Tiga bulan berlalu setelah kejadian Alika bunuh diri. Kini aku terpuruk mendekam dalam penjara. Hal yang sangat pantas kuterima atas semua yang telah kulakukan pada istriku itu. Walau aku tak melakukan tuduhan yang diberikan padaku, tapi aku akui karena dirikulah Alika sampai mengalaminya.
Hasil autopsi menyatakan bahwa Alika memang mengalami kekekerasan fisik ketika hidupnya. Parahnya lagi ternyata ia sedang mengandung anak kedua kami yang berusia delapan minggu saat itu.
Aku tak tahu apa Alika sudah mengetahui bahwa dirinya tengah hamil atau tidak saat memilih bunuh diri. Yang pasti hal ini membuatku makin merasa bersalah lagi. Ada dua nyawa yang menjadi korban ternyata.
Begitupun dengan hasil penyelidikan Alesha, dia mengalami kekerasan di punggung dan kakinya. Aku benar-benar tak bisa membayangkan bagaimana kondisi Alesha saat mengalami kekerasan tersebut.
Aku sangat yakin bahwa Ibu dan Wulanlah yang telah menyakiti Alika dan Alesha. Karena mereka sehari-hari terus memperlakukan Alika dengan semena-mena. Sepertinya mereka melakukan kekerasan itu ketika aku tak berada di rumah.Namun sayangnya aku tak memiliki bukti sedikit pun terkait semua ini. Nampaknya diriku terlalu dibutakan oleh rayuan Wulan dan mulut manis Ibu yang membuatku menutup mata atas semua perbuatan kasar mereka.
Sekarang semua tuduhan itu jatuh padaku. Sebagai seseorang yang paling memungkinkan melakukan tindak kekerasan. Aku juga tak punya alibi yang kuat untuk menyangkalnya.
Saat proses penyidikan dan penyelidikan Ibu berkelit dan malah melakukan drama seolah dia paling bersedih atas kematian Alika. Sedangkan Wulan, aku tak tahu dimana dia kini berada. Ia menghilangkan semua jejak yang ada tentang keberadaannya dalam hidupku.
Nampaknya percuma saja jika aku meminta polisi untuk menyelidiki mereka. Karena perbuatan mereka begitu bersih tanpa jejak pada Alika dan Alesha.
Setelah melalui proses yang panjang, kini aku harus menerima ketetapan hakim, yaitu, menjadi terdakwa atas kasus KDRT Istri dan anak sendiri dan harus menjalani hukuman selama dua tahun penjara.
Aku dengan lapang dada menerima semua ini sebagai penebus rasa bersalahku pada Alika juga Alesha. Bahkan sebenarnya hukuman ini tak dapat membalas apa yang telah aku sebabkan, sehingga Alika harus mengalami penderitaannya dan memilih bunuh diri. Betapa aku telah terlalu dzolim padanya. Rasanya pantas untuk mendapat yang lebih dari semua ini.
***
Selama di penjara, aku jalani hari hanya dengan meratapi diri. Menyesali semua yang sudah terjadi. Merindukan saat-saat bersama Alika yang telah kusia-siakan begitu saja.
Teringat saat pertama kami bertemu, empat tahun lalu. Aku bertemu dengannya tak sengaja. Saat itu seorang pramusaji menumpahkan minuman yang akan disajikannya padaku.
Seketika basah semua jas yang kupakai untuk bertemu dengan klien penting. Rasanya sia-sia semua yang sudah kupersiapkan untuk pertemuan ini. Namun, aku tak bisa marah saat melihat pelaku yang telah mengacaukan semuanya ternyata begitu cantik, anggun dan menarik. Membuatku langsung terpesona padanya.
Bukannya amukan marah atau caci maki yang kulontarkan, melainkan sebuah perkenalan. Kami saling berkenalan dan bertukar nomor ponsel. Tak kupedulikan lagi baju yang basah kuyup, juga pertanyaan klien saat meeting ketika melihat penampilanku. Pikiranku hanya tertuju pada Alika.
Setelahnya kami menjadi dekat, lebih tepatnya aku yang terus mendekatinya. Karena Alika tak begitu meresponku.
Sampai suatu hari aku nekat mendatangi rumahnya yang sederhana. Berkenalan dengan seluruh keluarganya yang hangat, yang tak pernah kumiliki, dan melamarnya saat itu juga.
Ya, aku mantap menjadikan Alika Ibu dari anak-anakku kelak.
Alika tak menerimaku begitu saja kala itu. Ia merasa belum mengenalku dengan cukup baik. Maka ia meminta waktu untuk lebih mengenal dirikudan keluargaku.
Dengan bangga aku memperkenalkan Alika pada Ibu. Kukira ia akan bahagia, melihatku membawa seorang wanita. Namun, bukanlah sambutan manis yang Alika dapat, melainkan caci maki darinya.
Ibu bilang Alika tak pantas bersanding denganku. Padahal kondisi kami dulu tak ubahnya seperti Alika. Kekayaan yang aku miliki telah mengubahnya menjadi pongah.
"Sampai kapan pun Ibu tak setuju kamu menikah dengan wanita miskin itu, Galang!" ucap Ibu saat untuk kesekian kalinya aku meminta restu darinya.
"Memang kenapa jika dia miskin? Bukankah dulu kehidupan kita bahkan lebih susah dari Alika?" prostesku.
"Justru karena itu Galang, Ibu takut Alika hanya mengincar kekayaanmu saja. Kita pernah miskin, Ibu tak mau jatuh miskin lagi karena dia memanfaatkanmu!" terangnya, mencoba mempengaruhiku. Padahal alasannya barusan sama sekali tak berdasar. Alika tak akan mungkin melakukannya.
"Aku tetap akan menikahinya apa pun yang terjadi, Bu! Jika Ibu tak setuju, maka aku akan kabur bersama Alika!" ancamku padanya.
Mendengar ancamanku seketika membuat Ibu luluh. Tentunya ia takut aku akan pergi dan tak lagi menjadi mesin pencetak uang untuknya.
Maka aku dan Alika pun akhirnya menikah. Walau terpakasa Ibu akhirnya menyetujui pernikahan kami. Namun, ternyata Alika tetap harus membayar mahal restu Ibu. Karena walau telah resmi menjadi menantu, Ibu tetap berlaku kasar pada Alika.
****
Satria, sahabat serta rekanku di kantor datang menjenguk ke penjara. Padanya aku percayakan perusahaan selama menjalankan sisa hukuman.
"Bro, apa kabarmu?" sapanya saat pertama bertemu. Kubalas dengan senyuman lesu.
"Lang, perusahaan mengalami saat yang sulit tanpa hadirmu. Kamu benar-benar telah mengacaukan semuanya karena keputusanmu ini!" keluhnya.
Satria selalu saja menyayangkan keputusanku memilih memasang badan dan dipenjara untuk kasus KDRT ini.
Tapi aku bisa apa? Toh, memang aku punya andil besar atas pada kasus ini.
Terkait ruginya masalah perusahaan, itu menjadi konsekuensi yang harus kuhadapi juga. Aku bahkan sudah tak peduli lagi dengan semua itu. Bagiku menebus kesalahan adalah yang utama.
"Aku tahu kamu pasti bisa mengatasi semua permasalahan perusahaan, Sat! Inilah saatnya perusahaan maju tanpa bayanganku. Saatnya kalian menunjukan taringnya, mampu bertahan walau tanpa Galang!" ucapku memberi semangat padanya. Menepuk pundaknya dengan bangga.
"Kau ini Lang-Lang! Harusnya saat ini kita bisa menikmati hasil tender dari Wirabuana. Namun karena keputusan sembronomu ini, sekarang kita harus berjuang dari nol lagi!" seloroh Satria lagi.
"Sudah, lupakan masalah perusahaan, kamu datang ke sini untuk melaporkan tugas yang kuberi untukmu, kan? Bagaimana hasilnya?" tanyaku mengalihkan topik pembicaraan.
"Beres ..., sudah kulakukan semua. Surat-surat berharga seluruh asetmu telah aman dari jangkauan tangan ibu tirimu. Namun aku tak bisa mengusirnya dari rumah itu. Dia terus berkeras ingin tetap tinggal di rumah itu!" lapornya lagi.
Ya, selain menjaga perusahaan aku pun memintanya untuk mengamankan semua asset yang kumiliki.
Aku tak mau ular berbisa yang ada di rumah itu makin bertingkah saat aku tak ada. Beruntung aku punya teman yang bisa diandalkan seperti Satria. Maka walau aku ada di sini. Tapi aku tetap bisa memantau urusan lainnya di luar sana.
"Baguslah Sat. Terima kasih atas semua bantuanmu, ya! Aku sangat bersyukur kenal denganmu!" ucapku tulus.
"Tapi aku yang menyesal kenal denganmu yang bodoh ini, dan selalu saja membuatku kerepotan!" seloroh Satria, sambik mencebik. Dia memang suka bercanda.
"Lalu apa selanjutnya rencanamu setelah keluar dari penjara ini, Lang?" tanya Satria.
"Hah, rencana?"
"Ya, rencanamu untuk ibu tirimu dan menantu kesayangannya yang hilang?"
Sejenak aku terdiam, memikirkan rencana apa yang bisa aku buat. Namun, berada dalam penjara seperti ini membuatku tak bisa merancang rencana apapun. Apalagi Wulan sendiri hilang jejak.
Tapi aku pastikan aku tak akan tinggal diam begitu saja agar mereka mendapat balasan yang setimpal.
"Nanti kuberi tahu setelah aku bebas. Kau akan membantuku kan, Sat?"
Satria pun mengangguk mengiyakan.
****
Bersambung.*****Akhirnya aku dapat menghirup udara bebas kembali, setelah menjalani satu setengah tahun hukuman penjara. Ya, aku memang bisa bebas lebih cepat karena mendapat remisi atau potongan hukuman. Alesha, dialah yang paling ingin aku temui saat ini. Maka tujuan pertamaku setelah bebas ini adalah rumah orang tua Alika dimana Alesha berada. "Kamu sudah bebas?" tanya Bapak yang kaget melihatku setelah ia membukakan pintu untuk melihat siapa tamu yang datang."Ya, Pak, aku sudah bebas!" jawabku dengan nada sopan. "Aku mendapat remisi hingga bisa bebas lebih cepat," lanjutku.Ia menatapku dengan tajam. Mungkin ia masih marah dan kecewa padaku karena telah menjadi penyebab anaknya bunuh diri juga melakukan kekerasan pada cucunya. "Aku ... ingin bertemu Alesha, Pak!" ucapku to the point. Tak dapat lagi kutahan rindu ini."Kamu masih berani bertemu dengannya, hah? Apa kamu tak malu?" sindirnya dengan keras sembari menatapku nyalang "Aku sangat merindukan Alesha, Pak! Izinkan aku bertemu dengannya
Hilya tiba-tiba memberikan buku itu padaku. Dengan perlahan aku menerimanya. Aku mencoba memperhatikan setiap inchi buku itu, membolak baliknya, tapi tak sanggup untuk membukanya."Awalnya akan kujadikan buku ini sebagai bukti untuk membebaskanmu, sekaligus menjebloskan pelaku sebenarnya ke penjara. Namun kuurungkan niatku, ingin tahu sejauh apa kamu akan melindungi mereka. Ternyata kamu cukup jauh melangkah dengan memasang badan demi mereka!" ucapnya sambil menatap mataku dengan tatapan yang seakan memandangku rendah."Sekarang aku berikan buku itu padamu, aku ingin kamu sendiri yang membongkar semuanya. Membeberkan kesalahan Ibu juga istri mudamu, demi nyawa kakakku."Aku hanya terdiam mendengarkan semua ucapan Hilya sambil terus memandangi sampul buku diary yang diberikannya. Buku itu bergambar seorang perempuan tengah menaiki ayunan di bawah sebuah tangkai pohon yang besar, yang mengingatkanku pada Alika yang mungkin selama ini selalu merasa kesepian."Bacalah, pastinya kamu tidak
___________20 Januari 2018Rasanya, aku butuh meluapkan semua rasa dalam hati. Melepaskan semua gejolak di dada yang terpendam. Maka aku memilih meluapkan semuanya dalam buku catatan ini. Semoga aku bisa lebih kuat menghadapi semua ujian yang terjadi setiap harinya di rumah ini.Hari ini, seperti hari biasanya, kembali Ibu berulah padaku. Entah kenapa juga ia selalu menganggap salah semua yang aku lakukan.Tadi siang Ibu memintaku untuk membelikan bakso. Tapi setelah aku beli ia malah bilang tidak enak dan meminta aku untuk membelikan lagi di tempat yang lain.Sebenarnya tidak masalah bagiku pulang pergi membelikannya, tapi masalahnya Ibu tak mengizinkan aku mengendarai motor sama sekali. Ia menyuruhku untuk berjalan kaki.Mending kalau Ibu mau menjaga Alesha saat aku pergi. Tapi ia tak mau dan malah menyuruhku membawanya. Terpaksa aku berjalan kaki menggendong Alesha sejauh hampir tiga kilometer.Tapi hari ini aku tetap merasa bahagia karena Mas Galang bilang bekal masakan yang aku
"Tapi bagaimana dengan Alika, Bu? Dia pasti tidak mengizinkan!""Ah, anak itu biar saja, dia nanti juga mengerti. Laki-laki menikah lagi tak perlu izin istri pertama, kok!" kilahnya."Tapi aku tidak menyukai Wulan, Bu!" "Kamu ini tidak normal apa, Galang? Wulan itu cantik, semok, pintar, baik, apa lagi yang kurang darinya? Dia pasti bisa menyenangkan hatimu!" terangnya bersemangat. Seperti seorang sales yang memasarkan produknya.Memang yang diucapkan Ibu ada benarnya. Walau aku belum menyukai Wulan tapi aku mengakui semua yang Ibu katakan barusan.Lalu setelah hari itu Ibu terus berusaha mendekatkan aku dengan Wulan. Membuatnya terus saja menempel denganku. Wulanlah yang menyiapkan semua keperluan harianku. Sedang Alika dibuat sibuk dengan urusan rumah tangga lainnya."Kamu mau 'kan menikahi Wulan?" tanya Ibu lagi untuk kesekian kalinya saat aku tengah mengecek pekerjaan melalui ponsel di ruang tengah.Tak kujawab pertanyaannya. Hanya terus saja fokus menatap ponsel."Galang, buatla
_______________8 FebruariDear Diary!Hari ini hatiku hancur berkeping-keping. Pernikahan itu tetap terjadi. Mas Galang dengan teganya menikahi Mba Wulan tanpa memikirkan perasaanku.Berulang kali aku meminta cerai. Berulang kali juga dia menolaknya. Katanya Mas Galang akan tetap mencintaiku sampai kapan pun, tapi kenapa ia malah menyakitiku seperti ini?Mas, kau tahu, sakit hati ini tak tertahan kan lagi. Lebih baik kau mencampakkanku dari pada aku harus melihatmu dengan wanita lain, dan hidup tersiksa seperti ini!________10 Februari.Seperti dugaanku, Mba Wulan makin bertingkah setelah resmi menikah dengan Mas Galang. Ia menganggap dirinya nyonya di rumah ini. Sikapnya bahkan lebih semena-mena dari pada Ibu.Kesal!Hidupku kini layaknya neraka __________20 FebruariAku sedih ... Ibu memberhentikan Mba Sum, pembantu kami satu-satunya. Mba Sum bagiku bukan hanya pembantu di rumah ini, tapi juga temanku. Karena hanya dia yang selalu bersikap baik padaku.Ibu bilang tak perlu paka
Saat itu jujur aku tidak tahu bahwa yang dimaksud adalah memohon-mohon dan bersujud seperti seorang peminta-minta.Kukira hanya meminta biasa seperti seorang anak yang membutuhkan uang pada orang tuanya."Kamu benar-benar jahat, Mas!" ucapnya sambil menatapku dengan tatapan yang amat sendu. "Alika, ini semua demi kebaikan kita bersama, Wulan pasti bisa mengatur keuangan keluarga kita dengan baik!" bujukku, berharap ia bisa menerimanya."Kebaikanmu, Mba Wulan dan Ibu lebih tepatnya, Mas!" ucapnya sambil berlalu pergi meninggalkanku begitu saja."Alika ..., Alika ...!" panggilku ingin membujuknya lagi. Tapi melihat ia yang telah hilang dari pandangan, membuatku mengurungkan niat. Toh Alika nanti juga akan kembali seperti biasa lagi, seperti hari biasanya ketika ia kesal padaku. Sekarang ada banyak pekerjaan yang lebih penting dari masalah ini.Semenjak hari itu memang aku tak pernah memberikan uang sepeser pun lagi padanya. Kuanggap Wulan telah memberikannya pada Alika sesuai yang ia
Kini aku berada di depan rumah besar yang menyimpan banyak kenangan itu. Rumah yang kubangun dari nol dan menjadi saksi perjuangan. Rumah yang pernah sangat kubanggakan karena menjadi simbol keberhasilanku berubah dari seorang Galang Gunawan anak tukang becak, menjadi Galang Gunawan pemilik salah satu perusahaan kontraktor di kota ini.Tapi rumah itu juga yang ternyata menjadi saksi betapa kejamnya perlakuanku juga perlakuan ibu tiri dan Wulan, mantan istri keduaku pada Alika dan Alesha.Aku perlahan memasuki rumah yang kini nampak seperti tak berpenghuni itu. Membuka pintunya yang ternyata tak terkunci. Kulihat sekeliling rumah yang tampak sangat berantakan dan tak terurus. Banyak barang dan furniture yang dulu ada kini hilang entah kemana."Ibu..., Ibu ...!"Panggilku, mencari sosok yang sangat ingin kutemui itu. Betapa aku penasaran akan kondisinya sekarang. Bagaimana dia bisa bertahan hidup saat aku di penjara, sementara tak ada siapa pun yang menjamin hidupnya?Tiba-tiba keluarla
"Mas ..., masa Ibu menghentikan Mba Sum sih!" teringat rengekan Alika suatu hari di ruang kerjaku,l saat Ibu memutuskan memberhentikan asisten rumah tangga kami."Ya, Ibu tadi sudah bilang padaku. Agar biaya rumah tangga kita tak membengkak memang." sahutku sambil terus fokus pada laptop dihadapanku."Terus gimana dengan kerjaan rumah dong, Mas?""Tinggal kerjakan bersama-sama, lah! Kamu, Wulan dan Ibu, gampang kan?!" jawabku, tanpa sedikit pun memalingkan mata dari pekerjaan."Iya, mending kalau mereka memang mengerjakannya. Tapi ini semua dibebankan padaku, Mas!" protesnya padaku sambil menghentakkan kakinya."Tinggal, dibagi kerjaannya dong! Kalian kan sudah besar. Masa seperti itu saja tak bisa? Ah ... sudah-sudah, Pekerjaanku banyak sekali ini. Jadi tolong jangan ganggu aku dulu!" Aku pun sekonyong-konyong meminta Alika pergi begitu saja. Tanpa mau mengerti arti keluhan Alika kala itu.Ya, ternyata memang kenyataannya Alikalah yang membersihkan seisi rumah setiap harinya seorang