Aku memarkirkan mobilku tepat di depan gang rumah gadis itu. Membuka kaca, ingin melihat keadaan Intan setelah apa yang aku lakukan dua bulan yang lalu.
Entah kenapa bayang-bayang wanita itu selalu menggangguku setiap malam. Aku hampir tidak bisa memejamkan mata mendengar jerit tangisnya yang begitu menyayat hati.
Sungguh, aku menyesali perbuatan terkutuk itu karena telah merenggut kesucian Intan. Mematahkan sayap-sayapnya, hingga ia tidak bisa terbang berkelana mencari jati dirinya. Aku sama seperti Radit dan kawan-kawannya. Bejat, tidak punya moral.
Setelah cukup lama aku mematung memandangi rumahnya. Tidak ada tanda-tanda kalau Intan berada di dalam. Apa dia pindah dari tempat ini karena harus menahan malu? Atau, jangan-jangan dia mengakhiri hidupnya seperti Lubna.
Perasaan bersalah terus berkecamuk dalam hati. Teringat saat Lubna selalu menangis di sepanjang harinya, tidak mau makan ataupun hanya sekedar meneguk air yang di suguhkan oleh ibu. Dia terus meratapi nasibnya sepanjang waktu hingga nekat mengakhiri hidupnya sendiri.
Belum sempat aku mengatakan kalau aku mencintai dan mau menerima keadaannya saat ini. Belum sempat aku memeluknya untuk meyakinkan dirinya kalau semua bisa kita lalui bersama, tetapi dia kini telah pergi meninggalkanku sendiri menikmati derita yang tak bertepi.
“Lubna maafkan aku, maafkan aku karena tidak peka dan tak pernah memelukmu saat kamu sedang menangis. Aku rindu sama kamu, Lubna. Aku rindu!” ratapku pilu.
Andai saja dulu tidak mendiamkannya, pasti dia masih bersamaku sekarang. Tapi semuanya telah terjadi, kucoba hadapi semua ini walaupun aku tidak mampu. Kini tinggal sebuah penyesalan yang selalu menyelimuti hati ditambah lagi harus hidup dalam bayang-bayang dosa kepada Intan, wanita yang kunodai
Malam kian merangkak larut. Aku terbangun ketika mendengar isakan tangis di dalam kamar. Penasaran, aku mencari sumber suara. Tangis itu persis seperti suara Lubna istriku. Kenapa dia menangis?
“Lubna, Ibu?” Mendekat ke arah jendela, melihat sebuah siluet hitam di balik tirai.
Tangis itu terdengar semakin pilu dan menyayat hati. Kusibak tirai kamarku, melihat bayangan siapa yang berada di balik jendela.
“Mas, tolong aku....” Lubna berdiri sambil menangis. Aku beringsut menjauh darinya saat dia terus mendekat ke arahku.
“Tolong aku, Mas. Tolong...,” ucapnya lagi seraya berjalan semakin mendekat.
“Lubna, tolong jangan mendekat!”
Dia terus berjalan ke arahku. Matanya melotot, lidahnya terjulur keluar dan badanya berlumuran tanah.
“Aidil, bangun. Bangun, Nak!” Aku tersentak kaget ketika seseorang mengguncang bahuku dan segera membuka mata, melihat Ibu tersenyum di hadapanku.
“Astaghfirullahaladzim,” ucapku sambil mengusap wajah.
Kenapa aku selalu memimpikan Luba dan Intan. Mengapa sekarang hidupku tidak tenang seperti ini?
“Makane, nek mau tidur itu baca doa dulu. Biar ndak mimpi yang jelek-jelek!” Ibu berujar sambil meninggalkan aku sendiri di kamar.
Aku mendesah panjang. Segera diri ini bangkit dari tempat peraduan, masuk ke dalam kamar mandi untuk membasuh badan. Setelah itu aku kembali berbaring di atas kasur sambil memainkan ponsel melihat foto pernikahanku dengan Lubna.
Lagi, air mata kembali menetes di pipi membayangkan kebahagiaan yang telah kita lalui bersama. Semuanya begitu singkat, para berandal itu telah merenggutnya dan memisahkan kami berdua.
Ketika bayangan masa lalu yang penuh canda dan tawa itu sedang menari-nari di ingatan, tiba-tiba otakku kembali berputar mengingat apa yang telah aku lakukan terhadap Intan. Air mata bocah itu, pekikannya yang tertahan karena aku menyumpal mulutnya menggunakan kain, begitu juga tatapan pilunya saat aku memaksa merenggut kehormatannya.
“Arrrrggg!” Menjambaki rambut sendiri, frustrasi. Lama-lama bisa gila di buatnya.
Aku membaui gurih masakan dari arah dapur. Perutku terasa lapar karena sejak pagi belum diisi sama sekali. Rasanya nafsu makanku menjadi hilang semenjak kejadian yang berturut-turut menimpaku.
Berjalan menuju dapur hendak mengambil nasi, namun langkah ini berderap kaku kala melihat seorang gadis berkerudung putih sedang mencuci piring di wastafel. Aku mengucek mata memastikan bahwa yang aku lihat saat ini bukanlah mimpi, sebab aku begitu mengenal tubuh mungil itu.
“Mbak siapa?” tanyaku untuk memastikan kalau diri ini tidak salah lihat.
Prang!
Gelas yang ada di tangannya terlepas begitu saja saat dia menoleh ke arahku. Wajah wanita itu pucat pasi. Dia terlihat ketakutan. Apa dia tahu kalau aku yang sudah merenggut kesuciannya?
“Rumah itu milik Ibuku, Bu. Dan Lubna tidak mempunyai hak sama sekali. Lagian Lubna sudah nggak ada!” tekanku sambil menatap mata Ibu yang mulai memerah menahan emosi.“Kamu itu benar-benar jahat Aidil. Otak kamu sudah dipengaruhi oleh istri kamu yang jahat itu. Pokoknya Ibu mau tinggal di sana setelah Wafa keluar dari rumah sakit!!” Ibu meninggikan nada bicaranya.Aku menghela nafas dalam-dalam kemudian mengembuskannya perlahan. Aku tidak mungkin mengizinkan Keluarga mendiang istriku tinggal di rumah Ibu, sebab itu bisa mengusik kebahagiaanku dan juga Intan. Aku tidak mau mengorbankan kebahagiaan Keluargaku demi orang lain."Kenapa Ibu tidak tinggal di rumah Radit, Bu? Ibu lupa ya, kalau Ibu pernah memenjarakanku sebelum kejadian ini. Bahkan Ibu bersekongkol dengan Radit untuk menghancurkan kebahagiaanku. Sekarang giliran susah, kenapa Ibu minta tolong sama aku, bukan kepada Radit?""Karena kamu menantu Ibu!" sentaknya.Aku memasang wajah datar menatap wanita yang teramat aku hormati
Suara tangis Arkana memecah keheningan serta membangunkanku dari lelapnya tidur. Karena kebiasaan burukku, setiap habis melaksanakan shalat wajib dua rakaat pasti kembali merebahkan bobot di atas tempat tidur.Gegas ku angkat tubuh malaikat kecilku yang kian bertambah montok dan terasa semakin berat. Intan benar-benar hebat. Dia kuat menggendong Arkana seharian, dan terkadang sambil mengerjakan pekerjaan lainnya.Sementara aku, baru beberapa menit menggendong tubuh bayi berusia tiga bulan ini, lenganku sudah terasa ngilu."Sama Ayah dulu ya, Bunda mau macak!" Intan menghampiri kami yang sedang duduk di kursi tengah lalu mencium pipi gembil putra kami."Ayahnya nggak dicium, Bun!" ucapku menggoda."Ayahnya nanti malam!" jawab Intan sembari melenggang pergi meninggalkan aku dan Arkana.Entah mengapa kali ini aku merasa mual saat mencium wangi masakan Intan. 'Ada apa denganku, apa aku sakit?' Aku bergumam sendiri dalam hati. "Loh, Mas. Kamu kenapa?" Intan mengusap lembut pipiku seraya
#Aidil.Aku masuk ke dalam mobil, menyalakan mesin kendaraan roda empat itu dan mengemudikannya menuju rumah orang tuanya Lubna. Aku ingin mencari tahu alasan kenapa mereka bekerja sama dengan Radit untuk menjebloskanku ke dalam penjara."Assalamualaikum!" Tok! Tok! Tok!Aku mengetuk pintu pagar rumah mantan mertuaku. Tidak lama kemudian Ibu keluar dan langsung membukakan pintu untukku."Ada apa, Aidil?" tanya Ibu seraya menatapku bengis."Saya mau bicara sama Ibu. Mengenai laporan Radit dan kehadiran Ibu serta Wafa di kantor polisi. Apa Ibu kerja sama dengan dia?" Aku menatap menghunus ke arah wanita berusia lebih dari setengah abad itu."Kalau iya memangnya kenapa, ada masalah?" sambung Wafa yang tiba-tiba sudah muncul dari balik pintu."Apa kalian lupa, Radit itu salah satu orang yang telah memperkosa Lubna. Kalian bukannya mempermasalahkan dia karena cepat bebas dari penjara, malah bekerja sama dengan orang yang telah menghancurkan masa depan keluarga kalian!" Hardikku menahan emo
Aku masih berdiri mematung di teras rumah sambil menghapus air mata yang berlomba-lomba jatuh dari pelupuk mataku. Jujur, walaupun aku marah dan kecewa sama Mas Aidil, tetapi aku tidak ingin dia dipenjara. Aku sangat mencintai dia dan sedang berusaha memaafkan kelakuan tidak bermoralnya itu.“Tan, Arkana nagis!” kata Ibu dengan intonasi sangat lembut, tetapi pendar di wajahnya terlihat berubah. Dia sepertinya ikut marah kepadaku.Aku masuk ke dalam, menyusui Arkana hingga putraku tertidur di pangkuan. Kutatap lekat-lekat wajah malaikat kecilku itu. Sangat tampan, persis seperti ayahnya.Dua bulir air bening kembali lolos dari pelupukku. Aku tidak bisa membayangkan jika nanti Mas Aidil harus ditahan dan aku akan berpisah dengan dia dalam waktu yang cukup lama. Membayangkannya saja diri ini sudah tidak sanggup, apalagi menjalaninya nanti.Aku menghela nafas panjang lalu meletakkan Arkana di atas kasur. Saat hendak keluar tiba-tiba kepalaku terasa pusing dan berputar-putar. Pandanganku
Intan mengerjapkan mata kemudian duduk membaca doa setelah tidur.“Sudah subuh, ayo sholat berjamaah. Mumpung kita masih bersama!” Sekuat tenaga menahan air mata supaya tidak tumpah di hadapan istriku.Wanita berkulit putih itu segera turun dari tempat tidur lalu masuk ke dalam kamar mandi.Huek! Huek!Terdengar suara Intan kembali muntah-muntah di kamar mandi. Aku segera menghampirinya, memijat tengkuknya dan mengelap keringat yang mulai menitik di dahi perempuan yang teramat aku cintai tersebut.“Nanti siang kita ke rumah sakit ya, Tan?” ucapku sembari terus memijat leher bagian belakang istriku.“Nggak usah, Mas. Aku nggak apa-apa, kok!” sahutnya pelan, hampir tidak terdengar.“Aku takut kamu kenapa-kenapa, Sayang. Soalnya sudah beberapa hari ini kamu sering muntah-muntah dan wajah kamu juga terlihat pucat sekali.”“Aku Cuma masuk angin doang, Mas. Aku nggak apa-apa!”“Tan, aku ingin kita kembali seperti dulu. Saling menyayangi dan melengkapi. Aku tidak mau kita terus-menerus seper
Intan menggigit bibir bawah. Buliran-buliran kristal perlahan mulai lolos dari mata indahnya, membuat jejak di pipi yang memerah karena menahan tangis.“Ma–maaf, aku Cuma syok aja, Mas. Karena ternyata orang yang aku anggap pelindung justru dialah yang telah menghancurkan hidupku. Hatiku hancur, Mas. Tolong izinkan aku untuk menenangkan diri!” kata Intan sambil menangis tergugu.Aku menarik tubuh mungil istriku ke dalam pelukan. Kami menangis berdua di kamar, dan aku sungguh menyesal karena dulu lebih mementingkan ego dari pada logika. Aku telah termakan hasutan syaitan yang justru sekarang menghancurkan hidupku.“Maafkan aku, Sayang. Sekali lagi aku minta maaf. Jika aku harus menebus kesalahan dengan nyawa juga aku siap, tapi jangan hukum aku seperti ini. Aku nggak sanggup!”Intan hanya menggeleng. Ia mempererat pelukannya sambil terus menghapus air mata.“Jangan diamkan aku, kalau kamu marah pukul saja aku, Intan. Aku tidak akan marah kalau kamu memukuli aku!”Istriku itu masih saja