Bu Dewi menelpon Dania untuk datang ke kamar bayi, beberapa saat kemudian Dania muncul. Ia merasa tidak nyaman berada di tengah-tengah keluarga besar yang kaya raya itu. Ia menjadi sangat canggung saat Rain menatapnya dari atas ke bawah.
"Bukankah dia pelayan khusus, nenek?" tanya Rain. "Iya memang, tapi Nenek sudah menganggapnya seperti keluarga nenek sendiri. Kurang lebih dua bulan lalu dia kehilangan bayinya, dan ASI-nya belum berhenti sampai sekarang," jelas Bu Dewi. Dania yang mendengar merasa terharu di beberapa kata yang diucapkan Bu Dewi, ternyata Bu Dewi menganggapnya seperti keluarga. "Semoga saja Erlangga mau dan cocok, kalau dia masih saja menolak sebaiknya kita bawa Er ke rumah sakit." timpal Bu Nena, setuju. "Apakah Bu Dewi butuh bantuan?" Dania bertanya dengan sopan. Ia belum tau kenapa ia dipanggil untuk bergabung. "Bukan aku tapi cicitku, dari pada kamu membuang-buang ASI-mu sebaiknya berikan saja ke Erlangga, bagaimana?" Bu Dewi tetap harus meminta persetujuan Dania. "Boleh, tapi bagaimana dengan statusnya? Setelah aku memberinya ASI aku akan menjadi ibu susunya, apa itu tidak apa-apa?" "Tidak masalah yang penting kami mengenalmu dan kamu mengenal kami." Dijawab oleh Bu Nena dan Bu Dewi juga mengangguk. "Baiklah, biar saya memompa ASI-nya terlebih dahulu, di mana alat pompa ASI-nya?" Dania belum mengerti kalau ia diminta untuk mengASIhi secara langsung. "Tidak perlu , dia akan menolak lagi kalau diminumkan pake botol susu," ucap Nena. Dania sedikit kaget, ia berpikir sebentar sebelum setuju, ia melihat ke arah Erlangga yang masih menangis, karena rasa iba, ia pun mau melakukannya. "Baiklah." Mendengar itu, Bu Dewi langsung menyerahkan Erlangga kepada Dania, setelah Dania menerimanya dia tidak langsung bergerak karena menunggu semua orang keluar, karena saking antusiasnya ingin melihat Erlangga mau menerima ASInya atau tidak, mereka jadi lupa untuk memberi ruang kepadanya. "Mohon maaf, bisakah memberi kami ruang dulu sebentar?" Dania bertanya dengan hati-hati. "Oh iya, jadi lupa." ucap Bu Dewi. Ia pun keluar diikuti yang lainnya. Erlangga masih saja menangis, Dania mencoba menenangkan sambil menyiapkan diri untuk memberi ASI. Saat ia mulai melakukannya, ia merasa sedang memberi ASI kepada anaknya sendiri. Air matanya menitik tapi ia bisa segera menguasai diri, untungnya Erlangga juga tidak menolak, ia terlihat bersemangat menyedot ASI-nya sampai suara terengah-engah keluar dari mulutnya, mungkin karena sudah terlalu lapar. Di luar kamar, semua orang sudah menduga, pasti Erlangga menerimanya karena tidak terdengar suara menangis lagi. "Di mana ibu menemukan perempuan ini?" tanya Nena. Rain ikut menyimak. Ia tertarik karena wanita itu berhasil menenangkan putranya. "Dia salah satu pelamar yang menemukan brosur yang aku sebarkan, dia terlihat baik jadi aku menerimanya. Tidak kusangka ternyata dia sedang hamil, mungkin ini rencana tuhan mempertemukan aku dengannya." "Di mana suaminya?" Kali ini Rain yang bertanya. "Dia tidak punya suami," "Perempuan seperti itu dinilai baiknya dari mana? Apa karena hijabnya?" Rain merasa tidak terima anaknya disusui wanita yang tidak benar. "Ini tidak seperti yang kamu pikirkan, bisa dibilang, dia adalah korban pemerkosaan," Bu Dewi menjelaskan persis seperti yang dijelaskan Dania padanya. Untungnya semua orang bisa mengerti. Beberapa saat kemudian, Dania keluar dari kamar, semua orang menyambutnya kecuali Rain, laki-laki itu langsung masuk melihat putranya. "Dia tertidur setelah merasa kenyang," ucap Dania. "Syukurlah dia tidak menolak, terimakasih, Dania." Nena tampak lega dan berterima kasih dengan tulus. "Kamu tinggal di sini saja, mulai sekarang kamu milik Erlangga, nanti barang-barangmu akan diantar sopir," ucap Bu Dewi. "Betul," timpal Nena "Bagaimana dengan Bu Dewi?" Sebenarnya Dania tidak siap untuk tinggal di rumah itu, tapi tidak punya alasan untuk menolak. Terutama ia tidak mau berurusan dengan ayah si bayi. "Kamu tau sendiri, aku punya banyak pelayan di rumah," "Tapi Bu," Dania ingin sekali menolak tapi tidak enak hati, ia hanya bisa berkata dengan asal, "Bagaimana kalau kita bawa Erlangga saja ke rumah Bu Dewi?" "Tidak bisa," Tegas Rain membuat Dania menoleh. "Aku akan membayarmu lebih dari yang nenekku bayarkan," Rain memberi penawaran. "Bukan masalah uangnya, Pak." Dania masih belum menyerah. Ia hanya asal memanggil 'pak' karena merasa Rain mungkin jauh lebih tua darinya. "Apa karena aku? Tenang saja aku tidak akan melakukan apa-apa padamu dan ada suster yang akan membantumu , kamu cukup menyusui Erlangga saja." selidik Rain sembari menjelaskan. Mana mungkin Dania jujur, ia hanya bisa menggeleng dan menerima penjelasan Rain.Dania ingin kembali ke sofa setelah meletakkan Erlangga, tapi ia membeku saat melihat Rain sudah bangun dan sedang menatapnya lekat seperti serigala yang lapar. "Sebagai laki-laki aku tidak mau munafik, aku bukan tipe laki-laki yang akan melewatkan hubungan suami istri karena tidak cinta, karena itu aku akan meminta hak aku sebagai suami," ucap Rain, ia pikir harus memperjelas semuanya. Dania tau di dalam agama, hukum menolak suami adalah dosa besar, tapi dia benar-benar belum siap secara mental. Baginya berhubungan badan itu musibah karena kehidupan dan masa depannya hancur karena hal itu. "Apa aku boleh menolak? Kalau pak Rain tidak tahan, maka nikahi saja Bu Monika, aku akan membantu menutupinya untukmu." ucap Dania dengan hati-hati. Ia asal bicara saja agar Rain bisa menahan diri. Ia sengaja menyebut nama Monika agar Rain teralihkan. Rain merasa harga dirinya terluka, bisa-bisanya pria sekeren dirinya ditolak mentah-mentah oleh istrinya sendiri. Ia akhirnya bisa merasakan
Beberapa hari telah berlalu. Hari yang harusnya bahagia itu telah tiba, Dania akhirnya bisa mengenakan gaun pengantin walaupun tidak sesuai dengan impiannya. Setidaknya ia bisa merasakan menjadi seorang pengantin. Ia sudah tidak percaya diri merajut mimpi indah dengan seorang pasangan setelah kehilangan kehormatannya. Tidak normal jika ia tidak memiliki pria di dalam hatinya hanya saja nama itu ia hapus karena merasa noda dalam dirinya akan menjadi pembatas yang sangat tinggi. Adapun Rain, ia sangat memesona dengan penampilannya, sesaat Dania tidak bisa berpaling melihat calon suaminya itu, tapi ia segera menyadarkan diri agar tidak terlalu dini untuk tertarik apalagi jatuh cinta. Perasaan harus dibuang jauh-jauh dalam pernikahannya. Cukup penuhi hak dan kewajiban saja atau mungkin ada kesepakatan yang akan dibuat seperti di novel-novel maka lakukan itu saja. Sampai takdir sendiri yang akan mengakhirinya. Tidak banyak yang menghadiri pernikahannya, hanya keluarga besar kedua belah
Akhirnya Dania merasa tenang setelah menemui kedua orangtuanya, sekarang masalahnya berada di pihak Rain, ia masih harus berbicara dengan Monika, dan kebetulan hari itu Monika datang lagi ke rumahnya, sepertinya wanita itu tidak mau menyia-nyiakan kesempatan untuk merebut kembali posisi yang telah diambil oleh Marina. Rain merasa tidak nyaman dan bersalah melihat Kedatangan Monika, ia tiba-tiba mengingat kembali bagaimana keadaan wanita itu saat ia mengatakan akan menikah dengan Marina, wajah cantiknya menjadi sendu dan tidak bersemangat, setiap kali bertemu, dia selalu menangis dan menyalahkan diri sendiri. "Apa kamu keberatan kalau aku datang lebih sering?" ucap Monika begitu ia duduk di kursi yang ada di hadapan Rain, kala itu Rain sedang berada di ruang kerja. Mereka sebelumnya memang sedekat itu, Marina bahkan tidak berani memasuki ruangan itu tanpa perintah Rain. "Tidak juga, tapi aku merasa sedikit terganggu kalau kamu seperti ini, kita bukan lagi pasangan dua atau tiga t
Rain memperbaiki posisinya, aura ketampanan dan kharismanya membuat semua orang menunggu ia untuk berbicara. "Saya akan memperkenalkan diri terlebih dahulu, Saya Rainer Milano yang akan bertanggung jawab atas Dania, saya datang karena ingin meminta restu kepada Ibu dan Bapak. Pernikahan kami akan segera diselenggarakan dan sudah tidak dapat dibatalkan lagi." Walaupun penyampaiannya cukup santai ada ketegasan dalam ucapannya yang tidak ingin dibantah. "Kamu bukan laki-laki yang melakukannya?" tanya Andre dengan tatapan menyelidik. "Saya bukan laki-laki seperti itu." Rain terlihat sangat berwibawa. Andre menjadi sangat bersalah. "Maaf karena kamu yang datang bersama Dania dan anaknya, aku pikir kamu pelakunya." "Jika aku adalah seorang kakak aku pun akan melakukan hal yang sama," Rain sangat berbesar hati, Dania lega mendengarnya. "Kenapa kamu mau menikahi, Dania?" sahut Bu Tari. "Karena dia ibu susu putraku," jawab Rain. "Anak ini putramu?" Bu Tari tidak ingin percaya.
Akhirnya meraka tiba di depan rumah Dania, beberapa orang yang lewat tidak berkedip melihat mobil mewah terparkir di depan rumah keluarganya. Rain menunggu Dania bersiap keluar dari mobil. Dania berkali-kali menghela nafas untuk menghilangkan rasa gugupnya. Begitu ia hendak membuka pintu mobil, ia melihat ayahnya muncul dari balik pintu sedang mengamati mobil yang sedang terparkir di depan rumahnya. "Itu ayahmu?" Rain penasaran. "Iya," ucap Dania dengan suara bergetar, Rain mengerti keadaannya. Ia mengambil alih Erlangga agar Dania bisa lebih leluasa. Dania keluar dari mobil dengan was-was dan gelisah, Pak Fadli terkesiap melihatnya. Ia diam sambil menatap dengan sorot mata yang penuh kerinduan. Assalamu'alaikum...!" sapa Dania dengan hati-hati. "Waalaikumussalam...!" balas Pak Fadli dengan ekspresi dingin. "Ayah, apa kabar?" Dania tidak berani menyentuh tangan ayahnya, suaranya bergetar dan air matanya luruh begitu saja. Ia beranikan diri untuk menyalami tangan ayahnya
Beberapa hari telah berlalu dan pernikahan yang diputuskan Bu Dewi harus tetap terlaksana. Rain tampak tidak peduli karena sudah tau akhirnya akan tetap seperti itu kecuali kalau neneknya itu tiba-tiba meninggal. Sementara Dania, semenjak kata pernikahan keluar dari mulut Bu Dewi ia menjadi gelisah setiap hari. Dania kembali ingin berbicara dengan Rain, kebetulan Rain sedang ingin menemui putranya, Rain langsung masuk ke kamar putranya setelah memastikan Dania sudah berpakaian rapi dan ada Rena juga. "Maaf, Pak. Bu Dewi sudah mengatur waktu pernikahan kalau kita tetap diam seperti ini pernikahan akan benar-benar akan terjadi, apa tidak ada cara untuk membatalkannya?" Dania ternyata belum menyerah. Rena di sampingnya sampai menyenggol agar tidak berkata sembarangan. "Ternyata kamu belum mengerti juga, ya? Dari pada mengatakannya padaku kenapa tidak langsung bernegosiasi dengan nenek saja?" Rain melihat ke arah Dania yang langsung menunduk. "Sudah, Pak." Dania melemah. Jawaban B