Share

Wedding Dream

Setelah pertemuan tersebut, Roby berjanji untuk menjemput Aleasha esok hari untuk bertemu dengan Javario. Pria itu juga mengantar Aleasha pulang setelah menghabiskan seporsi spageti dan mengobrol berjam-jam tentang Javario dan keluarganya.

“Gimana, Nak?” tanya Mateo.

“Pak Richard ngomong apa aja ke kamu?” sambung Daisy.

Aleasha menghela napas panjang. Di ruang tamunya itu, dia mengitarkan pandangan. Rumahnya tidak luas dan sangat sederhana. Hanya ada ruang tamu yang kecil dengan sofa lusuh, ruang makan yang merangkap dapur, dan dua kamar tidur. Sekarang dia sangat sadar bahwa keluarganya sangat sederhana.

“Pak Richard langsung pergi pas ketemu. Nggak banyak ngobrolnya,” jawab Aleasha.

“Terus? Kamu nggak bikin masalah, kan?” tanya Mateo memutuskan.

Aleasha menggelengkan kepalanya, “Nggak kok, Yah. Besok aku ketemu sama anaknya Pak Richard.”

“Kamu harus dandan yang cantik untuk besok,” ucap Daisy, “biar Ibu bantu.”

Aleasha hanya bisa menganggukkan kepala pasrah.

“Ya udah, kalau gitu kita hari ini harus beli baju baru buat kamu,” kata Daisy yang langsung bergerak ke dalam kamarnya.

***

Pukul sepuluh pagi Aleasha sudah duduk di bangku yang sama dengan kemarin. Di sebelahnya, Roby duduk dengan tenang dan sibuk dengan pekerjaan di tabletnya. Setengah jam yang lalu, Roby menjemput Aleasha di rumahnya.

Gadis itu mengenakan baju baru yang kemarin dibeli oleh Daisy. Sebuah baju terusan panjang berwarna pink pastel. Memberikan kesan lebih elegan dengan paduan flat shoes putih. Dandanan tersebut tentunya sangat berbeda jika dibandingkan dengan penampilannya kemarin di depan Richard.

“Seharusnya dari kemarin dandanannya gini aja, Mbak,” komentar Roby.

Aleasha hanya meringis, “Kemaren kan mendadak, Mas. Saya aja baru tahu tentang utang ayah saya dua hari yang lalu,” balasnya.

Roby menganggukkan kepalanya, “Saya paham. Sekarang mungkin kamu bingung banget sama keadaan yang langsung berubah. Apalagi sebentar lagi kamu akan menikah,” katanya.

Aleasha yang baru saja menyeruput teh hangat yang tersedia di meja menganggukkan kepalanya, “Bahkan sekarang pun kayak mimpi. Mimpi buruk,” imbuhnya.

“Meski pun pendiam, Mas Java bukan tipe orang yang susah diajak ngobrol, kok. Dia juga bukan tipe orang yang suka menuntut. Rumah tangga kalian bakal baik-baik aja kalau komunikasinya lancar dan saling paham satu sama lain,” Roby kembali bercerita.

Keduanya sedang menunggu Javario yang sedang dalam perjalanan dari Bandara Adisucipto ke Hotel Ariana. Pesawat pria itu harus delay beberapa jam dan membuatnya menjadi terlambat pada pertemuan tersebut.

“Kira-kira, saya masuk tipe ceweknya Mas Java nggak?” Aleasha bertanya iseng.

Terakhir kali Roby menyebutkan bahwa Javario suka dengan cewek liar. Aleasha tidak tahu liar dalam artian apa. Namun, hal tersebut membuatnya sangat gugup ketika mengingatnya. Liar? Apa maksudnya seperti perempuan penggoda?

Mendengar pertanyaan itu, Roby tersenyum kecil. "Kepikiran sama omongan saya kemarin, ya? Untuk itu kamu nanti tanya sendiri aja sama orangnya. Biar surprise."

Aleasha mendengus. Jawaban seperti itu hanya akan membuatnya semakin gugup bertemu dengan Javario.  “Mas Roby punya fotonya Mas Java? Saya mau lihat dong,” pinta perempuan berambut sebahu itu.

Roby yang sedari tadi sibuk dengan tablet di tangannya mendongakkan kepala. Matanya mengitar ke sekeliling restoran hotel yang masih sepi. Ini belum jam makan siang, jadi hanya ada beberapa orang yang duduk dan sibuk dengan pekerjaannya dengan ditemani secangkir kopi.

“Nggak usah lihat fotonya. Itu orangnya udah datang,” ucap Roby sambil menunjuk ke arah pintu masuk restoran.

Seorang pria jangkung dengan sweater biru tua dan celana denim biru masuk ke dalam restoran. Sambil mendorong koper besar berwarna abu-abu tua, lelaki itu berjalan mendekat Aleasha dan Roby.

“Mas Java,” panggil Roby yang langsung berdiri.

Spontan Aleasha ikut berdiri. Dia menilisik pria tiga puluh tahun yang baru saja datang itu. Anehnya, laki-laki di hadapannya ini tidak seperti pria matang berusia tiga puluh tahun. Dari dandanannya yang seperti anak muda dua puluh tahunan, Javario juga memiliki wajah yang terlihat sangat mudah.

Kulit pria itu kecokelatan, matanya double lid dengan sedikit sipit. Dia juga punya wajah yang sedikit oval dan bibir tipis yang memerah. Hal yang paling membuatnya menjadi sangat terlihat muda adalah potongan rambutnya. Dia memiliki poni yang menutupi dahinya dan rambut belakang yang agak panjang. Selain itu, kacamata yang dia gunakan juga menggunakan frame kaca yang lebar seperti milik anak muda pada umumnya.

Javario tampan dengan wajah yang terlihat sangat Indonesia. Dia tidak terlihat seperti blasteran dari negera lain. Berbeda dengan Richard yang wajahnya tegas dan terlihat seperti bule. Javario memiliki wajah yang tidak akan pernah puas melihatnya. Wajah teduh yang menenangkan namun tetap terlihat memiliki prinsipnya sendiri.

“Aleasha?” panggilan dari Javario itu membuyarkan lamunan Aleasha.

“Y-yaa?” jawabnya singkat dengan sedikit tergagap.

“Javario. Panggil Java aja,” kata laki-laki itu dengan suara tenang sambil menyodorkan tangannya.

Dengan cepat Aleasha menyambut tangan itu, “Aleasha. Bisa dipanggil Alea.”

Setelah jabat tangan yang canggung itu, ketiganya akhirnya duduk. Javario duduk tepat di hadapan Aleasha, dan di antara mereka berdua ada Roby.

So? Udah sampai mana progres persiapan pernikahannya?”

Pertanyaan tersebut membuat Aleasha terperangah. Kenapa dia malah bertanya? Bukannya semuanya baru akan dimulai jika mereka sudah bertemu?

“Belum ada, Mas. Ini kan harus disepakati bareng-bareng antara dua pengantin,” ucap Roby menjelaskan.

“Lho? Saya nggak punya waktu buat ngurus ini-itu, Rob,” protesnya, “waktu saya nggak banyak, lho.”

Roby mengangguk mengerti, “Tapi, Pak Richard bilangnya gitu, Mas. Semuanya diserahin ke Mbak Alea dan Mas Java. Jadi, saya nunggu instruksi dari kalian berdua.”

Penjelasan tersebut tentu membuat Javario jengkel. Dia menghela napas panjang yang kasar sebelum akhirnya menatap ke arah gadis di hadapannya, “Kamu punya wedding dream, Alea?” tanyanya.

Itu adalah pertanyaan yang sama dengan apa yang Roby tanyakan kemarin. Aleasha mengernyitkan dahinya, “Kenapa nanyanya gitu? Kemarin Mas Roby juga nanya hal yang sama,” tanyanya.

“Karena bakal lebih mudah ngurusnya kalau kamu punya. Kita tinggal ikutin itu aja,” jawab Javario.

“Atau gimana kalau semuanya saya serahin ke kamu, Al?” tanya pria itu.

“Ha? Maksudnya?”

Javario membenarkan posisi duduknya dan menjadi terlihat sangat serius. “Saya lagi sibuk untuk mindahin perusahaan dan harus pindah rumah juga. Jadi, saya serahin semua persiapan pernikahan ke kamu. Kamu bebas mau bikin pernikahan dengan konsep seperti apa. Gimana?”

Aleasha terdiam dan terlihat berpikir. Dia memang tidak pernah terpikir tentang bagaimana pernikahannya akan terjadi, namun dia sering melihat pernikahan orang kaya dan ingin memiliki pernikahan seperti itu.

“Tapi, saya nggak tahu gimana cara ngurusnya,” ujar Aleasha. Sekali pun dia ingin, dia tidak pernah punya pengalaman dalam membuat sebuah acara pernikahan.

“Tenang aja. Kamu tinggal bilang apa yang kamu pengen ke Roby. Dia bakal stay di Jogja selama proses persiapan pernikahan. Dia bakal bantu kamu buat persiapan pernikahan. Oh iya, kamu juga bisa pilih tanggal pernikahan yang kamu pengen, tapi nggak boleh lewat dari satu tahun,” jelas Javario.

Aleasha mengernyitkan dahinya, “Jadi, saya bisa nikah kapan aja yang saya mau?”

Javario menganggukkan kepalanya, “Asal jangan lewat satu tahun dari hari ini. Biasanya persiapan pernikahan paling cepat itu enam bulan. Kalau kamu pengen lebih cepat juga nggak masalah,” ucapnya.

Aleasha mengangguk paham, “Berarti saya harus cari semuanya sendiri, ya?”

“Kamu bisa minta bantuan Roby kalau bingung.”

“Jadinya kayak saya dan Mas Roby yang bakal nikah,” celetuk Aleasha yang membuat mata Javario langsung membola.

“Jangan sembarangan,” ucapnya tegas, “saya harus cepat mengurus kepindahan. Dan ini nggak gampang. Kalau sempat, saya akan bantu kamu. Tapi kalau nggak ya ada Roby yang bakal bantuin kamu. Itu bukan berarti yang nikah kamu dan Roby. Paham?” tanya penuh penekanan.

Aleasha sedikit terkejut. Pada pertemuan pertamanya, dia langsung melihat ketegasan dari Javario. Sepertinya, dia harus lebih memikirkan semua hal yang keluar dari mulutnya.

“Udah, ‘kan?” tanya Javario tiba-tiba, “Yuk, pulang,” ajaknya.

Aleasha menganggukkan kepalanya, “Kalau gitu saya pamit pulang dulu, Mas,” pamitnya sopan.

Javario mengernyitkan dahinya, “Mau pulang ke mana kamu? Kita pulang ke rumah kita.”

“Rumah kita?” tanya Aleasha.

Rumah kita. Dua kata yang terasa aneh sekaligus menggelikan baginya. Aleasha tidak pernah berpikir untuk pindah dari rumah orang tuanya. Meskipun rumah tersebut kecil dan sederhana, dia selalu merasa nyaman tinggal di sana.

Pemikiran untuk pindah rumah membuatnya menjadi gamang. Pernikahan menjadi hal yang menakutkan baginya karena akan banyak perubahan yang terjadi. Aleasha tidak begitu suka dengan perubahan.

“Iya. Kita bakal ke rumah baru. Saya harus nyicil bawa barang dari Jakarta,” kata Javario sambil menoleh pada koper besar yang tadi dibawanya.

“Kamu juga bisa pindahin barang yang penting dari sekarang. Kalau mau dekor rumah juga silakan aja. Yang pasti, kamu nggak boleh masuk dan ngubah apapun yang ada di ruang kerja saya,” jelas Javario.

Dengan ragu, Aleasha menganggukkan kepalanya. Mendadak semuanya terasa begitu cepat di kepalanya. Mulai dari perjanjian satu juta dollar antara ayahnya dan Richard hingga obrolannya barusan dengan Javario. Aleasha terlalu banyak melakukan hal baru dalam waktu dekat.

***

“Aleasha?” panggil Javario.

Ini kedua kalinya Javario mendapati Aleasha hanya terdiam dan melamun. Dia tahu gadis itu mungkin bingung dengan semua hal yang terjadi. Richard juga sudah menceritakan padanya beberapa hal tentang Aleasha.

Utang Mateo pada Richard dan kesepakatan mereka itu tentu sangat menguntungkan bagi Javario. Laki-laki itu tidak ingin disulitkan oleh drama percintaan. Dia lelah dan tidak punya banyak waktu untuk itu. Lagi pula, dia tahu bahwa ayahnya sudah menyiapkan calon yang terbaik untuknya.

“Kenapa?” tanya Aleasha dengan sedikit terkejut.

Mereka sedang menuju perjalanan menuju rumah baru yang terletak di daerah pinggiran kota. Itu adalah salah satu komplek perumahan elit yang baru saja dibuat tahun lalu. Belum banyak penghuninya karena beberapa area masih dalam tahap pembangunan. Komplek itu juga sempat terkenal saat baru dibuka karena harganya yang fantastis.

Tentu saja Javario, Rio, dan Celina bisa mendapatkan masing-masing satu unit rumah di sana karena komplek perumahan tersebut merupakan salah satu bisnis milik keluarga Aksata.

“Harusnya saya yang nanya. Kamu kenapa?” Javario bertanya balik.

“Kenapa apanya, Mas? Saya nggak ngerti,” sahut Aleasha.

Mendengar reaksi gadis polos itu, Javario tersenyum kecil, “Kamu kenapa terima aja dinikahin sama saya?” tanyanya.

Aleasha menarik napas dan menghelanya pelan, “Memangnya saya punya pilihan buat nolak? Saya nggak punya, Mas. Setidaknya dengan begini saya bisa bantu orang tua meringankan beban utang mereka dan menghindari ayah saya masuk penjara.”

“Saya baru tahu kalau mereka punya utang sebanyak itu ke keluarga Aksata. Selama ini saya hidup enak tanpa tahu kedua orang tua saya kesusahan. Jadi, daripada saya nolak pernikahan ini dan jadi beban keluarga, mending saya fokus untuk ngelakuin apa yang bisa saya lakuin untuk bantu keluarga, Mas,” jelas Aleasha dengan jujur.

Javario menganggukkan kepala. Sekilas Aleasha terlihat sangat dewasa dengan keputusannya itu. Jawaban gadis itu juga membuat Javario melihat bahwa dia dapat berkomunikasi dengan baik dengan Aleasha. Gadis itu terlihat cukup pintar.

"Hmmm ..., kamu mau sedikit saran dari saya tentang pernikahan kita?" tanya Javario.

Aleasha mengernyitkan dahinya. "Apa Mas?"

"Saya suka gaun pernikahan yang sedikit terbuka," ucap Javario.

Aleasha membelalakkan matanya. Javario ... mesum? Dia akan menikah dengan pria mesum?!

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status