LOGINDania terbangun di pagi buta untuk melaksanakan sholat subuh, setelah sholat ia memeriksa keadaan Erlangga. Bayi mungil itu masih tertidur pulas di crib bed. Rain yang mengatur agar Erlangga tidur dengannya supaya lebih mudah saat putranya itu merasa lapar.
Ia turun ke dapur untuk mengambil air minum tanpa melepas mukenanya. Setelah mengisi penuh botol minumnya, ia hendak kembali ke atas untuk melakukan hal lainnya, tapi Rain juga muncul di tangga, melihat dari penampilannya sepertinya laki-laki itu akan melakukan olahraga di pagi hari. Ia menepi untuk memberikan jalan meskipun ukuran tangga begitu luas untuk berdua. Rain tidak peduli, ia berjalan seolah tidak ada orang. "Begitu lebih baik," gumam Dania merasa lega, ia memang lebih suka kalau Rain bersikap cuek. Rain baru menapakkan kaki di anak tangga terakhir saat mendengar suara tangis Erlangga. Ia menoleh ke arah Dania yang masih mematung di tempatnya. "Tunggu apalagi, itu Erlangga menangis." Rain menegur Dania. "Iya, Pak." Dania buru-buru melewati Rain, ujung mukenanya yang lebar nyaris menerpa wajah Rain, untungnya Rain menghindar sehingga hanya aroma harum dari kain itu yang merasuk ke dalam hidungnya. Ia menggosok hidungnya lalu bergumam, "Sepertinya dia wanita yang taat beribadah, kenapa ujiannya justru mendapatkan aib yang begitu memalukan." Ia menilai kepribadian Dania. Setelah itu melanjutkan apa yang ingin dia lakukan. Rain tiba kembali di rumahnya saat matahari sudah terbit, beberapa pekerja di rumahnya sudah terlihat mulai beraktifitas. Ia langsung ke kamarnya untuk mandi dan bersiap-siap bekerja, sebelum ke lantai bawah ia sempatkan diri melihat putranya. Ia mengetuk pintu kamar bayi itu yang mana ada Dania juga di dalam sana. Dania muncul dari balik pintu tanpa mengenakan hijab karena ia pikir Rena (Susternya Erlangga) yang datang, saat melihat itu adalah Rain, ia menutup pintu kembali, ia buru-buru mengenakan hijab lalu kembali membuka pintu. "Maaf, Pak," ucapnya dengan canggung dan malu. Ia keluar dari kamar dan membiarkan Rain yang masuk. "Erlangga sudah bangun?" Tanya Rain, ia tidak peduli dengan Dania yang masih kerepotan membenahi penampilan. "Sudah, Pak. Tapi dia belum mandi karena Mba Rena belum datang." Dania bisa saja melakukanya tapi ia masih takut mengurus bayi sekecil itu. Rain tidak mempermasalahkan putranya sudah mandi atau belum, yang penting ia ingin menggendongnya saat itu juga. Ia membawa putranya keluar dari kamar sambil mengajaknya bicara seolah Erlangga sudah sangat paham apa yang ia katakan, Dania tersenyum melihatnya. Saat anak dan ayah itu keluar, Dania masuk kembali untuk melakukan aktivitasnya sendiri seperti mandi dan membereskan kamar. Saat ia hendak istirahat setelah melakukan semuanya, Rain sudah mengetuk pintu kamarnya lagi. "Rena sudah datang?" tanya Rain, ia hanya berbasa-basi sekaligus mengecek apakah Dania masih sendirian atau sudah ada orang lain di dalam kamar. "Belum, Pak." Dania buru-buru mendekat ke pintu. "Kamu dulu saja yang menjaga Erlangga. Aku harus pergi ke kantor," Rain menyerahkan Erlangga pada Dania yang merasa sedikit canggung karena mereka begitu berdekatan. Ia pun berkata, "Iya, Pak." Setelah itu ia langsung menarik diri dan segera masuk kembali ke kamar. "Oh iya, bilang pada Rena kalau masih ingin bekerja di rumah keluarga Milano jangan terlalu sering datang terlambat." Sebenarnya Rain merasa tidak nyaman kalau hanya berdua saja dengan Dania, apalagi Dania sepertinya sangat berhati-hati terhadap laki-laki, setidaknya harus ada Rena juga. Hanya saja Rena belum bisa tinggal di rumah Milano seperti sebelumnya, ia harus bolak balik antara rumah ibunya dan rumah keluarga Milano, karena harus mengurus sang ibu yang sedang sakit beberapa bulan terakhir. "Iya, Pak. Nanti akan saya sampaikan," Dania buru-buru kembali ke arah pintu, tidak sopan rasanya membalas ucapan majikan dengan berteriak. Tampaknya Rain tidak peduli dan berlalu pergi begitu saja. Dania menutup pintu sambil menghela nafas lega begitu Rain meninggalkan tempatnya. Rasanya sungguh canggung hanya berdua saja dengan Rain apalagi duda satu anak itu begitu sempurna tanpa cela.Rain menarik diri setelah melakukannya dan suasana menjadi sangat sepi bahkan suara nafas pun tidak terdengar. Rain memainkan jari-jarinya untuk menahan gejolak yang menyerang. Tapi setelah ia berpikir, untuk apa menahannya, Dania adalah istrinya. Ia tiba-tiba menoleh pada Dania dan berkata, "Aku sangat sadar, ucapanku tentang kamu bukan tipeku salah besar, setiap kali kamu berada di dekatku aku selalu tidak bisa menahan diri, Dania. Karena itu..." Rain merasa tidak perlu menjelaskan lebih banyak, ia mendekatkan wajahnya untuk mencium Dania kemudian berhenti sebentar lalu berkata lagi, "Aku mengunci pintu dulu, jangan menjawab jika ada yang memanggil." Rain berdiri menuju pintu lalu menguncinya, setelah itu ia menarik Dania berdiri lalu membawanya ke pangkuan. Dania hanya bisa terbengong-bengong dengan kelakuan Rain tapi ia tidak bisa menolak entah kenapa. Dari lubuk hati yang terdalam malah menyukainya. Dania mengikuti permainan Rain, ia bahkan inisiatif membuka kancing keme
Rain memotong kue coklat berbentuk persegi panjang itu dengan pisau kue plastik, ia lalu mengambil untuk dirinya sendiri lalu memakannya. "Ini enak," ucapnya. "Juan pernah bilang, aku pasti sudah kenyang memakan kue buatan istriku, faktanya aku bahkan tidak tau kalau istriku bisa membuat kue. Saat itu aku merasa kesal pada diriku sendiri, kenapa aku harus tau dari orang lain, padahal aku tinggal dengannya setiap hari." "Sebenarnya apa yang ingin kamu katakan, Mas?" "Sepertinya ini adalah tempat dan waktu yang tepat untuk membahas bagaimana hubungan kita setelah Erlangga tidak membutuhkanmu," Dania diam, ia merasa takut mendengarnya, tapi ia juga penasaran dan butuh kepastian. "Erlangga mungkin tidak membutuhkanmu, tapi aku butuh," ucap Rain sambil menatap Dania, ia kemudian melanjutkan, "Aku membutuhkan alarm hidupku yang setiap hari mengingatkanku sholat, aku butuh peranmu di pagi hari untuk menyiapkan sarapan untukku, tanpa aku sadari kehadiranmu itu penting di rum
"Ini buat, Mas." Dania menyerahkan gable box berisi kue pada Rain. "Apa ini?" Rain menerima dengan penasaran. "Hadiah yang aku janjikan waktu itu," "Oh iya, aku kira kamu sudah melupakannya," ucap Rain sambil meletakkan kue itu di atas console box mobil. Tingkahnya begitu canggung. "Terimakasih," lanjutnya, kemudian ia menyalakan mesin mobil lalu melesat pergi meninggalkan halaman toko. "Aku mendengar pembicaraanmu dengan Pak Juan, Mas," ucap Dania tiba-tiba, membuat fokus Rain terpecah. "Aku hanya_" Ucapan Rain menggantung karena Dania memotong dengan tegas, "Karena aku sudah jujur, aku ingin membahasnya, Mas. Aku ingin tau bagaimana hubungan kita setelah Erlangga tidak membutuhkan aku lagi? Aku sudah siap apapun jawabanmu," ucap Dania begitu tegas. Sampai Rain bingung harus menjawab apa, pada akhirnya ia hanya bisa berkata, "Nanti kita bicarakan di waktu dan tempat yang lebih baik." Rain mencengkram setir mobil dengan kuat, ia menyesal telah berbicara sembara
Hari-hari berlalu begitu saja, semua orang memilih kesibukannya masing-masing, Dania dengan pekerjaannya sebagai baker, Rain dengan perusahaannya, Fahri dengan bisnisnya, Monika dengan dunia permodelannya, Erlangga yang juga terus bertumbuh semakin pintar lucu dan menggemaskan. Sudah satu pekan Dania dan Fahri bekerja di tempat yang sama, Dania seperti menutup diri tapi masih sopan sebagai karyawan, sedang Fahri tampaknya mengerti sehingga ia juga menempatkan diri sebagai atasan, tidak ada interaksi yang akrab, hanya berbicara seperlunya saja. Justru yang mengherankan adalah Rain, ia selalu datang menjemput Dania bahkan sebelum waktunya Dania pulang dengan alasan ingin menghabiskan waktu lebih banyak dengan Juan sebelum Juan meninggalkan kota, padahal masih ada waktu satu bulan lagi. "Hai, Bro." Sapa Juan ketika melihat Rain datang, ia sedang sibuk dengan laptopnya, ia sedang merancang ruangan untuk cafe di toko itu, kebetulan pekarangan masih sangat luas, jadi terbesit ide unt
Dania menurut saja saat ditarik oleh Rain, ia masih pusing memikirkan semuanya. Ia tidak bisa percaya, ternyata keponakan yang dimaksud Juan adalah Fahri. Berarti pemilik toko roti dan cake itu juga Fahri. Kenapa semua tempat terasa menjadi milik Fahri, sebelumnya mereka bertemu di restoran milik Fahri juga dan sekarang di toko kue. Ia tiba-tiba teringat nama toko kue, apa Mufah itu singkatan dari Muhammad Fahri? "Kamu senang bekerja di tempat itu?" Tanya Rain ketika mereka sudah berada di dalam mobil. "Awalnya aku senang tapi sekarang kurasa tidak lagi, entah kenapa semua orang bisa saling berhubungan," "Dulu Juan teman kuliah kami," ucap Rain. "Kami?" Dania bertanya. "Teman Monika dan Aku," jelas Rain membuat Dania manggut-manggut. "Kamu benar-benar tidak tau kalau toko itu milik Fahri?" Tanya Rain terdengar menyelidik. "Aku tidak tau," jawab Dania dengan mata menerawang. "Dia tau kalau kamu bekerja di sana?" tanya Rain lagi, hanya disambut gelengan oleh Dania.
Siang akan segera berganti, artinya sebentar lagi Dania pulang, mengingat ia akan dijemput Rain membuat suasana hatinya senang, tapi ketika sadar tentang Monika ia menjadi diam. Di tengah sibuknya mengurus hati, ia kaget melihat Juan dan menjadi penasaran saat Juan tiba-tiba bersemangat dan tersenyum sumringah sambil melepas celemek dan perlengkapan lainnya. "Akhirnya! Sudah lama aku menunggumu, tau nggak?" suara Juan masih terdengar oleh Dania. "Kamu sih, kenapa tidak langsung memberi kabar?" Sambut seorang wanita cantik dan elegan. Dania terdiam mendengar suara itu, ia pergi mengintip untuk memastikan, ternyata memang Monika. Ia menjadi gelisah tanpa sebab. "Tau dari mana aku ada di sini?" tanya Juan. "Dari Rain, dia mengirim pesan padaku sekaligus alamat toko ini. Dania terdiam, rasa gelisahnya hilang begitu mendengar nama Rain disebut oleh Monika. Ia memilih kembali ke dapur dan menutup telinga dari percakapan mereka. "Ternyata memang benar, kalian masih ber







