Monika tiba-tiba berdiri menghampiri Dania dan Jeri, ia lalu berkata, "Ternyata dia mau diajak siapa saja, ya?" ucapnya sambil menunduk untuk menyapa Erlangga. Rain hanya melihat dari kursinya. "Iya, Bu." ucap Dania mencoba ramah, tapi Monika tidak menganggap keberadaannya. "Jer, coba aku yang gendong." Monika mengambil Erlangga lalu membawanya ke Rain. Hati Dania ciut, melihat keserasian mereka. "Rain, kamu kayak nggak ada uang aja, kenapa anak kamu memakai baju tidak berkelas begini?" seloroh Monika, ia sengaja mengeraskan suaranya agar Dania bisa dengar. "Nggak masalah yang penting dia nyaman." Sepertinya Rain menjaga perasaan Dania. "Kalau Marina masih hidup, dia tidak mungkin membiarkan anaknya memakai barang sampah begini," "Sudahlah, Mon. Kita nikmati acaranya" tegur Rain, di telinga Dania suaminya seperti sedang menenangkan kekasih yang sedang tidak puas. "Siapa suruh mengajak orang yang tidak selevel dengan kita?" ucapnya sinis, ia melihat ke arah Dania.
Rain bangun saat adzan subuh berkumandang, ia bangun tanpa mendengar alarm hidupnya Dania, malah Dania yang tidak bangun, tapi Rain sudah mengerti, sudah menjadi kebiasaan Dania, saat datang bulan, ia akan memperpanjang tidur paginya. Setelah Rain selesai menunaikan sholat subuh, ponselnya berdering, nama Monika berkedap-kedip di layar. Ia menoleh ke arah Dania sebelum menjawabnya. "Ada apa, Mon?" tanya Rain tidak ingin berbasa-basi. "Rain, hari ini kru dan teman-teman mau mengadakan pesta atas keberhasilan kita, mereka juga akan mengajak pasangan mereka dan mereka memintaku mengundangmu, maaf aku mengganggu pagi-pagi karena tidak sabar lagi untuk menyampaikannya." "Aku tidak berjanji, Mon. Aku ada acara juga hari ini." Rain melihat ke arah putranya. "Oh, kenapa jadi serenggang ini hubungan kita, Rain?" Monika terdengar sedih. "Maaf, Mon. Aku masih ada urusan." Rain masih tidak suka mendengar Monika sedih. "Oke, Rain." Monika tidak menunggu, ia langsung memutuskan t
Rain tiba di rumah saat larut malam, ia memasuki kamarnya yang sepi dan temaram, di atas kasur ada Dania dan Erlangga yang sudah terlelap. Erlangga tidur telentang sementara Dania menghadap Erlangga dengan tangannya berada di atas perut Erlangga, Rain tau Dania wanita yang baik dan tulus, meski putranya bukan anak kandungnya, ia memperlakukannya seperti anaknya sendiri, tidak kebayang kalau Dania melahirkan anak dari rahimnya sendiri. Rain tersenyum memikirkan semuanya. Rain tidak ingin mengganggu mereka dan langsung masuk ke kamar mandi. Setelah itu ia berbaring di belakang Dania. Seminggu lebih tidak bertemu membuatnya ingin mengganggu Dania, tapi ia masih bisa menahan diri, ia merapikan rambut panjang Dania yang menjuntai ke arahnya, ternyata hal itu membuat Dania terjaga, "Mas sudah pulang? kok nggak kasih kabar?" ucap Dania sambil menopang tubuhnya agar terbangun. Ia kemudian menyalami tangan suaminya itu. "Aku nggak sempat," balas Rain. "Kamu butuh sesuatu, Mas?"
Fahri sudah datang lebih dulu saat Dania tiba, mereka tidak termasuk berdua-duaan karena ada banyak orang di cafe itu, karena alasan itu juga, Dania memilih bertemu di cafe. "Bagaimana kabarmu, Dania?" "Alhamdulillah, baik." Dania menjawab sambil duduk di kursi yang berhadapan dengan Fahri, ia sengaja agak menjauhkan kursinya. Setelah tau semuanya Ia tidak bisa seakrab sebelumnya. "Bagaimana, Erlangga?" Fahri mencoba menghidupkan suasana. "Alhamdulillah, baik juga." "Fahri, kita langsung ke intinya saja ya," Dania ingin mempersingkat pertemuan. "Oke, aku akan mendengarkan pendapatmu," "Aku akan mengikhlaskan semuanya, Fahri. Aku akan memaafkanmu, aku mau menganggap semuanya tidak pernah terjadi," ucap Dania. Ia ingin berdamai dengan semua masa lalunya. "Baiklah, kalau itu yang kamu mau, tapi ada sesuatu yang ingin aku katakan juga," ucap Fahri. "Beberapa hari yang lalu, aku sempat pulang ke desa dan tidak sengaja bertemu Kak Andre, di antara obrolan kami, dia m
Beberapa hari telah berlalu. Rain semakin sibuk dengan proyek barunya, bahkan ada acara ke luar kota juga dan akan meluncurkan produk barunya itu di sana, walaupun Rain adalah investor terbesar tapi mayoritas investor yang bergabung berasal dari kota itu dan kebetulan juga di kota itu banyak spot-spot estetik yang mendukung produk, jadi mereka sekalian melakukan pemotretan juga di sana sehingga butuh waktu lebih lama, tentu saja Monika sebagai modelnya harus ikut. Dan itu cukup mengganggu perasaan Dania. Hari ketiga, Rain baru sempat menelepon ke rumah, tepatnya ia menelepon Dania, tapi ia menelepon bukan karena Dania melainkan karena putra kesayangannya, "Assalamu'alaikum, Mas!" ucap Dania. "Waalaikumussalam, Dania!" balas Rain. Entah kenapa suara Rain membuat darah Dania berdesir dan ada rasa senang yang begitu samar menyelinap ke dalam hatinya. "Sedang apa? Mana Erlangga?" Ternyata Rain langsung menanyakan putranya. "Lagi sama Erlangga ini, Mas." Dania tidak memikir
Suasana menjadi sunyi begitu Monika pergi, untungnya Rena datang memecah suasana. "Erlangga sudah bangun? Ini sudah waktunya dia makan," ucapnya pada Dania. "Sudah." Dania langsung membawa Erlangga keluar. "Dania! kamu tetap di sini," pinta Rain. "Aku harus mengurus Erlangga," bantah Dania. "Serahkan pada Rena," perintah Rain. "Biar aku yang mengurus Erlangga," ucap Rena sembari mengambil Erlangga. "Kerja samalah, Mbak." bisik Dania. "Pintu syurga bagi istri yang taat pada suaminya, sudah tau 'kan?" ucap Rena lalu pergi, jelas ia sengaja. Dania masuk kembali dengan wajah datar, Rain menepuk-nepuk sofa kosong di sisinya, sebagai syarat menyuruh Dania duduk di sana. "Aku dan Monika sedang ada kerja sama, dia menjadi model untuk produk baru kami, jadi sekarang maupun saat di cafe yang kamu lihat waktu itu, kami hanya sedang membahas pekerjaan," "Bukan urusanku, Mas." Dania berusaha menunjukkan wajah santainya. "Tapi kamu marah." Rain asal menebak. "