Aku tahu. maafakan aku. Penyaki ini seperti karma untukku, karena mengkhianatimu. Andai kamu tahu bagaiman sedihnya aku saat kamu memutuskan hubungan kita." Raya menghela napas berat, dia menatap Laksa yang hanya diam saja hanya menatapnya dengan datar.
"Aku depresi dan mengurung diri di dalam kamar, aku pingsan di kamar tanpa seorangpun tahu, untung salah satu temanku kebetulan datang ke kamarku dan menemukanku, dialah yang membawaku ke rumah sakit," lanjut wanita itu lagi. Bahkan setelah Raya selesai bicara, Laksa hanya diam dan seolah tak peduli membuat wanita itu kecewa, tapi dia bukan orang yang mudah putus asa. "Dokter bilang aku menderita magh parah dan juga anemia." "Kenapa tidak makan?" Raya langsung tersenyum mendengar pertanyaan Laksa, laki-laki itu pasti khawatir padanya, dia menatap dengan binar penuh harap laki-laki yang masih sangat dia cintai itu. "Karena aku memiIbunya baru saja ingin menikmati kebahagiaan, sebentar lagi akan menikah, kenapa hal ini bisa terjadi. Penampilannya sungguh sangat menyedihkan, tangan dan bajunya penuh dengan darah sang ibu yang sudah mengering, hilang sudah sosok tampan dan berwibawa yang biasa dia tampilkan, tak ada niatan Laksa untuk sekedar membersihkan diri, dia hanya ingin menemani sang ibu di sini, dan berdoa untuk keselamatannya. “Kak, bagaimana kondisi ibu?” Laksa mengangkat kepalanya melihat sang istri yang berjalan ke arahnya dengan penuh kecemasan. “Apa yang kamu lakukan di sini Luna, Dio dengan siapa?” tanya Laksa yang tanpa sadar meninggikan suaranya. Luna menghela napas, berusaha tidak ambil pusing dengan sikap Laksa, dia tahu suaminya saat ini sedang kalut dan sangat khawatir. “Ada dua orang suster yang biasa menjaganya, juga beberapa petugas kepolisian yang berjaga.” Laksa menghembuska
Dari semua tamu yang berkunjung untuk menjenguk putranya yang sedang sakit, Luna tak pernah menyangka kalau wanita paruh baya itu salah satunya. Bukan... bukan untuk mendoakan putranya supaya lekas membaik, Luna tak senaif itu untuk menyambut baik kedatangan wanita itu, apalagi saat perlahan wanita itu mengeluarkan pistol dari dalam tas tangan yang dari tadi disandangnya. Panik. Luna langsung berdiri dan menggunakan tubuhnya untuk mendekat Dio dengan erat. Dorr! Bunyi letusan senjata itu membuat Luna memejamkan matanya, saat ini yang ada di dalam otaknya adalah bagaimana menyelamatkan sang anak, dia berharap ada orang yang mendengar bunyi tembakan itu dan membantunya. Dorr! Tembakan kedua meletus lagi, dia makin memeluk sang putra erat, jagoan kecilnya itu mulai menangis mungkin dia ketakutan mendengar suara tembakan itu. Luna juga ketakutan, seumur hidup dia hanya pernah menyaksikan kejadi
Baik Laksa maupun Luna saling pandang melihat orang yang berjalan ke arah mereka berada. “Maaf Ibu sudah mengetuk pintu beberapa kali tadi tapi sepertinya kalian tidak mendengar.” Wanita paruh baya yang masih cantik itu untuk pertama kalinya menatap sang cucu dengan pandangan sayang. “Bagaimana keadaannya?” tanyanya pada Luna yang menerima bingkisan buah yang dia bawa. “Sudah lebih baik, Bu, hanya tinggal menunggu pemulihannya saja.” Laksa hanya menatap sang ibu, lalu berdiri mempersilahkan sang ibu untuk duduk di kursi yang dia tempati tadi. Luna tersenyum memandang hal itu, setidaknya Laksa tidak menunjukkan sikap antipati pada sang ibu, meski sikapnya masih terkesan kaku, tapi itu sangat wajar. “Dia mirip Laksa saat kecil,” gumam sang ibu seperti bicara pada dirinya sendiri. Luna kembali menoleh pada Laksa, suaminya itu terlihat pura-pura tidak mendenga
“Apa kita bisa bicara sambil duduk saja,” kata sang dokter yang mengarahkan pasangan orang tua itu untuk duduk di sofa. Luna menoleh pada ranjang Dio, dan dia tersenyum penuh terima kasih pada salah satu perawat yang menemani putranya itu. Laksa mengenggam tangan sang istri dengan erat seolah ingin mencari kekuatan dari tangan yang terasa dingin itu. Baik Laksa maupun Luna bukan pribadi yang lemah, terutama beberapa waktu ini keduanya telah banyak merasakan kerasnya hidup, tapi sebagai orang tua tentu keduanya tak akan sanggup melihat buah hati tersayangnya terbaring lemah tak berdaya. “Mohon maaf kalau membuat Bapak dan Ibu menunggu dengan cemas,” kata sang dokter dengan senyum sopan, lalu mengambil amplop lebar dan mengeluarkan kertas dari dalamnya. “Dari hasil test yang telah kami lakukan anak Dio menderita gejala penyakit roseola, tapi dengan pengobatan dan juga istirahat cukup, Dio bisa sembuh sepe
Luna menggeleng. “Aku sengaja menunggu kakak tadi, ku kira akan pulang lebih cepat.” Laksa memandang Luna penuh rasa bersalah. “Maaf tadi ada sedikit masalah dan ibu juga meminta aku mampir ke rumahnya sebentar, dia juga sduah tahu kalau Dio dirawat di ruamh sakit.”“Bukan masalah, bagaimana pertemuan tadi?” tanya Luna yang memang sudah penasaran dengan pertemuan hari ini. “Semua keluarga ibu berkumpul tadi dan yah... mereka mau tak mau harus setuju dengan rencana pernikahan itu.” “Mau tak mau? Jadi terpaksa?” “Bukan terpaksa, maksudku mereka tak bisa bicara banyak, mereka juga telah lama hidup tanpa saling mempedulikan, ke sana hanya sebagai formalitas saja, apalagi ibu juga sudah menentukan tanggal pernikahannya, tanpa campur tangan keluarga.” “Ibu sepertinya tidak sabar untuk segera menjadi istri om Hardi.” Laksa mengedikkan bahunya. “Saudara ibu sebenarnya menyayangkan rencana ibu yan terkesan buru-buru, mereka
Laksa sampai di rumah sakit tepat pukul dua siang. kelelahan jelas terpancar dari wajahnya yang kusut, padahal dia pergi bersama seorang sopir yang mengantarnya. Drama keluarga dan juga hubungannya dengan sang ibu yang tidak sehat memicu kelelahan ini, mungkin benar kata Luna dia harus berusaha melupakan kesalahan sang ibu di masa lalu, meski Laksa akui itu tak akan mudah. Laksa membuka pelan pintu ruang rawat Dio, takut kalau putranya itu sedang tertidur dan kaget mendengar suara pintu yang terbuka, tapi perkiraan Laksa salah jagoan kecilnya itu sekarang sedang sibuk menggigiti mainannya, di sampingnya Luna memandang sang anak dengan senyum merekah. Ada kehangatan yang merambat di dada Laksa saat melihat pemandangan indah itu dan seketika mengangkat semua rasa tak nyaman yang sejak tadi memeluk erat dirinya. “Papa sudah pulang, dek,” kata Luna pada sang anak yang ditanggapi bayi kecil itu dengan memandang sang ayah, lalu melanjutkan kembali k