Share

Rumah Baru

"Maksudnya gimana, Mas?" tanya Aleasha gugup. 

Jantungnya berdetak dengan sangat kencang karena ucapan ambigu dari calon suaminya itu. Sedangkan Javario terlihat sangat santai dan tidak banyak bereaksi.

"Saya cuma mau bilang itu," katanya sekenanya.

***

Aleasha terpukau dengan pemandangan yang baru saja ditemuinya. Sebelum mencapai rumah baru mereka, dia melintasi gerbang utama kompleks yang terlihat begitu mewah dan modern. Pada sebuah pilar besar, terpampang jelas tulisan "Komplek Perumahan Ganesha", sebuah kompleks perumahan elit yang terletak di pinggiran kota. Di sekitar kompleks, terdapat berbagai fasilitas seperti klinik, taman bermain anak, dan minimarket. Jalanan di dalam kompleks terasa sangat mulus dan rindang, dihiasi dengan berbagai pepohonan. Rumah-rumah mewah berjejer rapi dengan desain yang bervariasi, menciptakan panorama yang memukau.

Dalam kompleks tersebut terdapat empat blok rumah, dan rumah yang akan dihuni oleh Aleasha dan Javario terletak di blok 1. Rumah mereka berada di ujung jalan, memiliki desain minimalis namun tetap memberikan kesan kemewahan. Rumah tersebut terdiri dari dua lantai, dengan dominasi warna putih baik di bagian eksterior maupun interior.

Di bagian depan rumah, terdapat carport yang cukup besar untuk menampung dua mobil, serta sebuah taman kecil yang dihiasi dengan berbagai jenis bunga. Begitu masuk ke dalam rumah, Aleasha tidak bisa menahan kagumnya. Interior rumah dipenuhi dengan perabotan yang elegan, didominasi oleh warna hitam dan putih yang kontras.

"Kamu suka?" tanya Javario sambil menatap Aleasha.

Aleasha memutar pandangannya ke seluruh ruangan, merasakan kepuasan yang mendalam. "Suka sekali. Rumah ini terlihat begitu mewah dan terang," jawabnya dengan jujur.

Senyum tipis terukir di wajah Javario mendengar jawaban itu. Ruangan yang didominasi oleh warna putih memberikan kesan terang dan luas, terutama dengan pencahayaan dari lampu-lampu berwarna putih yang tersebar di seluruh ruangan.

"Syukur kalau kamu suka. Kita tidak perlu mengganti perabotan lagi," ucap Javario sambil melangkah masuk ke dalam rumah sambil menarik koper miliknya.

Kata "kita" yang digunakan oleh Javario memicu sebuah pertanyaan di benak Aleasha. Apakah sudah waktunya untuk mereka berdua menyebut diri sebagai "kita"?

Aleasha melirik ke arah Javario, mencermati pria itu dengan seksama. Tatapan matanya mengisyaratkan ketenangan yang luar biasa, dan sikapnya yang berwibawa begitu terlihat jelas. Namun, bagi Aleasha, segalanya terasa berbeda. Dia merasa seperti terdampar di tengah lautan misteri yang belum terpecahkan, sementara Javario tampak begitu akrab dengan dunia baru yang mereka hadapi. Seperti seorang yang telah mengerti segalanya sebelumnya, pria itu nampaknya telah memahami setiap detil yang akan terjadi.

"Kalau kamu mau taruh beberapa barang di sini, nggak apa-apa. Saya udah siapin satu ruangan khusus untuk kerja. Di sana cuma boleh barang saya aja. Kamu bisa taruh barang kamu di kamar kita atau di tempat lain," ucap Javario dengan tenang.

Kata-kata itu langsung membuat Aleasha terperangah. "Kamar kita?!" gumamnya, ekspresinya campur aduk antara keterkejutan dan ketidakpercayaan.

Javario menatap Aleasha dengan tatapan tajam. "Kamu nggak mikir kalau kita bakal pisah kamar, 'kan? Jangan karena ini perjodohan lalu kamu akan berpikir seperti yang terjadi di film-film," tegurnya dengan nada tegas.

"Kita nggak akan pisah kamar. Ngapain saya nikah kalau ujungnya tidur sendiri juga?" sahut Aleasha dengan cepat, mencoba menenangkan dirinya sendiri dari kebingungan yang melanda.

Namun, ketika Javario mengungkapkan rencana mereka untuk berbagi kamar, Aleasha terdiam. Dia akan tidur di ranjang yang sama dengan Javario? Dengan orang yang baru saja ditemuinya hari ini? Rasanya begitu sulit dipercaya.

"Oh iya," ucap Javario sambil melangkah masuk ke dalam rumah, memecah keheningan yang terbentang di antara mereka.

Aleasha mengangkat wajahnya, matanya bertemu dengan Javario yang tampak sedikit serius. "Kenapa?" tanyanya, mencoba memahami lebih jauh tentang situasi yang mereka hadapi.

"Saya tahu ini bakal canggung. Tapi, kita akan berperan sebagai suami dan istri sungguhan. Saya nggak punya banyak waktu untuk meromantisasi berbagai hal. Banyak hal yang harus saya lakukan. Jadi, mungkin saya adalah tipe suami yang sedikit cuek," ucap Javario dengan jujur, mengungkapkan kejujurannya tanpa embel-embel.

Aleasha merasakan kebingungan menyelinap ke dalam dirinya, namun dia tidak memiliki opsi selain untuk mengangguk mengerti, menerima bahwa situasi ini memang akan menjadi sebuah tantangan yang harus mereka hadapi bersama.

Melihat Aleasha tampak agak terdiam, Javario mengangkat sebelah alisnya dengan sedikit keheranan. "Kok diem?" tanyanya, mencoba memecah keheningan yang terjalin di antara mereka.

Aleasha mendongakkan kepalanya dengan canggung, bibirnya bergetar saat dia menjawab, "Ke-kenapa?" suaranya tergagap, refleksi dari kegugupannya yang begitu terlihat jelas. Tatapan intens dari Javario membuatnya merasa seperti sedang di bawah sorotan, dan itu membuatnya semakin tidak nyaman. Dia masih belum terbiasa dengan tatapan tajam dari pria yang baru dikenalnya beberapa jam yang lalu.

"Saya sudah cerita tentang diri saya. Seharusnya kamu juga bercerita tentang diri kamu," ucap Javario, memecahkan keheningan dengan suara yang tenang namun tegas.

Seketika, Aleasha tersadar akan maksud sebenarnya dari ucapan Javario tersebut. "A-aku nggak tahu. Aku belum pernah jadi istri. Sehari-hari juga aku hidupnya biasa aja. Aku orangnya juga nggak menuntut banyak, kok," jawabnya, mencoba menjelaskan dirinya dengan terbata-bata.

Javario menganggukkan kepala setuju. "Bagus. Berarti kita cocok. Saya juga nggak mau dituntut banyak hal. Tapi kamu tenang saja, saya akan selalu menjadi suami yang akan mencukupi kebutuhan kamu," katanya dengan penuh keyakinan, memberikan jaminan bahwa dia akan berada di sana untuk Aleasha dalam segala hal.

Pria itu kemudian berjalan perlahan menuju salah satu ruangan, menarik kopernya di belakangnya. "Ini ruangan khusus untuk kerja saya. Kamu juga bisa memilih kamar untuk bekerja atau belajar. Saya tidak akan mengganggu privasi kamu," lanjutnya, menunjukkan sikap pengertian dan kesediaannya untuk memberikan ruang bagi Aleasha dalam menjalani kehidupannya di tempat baru ini.

Aleasha memasuki salah satu ruangan yang masih kosong, mengamati sekelilingnya dengan cermat. Ruangan itu terletak cukup jauh dari bagian depan rumah, dekat dengan dapur. "Aku mau di sini," ucapnya dengan mantap, mencoba menentukan tempat yang paling cocok baginya.

Mendengar pilihan Aleasha, Javario mengernyitkan dahinya dengan sedikit keraguan. "Kamu yakin? Biasanya kamar di dekat dapur itu dibuat untuk kamar asisten rumah tangga," ujarnya, memberikan sebuah catatan yang mungkin belum terlintas dalam pikiran Aleasha.

Aleasha merasa sedikit tersipu, menyadari bahwa dia tidak menyadari hal itu sebelumnya. Dengan senyum yang malu-malu, dia memilih untuk meninggalkan ruangan tersebut dan berjalan menuju kamar yang lain. Saat dia tiba di sebuah pintu ruangan yang letaknya persis di sebelah ruang kerja Javario, dia bertanya, "Kalau di sini?"

Javario mengangguk setuju. "Boleh. Asal kamu nggak berisik. Karena ruangan kamu bersebelahan sama ruangan saya," katanya dengan santai, memberikan persetujuannya dengan satu syarat sederhana.

Aleasha hanya menganggukkan kepalanya sebagai tanda pengertian. Dia tidak memiliki pengetahuan tentang apa yang akan digunakan ruangan tersebut, jadi dia memilih untuk tidak terlalu khawatir. Hobi fotografinya mungkin bisa menemukan tempat di sana, dengan mungkin mencetak beberapa hasil jepretan dan memajangnya di dinding. Atau mungkin dia bisa membuat sebuah studio kecil pribadi. Pikiran-pikiran itu hanya akan dia pertimbangkan nanti.

Sementara itu, Javario mengarahkan langkahnya ke arah pintu terbesar di lantai pertama, terletak tepat setelah ruang tamu. "Ini kamar kita," ucapnya dengan bangga, menunjukkan ruangan yang akan mereka bagi sebagai tempat tinggal mereka berdua.

Lagi, Aleasha bergidik mendengarnya.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status