"Kadang memilih pergi bukan karena tak ingin berjuang. Akan tetapi, karena merasa sesuatu itu tidak pantas diperjuangkan."
=================Aroma masakan menguar dari arah dapur. Sesekali terdengar suara air dan denting sendok beradu dengan wajan. Suara itu terdengar ke telinga Lintang, meski samar. Wanita tersebut mengendus memastikan aroma yang menggelitik hidungnya. Dia meraih weker yang ada di atas meja kecil di samping ranjang. Dahinya berkerut saat jam menunjukkan pukul delapan pagi. Siapa yang memasak di dapurnya sepagi ini? Di rumah, mereka tidak memiliki asisten rumah tangga. Lintang masih mampu menangani pekerjaan rumah sendiri. Hidup yang keras di masa kecil mengajarinya agar tidak bergantung kepada orang lain.Didorong rasa penasaran, Lintang bangkit dari ranjang, lalu mengikat rambut panjangnya asal. Wanita itu melangkah keluar dari kamar setelah mencuci mukanya terlebih dahulu. Saat melintas di depan kamar tamu--tempat Arsen tidur setelah pria itu menjatuhkan talak--dia berhenti. Pintu kamar pria itu masih tertutup rapat, jadi kemungkinan Arsen yang memasak sangat kecil.Lintang kembali melangkah ke dapur. Hampir saja dia memaki sosok yang kini sedang berkutat di dapur, sibuk menyiapkan masakan yang menguarkan aroma sedap. Belum tiga hari perselingkuhan mereka terbongkar, pagi ini Anita begitu berani datang dan menguasai dapurnya. Lintang menyesali diri yang begitu mudah memberi kunci duplikat untuk wanita tersebut, memberi akses keluar masuk dengan bebas."Rupanya kau memang bermuka tebal!" sindir Lintang ketus.Anita berbalik dan langsung mendapati manik Lintang yang menajam ke arahnya. "Maaf ... aku hanya ingin menyiapkan sarapan untuk kalian. Sebagai permintaan maaf."Lintang terperangah mendengar jawaban Anita. Mungkin otak wanita itu sudah bergeser jauh. Sebuah pengkhianatan akan dimaafkan dengan menyiapkan sebuah sarapan? Wanita itu sudah gila rupanya."Aku ... aku tau kau masih marah. Karena itu aku datang kemari ingin meminta maaf. Tak bisakah kita bicara dengan kepala dingin?" pinta Anita pelan .Lintang menggeleng tak percaya. Takjub dengan keberanian wanita di hadapan, lebih tepatnya heran dengan rasa malu yang sudah hilang dari hati si wanita. "Kepala dingin? Coba saja kau berada di posisiku, apa kau masih bisa menghadapi seorang pencuri dengan kepala dingin? Pencuri yang kupungut dari tempat sampah!""Apa jatuh cinta itu salah?" tanya Anita mencoba menantang, dia meremas jemari yang terjalin di depan dada.Tawa Lintang tersembur keluar mendengar pertanyaan Anita. Miris dengan pertanyaan yang dilontarkan wanita tersebut. Apa dia lupa sedang bertanya dengan siapa? Ingin rasanya Lintang menghampiri, lalu mencakar wajah yang tampak tak berdosa itu, menjambak rambutnya dan mematahkan tangan yang entah berapa kali menjamah tubuh Arsen. Akan tetapi, dia masih mampu menahan diri. Tak ingin mengotori tangannya lagi."Tidak salah jika yang kau cintai itu pria single. Bukan seorang suami dan ayah dari seseorang yang mengangkat derajatmu!" jawab Lintang ketus."Tapi, Mas Arsen tidak menolakku. Artinya dia tidak masalah," sergah Anita lebih berani.Mendengar jawaban tersebut membuat ketenangan yang dibangun Lintang runtuh seketika. Wanita itu meradang, tubuhnya seolah sedang terbakar dari dalam, membuat darahnya mendidih seketika. Dia hendak bergerak maju ingin menuntaskan apa yang dirancang benaknya dari tadi. Akan tetapi, tangan wanita tersebut dicengkeram kuat seseorang. Dia menoleh dan melihat Arsen yang entah sejak kapan ada di sampingnya."Bagus kau datang. Atur jalangmu agar tidak seenaknya keluar masuk rumah ini. Setidak nya sampai aku keluar dari sini!" Lintang berkata dengan intonasi tinggi, menahan gelegak emosi yang membakar dada.Setelah mengucap itu, Lintang menyentak tangan Arsen kasar, hingga terlepas. Melirik sinis sebentar ke arah keduanya, lalu melangkah pergi menuju kamar. Begitu pintu kamar ditutup, air matanya kembali jatuh tanpa dikomando. Tubuh wanita itu merosot luruh ke lantai. Tangisnya kembali pecah. Membekap mulutnya kuat dengan kedua tangan, tak ingin tangis itu terdengar keluar. Dia tak peduli apa yang dilakukan dua orang itu di luar sana. Keputusannya semakin bulat untuk berpisah. Arsen seakan sudah takluk pada Anita, hingga tak terdengar sepatah kata menegur wanita tersebut. Mungkin juga kedatangannya ide sang pria, berharap bisa meluluhkan hatinya. Namun, mereka salah. Tekadnya semakin bulat untuk berpisah, karena akal sehatnya bisa hilang jika terus bertahan di rumah itu lebih lama lagi.*Lintang tersenyum melihat putrinya yang mulai belajar berjalan. Dalam hati dia bersyukur memiliki malaikat kecil itu di hidupnya. Hanya dia penguatnya sekarang. Alasan wanita itu masih bisa tersenyum, membuat kewarasannya tetap terjaga. Dia mengalihkan pandangan ke cermin yang memantulkan bayang dirinya. Sesosok wanita dengan tinggi semampai dalam balutan kemeja putih dan jeans berwarna telur asin. Rambut panjangnya diikat tinggi menyerupai ekor kuda. Tak ada riasan berarti di wajahnya, hanya lipstik berwarna merah darah yang membuat wajahnya tidak terlihat pucat.Lintang mencoba menarik kedua sudut bibirnya, membentuk lengkung bulan sabit. Senyum itu terukir, tetapi tidak sempurna. Tidak ada ketulusan di sana, bahkan sorot mata tak bisa berbohong, menceritakan jika dia tidak baik-baik saja. Cepat Lintang memalingkan wajah, menatap kembali putrinya yang merangkak menghampiri dirinya."Hai, Sayang ... siap hidup bersama bunda?" lirihnya dengan suara tercekat, menelusuri wajah mungil sang putri.Sang putri yang berusia delapan bulan itu hanya tersenyum sambil meraba pipi Lintang. Dia mengusap hidung dan mata wanita itu, seolah mengajak wanita yang telah rapi itu melupakan gundahnya. Lintang mencium pipi gempil putrinya. Matanya kembali memanas karena sensasi ngilu di dalam dada seolah ada yang meremas di sana. Membayangkan sang putri akan hidup tanpa didampingi sosok seorang ayah. Lagi-lagi hatinya tersayat luka. Perih dan menyiksa. Akan tetapi, dia kembali menguatkan diri, mensugesti hati jika dia mampu berdiri dan bangkit dari keterpurukan ini.Dia mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar. Memperhatikan setiap detail ruangan yang mungkin nanti ditempati wanita lain. Sesak kembali berbondong-bondong menghampiri hatinya, tak ingin larut dalam kesedihan, dia menyeret koper keluar dari kamar tersebut sambil menggendong sang putri dengan tangan kanan."Sayang ...." Langkah Lintang tertahan memdengar suara Arsen.Pria itu mendekat perlahan. Mengikis jarak yang dibentangkan Lintang. Lama dia menatap wajah sang wanita membuat Lintang memalingkan wajah ke arah lain. Dia tak ingin luluh. Cukup sekali Arsen menoreh luka."Sekali lagi, pikirkanlah kembali. Meski ada Anita, tetapi perasaanku tak berubah. Kau tetap yang utama di hatiku," ujar Arsen memelas berharap wanita tersebut berubah pikiran."Maaf, aku sudah capek membahas ini. Kau tau aku tidak akan berubah pikiran. Jadi hentikan," tolak Lintang tegas.Arsen mengembuskan napas lelah. Pendirian Lintang sangat kuat, bahkan wanita itu berkata tanpa ada getar ragu di nada suaranya. "Setidaknya tetaplah tinggal di rumah ini. Jangan pergi,"Lintang menggeleng cepat. "Aku tidak mau tinggal di rumah yang pernah dipakai berzina," sahutnya lugas, membuat Arsen bungkam seketika.Melihat Arsen yang bergeming, membuat Lintang tak ingin berlama-lama bersama sang pria. Dia menyeret kopernya menuju pintu keluar."Setidaknya biarkan aku mengantarmu!" seru Arsen mengejar langkah Lintang.Lintang menulikan telinganya, lagipula di pekarangan telah menunggu mobil sewaan yang dia pesan di aplikasi. Melihat seorang wanita mendekat, sang sopir gegas mengambil kopernya dan memasukkan ke dalam bagasi, sementara Lintang masuk ke dalam mobil tanpa peduli seruan Arsen. Dia menatap sendu dari istana kecilnya ketika mobil bergerak perlahan menjauh, semakin jauh hingga objek pandangan tak lagi terlihat.Pekarangan rumah yang ditumbuhi pepohonan pinus terlihat rindang. Suara gemericik air yang jatuh ke dalam kolam membuat pendengaran menjadi tenang. Di bawah canopy berwarna biru, di bagian kiri disusun banyak tanaman hias beraneka ragam. Mulai dari mawar, anggrek, kaktus, dan sebangsa daun keladi, lengkap dengan jenis dan warna masing-masing. Seorang wanita yang rambut hitamnya sudah disela uban, terlihat mengamati anak-anak kecil berlarian di pekarangan yang sangat sejuk tadi. Dia beberapa kali ikut tertawa melihat tingkah lucu mereka. Wanita itu adalah Lintang. Setelah bertahun-tahun mengalami cobaan, kemudian menikah dengan Satya, tidak serta-merta membuat hidup Lintang dihujani kebahagiaan. Begitu banyak masalah yang menghadang. Akan tetapi, keduanya bisa melewati kerikil-kerikil tajam dengan berbekal kepercayaan dan cinta yang besar. Saling percaya dan menghormati menjadi kunci keharmonisan rumah tangga mereka. Lintang lagi-lagi tersenyum kecil melihat keriuhan yang tercipta da
"Siapa yang bisa menentang jalan takdir. Bila Dia telah berkehendak, langit dan bumi pun tak akan sanggup menghalangi."==============Lintang meraba dadanya yang kini berdentum-dentum, ada haru yang menyelimuti hatinya. Menatap pantulan diri di dalam cermin, ada seraut wajah yang kini sedang tersenyum bahagia dengan riasan wajah sederhana. Wajah yang dulu kuyu dan menyimpan banyak luka di matanya, kini bersinar bak mentari pagi. Setelah bertahun berlalu, bahagia itu datang menghampiri. Tidak dengan memaksa, tetapi hanya merayu Yang Maha Kuasa dengan doa dan pengabdian tinggi."Ayo, Lintang semua sudah menunggu."Bunda Dewi menghampiri Lintang. Dia membingkai wajah wanita itu dengan kedua telapak tangannya. Senyum tulus dia ukir di wajahnya yang telah menua."Bunda berdoa semoga kebahagiaan ini tak pernah lekang dari hidupmu."Lintang mengangguk pelan, memeluk wanita yang telah berjasa membimbing menjemput hijrahnya. Setetes air mata jatuh tergelincir di pipinya. Tak ada kata yang bis
Kamu BagikuBertemu denganmu tak pernah kukira. Memilikimu adalah ingin, jatuh cinta padamu di luar nalar, dan menyandingmu bukan kemampuanku.Engkau laksana cahaya yang kutitipkan pada mentari pagi, hangat, dan menyulut semangat dalam diri. Engkau juga seperti senjakala, membias indah di cakrawala. Cahayamu indah menggugah rahsa, lesapkan gundah di dalam sukma.Hadirmu memberi terang sekaligus tenang. Engkau adalah puncak segala keindahan. Cinta ini begitu megah dan tertanam kokoh di dalam dada. Begitu besar inginku milikimu. Tak jemu merayu Sang Pemilik Cinta di sepertiga malam, agar sedia menyandingkan nama kita di lauh mahfuz. Bermimpi merenda cinta penuh makna, saling menggenggam hingga usia menua.Janjiku padamu duhai sang pemilik rahsa. Andai Tuhan takdirkan kita menempuh perjalanan bersama, kujaga setia sampai nadi, lalu memupuk cinta membiarkannya menyemak belukar. Hati ini akan selalu berdebar karenamu, hingga jantungku berhenti berdetak.Setiap helaan napasku akan selalu me
Lintang tertawa melihat Gayatri sibuk menangkap kupu-kupu dengan jaring kecil yang terbuat dari potongan jala yang dijepit dengan bambu tipis dan dibuat menyerupai bentuk kerucut. Tawa batita itu berderai-derai ketika kupu-kupu tersebut beterbangan ketika dihampiri. Udara di seputaran komplek olah raga terasa sangat sejuk. Apalagi di kala sore hari. Banyaknya pepohonan besar yang tumbuh berjajar membuat udara terasa sangat rindang. Lintang memperhatikan sekeliling, banyak orang berlalu lalang. Entah hanya untuk menghabiskan sore atau memang sekadar berolah raga. Ada juga yang memang sengaja datang untuk berburu aneka macam kuliner kekinian yang dijual berjejer sepanjang jalan.Pun Lintang. Sejak memutuskan untuk menjauh dari Satya dan masa lalunya yang menyakitkan, wanita itu memilih kota Padang sebagai tempatnya menenangkan diri. Sebuah kota yang terletak di pesisir pantai, dengan jumlah penduduk yang tidak terlalu padat. Sengaja Lintang memilih kota tersebut, selain penduduknya yan
Tangan Anita mengerat memegang pulpen yang diberikan Handoko. Matanya nanar membaca surat perjanjian di atas meja. Hari ini dia diperbolehkan pulang. Sayangnya, tanpa membawa apa pun. Tidak buah hati yang tidak pernah disusui atau lelaki yang dia cintai. Semua kembali ke awal. Dia masuk seorang diri, kini keluar pun sebagai fakir."Tunggu apalagi? Makin lama kau menahan, semakin lama pula putramu mendapat penanganan."Suara Handoko menggedor pertahanan Anita yang memang sudah rapuh. Ketegaran yang dia bangun dan terlihat kokoh, sebenarnya sudah keropos sejak awal. Dia saja yang keras kepala bertahan untuk sesuatu yang semu. Kini, keyakinan yang telah disematkan sejak semalam, perlahan melonggar. Bayang-bayang kerinduan kepada putranya kelak, kembali menggoyahkan teguh Anita. "Aku tidak punya banyak waktu untuk menunggu tanda-tanganmu saja." Handoko bangkit dari kursi dan merapikan jasnya. "Jika kau mundur, aku akan minta perawat melepas alat penunjang hidup anakmu""Jangan! Saya moho
Anita terenyuh melihat bayinya yang berada di dalam kotak inkubator. Bayi lelaki yang dia kandung selama sembilam bulan terlihat sangat kecil, lemah, dan tidak berdaya. Bahkan, wanita itu takut untuk menyentuhnya saja. Seolah-olah sentuhannya bisa menyakiti bayi tersebut. Anita membekap mulutnya untuk meredam tangis yang pecah sejak masuk ke ruangan NICU. Ada yang berdentang hebat di dada, menyakiti dan membuat ngilu ke sekujur tubuhnya. Anita lemah, dia tidak berdaya melihat buah hatinya tergeletak hanya memakai popok dengan wajah membiru."Bagaimana anak saya, sus?" tanya Anita melihat seorang perawat mendekatinya."Untuk saat ini menunggu keadaannya stabil. Harus segera dilakukan operasi, karena katup jantungnya bocor.""Berapa biaya operasinya?" tanya Anita lagi dengan lirih."Sekitar seratus juta, Buk. Itupun resikonya sangat besar. Setelah operasi harus dilakukan perawatan berkala."Mendengar penjelasan perawat tersebut tubuh Anita seketika lunglai. Tenaganya benar-benar tersed