Share

Frustrasi

Author: Ida Saidah
last update Huling Na-update: 2022-06-25 23:06:20

“Ma-maaf, Mas, tadi saya kaget. Maaf juga sudah mecahih gelas. Tolong jangan pecat saya!” ucapnya gemetar.

Aku mendekat dan membantunya memunguti serpihan gelas yang tercecer di lantai, tetapi dia langsung beringsut menjauh dariku.

Kamu hanya menghancurkan gelas milikku Intan. Tetapi aku sudah menghancurkan seluruh hidup kamu.

“Ada apa?” Tergopoh Ibu berlari menghampiri kami.

“Maaf, Bu haji. Saya tadi tidak sengaja memecahkan gelas. Saya benar-benar minta maaf!” Intan terlihat ketakutan. Mata beningnya memerah dan berembun, mengingatkan aku akan kejadian malam itu, saat dia memohon kepadaku supaya tidak menyentuhnya.

“Ya Allah, Intan. Kalau kerja itu hati-hati. Tangan kamu ada yang luka nggak?” Ibu terlihat mencemaskan wanita itu.

Intan hanya menggeleng. Dengan cekatan ia mengambil sapu kemudian membuang serpihan-serpihan kaca itu ke dalam tong sampah.

Aku menarik kursi dan duduk dengan lengan bertumpu di atas meja makan. Selera makanku lenyap seketika, berubah menjadi perasaan tak karuan saat melihat Intan.

“Kenapa dia ada di sini, Bu?” tanyaku saat wanita yang sudah melahirkan diri ini tiga puluh tahun yang lalu itu duduk di sebelahku.

“Dia yang bakal bantuin Ibu beres-beres di rumah Aidil. Mbak Jum sudah tua dan minta pensiun. Jadi ibu harus mencari pengganti dia,” jawab Ibu membuatku bertambah kaget.

Dia bekerja di rumah ini? Itu tandanya aku akan melihat Intan setiap hari. Ya Tuhan, cobaan apalagi ini. 

“Kamu kenapa sih, Dil. Kok tiba-tiba wajah kamu berubah pucat begitu?” Ibu menatapku menyelidik.

Aku mengusap wajah kasar, merasa terus saja dihantui rasa bersalah atas kematian Lubna juga karena diri ini telah menodai Intan. Aku benar-benar di buat frustrasi karenanya.

Melangkah keluar dari rumah, duduk di teras memandangi bunga-bunga Asoka merah yang di tanam oleh mendiang Istriku.

“Aku suka bunga ini, warnanya bagus!” kata Lubna saat menanam bunga tersebut.

Tiba-tiba angin berembus menusukkan hawa dingin di kulit. Aku lekas memetik bunga-bunga itu lalu membawanya ke makam Lubna, sebab firasatku mengatakan kalau saat ini mendiang istri tengah merindukan diriku.

Sesampainya di pekuburan, aku duduk bersila di atas tanah sambil terus mengusap makan Lubna. Kutancapkan beberapa tangkai bunga asoka yang sengaja aku bawa dari rumah, rasanya berat sekali kehilangan orang yang sangat aku cintai, apalagi kepergiannya dengan cara yang sangat tragis seperti itu. Kuseka air mata yang kembali mengalir membasahi pipi, ingin rasanya aku segera menyusul Lubna dan bahagia bersama dia di alam sana.

Senja mulai menampakkan diri. Aku masih duduk di pekuburan menemani Lubnaku, yang sedang tertidur di bawah gundukan tanah berniat menghabiskan malam ini hanya berdua saja dengannya.

“Mas, sudah malam loh. Nggak pulang?” sapa seorang laki-laki yang mungkin penjaga makam-makam yang ada di sini.

Aku Bergeming. Tak ada sedikit pun niatku untuk pulang meninggalkan kekasih hatiku sendiri. Siapa tahu dia membutuhkan pelukanku dan ingin bersandar di bahu ini.

“Aidil, kamu bikin panik orang saja!” rutuk Ibu yang tiba-tiba muncul bersama Om Erwin adiknya.

“Saya mau nginep di sini!” sahutku kesal. Ngapain juga mereka menyusul sampai ke pemakaman. Aku bukan anak kecil lagi, jadi tidak perlu di jemput kalau sedang pergi.

“Ayo kita pulang!” Ibu menarik tanganku sambil menatap iba.

Lekas diri ini bangkit dan mengekor di belakang mereka. Kulirik arloji yang melingkar di pergelangan tangan, dan ternyata sudah pukul sebelas malam. Pantas saja ibu mencariku, sebab biasanya aku tidak pernah pulang hingga larut malam.

Sepanjang jalan, Ibu terus mendekap tubuh ini dengan begitu erat. Mungkin dia takut kalau putra semata wayangnya akan pergi dan tidak akan pernah kembali.

“Nak, kamu itu harus ikhlasin Lubna. Dia sudah tenang di alam sana. Kalau kamu rindu, kamu bacakan saja Fatihah untuk dia!” ucap Ibu tanpa melepas pelukannya.

Aku mengusap punggung ibu yang kurasa bergetar. Dia menangis tersedu di dalam rengkuhanku.

“Aku sangat mencintai Luban, Bu.”

“Iya, Ibu tahu itu. Ibu juga sangat menyayangi dia seperti menyayangi anak Ibu sendiri. Dia anak yang baik.”

“Lubna meninggal gara-gara aku, Bu. Coba waktu itu aku bisa membantu dia, mungkin semuanya takkan seperti ini. Lubna tidak akan pergi. Dia tidak akan ....” Suaraku tercekat di kerongkongan. Lidah ini terasa kelu hingga tidak bisa melanjutkan kalimatku.

“Itu semua sudah takdir, Le. Kita semua manusia pasti akan mati. Kapan saja, di mana saja, juga dengan cara yang tidak pernah kita duga.”

Mobil yang kami tumpangi masuk ke pelataran rumah. Tertegun kumemandang Intan yang sedang berdiri di depan pintu, menyambut kedatangan kami dengan senyum terkembang di bibir mungilnya saat melihat aku dan ibu turun dari kendaraan.

“Kamu belum tidur, Tan?” Ibu bertanya kepada wanita itu.

“Nungguin Ibu sama Mas Aidil pulang. Soalnya kan, kalian belum ada yang makan,” sahutnya dengan suara yang sangat lembut.

Aku masuk ke dalam rumah dan segera membasuh badanku yang terasa kotor semua. Setelah itu, aku menghampiri Ibu yang sedang menunggu di meja makan.

“Intan, apa kamu sudah makan?”

“Be-belum, Bu.”

“Ya sudah, kamu sekalian ikut makan.

“Tapi, Bu?”

“Sudah duduk saja. Anggap saja saya ini ibu kamu sendiri!”

Ragu-ragu perempuan itu menarik kursi dan duduk di seberangku. Ia terus menundukkan pandangan saat tahu aku sedang memperhatikannya.

“Omong-omong, kamu punya berapa saudara, Tan?” tanya Ibu setelah kami selesai makan malam.

“Saya anak tunggal, Bu!” Aku tersedak mendengar jawaban Intan.

Anak tunggal. Bukannya dia punya kakak bernama Radit?  Salah satu orang yang telah menodai istriku.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Wanita yang Kunodai    Ending

    “Rumah itu milik Ibuku, Bu. Dan Lubna tidak mempunyai hak sama sekali. Lagian Lubna sudah nggak ada!” tekanku sambil menatap mata Ibu yang mulai memerah menahan emosi.“Kamu itu benar-benar jahat Aidil. Otak kamu sudah dipengaruhi oleh istri kamu yang jahat itu. Pokoknya Ibu mau tinggal di sana setelah Wafa keluar dari rumah sakit!!” Ibu meninggikan nada bicaranya.Aku menghela nafas dalam-dalam kemudian mengembuskannya perlahan. Aku tidak mungkin mengizinkan Keluarga mendiang istriku tinggal di rumah Ibu, sebab itu bisa mengusik kebahagiaanku dan juga Intan. Aku tidak mau mengorbankan kebahagiaan Keluargaku demi orang lain."Kenapa Ibu tidak tinggal di rumah Radit, Bu? Ibu lupa ya, kalau Ibu pernah memenjarakanku sebelum kejadian ini. Bahkan Ibu bersekongkol dengan Radit untuk menghancurkan kebahagiaanku. Sekarang giliran susah, kenapa Ibu minta tolong sama aku, bukan kepada Radit?""Karena kamu menantu Ibu!" sentaknya.Aku memasang wajah datar menatap wanita yang teramat aku hormati

  • Wanita yang Kunodai    Kabar dari mertua

    Suara tangis Arkana memecah keheningan serta membangunkanku dari lelapnya tidur. Karena kebiasaan burukku, setiap habis melaksanakan shalat wajib dua rakaat pasti kembali merebahkan bobot di atas tempat tidur.Gegas ku angkat tubuh malaikat kecilku yang kian bertambah montok dan terasa semakin berat. Intan benar-benar hebat. Dia kuat menggendong Arkana seharian, dan terkadang sambil mengerjakan pekerjaan lainnya.Sementara aku, baru beberapa menit menggendong tubuh bayi berusia tiga bulan ini, lenganku sudah terasa ngilu."Sama Ayah dulu ya, Bunda mau macak!" Intan menghampiri kami yang sedang duduk di kursi tengah lalu mencium pipi gembil putra kami."Ayahnya nggak dicium, Bun!" ucapku menggoda."Ayahnya nanti malam!" jawab Intan sembari melenggang pergi meninggalkan aku dan Arkana.Entah mengapa kali ini aku merasa mual saat mencium wangi masakan Intan. 'Ada apa denganku, apa aku sakit?' Aku bergumam sendiri dalam hati. "Loh, Mas. Kamu kenapa?" Intan mengusap lembut pipiku seraya

  • Wanita yang Kunodai    Senyum yang Dirindukan

    #Aidil.Aku masuk ke dalam mobil, menyalakan mesin kendaraan roda empat itu dan mengemudikannya menuju rumah orang tuanya Lubna. Aku ingin mencari tahu alasan kenapa mereka bekerja sama dengan Radit untuk menjebloskanku ke dalam penjara."Assalamualaikum!" Tok! Tok! Tok!Aku mengetuk pintu pagar rumah mantan mertuaku. Tidak lama kemudian Ibu keluar dan langsung membukakan pintu untukku."Ada apa, Aidil?" tanya Ibu seraya menatapku bengis."Saya mau bicara sama Ibu. Mengenai laporan Radit dan kehadiran Ibu serta Wafa di kantor polisi. Apa Ibu kerja sama dengan dia?" Aku menatap menghunus ke arah wanita berusia lebih dari setengah abad itu."Kalau iya memangnya kenapa, ada masalah?" sambung Wafa yang tiba-tiba sudah muncul dari balik pintu."Apa kalian lupa, Radit itu salah satu orang yang telah memperkosa Lubna. Kalian bukannya mempermasalahkan dia karena cepat bebas dari penjara, malah bekerja sama dengan orang yang telah menghancurkan masa depan keluarga kalian!" Hardikku menahan emo

  • Wanita yang Kunodai    Memberi Kesaksian

    Aku masih berdiri mematung di teras rumah sambil menghapus air mata yang berlomba-lomba jatuh dari pelupuk mataku. Jujur, walaupun aku marah dan kecewa sama Mas Aidil, tetapi aku tidak ingin dia dipenjara. Aku sangat mencintai dia dan sedang berusaha memaafkan kelakuan tidak bermoralnya itu.“Tan, Arkana nagis!” kata Ibu dengan intonasi sangat lembut, tetapi pendar di wajahnya terlihat berubah. Dia sepertinya ikut marah kepadaku.Aku masuk ke dalam, menyusui Arkana hingga putraku tertidur di pangkuan. Kutatap lekat-lekat wajah malaikat kecilku itu. Sangat tampan, persis seperti ayahnya.Dua bulir air bening kembali lolos dari pelupukku. Aku tidak bisa membayangkan jika nanti Mas Aidil harus ditahan dan aku akan berpisah dengan dia dalam waktu yang cukup lama. Membayangkannya saja diri ini sudah tidak sanggup, apalagi menjalaninya nanti.Aku menghela nafas panjang lalu meletakkan Arkana di atas kasur. Saat hendak keluar tiba-tiba kepalaku terasa pusing dan berputar-putar. Pandanganku

  • Wanita yang Kunodai    Mencoba Menjelaskan

    Intan mengerjapkan mata kemudian duduk membaca doa setelah tidur.“Sudah subuh, ayo sholat berjamaah. Mumpung kita masih bersama!” Sekuat tenaga menahan air mata supaya tidak tumpah di hadapan istriku.Wanita berkulit putih itu segera turun dari tempat tidur lalu masuk ke dalam kamar mandi.Huek! Huek!Terdengar suara Intan kembali muntah-muntah di kamar mandi. Aku segera menghampirinya, memijat tengkuknya dan mengelap keringat yang mulai menitik di dahi perempuan yang teramat aku cintai tersebut.“Nanti siang kita ke rumah sakit ya, Tan?” ucapku sembari terus memijat leher bagian belakang istriku.“Nggak usah, Mas. Aku nggak apa-apa, kok!” sahutnya pelan, hampir tidak terdengar.“Aku takut kamu kenapa-kenapa, Sayang. Soalnya sudah beberapa hari ini kamu sering muntah-muntah dan wajah kamu juga terlihat pucat sekali.”“Aku Cuma masuk angin doang, Mas. Aku nggak apa-apa!”“Tan, aku ingin kita kembali seperti dulu. Saling menyayangi dan melengkapi. Aku tidak mau kita terus-menerus seper

  • Wanita yang Kunodai    Surat Penangkapan

    Intan menggigit bibir bawah. Buliran-buliran kristal perlahan mulai lolos dari mata indahnya, membuat jejak di pipi yang memerah karena menahan tangis.“Ma–maaf, aku Cuma syok aja, Mas. Karena ternyata orang yang aku anggap pelindung justru dialah yang telah menghancurkan hidupku. Hatiku hancur, Mas. Tolong izinkan aku untuk menenangkan diri!” kata Intan sambil menangis tergugu.Aku menarik tubuh mungil istriku ke dalam pelukan. Kami menangis berdua di kamar, dan aku sungguh menyesal karena dulu lebih mementingkan ego dari pada logika. Aku telah termakan hasutan syaitan yang justru sekarang menghancurkan hidupku.“Maafkan aku, Sayang. Sekali lagi aku minta maaf. Jika aku harus menebus kesalahan dengan nyawa juga aku siap, tapi jangan hukum aku seperti ini. Aku nggak sanggup!”Intan hanya menggeleng. Ia mempererat pelukannya sambil terus menghapus air mata.“Jangan diamkan aku, kalau kamu marah pukul saja aku, Intan. Aku tidak akan marah kalau kamu memukuli aku!”Istriku itu masih saja

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status