Di sore hari, Rain kembali dari kantornya, ia meminta Rena membawa Erlangga turun untuk diperlihatkan kepada seorang wanita cantik dan berpenampilan modis.
"Akhirnya kamu punya anak juga Rain?" ucap wanita itu dengan tatapan sendu sambil mengambil Erlangga dari gendongan Rena. "Iya." Rain menjawab singkat karena tidak ingin membuat hati wanita itu merasa terluka. Di lantai dua Rena tidak masuk kamar, ia malah mengajak Dania mengintip majikannya dari atas, "Siapa itu Mbak Ren?" tanya Dania penasaran. "Itu Bu Monika, kekasih Pak Rain, mereka sudah bersama sejak di sekolah menengah atas," jelas Rena. "Kok bisa menikahi Bu Marina kalau Pak Rain punya kekasih?" Dania yang tadinya hanya ikut-ikutan menjadi sangat tertarik. "Mereka dijodohkan karena Bu Monika mandul. Surat keterangan dari rumah sakit milik Bu Monika yang ternyata mandul itu dilihat oleh Bu Dewi. Pada saat itu juga Bu Dewi tidak menyetujui hubungan Pak Rain dan Bu Monika lalu menjodohkannya dengan Bu Marina yang merupakan putri salah satu dari kolega yang berpengaruh untuk perusahaan Milano, padahal saat itu mereka sedang mempersiapkan rencana pernikahan juga." "Jadi begitu, pantas saja Pak Rain tidak terlihat begitu kehilangan saat Bu Marina meninggal." "Iya, saya kasihan sama Bu Marina. Dia wanita yang baik dan tulus, ia juga sangat mencintai Pak Rain, tapi Pak Rain hanya menganggapnya seperti mesin untuk melahirkan anak," "Apa iya Pak Rain sekejam itu?" Dania merasa tidak percaya. "Aku yang mengurus keperluan Bu Marina dan dia sering curhat, karena itu aku hampir tahu semuanya," Dania manggut-manggut lalu berkata, "Ternyata memang benar, pernikahan orang kaya itu rumit. Kalau dipikir-pikir kasihan Bu Marina," "Tapi masih mendingan Bu Marina yang bisa menikah dengan Pak Rain yang kaya raya, setidaknya Pak Rain bertanggung jawab sebagai suami walaupun tanpa cinta. Dari pada aku? Sudah melewati umur kepala tiga tapi belum menikah juga, padahal usiaku hanya beda satu tahun dengan Pak Rain." "Kamu masih lebih baik Mba Ren, aku lebih miris lagi masih muda sudah pernah melahirkan dan tidak tau siapa ayahnya tambah lagi diusir keluarga sendiri." "Intinya sabar saja menghadapi hidup ini," ucap Rena. "Kalian sedang apa?" Rain memergoki Dania dan Rena yang malah sibuk meratapi nasib masing-masing. Monika juga berada di belakangnya sedang menggendong Erlangga yang menangis. "Saya dan Dania sedang membersihkan pembatas tangga, Pak." Rena asal memberi alasan, ia berdiri sambil mencolek Dania agar segera pergi, "Kami ke kamar dulu, Pak." Rena dan Dania hendak masuk kamar. "Dania!" panggil Rain membuat Dania menoleh. "Iya, Pak!" "Kamu tidak melihat Erlangga sedang menangis?" Dania lupa tugasnya karena panik setelah ketahuan mengintip. "Oh iya, maaf Pak." Ia segera mendekati Monika untuk mengambil Erlangga dan membawanya masuk ke kamar. "Ibu susu putramu sepertinya masih muda ya? Penampilannya saja seperti anak mahasiswa." Meski telah hamil dan melahirkan tubuh Dania memang tidak berubah dan masih memakai pakaian sehari-hari seperti saat ia masih kuliah. Ia mengenakan celana kulot berbahan kain dipadu dengan kaos oblong dengan outer lengan panjang serta jilbab segiempat Paris andalannya. "Dia memang baru lulus tahun kemarin, nenek yang membawanya masuk ke rumah ini." Rain menjelaskan seperlunya. Monika manggut-manggut, ia tidak tertarik membahasnya lebih jauh, sementara Rain juga tidak berniat menjelaskan, ia melangkah pergi sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Monika mengikutinya sambil berkata, "Ternyata tidak butuh waktu lama untuk memasuki rumah ini lagi," Rain langsung menoleh padanya, ucapan monika terdengar jahat tapi Rain tidak bisa marah karena wanita itu yang ia cintai dan ia telah melukai perasaannya dengan menikahi wanita lain. Tapi Monika merasakan aura tidak mengenakkan dari tatapan Rain karena itu ia langsung melanjutkan, "Aku tidak bermaksud mengolok-olok kepergian Marina yang begitu cepat, tentu aku turut berbelasungkawa bagaimana pun dia istrimu dan juga ibu dari anakmu." "Tidak perlu membahasnya," Rain sangat menghormati Marina meskipun tidak mencintainya, jadi ia tetap merasa tidak nyaman jika seseorang menyebut-nyebutnya selain itu Marina adalah wanita yang benar-benar tulus dan sudah memberinya keturunan.Dania ingin kembali ke sofa setelah meletakkan Erlangga, tapi ia membeku saat melihat Rain sudah bangun dan sedang menatapnya lekat seperti serigala yang lapar. "Sebagai laki-laki aku tidak mau munafik, aku bukan tipe laki-laki yang akan melewatkan hubungan suami istri karena tidak cinta, karena itu aku akan meminta hak aku sebagai suami," ucap Rain, ia pikir harus memperjelas semuanya. Dania tau di dalam agama, hukum menolak suami adalah dosa besar, tapi dia benar-benar belum siap secara mental. Baginya berhubungan badan itu musibah karena kehidupan dan masa depannya hancur karena hal itu. "Apa aku boleh menolak? Kalau pak Rain tidak tahan, maka nikahi saja Bu Monika, aku akan membantu menutupinya untukmu." ucap Dania dengan hati-hati. Ia asal bicara saja agar Rain bisa menahan diri. Ia sengaja menyebut nama Monika agar Rain teralihkan. Rain merasa harga dirinya terluka, bisa-bisanya pria sekeren dirinya ditolak mentah-mentah oleh istrinya sendiri. Ia akhirnya bisa merasakan
Beberapa hari telah berlalu. Hari yang harusnya bahagia itu telah tiba, Dania akhirnya bisa mengenakan gaun pengantin walaupun tidak sesuai dengan impiannya. Setidaknya ia bisa merasakan menjadi seorang pengantin. Ia sudah tidak percaya diri merajut mimpi indah dengan seorang pasangan setelah kehilangan kehormatannya. Tidak normal jika ia tidak memiliki pria di dalam hatinya hanya saja nama itu ia hapus karena merasa noda dalam dirinya akan menjadi pembatas yang sangat tinggi. Adapun Rain, ia sangat memesona dengan penampilannya, sesaat Dania tidak bisa berpaling melihat calon suaminya itu, tapi ia segera menyadarkan diri agar tidak terlalu dini untuk tertarik apalagi jatuh cinta. Perasaan harus dibuang jauh-jauh dalam pernikahannya. Cukup penuhi hak dan kewajiban saja atau mungkin ada kesepakatan yang akan dibuat seperti di novel-novel maka lakukan itu saja. Sampai takdir sendiri yang akan mengakhirinya. Tidak banyak yang menghadiri pernikahannya, hanya keluarga besar kedua belah
Akhirnya Dania merasa tenang setelah menemui kedua orangtuanya, sekarang masalahnya berada di pihak Rain, ia masih harus berbicara dengan Monika, dan kebetulan hari itu Monika datang lagi ke rumahnya, sepertinya wanita itu tidak mau menyia-nyiakan kesempatan untuk merebut kembali posisi yang telah diambil oleh Marina. Rain merasa tidak nyaman dan bersalah melihat Kedatangan Monika, ia tiba-tiba mengingat kembali bagaimana keadaan wanita itu saat ia mengatakan akan menikah dengan Marina, wajah cantiknya menjadi sendu dan tidak bersemangat, setiap kali bertemu, dia selalu menangis dan menyalahkan diri sendiri. "Apa kamu keberatan kalau aku datang lebih sering?" ucap Monika begitu ia duduk di kursi yang ada di hadapan Rain, kala itu Rain sedang berada di ruang kerja. Mereka sebelumnya memang sedekat itu, Marina bahkan tidak berani memasuki ruangan itu tanpa perintah Rain. "Tidak juga, tapi aku merasa sedikit terganggu kalau kamu seperti ini, kita bukan lagi pasangan dua atau tiga t
Rain memperbaiki posisinya, aura ketampanan dan kharismanya membuat semua orang menunggu ia untuk berbicara. "Saya akan memperkenalkan diri terlebih dahulu, Saya Rainer Milano yang akan bertanggung jawab atas Dania, saya datang karena ingin meminta restu kepada Ibu dan Bapak. Pernikahan kami akan segera diselenggarakan dan sudah tidak dapat dibatalkan lagi." Walaupun penyampaiannya cukup santai ada ketegasan dalam ucapannya yang tidak ingin dibantah. "Kamu bukan laki-laki yang melakukannya?" tanya Andre dengan tatapan menyelidik. "Saya bukan laki-laki seperti itu." Rain terlihat sangat berwibawa. Andre menjadi sangat bersalah. "Maaf karena kamu yang datang bersama Dania dan anaknya, aku pikir kamu pelakunya." "Jika aku adalah seorang kakak aku pun akan melakukan hal yang sama," Rain sangat berbesar hati, Dania lega mendengarnya. "Kenapa kamu mau menikahi, Dania?" sahut Bu Tari. "Karena dia ibu susu putraku," jawab Rain. "Anak ini putramu?" Bu Tari tidak ingin percaya.
Akhirnya meraka tiba di depan rumah Dania, beberapa orang yang lewat tidak berkedip melihat mobil mewah terparkir di depan rumah keluarganya. Rain menunggu Dania bersiap keluar dari mobil. Dania berkali-kali menghela nafas untuk menghilangkan rasa gugupnya. Begitu ia hendak membuka pintu mobil, ia melihat ayahnya muncul dari balik pintu sedang mengamati mobil yang sedang terparkir di depan rumahnya. "Itu ayahmu?" Rain penasaran. "Iya," ucap Dania dengan suara bergetar, Rain mengerti keadaannya. Ia mengambil alih Erlangga agar Dania bisa lebih leluasa. Dania keluar dari mobil dengan was-was dan gelisah, Pak Fadli terkesiap melihatnya. Ia diam sambil menatap dengan sorot mata yang penuh kerinduan. Assalamu'alaikum...!" sapa Dania dengan hati-hati. "Waalaikumussalam...!" balas Pak Fadli dengan ekspresi dingin. "Ayah, apa kabar?" Dania tidak berani menyentuh tangan ayahnya, suaranya bergetar dan air matanya luruh begitu saja. Ia beranikan diri untuk menyalami tangan ayahnya
Beberapa hari telah berlalu dan pernikahan yang diputuskan Bu Dewi harus tetap terlaksana. Rain tampak tidak peduli karena sudah tau akhirnya akan tetap seperti itu kecuali kalau neneknya itu tiba-tiba meninggal. Sementara Dania, semenjak kata pernikahan keluar dari mulut Bu Dewi ia menjadi gelisah setiap hari. Dania kembali ingin berbicara dengan Rain, kebetulan Rain sedang ingin menemui putranya, Rain langsung masuk ke kamar putranya setelah memastikan Dania sudah berpakaian rapi dan ada Rena juga. "Maaf, Pak. Bu Dewi sudah mengatur waktu pernikahan kalau kita tetap diam seperti ini pernikahan akan benar-benar akan terjadi, apa tidak ada cara untuk membatalkannya?" Dania ternyata belum menyerah. Rena di sampingnya sampai menyenggol agar tidak berkata sembarangan. "Ternyata kamu belum mengerti juga, ya? Dari pada mengatakannya padaku kenapa tidak langsung bernegosiasi dengan nenek saja?" Rain melihat ke arah Dania yang langsung menunduk. "Sudah, Pak." Dania melemah. Jawaban B