“Ma-maaf, Mas, tadi saya kaget. Maaf juga sudah mecahih gelas. Tolong jangan pecat saya!” ucapnya gemetar.
Aku mendekat dan membantunya memunguti serpihan gelas yang tercecer di lantai, tetapi dia langsung beringsut menjauh dariku.
Kamu hanya menghancurkan gelas milikku Intan. Tetapi aku sudah menghancurkan seluruh hidup kamu.
“Ada apa?” Tergopoh Ibu berlari menghampiri kami.
“Maaf, Bu haji. Saya tadi tidak sengaja memecahkan gelas. Saya benar-benar minta maaf!” Intan terlihat ketakutan. Mata beningnya memerah dan berembun, mengingatkan aku akan kejadian malam itu, saat dia memohon kepadaku supaya tidak menyentuhnya.
“Ya Allah, Intan. Kalau kerja itu hati-hati. Tangan kamu ada yang luka nggak?” Ibu terlihat mencemaskan wanita itu.
Intan hanya menggeleng. Dengan cekatan ia mengambil sapu kemudian membuang serpihan-serpihan kaca itu ke dalam tong sampah.
Aku menarik kursi dan duduk dengan lengan bertumpu di atas meja makan. Selera makanku lenyap seketika, berubah menjadi perasaan tak karuan saat melihat Intan.
“Kenapa dia ada di sini, Bu?” tanyaku saat wanita yang sudah melahirkan diri ini tiga puluh tahun yang lalu itu duduk di sebelahku.
“Dia yang bakal bantuin Ibu beres-beres di rumah Aidil. Mbak Jum sudah tua dan minta pensiun. Jadi ibu harus mencari pengganti dia,” jawab Ibu membuatku bertambah kaget.
Dia bekerja di rumah ini? Itu tandanya aku akan melihat Intan setiap hari. Ya Tuhan, cobaan apalagi ini.
“Kamu kenapa sih, Dil. Kok tiba-tiba wajah kamu berubah pucat begitu?” Ibu menatapku menyelidik.
Aku mengusap wajah kasar, merasa terus saja dihantui rasa bersalah atas kematian Lubna juga karena diri ini telah menodai Intan. Aku benar-benar di buat frustrasi karenanya.
Melangkah keluar dari rumah, duduk di teras memandangi bunga-bunga Asoka merah yang di tanam oleh mendiang Istriku.
“Aku suka bunga ini, warnanya bagus!” kata Lubna saat menanam bunga tersebut.
Tiba-tiba angin berembus menusukkan hawa dingin di kulit. Aku lekas memetik bunga-bunga itu lalu membawanya ke makam Lubna, sebab firasatku mengatakan kalau saat ini mendiang istri tengah merindukan diriku.
Sesampainya di pekuburan, aku duduk bersila di atas tanah sambil terus mengusap makan Lubna. Kutancapkan beberapa tangkai bunga asoka yang sengaja aku bawa dari rumah, rasanya berat sekali kehilangan orang yang sangat aku cintai, apalagi kepergiannya dengan cara yang sangat tragis seperti itu. Kuseka air mata yang kembali mengalir membasahi pipi, ingin rasanya aku segera menyusul Lubna dan bahagia bersama dia di alam sana.
Senja mulai menampakkan diri. Aku masih duduk di pekuburan menemani Lubnaku, yang sedang tertidur di bawah gundukan tanah berniat menghabiskan malam ini hanya berdua saja dengannya.“Mas, sudah malam loh. Nggak pulang?” sapa seorang laki-laki yang mungkin penjaga makam-makam yang ada di sini.
Aku Bergeming. Tak ada sedikit pun niatku untuk pulang meninggalkan kekasih hatiku sendiri. Siapa tahu dia membutuhkan pelukanku dan ingin bersandar di bahu ini.
“Aidil, kamu bikin panik orang saja!” rutuk Ibu yang tiba-tiba muncul bersama Om Erwin adiknya.
“Saya mau nginep di sini!” sahutku kesal. Ngapain juga mereka menyusul sampai ke pemakaman. Aku bukan anak kecil lagi, jadi tidak perlu di jemput kalau sedang pergi.
“Ayo kita pulang!” Ibu menarik tanganku sambil menatap iba.
Lekas diri ini bangkit dan mengekor di belakang mereka. Kulirik arloji yang melingkar di pergelangan tangan, dan ternyata sudah pukul sebelas malam. Pantas saja ibu mencariku, sebab biasanya aku tidak pernah pulang hingga larut malam.
Sepanjang jalan, Ibu terus mendekap tubuh ini dengan begitu erat. Mungkin dia takut kalau putra semata wayangnya akan pergi dan tidak akan pernah kembali.
“Nak, kamu itu harus ikhlasin Lubna. Dia sudah tenang di alam sana. Kalau kamu rindu, kamu bacakan saja Fatihah untuk dia!” ucap Ibu tanpa melepas pelukannya.
Aku mengusap punggung ibu yang kurasa bergetar. Dia menangis tersedu di dalam rengkuhanku.
“Aku sangat mencintai Luban, Bu.”
“Iya, Ibu tahu itu. Ibu juga sangat menyayangi dia seperti menyayangi anak Ibu sendiri. Dia anak yang baik.”
“Lubna meninggal gara-gara aku, Bu. Coba waktu itu aku bisa membantu dia, mungkin semuanya takkan seperti ini. Lubna tidak akan pergi. Dia tidak akan ....” Suaraku tercekat di kerongkongan. Lidah ini terasa kelu hingga tidak bisa melanjutkan kalimatku.
“Itu semua sudah takdir, Le. Kita semua manusia pasti akan mati. Kapan saja, di mana saja, juga dengan cara yang tidak pernah kita duga.”
Mobil yang kami tumpangi masuk ke pelataran rumah. Tertegun kumemandang Intan yang sedang berdiri di depan pintu, menyambut kedatangan kami dengan senyum terkembang di bibir mungilnya saat melihat aku dan ibu turun dari kendaraan.
“Kamu belum tidur, Tan?” Ibu bertanya kepada wanita itu.
“Nungguin Ibu sama Mas Aidil pulang. Soalnya kan, kalian belum ada yang makan,” sahutnya dengan suara yang sangat lembut.
Aku masuk ke dalam rumah dan segera membasuh badanku yang terasa kotor semua. Setelah itu, aku menghampiri Ibu yang sedang menunggu di meja makan.
“Intan, apa kamu sudah makan?”
“Be-belum, Bu.”
“Ya sudah, kamu sekalian ikut makan.
“Tapi, Bu?”
“Sudah duduk saja. Anggap saja saya ini ibu kamu sendiri!”
Ragu-ragu perempuan itu menarik kursi dan duduk di seberangku. Ia terus menundukkan pandangan saat tahu aku sedang memperhatikannya.
“Omong-omong, kamu punya berapa saudara, Tan?” tanya Ibu setelah kami selesai makan malam.
“Saya anak tunggal, Bu!” Aku tersedak mendengar jawaban Intan.
Anak tunggal. Bukannya dia punya kakak bernama Radit? Salah satu orang yang telah menodai istriku.
“Heh, Intan. Kamu jangan ngarang ya. Aku itu tahu rumah kamu, kamu ingetkan saat nabrak aku di depan gerbang kuburan. Kamu itu punya kakak namanya Radit bukan?” Aku menggebrak meja, membuat gadis itu seketika langsung menunduk ketakutan. “Kak Radit?” Dia menjawab sangat pelan dengan nada bergetar. “Iya, dia salah satu orang yang telah memperkosa istri saya!” Otakku dibuat kembali mendidih oleh wanita itu. Intan terperanjat mendengar pernyataanku. Mungkin dia bisa membohongi ibu, tapi tidak denganku. Aku lihat buliran-buliran kristal putih mulai mengalir di pipinya. Air mata buaya! “Ja-jadi, wanita yang dinodai Kak Radit adalah istri Mas?” Dia balik bertanya dan sekarang berani menatap wajahku. “Iya! Saya juga pernah lihat kamu datang ke kantor polisi menemui baj*ngan itu!” sahutku muntab. “Kak Radit itu mantan tunangan saya, Mas, Bu. Tapi demi Allah saya tidak tahu menahu masalah pemerkosaan itu. Saya datang ke kantor polisi karena dengar Kak Radit ditangkap dan tiba-tiba memutu
Pemandangan macam apa ini? “Aku sudah berusaha menjaga kehormatan ibu, tetapi laki-laki itu merenggutnya dengan paksa. Aku juga tidak menginginkan anak haram ini karena dia telah menjadi beban di hidupku!” Intan memukuli perutnya dengan brutal serta penuh kebencian. “Intan stop. Jangan sakiti anak dalam perut kamu!” teriakku spontan. Dia langsung menataku dengan tatapan aneh. Begitu pula dengan Ibu. “Dia tidak bersalah, Intan,” ucapku lirih. “Maafin Ibu ya, Nak. Mungkin perkataan Ibu sudah menyakiti hati kamu. Sekarang kamu nggak boleh mikir macem-macem. Kalau ada apa-apa, cerita saja sama Ibu. Anggap saja kalau Ibu ini ibu kandung kamu sendiri.” Wanita yang telah melahirkanku itu lalu memeluk Intan dengan erat. Aku melangkah keluar dengan sejuta rasa bersalah yang terus menghantui diri. Intan hamil, dan itu sudah pasti anakku. Kenapa harus seperti ini. Kenapa dulu saat bersama Lubna Allah tidak memberiku amanah sebesar itu. Lima tahun aku menikah dengan Lubna, tetapi Allah tidak
“Tidak, aku bukan laki-laki bejat seperti mereka. Aku tidak mau melakukannya lagi!” Segera kututup pintu kamar Intan dan kembali ke kamarku sendiri.Mengacak-acak rambut, merasa bingung dengan keadaan diri sendiri. Kenapa aku menjadi seperti ini?Terus memandangi perut Intan yang sedang sibuk membantu Ibu di dapur, aku tersenyum sendiri ketika membayangkan perut wanita itu mulai membesar lalu anak dalam perutnya menendang-nendang dari dalam. Indah nian bayangan itu.“Pagi-pagi udah ngelamun, udah sana ke toko!” celetuk ibu menyentakku dari lamunan.Intan menoleh ke arahku dan tersenyum. Apa kamu masih bisa tersenyum semanis itu jika mengetahui akulah penyebab kehancuranmu?Aku memijat kepalaku yang terasa seperti mau pecah. Beban di hati membuat aku sulit sekali untuk memejamkan mata, hingga kepalaku sering terasa sakit.Pun saat aku berada di toko. Aku hanya diam melamun sambil menatap lalu lalang pelanggan dan juga anak buahku saat mengambil barang.Aku memiliki dua buah toko materi
“Ibu itu ketemu Intan di mana, kok dia bisa kerja sama kita?” tanyaku saat kami sedang santai di teras belakang.“Di pinggir jalan, Dil. Dia sedang menangis sendiri, terus ibu tanya di mana keluarganya dia bilang tidak ada. Katanya dia diusir dari rumah gara-gara kesalahan yang tidak ia perbuat. Ya mungkin karena dia jadi korban rudapaksa sampai dia diusir warga. Tapi Ibu yakin, kok, kalau Intan itu anak baik-baik!” sahut Ibu menerangkan.“Kasihan dia ya, padahal gadis baik, shalihah, pinter ngaji. Eh, ada yang tega memperlakukan dia seperti itu. Mudah-mudahan laki-laki yang menodai Intan cepet dapet balasan yang setimpal!” imbuhnya lagi.“Ibu!” Tanpa sengaja aku berteriak kepada wanita yang telah melahirkanku itu.Ibu menautkan alis menatap wajahku.“Ada apa sih, Aidil? Ibu itu heran sama tingkah kamu sekarang ini loh. Aneh!” Dia menggelengkan kepalanya.“Bu, kalau seumpama aku berbuat kesalahan besar, apa ibu mau memaafkan aku, Bu?” Menggenggam jemari Ibu.“Tergantung, kalau kesalah
"Maafkan aku, Ibu. Aku khilaf. Saat itu yang terlintas di pikiranku hanya membalas dendam kepada Radit karena dia telah menodai istriku sehingga Lubna mengakhiri hidupnya. Tadinya aku fikir Intan itu adiknya Radit. Ternyata bukan, Bu. Aku menyesal sudah melakukan hal sebejat itu, Bu!"Plak!Rasa panas kembali menjalar di pipi, dia wanita yang lemah lembut, untuk pertama kalinya memukul sang putra karena kelakuan buruknya yang mungkin tidak ter maafkan. Aku menatap mata Ibu yang sudah memerah. Bibirnya terkatup, dadanya naik turun tidak beraturan. Aku tahu pasti saat ini ibu sedang menahan amarah yang sangat besar."Ibu kecewa sama kamu, Aidil. Ibu fikir kamu anak Ibu yang paling baik tapi ternyata Ibu salah. Kenapa kamu bisa berbuat hal sehina itu Aidil?" Dia menekan dadanya sambil menangis tergugu."Aku khilaf, Bu. Maaf!" Kini aku sudah bersimpuh di pangkuan Ibu.Ibu bergeming. Dia tidak mengusap kepalaku seperti biasanya, bahkan ia berusaha menjauh."Tolong Ibu jangan bilang dulu sa
Setelah menunggu cukup lama akhirnya mobil yang membawa Tante Sita dan Intan datang juga. Mataku tidak berhenti menatap saat pintu mobil terbuka dan sesosok wanita cantik berbalut kebaya putih dengan riasan sederhana tetapi membuat dia terlihat sangat memesona.“Jangan diliatin terus, puas-puasin nanti malam,” Om Erwin menyiku lenganku.Setelah Intan menandatangani surat Izin wali nikah, pak penghulu segera menikahkan kami. Tanganku bergetar hebat saat menjabat tangan laki-laki berseragam dinas itu dan mengucap janji suci di depan semua saksi.“Saya terima, nikah dan kawinnya Intan Karisa Kirana binti almarhum bapak Jaelani dengan mas kawin tersebut di bayar tunai!” Kuucap dengan lantang dan hanya dengan satu tarikan nafas, kemudian hadirin yang ada ramai gemuruh mengucap kata ‘sah’.Intan mencium punggung tanganku dan lekas kusematkan sebuah cincin emas yang dijadikan sebagai mas kawin. Kini wanita mungil di depanku sudah sah menjadi istriku. Intan tersenyum malu-malu saat aku menata
Dengan senyum terkembang di bibir mungilnya perempuan itu membuka kotak yang ia bawa dan duduk di meja makan. Ia lalu mengambil segelas air dan meneguknya hingga tandas.“Intan, kamu lagi ngapain?” tanyaku seraya mendekat ke arahnya.“Eh, Mas. Aku lapar, makanya makan roti yang kamu simpan di lemari” Dia menggigit bibir menatapku.“Ya sudah makan yang banyak, biar anak kita cepet besar!” titahku searaya menarik kursi lalu duduk di sebelahnya. Aku lihat dengan rakus ia menyantap roti yang ia ambil dari lemari, membuat diri ini tersenyum bahagia melihat pemandangan seperti itu.Dulu, si Ujo anak buahku suka bercerita, saat istrinya hamil suka sekali minta di beliin makanan yang aneh-aneh tengah malam. Istrinya juga katanya berubah jadi rakus dan doyan sekali makan. Mungkin sekarang Intan sedang dalam fase seperti istrinya Ujo karena kehamilannya sudah memasuki bulan ke lima dan janin di dalam perutnya pasti sudah mulai tumbuh besar.“Kok liatin aku seperti itu, Mas. Mau?” Dia menyodorka
Mas Aidil keluar dari kamar mandi dengan tubuh bagian bawah hanya di lilit handuk. Aku memalingkan wajah karena malu melihatnya.Tetapi karena penasaran, sesekali aku melirik ke arahnya yang sedang mengenakan dalaman baju.Setelah selesai mengenakan seluruh pakaiannya, Mas Aidil menggelar sajadah dan melaksanakan sholat isya.Duh, sholeh banget sih suami aku.Seusai salat Mas Aidil menoleh ke arahku yang masih duduk bersandar di atas pembaringan kemudian menghampiri diri ini dan berbaring di sebelahku.“Assalamualaikum, anak ayah lagi ngapain?” Dia mengelus perutku dan menciumnya dengan penuh kelembutan, membuat diri ini terharu melihatnya.Ya Tuhan, sungguh bahagia hati ini karena ditakdirkan berjodoh dengan laki-laki sebaik Mas Aidil.“Makasih ya, Mas,” ucapku seraya membelai rambut suamiku yang masih basah.“Untuk apa?” tanya lelaki itu sambil tangannya tetap mengusap-usap perut.“Semuanya. Aku bahagia banget bisa menjadi istri kamu. Maaf kalau aku belum bisa memberikan apa-apa unt