"Kau tahu apa yang paling menyakitkan dalam sebuah hubungan?
Menjadi pilihan antara dirimu dan seseorang yang baru dia kenal"================Pagi belum sepenuhnya datang. Sisa pekat masih bergelayut di langit yang mulai membiaskan cahaya merah jambu di ufuk timur. Sepertinya sang surya malu-malu beranjak dari peraduan. Aroma tanah basah begitu kentara menggelitik hidung, sementara butiran air setia menggantung di ujung daun, sisa hujan semalam.Di dalam kamar yang didominasi warna putih, Lintang berbaring di atas ranjang sambil menatap langit-langit kamar. Lingkar hitam terlihat jelas di bawah mata wanita tersebut, menandakan dia tak pernah tidur cukup waktu. Tentu saja, wanita mana yang bisa tidur dengan tenang, sementara rumah tangganya tidak baik-baik saja.Semua memori lima tahun terakhir berduyun-duyun datang memenuhi benaknya, menyulut sakit di dada. Sejak memutuskan menikah, Lintang tak pernah membayangkan rumah tangganya akan berakhir dengan perceraian. Wanita itu melakukan apa pun agar rumah tangga mereka--dia dan Arsen--tak tersentuh masalah apa pun. Siapa kira dia kecolongan oleh orang terdekat, seseorang yang tidak dia perhitungan. Lintang merasa dirinya begitu naif, begitu mudah mempercayai orang lain, bahkan memaksa Arsen menerima Anita bekerja di percetakan mereka. Entah bagaimana awal perselingkuhan itu terjadi. Mungkin saat dia lelah dengan kehamilannya yang semakin membesar atau saat dia tengah beristirahat total karna mengalami pendarahan mendekati persalinan.Lintang tak mau menebak kebusukan keduanya, hanya akan menambah tetesan asam di atas lukanya. Semua telah terjadi dan tak mungkin dihapus lagi. Faktanya, Arsen berhasil menyembunyikan kebusukan itu delapan bulan lamanya. Entah sejauh apa hubungan mereka, tetapi Lintang berani bertaruh keduanya telah sampai pada tahap yang begitu intim.*"Tega kau, Mas! Apa kurangku, hingga kau bermain di belakangku? Saat aku tengah meregang nyawa melahirkan putri kita, kau malah berzina dengan wanita itu. Terkutuk kau!" raung Lintang, sekuat hati membendung titik-titik air yang mulai menggenang di pelupuk matanya."Sayang, maaf ... aku khilaf," pinta Arsen lirih, tetapi dia masih memeluk tubuh Anita yang bergetar ketakutan akibat amukan Lintang.Lintang berdecih dengan senyum mengejek terbit di bibirnya. Sekilas dia melihat tarikan senyum di sudut bibir Anita, meski tidak kentara. Wanita itu memang ular. Dia bersikap seolah-olah tak berdaya, tetapi itu hanya untuk mendapatkan pembelaan dari Arsen dan suaminya itu begitu gagah berani menyelamatkan wanita licik itu tanpa memikirkan perasaannya."Khilaf?! Kau tau ... kalian memang pantas bersama. Kotoran memang harus berada di tempat sampah dan kau tidak hanya memungut, tetapi menjilat sampah dengan lidahmu. Kau cocok bersanding dengan pelacur itu," tuding Lintang rendah, tetapi terdengar tajam menusuk membran telinga Arsen."Lintang!" seru Arsen, wajah pria itu merah padam menahan marah. Ucapan sang istri menohok hatinya membuat dia meradang. "Jaga bicaramu, Anita tidak seperti itu.""Oh ya?!" Lintang tersenyum kecut, lagi Arsen membentaknya demi membela selingkuhannya. "Lalu apa gelar yang pantas kusematkan pada kalian berdua? Sebutan apa yang pantas untuk wanita penggoda suami orang lain? Dan yang lebih menyakitkan orang itu yang memungutnya dari jalanan," lanjutnya dengan suara bergetar.Arsen melepaskan pelukannya pada tubuh Anita, menyembunyikan wanita itu di balik punggungnya, seolah tatapan sang istri bisa melukainya. "Kami saling mencintai," aku Arsen menatap Lintang dengan sorot sendu, seolah meminta pemakluman atas pengakuannya.Lintang tertawa keras mendengar pengakuan sang suami. Sangat keras, hingga air mata yang dia tahan sejak tadi tergelincir jatuh di pipi. Pengakuan Arsen seperti anak panah yang mengandung racun yang melesat tepat ke jantungnya, menciptakan ngilu yang perlahan menggerogoti tubuh. Dia bahkan sekuat tenaga mengokohkan pijakan pada lantai marmer agar tak jatuh. Tak ingin terlihat lemah dan menyedihkan, tidak di depan dua pecundang itu."Cinta ... begitu mudah kau mengucapkan itu, Mas," ejek Lintang dengan tawa masih tersisa di wajahnya. Perlahan wanita itu menyusut kasar air matanya, menenangkan dada yang bergemuruh diamuk rasa marah dan kecewa."Ceraikan aku ...," ucap Lintang pelan, tetapi ada ketegasan di sana.Arsen menggeleng tak percaya, meski sempat terlintas jika Lintang meminta hak seperti itu, tapi dia tak pernah mengira mendengar secepat ini. "Tidak! Aku tidak akan pernah menceraikanmu. Aku mencintaimu, Lintang.""Cinta?! Persetan dengan cinta. Simpan saja cinta busukmu itu untuk wanita itu, aku tidak sudi," dengkus Lintang tajam. "Ceraikan aku atau kulaporkan kalian dengan tuduhan perzinahan. Kau tau apa konsekuensinya. Tidak hanya secara hukum negara, tetapi juga hukuman sosial. Jangan kira aku akan diam saja," ancamnya dengan nada dingin."Jangan mencoba, Lintang. Ini hanya masalah sepele.""Sepele?! Berzina dengan wanita lain kau bilang sepele? Kau seperti penjahat kelamin. Aku tak sudi berbagi dengan sampah!""Cukup, Lintang. Kau tak mengerti apa yang kami rasakan. Jika kau ingin perceraian, maka kau dapatkan. Aku menalakmu hari ini juga!"Lintang terperangah mendengar ucapan yang terlontar dari mulut Arsen. Dia hanya menggertak saja, siapa kira pria itu meluluskan begitu saja. Pun Arsen terkesiap mendengar suaranya sendiri. Menceraikan Lintang adalah hal terakhir yang akan dia lakukan di dunia. Dia sangat mencintai wanita tersebut, tetapi ucapan Lintang begitu pedas sekaligus tajam, memprovokasi harga dirinya sebagai pria. Kini yang tersisa adalah penyesalan karena telah mengucapkan kalimat terkutuk itu."Baiklah ... terima kasih." Lintang menganjur napas panjang dan dalam, seraya mengelap sisa air matanya. "Aku tak punya kepentingan lagi di sini." Sekuat tenaga dia mengumpulkan puing kekuatannya, lalu perlahan meninggalkan rumah itu, rumah yang selalu menorehkan luka.*"Sayang ...." Suara yang sangat dia kenali menyapa gendang telinga, Arsen. Mencabut jalinan ingatan kelam beberapa hari yang lalu, yang hampir terhubung sempurna.Terdengar langkah kaki mendekat, begitu pelan. Sepertinya dia ragu untuk mendekat. Lintang segera menyibak selimut dan duduk di pinggir ranjang, dia menunggu."Apa keputusanmu tidak bisa diubah lagi?" Arsen berdiri tepat di belakang Lintang, di sisi ranjang yang lain.Lintang hanya diam, tak berminat menjawab pertanyaan pria itu. Untuk apa Arsen bertanya tentang keputusannya, bukankah dia sudah menjatuhkan talak untuknya. Artinya, tidak ada lagi yang harus dipertanyakan.Tak mendapat jawaban dari Lintang, Arsen bergerak mendekat. Dia menjatuhkan lutut tepat di hadapan wanita bersorot teduh itu. Gemetar tangannya meraih tangan si wanita, lalu menyatukan dalam genggamannya. Sementara Lintang hanya menatap lurus ke depan, menghindari tatapan sang pria."Jangan pergi ... aku masih mencintaimu," lirih suara Arsen terdengar memohon, "kasihan putri kita," imbuhnya pelan.Lintang mendengkus pelan saat Arsen menyinggung putri mereka. Seulas senyum tipis terukir di bibirnya. "Apa kau memikirkan putri kita saat memgkhianatiku? Aku rasa tidak! Jangan jadikan dia senjata untuk memaklumi perbuatanmu," sahutnya sinis."Setidaknya beri aku kesempatan. Aku masih sangat mencintaimu, Lintang." Arsen mengecup pelan dan lama tangan sang wanita dalam genggaman. Akan tetapi, Lintang segera menarik kedua tangannya, dia berdiri, berjalan menuju jendela kamar yang berada tepat di hadapan.Wajah ayu milik Lintang terlihat jelas saat terpapar cahaya matahari yang mulai merangkak naik. Rautnya begitu sendu, sorot mata wanita itu kosong dan jauh. Arsen bangkit, meremas rambutnya dengan mata memerah. Dia frustasi dengan keadaan ini, tidak ingin kehilangan Lintang."Jangan mendekat!" tolak Lintang saat mendengar langkah Arsen, membuat pria tersebut urung melangkah.Lintang berbalik dengan bersedekap. "Keputusanku final. Aku akan keluar dari rumah ini. Segera urus surat perceraian kita, agar semua cepat selesai," pintanya dengan raut datar.Arsen menggeleng. "Tidak adakah kesempatan untukku? Tak bisakah aku memiliki kalian berdua?" Pria itu memohon dengan nada memelas.Lintang menggeleng pelan dengan raut tidak percaya di wajahnya. Begitu mudah Arsen mengatakan hal seperti itu. "Bukan tak bisa ... aku yang tidak mau. Aku tidak sudi hidup dengan para pengkhianat," tolaknya tajam, menghujam tepat ke manik milik Arsen, membuat pria itu diam tanpa mampu menyanggah.BersambungPekarangan rumah yang ditumbuhi pepohonan pinus terlihat rindang. Suara gemericik air yang jatuh ke dalam kolam membuat pendengaran menjadi tenang. Di bawah canopy berwarna biru, di bagian kiri disusun banyak tanaman hias beraneka ragam. Mulai dari mawar, anggrek, kaktus, dan sebangsa daun keladi, lengkap dengan jenis dan warna masing-masing. Seorang wanita yang rambut hitamnya sudah disela uban, terlihat mengamati anak-anak kecil berlarian di pekarangan yang sangat sejuk tadi. Dia beberapa kali ikut tertawa melihat tingkah lucu mereka. Wanita itu adalah Lintang. Setelah bertahun-tahun mengalami cobaan, kemudian menikah dengan Satya, tidak serta-merta membuat hidup Lintang dihujani kebahagiaan. Begitu banyak masalah yang menghadang. Akan tetapi, keduanya bisa melewati kerikil-kerikil tajam dengan berbekal kepercayaan dan cinta yang besar. Saling percaya dan menghormati menjadi kunci keharmonisan rumah tangga mereka. Lintang lagi-lagi tersenyum kecil melihat keriuhan yang tercipta da
"Siapa yang bisa menentang jalan takdir. Bila Dia telah berkehendak, langit dan bumi pun tak akan sanggup menghalangi."==============Lintang meraba dadanya yang kini berdentum-dentum, ada haru yang menyelimuti hatinya. Menatap pantulan diri di dalam cermin, ada seraut wajah yang kini sedang tersenyum bahagia dengan riasan wajah sederhana. Wajah yang dulu kuyu dan menyimpan banyak luka di matanya, kini bersinar bak mentari pagi. Setelah bertahun berlalu, bahagia itu datang menghampiri. Tidak dengan memaksa, tetapi hanya merayu Yang Maha Kuasa dengan doa dan pengabdian tinggi."Ayo, Lintang semua sudah menunggu."Bunda Dewi menghampiri Lintang. Dia membingkai wajah wanita itu dengan kedua telapak tangannya. Senyum tulus dia ukir di wajahnya yang telah menua."Bunda berdoa semoga kebahagiaan ini tak pernah lekang dari hidupmu."Lintang mengangguk pelan, memeluk wanita yang telah berjasa membimbing menjemput hijrahnya. Setetes air mata jatuh tergelincir di pipinya. Tak ada kata yang bis
Kamu BagikuBertemu denganmu tak pernah kukira. Memilikimu adalah ingin, jatuh cinta padamu di luar nalar, dan menyandingmu bukan kemampuanku.Engkau laksana cahaya yang kutitipkan pada mentari pagi, hangat, dan menyulut semangat dalam diri. Engkau juga seperti senjakala, membias indah di cakrawala. Cahayamu indah menggugah rahsa, lesapkan gundah di dalam sukma.Hadirmu memberi terang sekaligus tenang. Engkau adalah puncak segala keindahan. Cinta ini begitu megah dan tertanam kokoh di dalam dada. Begitu besar inginku milikimu. Tak jemu merayu Sang Pemilik Cinta di sepertiga malam, agar sedia menyandingkan nama kita di lauh mahfuz. Bermimpi merenda cinta penuh makna, saling menggenggam hingga usia menua.Janjiku padamu duhai sang pemilik rahsa. Andai Tuhan takdirkan kita menempuh perjalanan bersama, kujaga setia sampai nadi, lalu memupuk cinta membiarkannya menyemak belukar. Hati ini akan selalu berdebar karenamu, hingga jantungku berhenti berdetak.Setiap helaan napasku akan selalu me
Lintang tertawa melihat Gayatri sibuk menangkap kupu-kupu dengan jaring kecil yang terbuat dari potongan jala yang dijepit dengan bambu tipis dan dibuat menyerupai bentuk kerucut. Tawa batita itu berderai-derai ketika kupu-kupu tersebut beterbangan ketika dihampiri. Udara di seputaran komplek olah raga terasa sangat sejuk. Apalagi di kala sore hari. Banyaknya pepohonan besar yang tumbuh berjajar membuat udara terasa sangat rindang. Lintang memperhatikan sekeliling, banyak orang berlalu lalang. Entah hanya untuk menghabiskan sore atau memang sekadar berolah raga. Ada juga yang memang sengaja datang untuk berburu aneka macam kuliner kekinian yang dijual berjejer sepanjang jalan.Pun Lintang. Sejak memutuskan untuk menjauh dari Satya dan masa lalunya yang menyakitkan, wanita itu memilih kota Padang sebagai tempatnya menenangkan diri. Sebuah kota yang terletak di pesisir pantai, dengan jumlah penduduk yang tidak terlalu padat. Sengaja Lintang memilih kota tersebut, selain penduduknya yan
Tangan Anita mengerat memegang pulpen yang diberikan Handoko. Matanya nanar membaca surat perjanjian di atas meja. Hari ini dia diperbolehkan pulang. Sayangnya, tanpa membawa apa pun. Tidak buah hati yang tidak pernah disusui atau lelaki yang dia cintai. Semua kembali ke awal. Dia masuk seorang diri, kini keluar pun sebagai fakir."Tunggu apalagi? Makin lama kau menahan, semakin lama pula putramu mendapat penanganan."Suara Handoko menggedor pertahanan Anita yang memang sudah rapuh. Ketegaran yang dia bangun dan terlihat kokoh, sebenarnya sudah keropos sejak awal. Dia saja yang keras kepala bertahan untuk sesuatu yang semu. Kini, keyakinan yang telah disematkan sejak semalam, perlahan melonggar. Bayang-bayang kerinduan kepada putranya kelak, kembali menggoyahkan teguh Anita. "Aku tidak punya banyak waktu untuk menunggu tanda-tanganmu saja." Handoko bangkit dari kursi dan merapikan jasnya. "Jika kau mundur, aku akan minta perawat melepas alat penunjang hidup anakmu""Jangan! Saya moho
Anita terenyuh melihat bayinya yang berada di dalam kotak inkubator. Bayi lelaki yang dia kandung selama sembilam bulan terlihat sangat kecil, lemah, dan tidak berdaya. Bahkan, wanita itu takut untuk menyentuhnya saja. Seolah-olah sentuhannya bisa menyakiti bayi tersebut. Anita membekap mulutnya untuk meredam tangis yang pecah sejak masuk ke ruangan NICU. Ada yang berdentang hebat di dada, menyakiti dan membuat ngilu ke sekujur tubuhnya. Anita lemah, dia tidak berdaya melihat buah hatinya tergeletak hanya memakai popok dengan wajah membiru."Bagaimana anak saya, sus?" tanya Anita melihat seorang perawat mendekatinya."Untuk saat ini menunggu keadaannya stabil. Harus segera dilakukan operasi, karena katup jantungnya bocor.""Berapa biaya operasinya?" tanya Anita lagi dengan lirih."Sekitar seratus juta, Buk. Itupun resikonya sangat besar. Setelah operasi harus dilakukan perawatan berkala."Mendengar penjelasan perawat tersebut tubuh Anita seketika lunglai. Tenaganya benar-benar tersed