gio. Wajah mereka bertemu begitu dekat.Veronica mendorong Gio agar menjauh. Dengan cepat Veronica bangun dan turun dari ranjang besar itu. Veronica merapikan rambut dan baju yang dia kenakan. “Papa!!” Terdengar lagi teriakan Maureen. “Ah, aku salah strategi. Kenapa aku suruh mereka nyusul ke sini sekarang?” Kesal, Gio berkata. Veronica tersenyum mendengar kalimat itu. Dia mendekati Gio, mengecup pipinya, lalu cepat bergerak menuju ke pintu dan membukanya. Di depan pintu, Maureen berdiri memandang dengan cemas. Di belakangnya Felipe dan Reggy berdiri sama cemasnya, menatap Veronica. “Mama. Mama ga apa-apa?” Maureen mencermati Veronica dengan mata bergerak cepat melihat dari atas ke bawah. “Nggak apa-apa,” kata Veronica. “Papa mana?” tanya Felipe. “Ada di dalam. Masuklah,” jawab Veronica sambil membuka lebih lebar pintu kamar itu. Ketiga anak itu semakin bingung. Veronica terlihat baik-baik saja. Dia tampak tenang dan tidak ada lagi marah meluap seperti yang dia tunjukkan saat masih di rumah. Veronica mendah
Gio mengepalkan tangannya menatap dengan marah pada Veronica. “Oh, kamu mencurigaiku?! Oke! Sekarang, kamu ikut aku. Biar kamu tahu sekalian apa yang aku lakukan tadi malam. Biar kamu puas!” Gio berkata lebih keras dengan wajah juga memerah. “Buat apa? Kamu mau kenalkan aku sama wanita itu? Buat apa!?” sentak Veronica. Geram makin melambung di dadanya yang terasa panas membara. Gio menarik lengan Veronica, tidak memberi kesempatan istrinya menolak. Sekalipun Veronica mencoba melepaskan tangan, Gio tidak melonggarkan pegangan tangannya. “Papa!” Maureen memanggil Gio dengan hati porak poranda. Dia marah, sangat marah papanya bertindak kasar pada Veronica yang tidk lain dan tidak bukan adalah istrinya. Reggy dan Felipe pun bergerak maju dua langkah karena sangat terkejut mendapati orang tuanya sampai ribut di depan mereka. “Kalian juga mau tahu!? Silakan menyusul. Aku akan share lokasinya. Jelas?” Gio melihat pada ketiga anaknya yang melotot dengan pandangan bingung bercampur
“Hmm …” Veronica tersenyum tipis. Ya, kejutan luar biasa! Gio ada main hati dengan wanita lain di belakang Veronica. “Mungkin. Mama belum tahu.”Veronica berusaha tersenyum dengan tatapan tenang, meskipun hatinya terasa pilu.“Tepat banget lagi, Mama ultah di hari Sabtu. Semua ada di rumah,” kata Maureen dengan senyum lebar. “Ah, aku mau masak yang spesial buat Mama, deh, buat sarapan.”“Wah, terima kasih banyak. Tapi Mama mau pergi belanja. Di kulkas tinggal sedikit bahan makanan,” ujar Veronica. Rencananya ingin menenangkan diri harus dia lakukan.“Oke. Pas Mama balik, sarapan sudah siap.” Maureen berucap dengan dua jempol terangkat.Veronica melempar senyum kecil, lalu meninggalkan rumah. Veronica sengaja berjalan saja menuju ke swalayan yang ada di dekat distro. Dia akan ambil waktu di sana menenangkan diri sebelum nanti kembali ke rumah.Lantao 3 di distro memang jadi tempat para karyawan Veronica tinggal sejak Veronica menikah dan tinggal dengan Gio serta anak-anaknya. Ruangan m
Veronica menoleh ke jam dinding di kamar, hampir setengah sepuluh malam. Gio belum juga pulang. Ke mana sebenarnya pria itu? Biasanya, dia akan memberitahu dengan jelas ke mana pergi, ada urusan apa, dan dengan siapa. Tapi kali itu, dia bukan hanya bersikap dingin, tetapi juga tidak mau bicara apapun pada Veronica. Bagi Veronica, sikap Gio itu kembali menjadi CEO tampan sedingin kulkas.Sekali lagi Veronica mengirimkan pesan pada Gio. Tentu saja berharap Gio akan membalasnya.- Kak, belum bisa pulang? Aku tunggu atau aku tidur lebiih dulu?Gio akhirnya membalas pesan itu, setelah hampir sepuluh menit berlalu.- terserahJawaban itu membuat Veronica kesal. Sedang sibuk apa, sih, sampai membalas pesan saja tidak bisa dengan kata-kata yang melegakan? Tidak sabar, Veronica menelpon suaminya. Beberapa kali mencoba, Gio pun menerima panggilan itu.“Kenapa?” tanya Gio datar.“Kakak ada apa? Beritahu aku yang jelas. Aku bingung dengan sikap Kak Gio,” kata Veronica tanpa basa-basi.“Jangan leb
Hari hampir malam saat Gio tiba di rumah. Empat hari di luar kota, sangat melelahkan. Dia ingin sekali segera istirahat, bertemu keluarga, dan menikmati waktu untuk menyegarkan penat dirinya. Maureen menyambut Gio di depan pintu. Dengan senyum lebar dia memeluk kuat Gio. Meskipun sudah menjadi gadis dewasa, Maureen tetap saja manja. “Senang Papa pulang. Kak Reggy juga sudah di rumah. Lengkap keluarga kita,” kata Maureen masih bergelayut manja pada ayahnya. “Gimana Reggy? Dia baik?” tanya Gio sambil berjalan menuju ke kamarnya. “Baik. Lagi keluar sama Kak Sita. Biasalah, kangen-kangenan, hee … abis LDR,” jawab Maureen. “Reen masak apa buat makan malam? Papa lapar.” Gio meletakkan koper di dekat lemari pakaiannya. “Ada, udah siap. Tapi mama belum pulang,” kata Maureen. “Ga apa-apa. Ga usah tunggu, keburu sakit perut,” ujar Gio. “Oya, Pa, tiga hari lagi mama ultah. Mau bikin acara, ga?” tanya Maureen. “Oya?” Gio menatap Maureen. Bagaimana bisa dia tidak ingat? “Yaa … Papa sama
Pasak melangkah menjauh, Randy dan Maureen menuju motor. Tak lama mereka sudah di jalanan yang cukup ramai. Randy mengantar Maureen pulang. Di jalan dia cerita tentang Pasak. Dia pembalap yang sangat lihai dan tajam menyerang lawan. Kayak pasak menghujam tanah dengan dalam. Karena itu dia dipanggil Pasak. Satu lagi Maureen bertemu teman lama Randy. Dan dia mengatakan sesuatu yang memang Randy akui pada Maureen. Randy dulu suka balapan liar tapi dia sudah berhenti. Maureen tersenyum. Dia makin yakin, Randy sungguh-sungguh mau mengubah hidupnya. "Senangnya Kakak di rumah lagi. Kangen banget aku." Maureen memeluk Reggy yang baru masuk rumah. "Aku juga lega akhirnya kembali ke rumah. Kangen masakan kamu sama mama," ucap Reggy dengan senyum. khasnya. "Udah, Reggy istirahat dulu, nanti aja ceritanya," kata Veronica. "Bawa oleh-oleh ga, Kak?" tanya Maureen mengikuti Reggy ke kamarnya. "Ada. Pasti aku bawa buat adikku yang cantik ini." Reggy mengusap kepala Maureen. "Biar aku belum pern