Share

BAB 3

Author: Yuli Zaynomi
last update Last Updated: 2022-09-16 12:42:20

Perusuh

"Oh iya, Bude. Tadi mau Mala masukkan ke rumah malah Kinanti keburu rewel," jawab Mala dengan nada sebiasa mungkin. Wajah Rosa terlihat kesal dengan kenyataan di depannya. Padahal di dalam hatinya dia sudah menebak bahwa kedua tamu tadi membawa uang santunan untuk Mala dan anaknya. 

"Perasaan tadi aku masuk nggak ada bungkusan itu di depan!" ucapnya sambil menjatuhkan bobotnya di atas sofa. Dengan santainya dia duduk dengan mengangkat kedua kakinya. Tangannya lincah memainkan ponsel yang  bulan lalu dibelikan oleh suami Mala. Tentu saja dengan perdebatan alot karena setahun yang lalu juga dia meminta dibelikan ponsel oleh sang kakak. 

"Mbak. Mereka nggak ngasih apa gitu?" Pertanyaan tanpa rasa malu itu meluncur dari mulut gadis yang masuk kuliah semester tiga itu. Mala kembali melayangkan tatapan kesalnya pada sang adik ipar. 

"Memangnya kamu mengharapkan dia bawa apa, Ros? Kok dari tadi keliatannya ngarep banget mereka bawa sesuatu yang bisa kamu manfaatkan?" Pertanyaan menohok dari Mala membuat wajah cantik Rosa memanas. Dia merasa tersinggung meski dalam hatinya berkata tuduhan Mala benar adanya. 

"Maksud Mbak Mala apa? Kok bahasanya gitu amat? Gini-gini aku juga adik Mas Bayu. Aku berhak tahu juga, Mbak!" bentaknya dengan suara cukup keras. Bude Rumi menghampiri ruangan tempat Mala dan Rosa terlibat sedikit perseteruan. 

"Ada apa ini? Bukannya siap-siap buat acara nanti malam malah pada cenggrengan," ucapnya dengan logat khasnya. 

"Ros, kebetulan kamu di sini. Bantuin Bude kupas bawang di belakang ya? Mala biar disuruh istirahat dulu. Dari tadi banyak tamu, pasti dia kelelahan. Apalagi Kinanti sudah kelihatan ngantuk itu." Bude Rumi menunjuk ke arah Kinanti dengan dagunya. Rosa terlihat mencebik dengan perintah yang ditujukan padanya. 

"Maaf, aku sibuk. Lagi ngerjain tugas kuliah," ucapnya sambil berlalu. Bude Rumi tak menanggapi kalimatnya. Dia membiarkan Rosa pergi segera dari rumah Mala. Tetapi kali ini dia ingin sedikit bermain dengan gadis nakal itu. 

"Ini amplopnya, Mal? Banyak sekali." Sengaja Bude Rumi mengeraskan kalimatnya agar Rosa mendengar. Benar sekali, Rosa yang belum berjalan jauh itu berhenti dan berbalik. Wanita itu paham dengan watak adik ipar Mala. 

"Amplop? Amplop apa, Mbak?" Matanya berbinar tanpa terkendali. Dia mendekati Bude Rumi dan kakak iparnya. Matanya sibuk menelisik ke berbagai arah. 

"Lho katanya sibuk ada tugas kuliah? Kok balik?" tanya Bude Rumi. Rosa menarik sudut bibirnya sehingga terlihat menyeringai. Dia tak menjawab pertanyaan dari wanita bertubuh gempal itu. 

"Amplop yang dibagikan buat orang yang ikut tahlil sudah diisi semua ini?" Bude membalikkan segepok amplop di depan Rosa. Gadis itu jelalatan melihat tebalnya amplop yang sudah disini uang oleh kakak iparnya. 

"Sudah, Bude. InsyaAllah nggak kurang," ucap Mala sambil menggendong sang putri masuk ke kamar. 

"Buang-buang uang saja. Memangnya nggak sayang uang buat acara gituan? Mending ditabung buat makan kalian nanti. Malah dibagi-bagikan orang nggak jelas gitu. Apalagi kalau yang doa nggak ikhlas. Apa nggak mubadzir?" ucapnya dengan ketus. 

"Jangankan orang lain yang nggak ikhlas mendoakan. Lah wong keluarga sendiri saja kadang ada yang nggak ikhlas. Bahkan sama saudara sendiri saja perhitungan. Minta bayaran juga, boro-boro ngasih sumbangan. Malah yang ada minta disumbang. Pulang-pulang minta berkat ini itu. Emang makin banyak saja orang nggak tahu malu," ucap Bude Rumi dengan kalimat penuh penekanan. Rosa merasa kalimat sindiran itu memang ditujukan untuknya. Tak lama, dia kabur daripada menjadi bulan-bulanan wanita itu. 

"Dasar bocah edan. Kalau anakku kelakuannya kayak demit begitu, sudah kubuang jauh-jauh. Amit-amit dapat menantu begituan, ngeri. Benar-benar nggak ada akhlak itu anak. Bisa-bisanya mau ngerusuh di rumah duka begini. Didikannya si Rahayu memang nggak jauh-jauh dari ibunya. Sifatnya sebelas duabelas," ucap Bude Rumi bermonolog dengan dirinya sendiri. Tangannya cekatan mengupas kentang. Dia orang yang paling awal datang kalau ada acara rewang seperti ini. Biasanya ibu-ibu yang lain akan datang satu persatu setelahnya. 

Sementara di dalam kamarnya, Mala menatap langit-langit sambil menidurkan Kinanti. Meski tubuhnya remuk redam karena lelah dia tetap tak bisa memejamkan matanya. Bayangan Bayu yang meninggal secepat itu memenuhi alam pikirannya. Mala berusaha mengingat hal apa kira-kira yang menjadi pemicu Bayu meninggalkannya. 

Belum lagi dengan kalimat tuduhan yang dilayangkan ibu mertuanya. Dengan tanpa rasa bersalah sedikit pun dia mengumpat Mala yang dianggap tak becus mengurus Bayu. Dia menganggap anaknya itu meninggal karena sikap Mala yang lamban saat Bayu merasa kesulitan bernapas. 

Wanita paruh baya itu tak berperasaan sedikit pun. Dia mencaci Mala dengan penuh kalimat kasar. Bahkan saat para pelayat memenuhi rumah anaknya dia tetap melayangkan kalimat-kalimat yang membuat telinga siapapun merasa sakit. Terlebih untuk Mala, rasa sakit akibat kehilangan suaminya makin menjadi-jadi karena sikap ibu mertuanya. 

Meski selama ini dia sudah terbiasa menerima perlakuan menyesakkan darinya, tetap saja momen itu tak pantas bersikap seburuk itu. Terlebih harus disaksikan oleh para pelayat yang diam-diam saling berbisik melihat hal ganjil tersebut. 

Hingga kedatangan Pakde Bambang, kakak tertua ibu mertua yang bisa membuat wanita itu terdiam. Hanya dengan sekali ucapan, Bu Rahayu diam tak meneruskan kalimat bernada sarkas untuk sang menantu. Tetap saja Mala merasa sedih, sakit hati dan terpukul. Keluarga yang harusnya mengayominya justru menjadi satu-satunya pihak yang membuat mentalnya makin jatuh. 

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Wanita di Pusara Suamiku    BAB 60

    Tanpa dia sadari aku mengekor di belakangnya untuk berjalan ke arah balik panggung. Aku berlindung di balik punggungnya saat membelah kerumunan yang penuh sesak tanpa dia ketahui. Di sisi belakang panggung, kulihat anak-anak sudah berkumpul dengan orang tua mereka masing-masing. Kinanti yang menoleh ke kanan dan kiri tersenyum lebar melihat Mas Dion. Seketika dia berlari menubruk lelaki itu. Aku tersenyum saat Kinanti kaget melihatku yang berada di balik Om Dionnya."Mama sama Om Dion? Kok tadi nggak keliatan dari atas?" Mas Dion memutar tubuhnya hingga dia tak dapat menyembunyikan rasa kagetnya saat mendapatiku di belakangnya. Kedua alis tebalnya bertaut menunjukkan ekspresi bingungnya."Kamu fokusnya ke Om Dion, jadi Mama yang langsing ini nggak keliatan," jawabku setengah meledek. Mas Dion mengangkat kedua bahunya. "Secara tidak langsung kau mengatakan aku gendut, Mala." Aku tertawa dan mengabaikan wajah lucu lelaki itu. Kuraih kepala Kinanti untuk mendekat ke tubuhku. Kuciumi

  • Wanita di Pusara Suamiku    BAB 59

    Tergesa-gesa aku keluar dari taksi online yang membawaku. Mobilku pecah ban saat perjalanan kemari. Setengah berlari aku menyusuri koridor sekolah taman kanak-kanak Kinanti. Hari ini adalah pentas seni yang diadakan sekolah anakku. Dari tadi malam Kinanti memastikan aku harus hadir tepat waktu karena dia dan beberapa temannya akan menampilkan seni drama musikal yang sudah dipersiapkan matang oleh gurunya. Mungkin dia sudah paham dengan kesibukanku akhir-akhir ini dengan cabang baru bimbelku di kecamatan sebelah. Belum lagi dengan aktivitas mengajarku yang tak bisa kutinggalkan meski aku sudah punya penghasilan lain yang jauh lebih besar. Jantungku berdegup tak berirama saat sayup-sayup kudengar lagu yang biasa didengungkan Kinanti di depan kaca sudah diputar. Ada rasa ketakutan yang sangat besar aku tak bisa membersamai anakku berjuang menampilkan pementasan yang susah payah sudah dia usahakan. Aku mulai merutuki diriku yang tak bisa menolak wawancara dengan stasiun TV lokal yang i

  • Wanita di Pusara Suamiku    BAB 58

    "Om Dion bilang kapan-kapan pergi bertiga sama Mama, emang Mama mau?" tanya Kinanti saat malam hari menjelang tidurnya. Aku yang mendekapnya dari arah belakang hanya mampu menatap lurus ke arah tembok kamar. "Pengin punya papa kaya Om Dion". Aku makin tak mampu menjawab kalimat Kinanti. Aku agak heran mengapa dia begitu mudah melupakan ayahnya. Selama ini dia cukup dekat dengan Mas Bayu. Meski sebelum ajal menjemputnya perhatian lelaki itu kusadari mulai terbagi yang akhirnya kutahu dia membagi perhatian dan cintanya pada Rita dan anaknya. Entah kalimat apa lagi yang keluar dari bibir mungil anakku. Kubiarkan dia bermonolog sendiri hingga terdengar dengkuran halus darinya. Dipeluknya boneka beruang dari Mas Dion dengan erat. "Jangan bebani dirimu karena permintaan dari Bude, Mala. Terimalah Dion jika kamu memang berniat ingin membangun keluarga kembali dengan seorang pria yang serius. Bude tak memaksamu. Apalagi kau sendiri tahu apa kekurangannya."Kalimat Bude Rumi membuatku teta

  • Wanita di Pusara Suamiku    BAB 57

    Mas Dion bergerak tanpa penolakan sedikit pun. Dia berjalan sambil menuntun Kinanti ke mobilnya. Bude Rumi tersenyum padaku. "Mereka cocok ya, Mala?" Aku tersentak dengan pertanyaannya. Tentu saja aku hanya diam meneguk ludah tanpa mampu berkata-kata. Entah hanya bercanda untuk membuat Ibu mertua dan Rosa terpancing seperti biasa dia lakukan atau memang ada maksud lain yang tidak kuketahui. "Apakah kau belum berniat untuk menikah lagi, Mala?" Aku membulatkan kedua mataku. Lidahku kelu tak mampu berucap. Apalagi Bude Rumi menanyakan hal itu tepat di depan wajah Ibu mertuaku. Wanita itu menyunggingkan senyum sinis. "Secepat ini? Kau menanyakan Mala tak ingin menikah lagi saat tanah kuburan suaminya masih merah? Kau memang gila, Arumi!" Ibu mertuaku berucap dengan nada penuh ejekan. "Kenapa? Sudah lebih dari enam bulan Bayu meninggal. Masa idah Mala sudah lewat. Apa yang menghalanginya menikah?" tanya Bude Rumi dengan mata menantang. "Rasanya tak etis saat suami belum lama meningg

  • Wanita di Pusara Suamiku    BAB 56

    Sebenarnya aku sudah sangat lelah dengan keadaan seperti ini. Entah sampai kapan mereka akan merongrongku. Tanpa diduga Ardan mengangkat tas besar yang dari tadi tergeletak di sudut ruangan dan meletakkannya di atas motornya. Tentu saja perbuatannya membuat Ibu dan Rosa berteriak panik. "Dan! Apa-apaan kau! Kenapa baju kamu kau bawa?" Ibu berteriak penuh amarah. Sedangkan Rosa, baru saja berdiri saja dia sudah memegangi kepalanya. Aku tahu, efek kehamilan tiap orang berbeda-beda."Kalian benar-benar nggak punya malu! Entah dengan kalimat seperti apa yang bisa buat kalian sadar! Aku malu sebagai anak laki-laki keluarga kita, Bu! Mbak Mala itu sekarang orang lain, jangan ganggu hidup dia bisa?" Ardan memasukkan kunci motornya. "Aku tunggu di kontrakanku, Bu. Kalian sudah pernah kesana untuk minta uang. Aku yakin ingatan kalian masih berfungsi dengan baik!"Tergesa-gesa Ardan melajukan motornya. Dia melesat jauh tanpa peduli ibunya yang berteriak seperti orang kesetanan. Aku masuk ke

  • Wanita di Pusara Suamiku    BAB 55

    Balasan Mala "Kami tak mau menampung wanita murahan, Mbak." Mereka berdua berdiri seolah urusan pelimpahan ini telah selesai. "Kau mengatakan padaku Rosa murahan, apakah kau sendiri lupa kau pun sama murahannya dengan dia? Mau dinikahi diam-diam oleh laki-laki beristri itu juga hal murahan, kau tak tahu itu?" Kedua orang itu berhenti mengayun langkahnya. "Kau sungguh lucu. Wanita murahan meneriaki wanita lain yang juga murahan. Awas karmamu lebih berat, Rita."Tak ada kata yang diucapkan Rita kembali. Mereka berdua berjalan cepat ke arah mobil yang catnya pun sudah banyak yang mengelupas. Kembali kupandangi tas yang teronggok di sudut ruang tamuku. Entah drama apalagi yang akan terjadi dalam beberapa waktu ke depan. Yang jelas aku harus bersiap-siap karena setelah ini akan ada kerusuhan yang terjadi. Kuputuskan untuk menghubungi Ardan, adik lelaki Mas Bayu yang memilih untuk tinggal terpisah dengan ibu dan kakaknya pasca rumah mereka disita bank. Tiga panggilanku tak terjawab o

  • Wanita di Pusara Suamiku    BAB 54

    "Pulangnya ikut Om Dion," ucap Kinanti seperti sebuah perintah. Aku menautkan kedua alisku sebagai tanda protes untuk anakku. Tetapi lagi-lagi Kinan tak menangkap maksud ekspresiku. "Mau nginep juga di rumahnya Om Dion. Biar malam-malam jalan-jalan lagi naik mobil.""Mama janji beli mobil lagi dalam waktu dekat, Kinan.""Wow… demi menjauhkan Kinanti, kau bisa melangkah sejauh itu?" Lelaki dengan rahang kokoh itu tersenyum penuh arti ke arahku. Ya, kurasa dia benar. Aku terlalu gegabah mengumbar janji hanya karena takut dia terlalu dekat dengan Mas Dion. "Om Dion habis ini ke kantor lagi, kamu pulang sama Mama dulu ya. Besok Om ajak main lagi." Mas Dion mengusap rambut anakku dengan lembut. Dia berdiri dan tersenyum sekilas padaku. "Aku pulang dulu, Mala. Sampai bertemu, besok." Lelaki itu menganggukkan kepalanya ke arahku. Aku tak membalas apapun karena memang tak ada yang ingin kusampaikan lagi padanya. "Kalau Om Dion jadi Papa Kinanti boleh, Ma?" Uhuk. Aku hampir menyemburkan

  • Wanita di Pusara Suamiku    BAB 53

    Kedekatan Mereka Dua minggu pasca pertemuanku dengan Mas Dion di rumahku aku tak pernah bertemu lagi dengannya. Jangan tanya bagaimana Kinan berusaha mati-matian merayuku, memintaku untuk mengantar ke rumah Mbah Ruminya. Jika tak ada Mas Dion, tentu saja aku akan dengan ringan mengantar anakku ke sana. Aku harus mengalihkan perhatian Kinanti dengan membawanya jalan-jalan, atau sekadar membelikannya jajan seperti yang Mas Dion lakukan saat itu. Seperti sore ini, aku mengajak Kinanti membeli susunya yang sudah habis. Hari ini dia kubawa ke bimbel cabang ke dua yang kubangun belum lama ini. Perkembangannya cukup lumayan, aku tak perlu khawatir dengan persoalan finansial selepas kepergian Mas Bayu. Selain karena tenaga pengajar yang benar-benar kupilih dengan ketat, aku juga berusaha membangun tempat bimbelku agar tak seperti kebanyakan bimbel. Terbukti dengan kedua cara itu peminat bimbingan belajarku meningkat drastis akhir-akhir ini. Tak hanya itu, aku pun menggratiskan beberapa an

  • Wanita di Pusara Suamiku    BAB 52

    Ada yang teriris di dalam dadaku mendengar jawaban anakku. Rasanya tak adil, saat dia mulai masuk sekolah, papanya sedang sibuk dengan keluarga barunya. Aku yang bodoh, tak menyadari perubahan Mas Bayu sama sekali. Entah dia yang terlalu pintar menyembunyikan rahasianya atau memang aku yang terlampau percaya padanya. Lihatlah, Mas. Anakmu bahkan tak bisa merasakan bagaiman rasanya memiliki sosok Ayah yang mengantar serta menjemputnya sepulang sekolah. "Boleh, Ma?" Aku menatap mata bening bak telaga itu sekali lagi. Aku tersenyum seraya mengangguk lembut. Apa yang terjadi setelah dia mendnegar jawabanku? Kinanti berteriak kegirangan mendengar jawabanku. Bahkan dia melompat-lompat di atas sofa di depan TV ruang tengah. Aku melihat kebahagiaannnya yang berpendar dari senyum yang menghiasi bibir mungilnya. "Mbak. Aku mau bicara."Aku menoleh pada sumber suara. Gadis itu, adik iparku--Rosa, sudah datang di rumahku sepagi ini. Entah aku salah melihat atau memang keadaannya demikian,

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status