***
Senja baru saja tiba di rumah makan tempatnya bekerja kala jarum jam pendek menunjukan pukul Sepuluh pagi. Ia tahu akan mendapat masalah sebab terlambat Dua jam dari yang seharusnya.
“Dari mana kamu Senja? Masih niat kerja di sini?” Begitu Senja menghadap bosnya, pertanyaan sarkas yang didengar.
“Maafkan saya, Bu. Saya kesiangan,” ucap Senja meminta maaf. Tak ingin wanita itu membawa nama Andra sebagai alasan keterlambatannya.
Bu Sinta, si pemilik warung makan mendengus sebal. “Enak betul jawabanmu didengnar oleh telingaku, Nja,” sindirnya.
“Mulai besok tidak usah bekerja di sini lagi. Banyak yang ingin menggantikan posisimu sebagai pelayan!”
Mendengar itu membuat Senja bereaksi dengan cepat. “ Saya mohon jangan pecat saya, Bu. Saya berjanji tidak akan mengulanginya lagi,” pintanya dengan mata yang berkaca-kaca.
Gaji dari rumah makan memang tidak seberapa, tetapi cukup untuk membayar kontrakan. Jika dipecat, Senja tak tahu harus berbuat apa. Ia merasa rugi jika kehilangan pekerjaan ini.
“Beri saya kesempatan, Bu. Selama ini saya tidak pernah mengecewakan Ibu, kan?”
“Saya mohon, Bu,”
Memang benar Senja adalah karyawan yang baik di mata Ibu Sinta, akan tetapi telat selama Dua jam membuat pemilik warung makan tersebut kecewa pada Senja.
“Saya mohon, Bu!”
Tiba-tiba Senja bersimpuh, membuat Ibu Sinta terkejut. “Astaga!” pekiknya.
“Saya sedang kesulitan, Bu. Tolong jangan usir saya dari rumah makan ini. Saya rela melakukan apa saja asal tidak dipecat,”
Ibu Sinta menghela napasnya. “Baiklah, saya akan memberi kamu Satu kali kesempatan lagi. Namun, ingat! Jangan sampai kamu mengecewakan saya, Senja!” putusnya. Barangkali pemilik warung makan tersebut merasa iba melihat keadaan Senja.
“Terima kasih, Bu,” Senja langsung berdiri dan menangkupkan kedua tangannya.
Ibu Sinta melambaikan tangan, kemudian berlalu begitu saja dari hadapan Senja. Dengan cepat Senja memulai pekerjaannya.
Pukul Tiga sore seharusnya Senja sudah bisa pulang, akan tetapi karena ia terlambat masuk selama Dua jam, maka dirinya harus lembur hingga pukul Lima sore.
Senja tak merasa keberatan meskipun pikirannya selalu saja tertuju pada Andra. Ditambah Tika telah membuat janji untuk bertemu dengannya lagi malam ini.
“Akhirnya bisa pulang juga, Alhamdulillah,” ucap wanita Dua Puluh Tujuh tahun itu ketika jarum jam pendeka berada di angka Lima.
Namun, owner tiba-tiba saja menemuinya. Dan, memintanya untuk melakukan pekerjaan tambahan.
“Jangan khawatir nanti kamu akan saya beri upah tambahan karena lembur sampai malam. Kita kekurangan orang ini,”
Mendengar upah tambahan membuat Senja memikirkan ulang rencananya untuk pulang. “Baiklah Bu, apa yang harus saya lakukan lagi?” tanyanya.
“Kamu bantu-bantu di sini saja, Rina dan Ani akan membantuku mengantar pesanan ke majelis taklim didekat sini. Kebetulan panitianya memesan nasi bungkus untuk kegiatan pengajian malam ini,” terang Ibu Sinta.
Senja menganggukan kepalanya. Namun, baru saja ia ingin menjawab dengan suara, Ani yang berlari tergopoh dari dapur tergagap memberitahu sesuatu kepada Ibu Sinta. “I-itu Bu, Rina pingsan!” ujarnya.
“APA?” Ibu Sinta tampak sangat terkejut.
Ketiganya lalu bergegas ke dapur. Benar saja, Rina masih terbaring di sana, dibantu oleh karyawan ship malam lainnya.
“Apa yang terjadi?” tanya owner kepada karyawan yang ada di sana.
“Nggak tahu, Bu. Tiba-tiba Rina pingsan setelah bilang sakit kepala,”
Ibu Sinta berdecak sebal, tapi tak urung ia mendekati Rani dan mencoba untuk membantunya sadarkan diri. Dibantu Senja dan karyawan lainnya, Rina akhirnya sadar juga. Wajah gadis Dua Puluh Dua tahun itu terlihat sangat pucat ditengah ringisannya. “M-maafkan saya, Bu Sinta. Sejak sore kepala saya memang sudah sakit,” ucapnya.
Ibu Sinta mengembuskan napas dengan berat. “Ya sudah kamu istirahat dulu di sini, tapi jangan pulang. Nanti kalau sudah agak enakan bisa bantu yang lain lagi,” ucapnya.
“Dan, kamu Senja! Kamu terpaksa ikut saya ke majelis untuk mengantar pesanan bersama Ani,”
“Baik Bu,” Senja mengiakan.
Ketiganya lantas berangkat hampir menjelang magrib mengingat pesanan cukup banyak dan butuh persiapan.
“Kalian kalau mau sholat dulu nanti tidak apa-apa. Biar Ibu yang jaga di mobil,” ucap Ibu Sinta memberi pengertian kepada karyawannya.
Senja dan Ani sama-sama menganggukan kepala.
Adzan berkumandang ketika akhirnya mereka sampai di masjid. Seperti yang Ibu Sinta katakan, Ani dan Senja bergegas mengambil wudhu untuk sholat.
“Wahhh, itu loh Mbak Senja yang namanya gus Isam. Nggak salah Rina bilang dia ganteng, memang benar-benar produk unggulan!” ujar Ani sambil terkekeh.
Senja mengernyit heran. Mengikuti arah telunjuk Ani, ia pun dapat melihat wujud nyata sosok tampan yang dikagumi Ani dan Rina. Tak perlu heran, keduanya memang sering mengikuti Ibu Sinta untuk mengantar pesanan, sehingga cukup sering melihat ustad atau gus yang pengisi pengajian.
Sekadar informasi juga, Ibu Sinta ini tak hanya memiliki warung makan, tetapi juga memiliki toko kue di sebelah warungnya. Sehingga, kadang jika ada pengajian seperti ini, banyak yang memesan ke toko tersebut. Ani dan Rina yang biasanya ditarik untuk ikut membantu mengantar pesanan. Akan tetapi, pesanan kue tak begitu merepotkan. Setelah diantar bisa kembali lagi ke warung makan.
Berbeda dengan nasi bungkus. Karyawan warung makan yang semakin kerepotan karena warung makan Ibu Sinta ramai pembelinya.
“Dia lagi?” Kembali pada Senja dan Ani yang tadinya ingin mengambil wudhu.
“Kamu kenal, Mbak Senja?” tanya Ani.
Senja tersadarkan dari lamunannya. “Huhh? Enggak! Hanya pernah melihatnya saja,” jawabnya.
Tanpa peduli pada Ani yang masih terkagum pada ketampanan gus Isam yang malam ini mengisi acara pengajian di masjid, Senja melanjutkan aktivitas ingin mengambil air wudhunya.
“Ayo Ani! Jangan sampai terlambat. Ibu Sinta akan marah kalau kita kelamaan,” tegur Senja.
“Aku duluan ke dalam ya,”
“Ohh iya Mbak, duhhh!” Ani seakan tersadarkan. Ia pun bergegas mengambil wudhu lalu buru-buru ke dalam masjid menyusul Senja.
Setelah sholat magrib selesai, Senja dan Anin kembali menemui Ibu Sinta yang sedang menunggu di mobil.
“Bu, kami sudah selesai,” ucap Senja memberitahu bosnya.
Ibu Sinta mengangguk. “Kita tunggu kabar dari panitia dulu ya, mungkin masih sibuk di dalam,” ucapnya.
“Baik Bu.” Ani dan Senja menyahuti secara bersamaan.
Mereka pikir semua akan berjalan dengan lancar dan cepat. Akan tetapi, sesudah sholat isya panitia baru menghubungi.
Ibu Sinta memerintahkan Ani dan Senja untuk membawa nasi bungkus ke tempat yang diminta oleh panitia.
“Akhirnya selesai juga!” ujar Ani ketika pekerjaan mereka kelar.
Keduanya lantas menghampiri Ibu Sinta yang sedang berbincang dengan salah satu panitianya. Ibu Sinta terlihat kesal. Mungkin karena terlalu lama menunggu. “Jangan salahkan kami kalau nasinya sudah dingin, Pak,” ucapnya.
“Tentu tidak, Bu. Sekali lagi kami minta maaf,”
Ibu Sinta hanya menganggukan kepalanya saja. Dirasa selesai, wanita itu pun bermaksud kembali ke mobilnya di mana Ani dan Senja masih menunggu.
“Ayo kita pulang!”
“Bu, saya mohon izin. Saya boleh langsung pulang dari sini saja? Kontrakan saya sudah dekat,” ucap Senja menahan langkah Ibu Sinta yang ingin masuk ke dalam mobilnya.
Ibu Sinta menoleh pada Senja lalu menganggukan kepala. “Uang lemburmu malam ini akan saya satukan dengan gajimu bulan depan ya, Nja!” ujarnya.
“Siap Bu, terima kasih,” ucap Senja.
Ani dan Ibu Sinta lantas masuk ke mobil lalu meninggalkan Senja setelah itu.
“Aku numpang cuci muka dulu agar lebih enak bertemu dengan Tika,” Senja bergegas menuju tempat wudhu.
Tak sengaja di sana ia bertemu lagi dengan gus Isam, sebab tempat wudhu laki-laki dan perempuan tak begitu berjauhan.
“Kamu lagi,”
Dari kejauhan keduanya saling bergumam. Namun, seperti biasa, gus Isam akan menundukan pandangan begitu matanya dan mata wanita yang sudah Tiga kali ditemuinya itu saling bertaut meskipun hanya dalam hitungan detik.
Sementara Senja akan langsung lari karena merasa tidak nyaman, dan mungkin malu sebab Dua kali bertemu dengan gus Isam, airmata selalu mengaliri pipinya.
.
.
Bersambung.
***Jam Sembilan malam Senja sudah berada di sebuah café & bar tempat Tika membuat janji dengannya. Wanita itu masih terlihat mengenakan pakaian lusuh yang sama dengan yang dikenakannya saat bekerja tadi.“Tck! Nja, bisa kali kamu pakai baju yang agak bagusan dikit kalau mau masuk ke sini. Untung diizinkan masuk karena aku!” ujar Tika mengomentari pakaian Senja yang memang tak layak untuk dibawa masuk ke dalam sebuah bar.Senja memperhatikan penampilannya, tapi ia tampak tak peduli dengan hal itu. “Tik malam semaki larut. Ada apa kamu memanggilku ke sini?” tanyanya.“Sabar!”“Ini honor pertama untukmu karena berkencan dengan Mas Adit! Setelah ini, kamu akan langsung dibayar olehnya tanpa prantara dariku. Kalian sudah sepakat kan untuk berkencan diam-diam?” tanya Tika.Senja tampak terkejut. “Tapi aku sudah mendapatkan uang dari Mas Adit, Tik,” ucapnya dengan jujur.“Nggak apa-apa itu hakmu. Ini untuk kesepakatan kit. Lima Belas juta!”“Lima Belas juta? Kenapa banyak sekali?”Tika meng
***Senja baru saja selesai mandi ketika sebuah notifikasi pesan chat masuk ke dalam ponselnya. Aplikasi berwarna hijau yang populer digunakan oleh banyak orang itu pun akhirnya menyita perhatian Senja.[Kata Tika kamu sudah nggak sabar mau bertemu denganku lagi, Senja]Setelah membaca barisan kata, Senja akhirnya tahu siapa pemilik nomor baru tersebut. “Mas Adit,” lirihnya.[Bukan begitu, Mas. Tapi, lebih cepat lebih baik karena aku membutuhkan uang secepatnya!]Segera Senja membalas.Tak lama kemudian panggilan vidio call dari Adit masuk ke dalam ponselnya. Senja pun mengangkatnya. “Halo Mas,” sapanya dengan suara yang agak serak, lantaran ia sudah mengantuk karena malam cukup larut.“Kamu menggodaku dengan suara serakmu, Nja?” Namun, berbeda dengan yang Senja rasakan, justru Adit menganggapnya lain. Senja menggeleng. “Aku mengantuk, Mas,” ucapnya menjelaskan.A
***Adit menjadi uring-uringan sejak Senja tak bisa dihubungi usai ia kembali ke Jakarta. Lelaki itu berkali-kali menelpon Senja, tapi Senja yang sibuk bekerja tak sempat mengangkat panggilannya.“Sialan! Ke mana perempuan itu?” Adit bertanya pada dirinya sendiri.Pada akhirnya Adit memutuskan untuk menelpon Tika. Dalam beberapa menit keduanya telah terhubung.“Ada apa, Mas?” tanya Tika.“Di mana Senja?” Tanpa basa basi Adit langsung mengungkapkan tujuannya yaitu mencari wanita simpanannya.“Loh bukannya kalian memiliki nomor telepon masing-masing?” Tika terdengar heran.Membuat Adit berdecak sebal karena bukan pertanyaan yang sekarang dia butuhkan. Melainkan jawaban. “Di mana Senja?” ulangnya.Dari jauh Tika ikut mendecakan lidahnya. “Jam segini biasanya Senja kerja di rumah makan, Mas,” jawabnya setelah melihat jam yang melingkari pergelangan tangannya ma
***Sebuah pesan masuk ke ponsel Senja. Isinya mengabarkan kalau Adit terus mencari keberadaannya. Pesan itu dari Tika.“Pantas saja banyak panggilan tak terjawab dari Mas Adit!” ujar Senja.Sekarang sudah pukul Empat sore. Dirinya pun sudah berada di rumah. Tak ingin membuat pelanggan semata wayangnya itu gelisah apalagi marah, Senja segera mengirim sebuah pesan.[Ada apa, Mas?]Sambil menunggu balasan dari Adit, Senja membereskan kontrakan. Sore ini rencananya ia akan ke rumah sakit untuk mengunjungi Andra. Mau menginap sekalian makanya ia siap-siap. Senja lupa kalau ada janji pada Adit.[Nanti malam aku ingin kita bertemu. Di mana aku bisa menjemputmu? Aku ingin kita berkencan,]Dua Puluh menit Senja menunggu balasan dari lelaki yang berani membayar mahal dirinya itu.“Nanti malam?” Senja membola. Apakah ia akan membiarkan Andra tidur sendirian lagi malam ini? Jujur Senja merasa iba. Ia ingin bersama
***Sepulang dari rumah sakit Senja langsung bergegas mandi. Sebentar lagi azan magrib berkumandang. Betapa wanita Dua Puluh Tujuh tahun itu bersyukur atas kesempatan yang Tuhan berikan untuk menyelamatkan Andra. Melalui dokter Kinan pengobatan Andra bisa dipercepat.Iya, meskipun berlumur dosa karena menjadi wanita simpanan, tapi Senja tak ingin benar-benar melupakan Tuhannya. Atas kehendak Yang Maha Kuasa pula Andra masih berada di sisinya hingga detik ini.Ketika keluar dari kamar mandi kontrakannya, azan magrib akhirnya berkumdang. Dengan cepat Senja mengenakan pakaian bersih. Kebetulan ia sudah mengambil wudhu sebelum masuk ke kamar.“Ya Allah ampuni hamba yang penuh dengan dosa ini. Ampuni segala yang telah hamba perbuat. Hamba tak memiliki pilihan untuk mendapatkan uang pengobatan Andra secepatnya. Namun, setelah Andra melakukan pengobatan dan dibantu oleh dokter Kinan, hamba akan bertaubat. Biarlah hamba bekerja serabutan untuk melunasi huta
***Makan malam mewah yang Adit siapkan untuk Senja telah selesai beberapa menit yang lalu. Namun, keduanya belum beranjak dari restoran itu.“Kamu kenapa diam saja Senja? Mentang-mentang aku mengaku nyaman, kamu jadi nggak berani bicara apapun lagi,”“Huh? Bukan begitu Mas, aku hanya bingung mau ngomong apa.”“Baiklah, ayo kita pergi dari sini dan bicara di atas ranjang!”Mendengar itu membuat pupil mata Senja melebar. Ia tahu malam ini akan berakhir di mana dirinya.“Kita sudahi saja kencan rahasia ini. Ayo pergi!” Adit menarik tangan Senja.Tenang saja, biaya reservasi sudah ia lunasi.“Mas!” Senja terseok. Kakinya yang sedang mengenakan hills 5cm sedikit membuatnya kesulitan mengimbangi langkah Adit. “Pelan-pelan, Mas. Nanti aku jatuh,” tegurnya.Namun, Adit tampak tidak peduli. Ia terus menarik tangan Senja hingga akhirnya mereka sampai di mobil
***Senja mengerti maksud gus Isam. Namun, ia tak bisa menerima kebaikan dari lelaki itu. Senja lalu menggelengkan kepalanya. “Nggak usah, terima kasih atas tawarannya. Saya nggak apa-apa,” ucapnya.Sorban yang gus Isam berikan ditatap lekat-lekat oleh Senja. Benaknya bertanya, haruskah menerima sorban tersebut atau mengembalikannya saja. Akhirnya Senja memilih menerima benda yang memiliki ciri khas tersebut.“Saya akan menerima ini,” Senja menutup bagian dadanya yang sedikit menonjol.Setelah itu gus Isam baru berani memalingkan wajah ke arahnya. Hanya sekali menatap saja, lalu mengalihkan pandangan lagi. “Biar saya obati dulu lukanya, Mbak,” ucapnya.“Anuuu gus sebaiknya kita langsung ke rumah sakit saja. Kyai sudah menelpon sejak tadi,” Pak Maman kembali masuk dalam percakapan Senja dan gus Isam.Abrisam menoleh padanya. Perjalanan mereka memang sedang menuju ke rumah sakit setelah pulang da
***Adit tersenyum lepas saat melihat wajah Senja memerah akibat ulahnya. Lelaki itu kini sudah kembali duduk di belakang stir. Siap untuk mengantar Senja pulang.“Kenapa, Mas?” tanya Senja yang merasa tak nyaman ditatap Adit dengan cara seperti itu.Adit mengedikan bahunya. “Kamu yang kenapa? Wajahmu sampai merah begitu,” ucapnya.Senja menyentuh pipinya menggunakan telapak tangannya. “Bagaimana nggak merah kalau Mas Adit menciumku di sembarang tempat! Secuirity pula yang menegur kita,” deliknya.Mengulang ingatan tentang kejadian tadi membuat Adit kembali tertawa. Iya, benar! Mereka memang digerbek oleh seorang secuirity lantaran bercumbu di tempat umum. Terpaksa Adit mengakui Senja sebagai istrinya lalu memberi secuirity tersebut uang agar tak banyak bicara.“Jangan lakukan itu lagi, Mas!” ujar Senja.“Makanya jangan membuatku ingin melakukannya, Nja,” balas Adit.S