Porsche hitam itu melaju cepat meninggalkan halaman rumah mewah yang dijaga oleh beberapa satpam.
Sang pengemudi hanya menatap lurus ke depan dengan pandangan kosong, ada amarah yang ingin dia salurkan, tapi dia sangat sadar kalau melajukan mobilnya sekencang ini akan membahayakan dirinya dan juga orang lain, dia bukan lagi anak SMA yang suka balapan liar.“Sial,” makinya kesal.Dipukulnya kemudi itu dengan marah. Malam yang merambat naik membuat jalanan sedikit lengang, apalagi ditambah gerimis yang sejak sore mengguyur kota ini, membuat suasana makin sepi.Laksa terus saja mengemudikan mobilnya, entah akan ke mana laki-laki itu, yang jelas Laksa hanya ingin sekedar menjauh, menghindar sejauh mungkin dari Luna.Setelah satu jam mobil mewah itu melaju tak tentu arah, Laksa akhirnya berhenti tepat di depan sebuah jembatan panjang yang juga tampak sepi.Sejenak dia termangu, terlalu bergelut dengan campur aduk perasaan, membuat Laksa tak sadar ke mana dia mNah lho, Luna harus jawab apa coba, kenapa laki-laki satu ini jadi sensitif, padahal tadi dia biasa saja menggoda assisten rumah tangga yang masih muda. “Heran saja, setelah Mas Dirga tiba-tiba ngilang tahu-tahu hari ini muncul lagi.” “Aku bukan tiba-tiba ngilang, tapi sedang sibuk dengan pekerjaanku.” “Jadi sekarang sudah selesai pekerjaannya?” “Belum lah.” Lah kok?“Dia mau sekalian numpang sarapan, biasalah belum ada yang ngurusin setiap hari.” Luna menoleh ke belakang dan mendapati Laksa menggerakkan kursi rodanya dengan Dio yang ada dalam pangkuannya. “Astaga, nanti Dio jatuh bagaimana.” Luna langsung mengambil putranya yang ada di dalam pangkuan sang ayah, seperti mengerti kondisi sang ayah putra kecilnya itu hanya diam sambil memainkan tangannya. “Tidak akan jatuh, dia anak yang tenang,” kata Laksa sambil tersenyum manis menenangkan. “Biar aku gendong saja,” kata Dirg
Luna merasa Laksa mendjadi lebih pendiam akhir-akhir ini, bahkan dia lebih banyak menghabiskan waktunya di ruang kerja daripada menemani Luna dan putra mereka seperti biasanya. Di minggu pertama Luna masih bisa maklum, Laksa memang masih harus menyesuaikan diri dengan ritme kerjanya yang baru, dari dulu memang dia pekerja keras tapi sekarang dengan beban pekerjaan yang tidak sedikit sudah pasti waktu yang dibutuhkan lebih banyak. Masalahnya Luna juga tak ingin Laksa mengabaikan kesehatannya sendiri. “Kak,” panggil Luna sambil melongokkan kepalanya di ruang kerja suaminya. “Masuk, Sayang tidak dikunci kok.” Luna langsung masuk dan meletakakan secangkir teh dan makanan ringan di atas meja kecil. “Aku bawa makanan kecil buat kakak.” “Terima kasih, tarus saja di situ nanti aku makan,” kata Laksa tanpa mengangkat kepalanya. Luna menghela napas dalam, suaminya sudah bekerja sejak sore tadi dan bahkan makan malam Luna ju
Sore ini begitu indah memang, terlalu indah malah untuk membicarakan sebuah perpisahan. Laksa tak ingin terlihat seperti anak kecil yang tantrum begitu keinginannya tidak tercapai, tapi sebagai seorang anak dia 5tentu saja tak terima dengan keputusan sepihak orang tuanya ini. “Papa sebenarnya ingin menyampaikan secara langsung tapi dia tahu kalian pasti akan bertengkar lagi jika bicara. Dengar, Nak ini bukan berarti papamu akan meninggalkanmu sendiri, dia masih akan memantau, kamu bisa menghubunginya kapan saja yang kamu inginkan.” “Apa mama tidak ingin dekat dengan putraku lagi, Luna pasti akan sangat membutuhkan bantuan mama untuk menjaganya,” kata Laksa berusaha sekali lagi untuk menggoyahkan keputusan orang tuanya.” “Mama menyayangi kamu, Luna juga Dio, tapi mama harus memilih, di sana mama juga berharap bisa mengobati rasa bersalah mama pada opa dan mendapatkan pengobatan yang lebih baik.” “Begitu, jadi keputusan kalian tidak bisa diubah?
Papa dan mama akan tinggal diluar negeri. Beberapa detik berlalu ruang makan yang biasanya memang sepi itu makin terasa sepi dan mencekam saat mendengar kalimat yang terlontar dari bibir sang mama. Rasa marah itu tiba-tiba naik dan menguasai hati Laksa, betapa egoisnya mereka meninggalkannya sendiri di sini dengan semua beban yang tertinggal, Laksa tahu sang mama memang sedang sakit dan butuh penanganan ekstra untuk mengembalikan kesehatannya, apalagi ditambah rasa bersalah karena kepergian sang kakek yang begitu tiba-tiba, tapi bukan berarti mereka harus lepas tangan begitu saja. Laksa bahkan tidak memiliki orang-orang yang bisa dipercaya untuk membantunya mengendalikan ini semua, hanya Dirga yang bisa dia andalkan, tapi Dirga juga punya pekerjaan sendiri dan semua orang juga tahu kalau sepupunya itu bersifat angin-anginan. “Mama dan papa minta maaf, Nak, bukan tidak mau membantumu tapi ini sudah keputusan kami berdua, kami akan pergi setel
“Opa percaya pada kakak, dia tak mungkin memberikan kepercayaan pada kakak untuk memimpin hotel jika kakak tak mampu, kakak hanya harus membuktikan semuanya.” “Kakak siap untuk keluar?” “Jangan tinggalkan aku.” Luna mengangguk, tentu saja dia akan selalu ada di samping suaminya yang sedang rapuh dan mudah hancur. Belum kering tanah merah sang kakek, sua hari kemudian terjadi kekacauan di usaha yang bernaung di bawah Sanjaya Grou, meski usaha ini adalah murni milik peribadi artinya bukan perusahaan terbuka yang siapa pun bisa membeli sahamnya, tapi tetap saja banyak investor yang tidak begitu percaya ketika surat wasiat Tuan Besar Sanjaya menunjuk Laksa untuk menggantikan sang kakek sebagai direktur utama, alih-alih ayahnya. “kenapa bukan papa yang menjadi direktur utamanya,” protes Laksa pada sang ayah. “Itu sudah keputusan opa, jadi jalankan dengan baik jangan sia-siakan kepercayaannya.” “ Tapi Pa, apa papa tidak
Berita itu langsung menyebar bak jamur di musim penghujan, bahkan siapa sumber beritanya pun masih belum jelas. Pihak keluarga masih belum memberikan konfirmasi terkait hal itu, sekali lagi rumah keluarga Sanjaya menjadi sarang para wartawan yang ingin tahu kebenaran hal itu. Luna memeluk suaminya erat, laki-laki itu bahkan tidak menangis, tapi dari sorot matanya Luna merasakan kesedihan yang dalam. Mungkin dia menyesali semua kejadian ini, dirinya yang begitu ceroboh sehingga mengalami kecelakaan dan sekarang hanya terduduk tak berdaya di kursi roda. Sedangkan sang mama menangis dalam dekapan sang papa, kesedihan berlumur sesal mengisi hati mereka, tak ada satu pun orang yang tahu kapan ajal akan menjemput. “Kalau saja aku tadi lebih perhatian pasti sekarang papa masih bisa diselamatkan,” rancau sang mama penuh sesal. Bambang Sanjaya, tak bisa berkata apapun bahkan untuk mengucapkan kalimat penghibur, otaknya seakan stak tak mampu m
“Halo anak ganteng papa, maaf ya sering ninggalin adek,” kata Laksa saat sudah bersama putranya.“Apa dia tadi rewel, Ma?” kali ini Lunalah yang bertanya. “Tidak Dio anak yang anteng tidak rewel sama sekali,” sahut sang mama dengan senyum lebar di bibirnya.“Mama istirahat saja, biar Dio sama aku,” kata Laksa yang sedikit cemberut mendengar itu semua, tapi dia lalu mengangguk. “Ya sudahlah mama mau lihat opa dulu.” “Opa kenapa?” tanya Laksa penasaran. “Tadi mengeluh kurang enak badan katanya.” Sang mama bangkit lalu menuju kamar sang kakek tapi belum juga dia sampai separuh perjalanan terdengar teriakan dari kamar sang kakek, mereka langsung berlarian ke kamar sang kakek. “Tuan besar sesak napas, Bu, sebaiknya harus segera di bawa ke rumah sakit sekarang juga,” kata suster yang memang khusus dibayar untuk merawat sang kakek. Lagi dan lagi kejutan menerpa keluarga ini, hal tak mengenakkan kembali
Tidak ada yang berbeda dengan sikap Laksa setelah kematian Raya. Luna mendudukkan dirinya di atas ranjang kamar mereka yang baru, dia masih memperhatikan suaminya yang sedang melatih kakinya untuk berjalan menggunakan pegangan yang memang khusus untuk Laksa. Kaki Laksa yang sudah bisa diajak kerja sama membuat Luna tidak perlu lagi memapah suaminya itu, Laksa juga tidak ingin diperlakukan seperti orang invalid. “Kakak sudah satu jam berlatih jangan terlalu lama, nanti kecapekan malah tidak baik.” “Iya sebentar lagi, aku ingin lekas bisa berjalan seperti dulu.” Kali ini Luna tidak ingin mengalah dia akan bersikap tegas. “Sudah cukup, kak, kakak istirahat dulu,” katanya tak terbantah, sebagai istri tentu saja Luna ingin Laksa cepat sembuh, tapi bukan berarti harus memaksakan diri seperti ini. Laksa lalu mengangguk dan dengan dibantu Luna duduk di atas sofa pendek dalam kamar mereka. “Kapan kakak akan pergi ke pemakaman Raya?
“Aku atas nama keluarga minta maaf, tapi ada yang harus aku berikan padamu.” Laksa menutup ponselnya dan menyandarkan punggungnya dengan lelah. “Ada apa, Kak, kita tidak langsung pulang?” tanya Luna. “Adit mau ke sini.” Laksa memandang Luna dalam. “Apa aku jahat kalau sedikit senang dengan kematian Raya?” tanya Laksa bimbang. Sejujurnya Luna tak tahu harus menjawab apa, disatu sisi dia memang lega, tidak ada lagi orang yang merecoki rumah tangganya, tapi sebagai manusia dia juga masih memiliki empati pada seseorang yang sedang kesusahan di luar sana. “Kakak hanya sedang bingung saja,” kata Luna akhirnya. “Akhirnya aku menemukan kalian,” Luna menoleh pada suara dari jendela mobil. “Ada apa sebenarnya, bukankah kamu harusnya membantu mengurus jenazah Raya?” “Bolehlah kita bicara berdua?” tanya Adit pada Laksa, dan menoleh pada Luna dengan tatapan memohon, tapi sepertinya Laksa sedang keras kepala dan tak ingin menga