Share

7

Hilya tiba-tiba memberikan buku itu padaku. Dengan perlahan aku menerimanya. Aku mencoba memperhatikan setiap inchi buku itu, membolak baliknya, tapi tak sanggup untuk membukanya.

"Awalnya akan kujadikan buku ini sebagai bukti untuk membebaskanmu, sekaligus menjebloskan pelaku sebenarnya ke penjara. Namun kuurungkan niatku, ingin tahu sejauh apa kamu akan melindungi mereka. Ternyata kamu cukup jauh melangkah dengan memasang badan demi mereka!" ucapnya sambil menatap mataku dengan tatapan yang seakan memandangku rendah.

"Sekarang aku berikan buku itu padamu, aku ingin kamu sendiri yang membongkar semuanya. Membeberkan kesalahan Ibu juga istri mudamu, demi nyawa kakakku."

Aku hanya terdiam mendengarkan semua ucapan Hilya sambil terus memandangi sampul buku diary yang diberikannya. Buku itu bergambar seorang perempuan tengah menaiki ayunan di bawah sebuah tangkai pohon yang besar, yang mengingatkanku pada Alika yang mungkin selama ini selalu merasa kesepian.

"Bacalah, pastinya kamu tidak tahu 'kan ada buku diary ini? Kak Alika menuliskan semuanya dalam buku itu," ucap Hilya lagi.

Lagi-lagi aku hanya terdiam. Tak dapat berkata apa-apa. Sedikit menyesali diri karena ketidaktahuanku akan banyak hal tentang Alika.

"Aku minta kamu tak lagi melindungi pelakunya. Dan berjanjilah padaku kamu akan memberikan hukuman yang setimpal pafa mereka!" tegasnya.

Membuatku seketika mengangkat kepala ini. Menatap mata Hilya dalam.

"Aku tekankan padamu Hilya. Aku membiarkan diriku mendekam di penjara bukan untuk melindungi siapa pun. Namun, untuk menebus rasa bersalahku pada Alika," tegasku. Kurasa Hilya harus tahu kenapa aku memilih melakukan semuanya

"Baguslah kalau begitu. Kamu memang pantas melakukannya. Tapi kita tak bisa membiarkan pelakunya bebas begitu saja kan? Maka aku memintamu untuk membongkar semuanya secepatnya!" tuntut Hilya.

Kuhembuskan nafas berat. Bukan. Bukannya aku tak mau melakukannya. Namun membiarkan mereka menikmati hari di balik jeruji besi, rasanya tak sebanding dengan sakit yang pernah dirasakan Alika.

"Aku punya cara sendiri untuk membalas semuanya. Penjara terlalu mudah untuk membalas perbuatan kejam mereka, pada Alika," ucapku pasti.

"Biarkan aku membalasnya dengan caraku sendiri!" kataku lagi, meyakinkannya.

Hilya nampak berpikir dan menimbang-nimbang.

"Bagaimana aku bisa yakin kamu akan memegang ucapanmu, padahal selama ini kau adalah sekutu mereka?"

"Tidakkah apa yang telah kulakukan selama ini, menebus kesalahan dengan menghabiskan waktu di penjara, menjadi bukti akan rasa bersalahku?" tanyaku balik padanya.

"Siapa tahu saja kamu masih Galang yang dulu!" seru Hilya sambil mencebik.

"Percayalah padaku, demi Alika juga Alesha, aku akan memenuhi janji yang kubuat di hadapan makam Alika ini!" ucapku dengan pasti, sambil kembali memandangi nisan Alika.

****

Selepas pulang dari makam Alika tadi, aku memilih bermalam disebuah hotel. Masih belum waktunya untukku pulang kerumah. Aku masih ingin menikmati kesendirianku sembari mengatur rencana kedepannya.

Teringat akan buku yang diberikan Hilya tadi siang. Gegas kuambil dan kembali memandanginya. Kupeluk erat buku diary yang sudah nampak lusuh itu. Seakan itu adalah sosok Alika yang bersamaku.

Sejujurnya aku merasa takut untuk membacanya. Takut untuk mengetahui kenyataaan yang lebih menyakitkan lagi tentang Alika semasa hidupnya.

Tapi, mau tak mau harus kulakukan, demi tahu apa yang sebenarnya dialami oleh Alika dan Alesha sebelumnya.

Akhirnya kuberanikan diri untuk membukanya.

Tanpa sadar air mataku menetes bahkan saat baru saja kubuka halaman pertamannya. Di sana tertulis dengan indah pada halaman awal.

________

'Buku ini punya Alika Rahmadita.

Istri dari Galang Gunawan

Ibu dari Alesha Putri Gunawan

Aku sangat bersyukur bisa menjadi bagian dari keluarga ini, karena di sinilah aku mendapat kebahagiaanku.

Akan kuhadapi semua ujian dan kesulitan yang ada dihadapan. Karena 'ujian yang tidak membunuhmu, maka akan menguatkanmu!

Fighting Alika!'

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status