Share

Bab 5. Kabar Mengejutkan

Mata indah berlensa biru itu menatap tajam tapi manja dan penuh harap pada Gio. Sementara tangan Shiany menggelayut erat di leher Gio. Posisi seperti itu, tak bisa dipungkiri, sisi kejantanan Gio bangkit. Meskipun sekian lama dia tidak menyentuh wanita, dia masih normal dan punya hasrat.

"Malam ini akan jadi spesial banget. I promise." Shiany memandangi lebih lekat pada Gio.

Gio sangat kaget dengan keberanian Shiany. Selama bekerja sama dalam event yang baru mereka sukseskan, sikap Shiany wajar-wajar saja. Tetapi memang tatapan kekaguman sekali waktu Gio lihat jelas dari Shiany.

"Bu Shiany, ini di kantor. Jaga sikap Anda." Gio makin memasang wajah dingin. Dia pegang dua tangan Shiany dan menurunkannya.

"Pak Gio, aku hanya mau membuat Bapak happy. Aku mau happy sama Pak Gio." Tangan Shiany kembali terulur ingin memegang lengan Gio.

Gio mundur dua langkah. Wanita cantik ini ternyata lebih dari berani. Usianya masih tergolong muda jika dibandingkan Gio yang tak lama lagi akan masuk kepala lima. Tetapi tidak ada rasa canggung saat Shiany merayu Gio.

"Sekali lagi, Bu Shiany. Jaga sikap Anda," kata Gio. Kembali dia tegaskan jika dia tidak suka dengan cara Shiany.

"Ini di kantor, oke. So, jika di luar kantor tidak masalah, kan? Baik, Pak, aku akan ingat itu." Shiany tersungging seraya menarik rok pendeknya yang sedikit terangkat memperlihatkan kaki bagian atas yang putih dan mulus.

Gio membalikkan badan hendak kembali ke mejanya. Sebenarnya lebih karena tidak mau melihat pemandangan aduhai di depannya.

"Kita ke resto bareng saja. Jam berapa kita berangkat?" Shiany kembali pada pembicaraan soal perayaan yang akan mereka lakukan.

"Hmm ..." Gio masih berpikir bagaimana menolak Shiany. Karena dia yakin di luar kantor, wanita itu akan makin menjadi.

"Tempatnya tidak terlalu jauh, Pak. Kalau jam-"

Tuttt!!! Tuttt!! Tuttt!!!

Dering ponsel Gio terdengar. Gio tidak lagi mendengar Shiany. Dia menengok ke mejanya dan segera mengambil benda pipih yang tergeletak di sana.

"Haloo! Kenapa, Maureen?" Gio bicara di telpon genggamnya.

"Papa!! Kak Felipe!! Tolong, Pa!!"

Gio melotot mendengar suara keras bicara sambil menangis.

"Hei, ada apa? Felipe kenapa?" Dengan rasa heran dan penuh tanya Gio menjawab.

"Kak Felipe kecelakaan, Pa!! Aku ga mau dia mati!!" Suara gadis remaja di telpon itu makin keras dibarengi tangisnya yang juga makin menjadi.

"Ya Tuhan!" Gio langsung panik. Ini kabar mengerikan di siang hari di saat dia mendapat keberhasilan dalam bisnis.

"Oke, aku ke sana. Kasih alamatnya, cepat!" Gio bergegas ke belakang mejanya, mematikan komputer dan mengambil tas kerjanya.

Shiany terlihat bingung dengan tingkah Gio. Pria itu tiba-tiba cemas dan wajahnya tampak tidak tenang.

"Pak Gio Hendrick, ada apa?" tanya Shiany penasaran.

Gio tidak langsung menjawab. Dia memastikan mejanya beres lalu bergegas berjalan menuju pintu.

"Bu Shiany, aku harus pergi. Silakan keluar, aku akan kunci pintu." Gio berhenti di depan pintu, meminta Shiany meninggalkan ruangannya.

"Kenapa, Pak Gio? Siapa yang menelpon?" Shiany masih belum lega karena Gio tidak memberi jawaban yang dia harapkan.

Gio tidak juga menjawab. Justru dia menelpon orang lain lagi, bicara soal kerjaan dan entah apa, sambil dia berjalan cepat menuju ke tempat parkir. Shiany mengikuti Gio karena heran dan ingin tahu apa yang terjadi.

Selesai menelpon Gio membuka pintu mobil. Shiany maju mendekat dan menahan tangan Gio.

"Ada apa, Pak?"

"Ada masalah yang harus aku urus," jawab Gio cepat.

"Bagaimana acara kita nanti malam?" Rasa kuatir menyusup cepat di dada Shiany. Jangan sampai rencananya gagal mendapatkan duda tampan mempesona itu.

"Aku sudah menghubungi sekretarisku. Dia mungkin akan datang. Jika tidak, dia akan minta seseorang menggantikan aku. Terima kasih untuk kerja sama yang baik selama ini, Bu Shiany. Selamat siang," jawab Gio.

Pria itu langsung masuk ke dalam mobilnya dan segera si roda empat meluncur meninggalkan kantor. Shiany terdiam di tempatnya berdiri. Sepertinya harus dia akui, julukan duda tampan sedingin kulkas itu memang tepat disematkan pada Gio Hendrick.

*****

Gio berlari kencang di lorong rumah sakit. Dia tidak boleh lambat sedikitpun. Putra keduanya, Felipe Isacus Prafasta Hendrick sedang berjuang antara hidup dan mati. Dia harus ada di sana, memastikan anaknya akan mendapat pertolongan terbaik dan selamat.

Ruang IGD beberapa meter di depan Gio. Jantungnya makin meletup. Apa yang akan dia temui di sana? Apakah Felipe masih bertahan? Kalau selamat, apakah dia akan normal, tidak catat? Jika dia hilang ingatan, bagaimana? Semua pikiran itu berkecamuk di kepalanya.

Langkah Gio terhenti. Di depan ruangan itu tampak gadis berseragam SMP duduk dengan kepala tertunduk. Rambutnya yang hampir sepunggung tergerai. Sebagian menutupi mukanya.

"Maureen!" panggil Gio.

Gadis itu mengangkat kepalanya memandang Gio. Kedua pipinya basah, wajahnya merah dan sedikit sembab.

"Papa!!" Seketika gadis itu berdiri dan berlari menghambur ke dada Gio. Tangisnya tak dia tahan lagi. Meledak begitu saja seolah-olah ingin dia luapkan sampai tuntas.

"Maafkan aku, Pa! Maafkan aku!! Ini semua, semua ... gara-gara aku. Huu-uhuuukkk ...." Maureen mendekap punggung papanya kuat-kuat sambil jemarinya meremas kemeja biru gelap yang Gio kenakan.

Gio masih bingung apa yang sebenarnya terjadi. Maureen bicara tidak ada ujung pangkal, semua seperti puzzle yang berantakan.

"Kalau aku ga marah-marah .... kalau aku mau pulang ... Kak Felipe, Kak Felipe ga akan ... kecelakaan. Aku ga mau dia mati, huuaahhhh!!!" Makin keras saja gadis itu menangis dengan perasaan takut dan sesal yang berkecamuk di hatinya.

Cemas makin merajai hati Gio. Dia tidak tahu kondisi Felipe seperti apa. Dokter masih menanganinya di dalam ruangan. Tangis Maureen yang menjadi-jadi menambah rasa kuatir bahwa Felipe memang sedang kritis.

Gio tetap memeluk Maureen, sambil dia mengajak gadis itu duduk di kursi tunggu. Maureen masih berusaha menghentikan tangis. Sesekali dia berkata-kata menceritakan apa yang terjadi hingga Felipe mengalami kecelakaan.

"Maafkan aku, Pa. Semua gara-gara aku egois ... Aku menyesal, Pa ..." Tangis Maureen sedikit mereda, tapi terdengar pilu.

"Reen, ini kecelakaan. Tidak ada yang tahu akan terjadi. Kita tunggu saja dokter selesai menangani Felipe. Kita berdoa, Tuhan tolong Felipe." Meskipun rasa cemas menghujam, Gio harus bisa membuat Maureen lebih tenang dan tidak dikejar rasa bersalah.

Dalam dekapan Gio, Maureen mengangguk-angguk. Isakan gadis itu masih terdengar.

Dalam situasi berat ini yang muncul di kepala Gio adalah Victoria Margaretha, mendiang istrinya tercinta. Dia butuh wanita istimewa itu di sampingnya. Anak-anak mereka butuh sang ibu menguatkan dan menjaga mereka.

"Vicky, maafkan aku." Lembut di hati Gio kalimat itu terucap. "Aku tidak bisa menjaga anak-anak kita. Felipe sedang berjuang agar tetap hidup. Kalau kamu di sini, mungkin hari ini tidak akan ada kecelakaan. Felipe akan baik-baik saja."

Muncul wajah ayu dan lembut mendiang istrinya. Senyumnya terurai memberi keteduhan. Seandainya, seandainya saja Victoria masih ada.

Pintu ruangan terbuka, seorang perawat muncul di sana memanggil keluarga Felipe. Dada Gio langsung berdegup kencang.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status