Share

5

Tiga bulan berlalu setelah kejadian Alika bunuh diri. Kini aku terpuruk mendekam dalam penjara. Hal yang sangat pantas kuterima atas semua yang telah kulakukan pada istriku itu. Walau aku tak melakukan tuduhan yang diberikan padaku, tapi aku akui karena dirikulah Alika sampai mengalaminya.

Hasil autopsi menyatakan bahwa Alika memang mengalami kekekerasan fisik ketika hidupnya. Parahnya lagi ternyata ia sedang mengandung anak kedua kami yang berusia delapan minggu saat itu. 

Aku tak tahu apa Alika sudah mengetahui bahwa dirinya tengah hamil atau tidak saat memilih bunuh diri. Yang pasti hal ini membuatku makin merasa bersalah lagi. Ada dua nyawa yang menjadi korban ternyata.

Begitupun dengan hasil penyelidikan Alesha, dia mengalami kekerasan di punggung dan kakinya. Aku benar-benar tak bisa membayangkan bagaimana kondisi Alesha saat mengalami kekerasan tersebut.

 

Aku sangat yakin bahwa Ibu dan Wulanlah yang telah menyakiti Alika dan Alesha. Karena mereka sehari-hari terus memperlakukan Alika dengan semena-mena. Sepertinya mereka melakukan kekerasan itu ketika aku tak berada di rumah.

Namun sayangnya aku tak memiliki bukti sedikit pun terkait semua ini. Nampaknya diriku terlalu dibutakan oleh rayuan Wulan dan mulut manis Ibu yang membuatku menutup mata atas semua perbuatan kasar mereka.

Sekarang semua tuduhan itu jatuh padaku. Sebagai seseorang yang paling memungkinkan melakukan tindak kekerasan. Aku juga tak punya alibi yang kuat untuk menyangkalnya. 

Saat proses penyidikan dan penyelidikan Ibu berkelit dan malah melakukan drama seolah dia paling bersedih atas kematian Alika. Sedangkan Wulan, aku tak tahu dimana dia kini berada. Ia menghilangkan semua jejak yang ada tentang keberadaannya dalam hidupku. 

Nampaknya percuma saja jika aku meminta polisi untuk menyelidiki mereka. Karena perbuatan mereka begitu bersih tanpa jejak pada Alika dan Alesha.

Setelah melalui proses yang panjang, kini aku harus menerima ketetapan hakim, yaitu, menjadi terdakwa atas kasus KDRT Istri dan anak sendiri dan harus menjalani hukuman selama dua tahun penjara.

Aku dengan lapang dada menerima semua ini sebagai penebus rasa bersalahku pada Alika juga Alesha. Bahkan sebenarnya  hukuman ini tak dapat membalas apa yang telah aku sebabkan, sehingga Alika harus mengalami penderitaannya dan memilih bunuh diri. Betapa aku telah terlalu dzolim padanya. Rasanya pantas untuk mendapat yang lebih dari semua ini.

***

Selama di penjara, aku jalani hari hanya dengan meratapi diri. Menyesali semua yang sudah terjadi. Merindukan saat-saat bersama Alika yang telah kusia-siakan begitu saja.

Teringat saat pertama kami bertemu, empat tahun lalu. Aku bertemu dengannya tak sengaja. Saat itu seorang pramusaji  menumpahkan minuman yang akan disajikannya padaku. 

Seketika basah semua jas yang kupakai untuk bertemu dengan klien penting. Rasanya sia-sia semua yang sudah kupersiapkan untuk pertemuan ini. Namun, aku tak bisa marah saat melihat pelaku yang telah mengacaukan semuanya ternyata begitu cantik, anggun dan menarik. Membuatku langsung terpesona padanya. 

Bukannya amukan marah atau caci maki yang kulontarkan, melainkan sebuah perkenalan. Kami saling berkenalan dan bertukar nomor ponsel. Tak kupedulikan lagi baju yang basah kuyup, juga pertanyaan klien saat meeting ketika melihat penampilanku. Pikiranku hanya tertuju pada Alika.

Setelahnya kami menjadi dekat, lebih tepatnya aku yang terus mendekatinya. Karena Alika tak begitu meresponku. 

Sampai suatu hari aku nekat mendatangi rumahnya yang sederhana. Berkenalan dengan seluruh keluarganya yang hangat, yang tak pernah kumiliki, dan melamarnya saat itu juga.

Ya, aku mantap menjadikan Alika Ibu dari anak-anakku kelak.

Alika tak menerimaku begitu saja kala itu. Ia merasa belum mengenalku dengan cukup baik. Maka ia meminta waktu untuk lebih mengenal dirikudan keluargaku. 

Dengan bangga aku memperkenalkan Alika pada Ibu. Kukira ia akan bahagia, melihatku membawa seorang wanita. Namun, bukanlah sambutan manis yang Alika dapat, melainkan caci maki darinya. 

Ibu bilang Alika tak pantas bersanding denganku. Padahal kondisi kami dulu tak ubahnya seperti Alika. Kekayaan yang aku miliki telah mengubahnya menjadi pongah.

"Sampai kapan pun Ibu tak setuju kamu menikah dengan wanita miskin itu, Galang!" ucap Ibu saat untuk kesekian kalinya aku meminta restu darinya.

"Memang kenapa jika dia miskin? Bukankah dulu kehidupan kita bahkan lebih susah dari Alika?" prostesku.

"Justru karena itu Galang, Ibu takut Alika hanya mengincar kekayaanmu saja. Kita pernah miskin, Ibu tak mau jatuh miskin lagi karena dia memanfaatkanmu!" terangnya, mencoba mempengaruhiku. Padahal alasannya barusan sama sekali tak berdasar. Alika tak akan mungkin melakukannya.

"Aku tetap akan menikahinya apa pun yang terjadi, Bu! Jika Ibu tak setuju, maka aku akan kabur bersama Alika!" ancamku padanya.

Mendengar ancamanku seketika membuat Ibu luluh. Tentunya ia takut aku akan pergi dan tak lagi menjadi mesin pencetak uang untuknya.

Maka aku dan Alika pun akhirnya menikah. Walau terpakasa Ibu akhirnya menyetujui pernikahan kami. Namun, ternyata Alika tetap harus membayar mahal restu Ibu. Karena walau telah resmi menjadi menantu, Ibu tetap berlaku kasar pada Alika.

****

Satria, sahabat serta rekanku di kantor datang menjenguk ke penjara. Padanya aku percayakan perusahaan selama menjalankan sisa hukuman.

"Bro, apa kabarmu?" sapanya saat pertama bertemu. Kubalas dengan senyuman lesu.

"Lang, perusahaan mengalami saat yang sulit tanpa hadirmu. Kamu benar-benar telah mengacaukan semuanya karena keputusanmu ini!" keluhnya. 

Satria selalu saja menyayangkan keputusanku memilih memasang badan dan dipenjara untuk kasus KDRT ini. 

Tapi aku bisa apa? Toh, memang aku punya andil besar atas pada kasus ini. 

Terkait ruginya masalah perusahaan, itu menjadi konsekuensi yang harus kuhadapi juga. Aku bahkan sudah tak peduli lagi dengan semua itu. Bagiku menebus kesalahan adalah yang utama.

"Aku tahu kamu pasti bisa mengatasi semua permasalahan perusahaan, Sat! Inilah saatnya perusahaan maju tanpa bayanganku. Saatnya kalian menunjukan taringnya, mampu bertahan walau tanpa Galang!" ucapku memberi semangat padanya. Menepuk pundaknya dengan bangga.

"Kau ini Lang-Lang! Harusnya saat ini kita bisa menikmati hasil tender dari Wirabuana. Namun karena keputusan sembronomu ini, sekarang kita harus berjuang dari nol lagi!" seloroh Satria lagi.

"Sudah, lupakan masalah perusahaan, kamu datang ke sini untuk melaporkan tugas yang kuberi untukmu, kan? Bagaimana hasilnya?" tanyaku mengalihkan topik pembicaraan.

"Beres ..., sudah kulakukan semua. Surat-surat berharga seluruh asetmu telah aman dari jangkauan tangan ibu tirimu. Namun aku tak bisa mengusirnya dari rumah itu. Dia terus berkeras ingin tetap tinggal di rumah itu!" lapornya lagi.

Ya, selain menjaga perusahaan aku pun memintanya untuk mengamankan semua asset yang kumiliki. 

Aku tak mau ular berbisa yang ada di rumah itu makin bertingkah saat aku tak ada. Beruntung aku punya teman yang bisa diandalkan seperti Satria. Maka walau aku ada di sini. Tapi aku tetap bisa memantau urusan lainnya di luar sana.

"Baguslah Sat. Terima kasih atas semua bantuanmu, ya! Aku sangat bersyukur kenal denganmu!" ucapku tulus.

"Tapi aku yang menyesal kenal denganmu yang bodoh ini, dan selalu saja membuatku kerepotan!" seloroh Satria, sambik mencebik. Dia memang suka bercanda.

"Lalu apa selanjutnya rencanamu setelah keluar dari penjara ini, Lang?" tanya Satria.

"Hah, rencana?"

"Ya, rencanamu untuk ibu tirimu dan menantu kesayangannya yang hilang?"

Sejenak aku terdiam, memikirkan rencana apa yang bisa aku buat. Namun, berada dalam penjara seperti ini membuatku tak bisa merancang rencana apapun. Apalagi Wulan sendiri hilang jejak. 

Tapi aku pastikan aku tak akan tinggal diam begitu saja agar mereka mendapat balasan yang setimpal.

"Nanti kuberi tahu setelah aku bebas. Kau akan membantuku kan, Sat?" 

Satria pun mengangguk mengiyakan.

****

Bersambung.

*****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status