Share

BAB 3

Perusuh

"Oh iya, Bude. Tadi mau Mala masukkan ke rumah malah Kinanti keburu rewel," jawab Mala dengan nada sebiasa mungkin. Wajah Rosa terlihat kesal dengan kenyataan di depannya. Padahal di dalam hatinya dia sudah menebak bahwa kedua tamu tadi membawa uang santunan untuk Mala dan anaknya. 

"Perasaan tadi aku masuk nggak ada bungkusan itu di depan!" ucapnya sambil menjatuhkan bobotnya di atas sofa. Dengan santainya dia duduk dengan mengangkat kedua kakinya. Tangannya lincah memainkan ponsel yang  bulan lalu dibelikan oleh suami Mala. Tentu saja dengan perdebatan alot karena setahun yang lalu juga dia meminta dibelikan ponsel oleh sang kakak. 

"Mbak. Mereka nggak ngasih apa gitu?" Pertanyaan tanpa rasa malu itu meluncur dari mulut gadis yang masuk kuliah semester tiga itu. Mala kembali melayangkan tatapan kesalnya pada sang adik ipar. 

"Memangnya kamu mengharapkan dia bawa apa, Ros? Kok dari tadi keliatannya ngarep banget mereka bawa sesuatu yang bisa kamu manfaatkan?" Pertanyaan menohok dari Mala membuat wajah cantik Rosa memanas. Dia merasa tersinggung meski dalam hatinya berkata tuduhan Mala benar adanya. 

"Maksud Mbak Mala apa? Kok bahasanya gitu amat? Gini-gini aku juga adik Mas Bayu. Aku berhak tahu juga, Mbak!" bentaknya dengan suara cukup keras. Bude Rumi menghampiri ruangan tempat Mala dan Rosa terlibat sedikit perseteruan. 

"Ada apa ini? Bukannya siap-siap buat acara nanti malam malah pada cenggrengan," ucapnya dengan logat khasnya. 

"Ros, kebetulan kamu di sini. Bantuin Bude kupas bawang di belakang ya? Mala biar disuruh istirahat dulu. Dari tadi banyak tamu, pasti dia kelelahan. Apalagi Kinanti sudah kelihatan ngantuk itu." Bude Rumi menunjuk ke arah Kinanti dengan dagunya. Rosa terlihat mencebik dengan perintah yang ditujukan padanya. 

"Maaf, aku sibuk. Lagi ngerjain tugas kuliah," ucapnya sambil berlalu. Bude Rumi tak menanggapi kalimatnya. Dia membiarkan Rosa pergi segera dari rumah Mala. Tetapi kali ini dia ingin sedikit bermain dengan gadis nakal itu. 

"Ini amplopnya, Mal? Banyak sekali." Sengaja Bude Rumi mengeraskan kalimatnya agar Rosa mendengar. Benar sekali, Rosa yang belum berjalan jauh itu berhenti dan berbalik. Wanita itu paham dengan watak adik ipar Mala. 

"Amplop? Amplop apa, Mbak?" Matanya berbinar tanpa terkendali. Dia mendekati Bude Rumi dan kakak iparnya. Matanya sibuk menelisik ke berbagai arah. 

"Lho katanya sibuk ada tugas kuliah? Kok balik?" tanya Bude Rumi. Rosa menarik sudut bibirnya sehingga terlihat menyeringai. Dia tak menjawab pertanyaan dari wanita bertubuh gempal itu. 

"Amplop yang dibagikan buat orang yang ikut tahlil sudah diisi semua ini?" Bude membalikkan segepok amplop di depan Rosa. Gadis itu jelalatan melihat tebalnya amplop yang sudah disini uang oleh kakak iparnya. 

"Sudah, Bude. InsyaAllah nggak kurang," ucap Mala sambil menggendong sang putri masuk ke kamar. 

"Buang-buang uang saja. Memangnya nggak sayang uang buat acara gituan? Mending ditabung buat makan kalian nanti. Malah dibagi-bagikan orang nggak jelas gitu. Apalagi kalau yang doa nggak ikhlas. Apa nggak mubadzir?" ucapnya dengan ketus. 

"Jangankan orang lain yang nggak ikhlas mendoakan. Lah wong keluarga sendiri saja kadang ada yang nggak ikhlas. Bahkan sama saudara sendiri saja perhitungan. Minta bayaran juga, boro-boro ngasih sumbangan. Malah yang ada minta disumbang. Pulang-pulang minta berkat ini itu. Emang makin banyak saja orang nggak tahu malu," ucap Bude Rumi dengan kalimat penuh penekanan. Rosa merasa kalimat sindiran itu memang ditujukan untuknya. Tak lama, dia kabur daripada menjadi bulan-bulanan wanita itu. 

"Dasar bocah edan. Kalau anakku kelakuannya kayak demit begitu, sudah kubuang jauh-jauh. Amit-amit dapat menantu begituan, ngeri. Benar-benar nggak ada akhlak itu anak. Bisa-bisanya mau ngerusuh di rumah duka begini. Didikannya si Rahayu memang nggak jauh-jauh dari ibunya. Sifatnya sebelas duabelas," ucap Bude Rumi bermonolog dengan dirinya sendiri. Tangannya cekatan mengupas kentang. Dia orang yang paling awal datang kalau ada acara rewang seperti ini. Biasanya ibu-ibu yang lain akan datang satu persatu setelahnya. 

Sementara di dalam kamarnya, Mala menatap langit-langit sambil menidurkan Kinanti. Meski tubuhnya remuk redam karena lelah dia tetap tak bisa memejamkan matanya. Bayangan Bayu yang meninggal secepat itu memenuhi alam pikirannya. Mala berusaha mengingat hal apa kira-kira yang menjadi pemicu Bayu meninggalkannya. 

Belum lagi dengan kalimat tuduhan yang dilayangkan ibu mertuanya. Dengan tanpa rasa bersalah sedikit pun dia mengumpat Mala yang dianggap tak becus mengurus Bayu. Dia menganggap anaknya itu meninggal karena sikap Mala yang lamban saat Bayu merasa kesulitan bernapas. 

Wanita paruh baya itu tak berperasaan sedikit pun. Dia mencaci Mala dengan penuh kalimat kasar. Bahkan saat para pelayat memenuhi rumah anaknya dia tetap melayangkan kalimat-kalimat yang membuat telinga siapapun merasa sakit. Terlebih untuk Mala, rasa sakit akibat kehilangan suaminya makin menjadi-jadi karena sikap ibu mertuanya. 

Meski selama ini dia sudah terbiasa menerima perlakuan menyesakkan darinya, tetap saja momen itu tak pantas bersikap seburuk itu. Terlebih harus disaksikan oleh para pelayat yang diam-diam saling berbisik melihat hal ganjil tersebut. 

Hingga kedatangan Pakde Bambang, kakak tertua ibu mertua yang bisa membuat wanita itu terdiam. Hanya dengan sekali ucapan, Bu Rahayu diam tak meneruskan kalimat bernada sarkas untuk sang menantu. Tetap saja Mala merasa sedih, sakit hati dan terpukul. Keluarga yang harusnya mengayominya justru menjadi satu-satunya pihak yang membuat mentalnya makin jatuh. 

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status