"Kenapa kamu bicara seperti itu, Intan?" Mengambil jari jemarinya dan kugenggam erat. "Aku cukup tahu diri, Mas. Aku bukan wanita sempurna. Aku juga tidak bisa memberikan apa yang perempuan lain bisa berikan kepadamu!" Kini dua bulir kristal mulai bergulir di pipinya. "Apa Intan sudah tidak percaya lagi sama Mas?" Kuangkat wajahnya dan menatapnya dalam-dalam. Aku lihat dengan jelas ada luka di dalam sana. Mungkin saja dia cemburu karena melihat Via tiba-tiba menciumku. "Jangan pernah berpikir kalau Mas bakalan pergi atau menduakan kamu, Intan. Mas sayang sama kamu." Intan terus menangis dan tidak mau menatapku. "Ya sudah, kita temui Ibu sekarang. Biar Mas suruh Ibu pecat Via." "Tidak usah, Mas. Via juga butuh kerjaan," cegah Intan. Aku menyentak nafas kasar, mencoba menahan emosi agar tidak meledak. *** Pukul empat sore aku pulang dari toko dan rumah dalam keadaan kosong. Mungkin Ibu dan Intan sedang keluar. Segera kurebahkan bobot di atas kasur karena badan terasa sangat lela
“Kenapa, Sayang?” Kudekati wanita itu dan kuelus pinggangnya.“Sakit pinggang, Mas. Akhir-akhir ini memang pinggangku sering sakit!” keluhnya.“Makanya sering-sering kamu pijetin, Aidil. Orang hamil itu gampang capek, gampang pegel, gampang laper, kamu harus lebih perhatian lagi sama Intan!” rutuk Ibu membela menantunya.“Iya, Bu. Siap!”“Mas Aidil itu perhatian banget sama aku kok, Bu. Dia itu laki-laki paling baik yang pernah aku temui di dunia ini,” sambung Intan, membuatku spontan langsung mencium pipi perempuan itu di depan Ibu.Lagi-lagi Intan terlihat tersipu dengan wajah bersemu merah. Gemes banget aku kalau lihat dia sedang malu-malu seperti ini.“Assalamualaikum,” ucapku saat masuk ke dalam kamar.Intan yang sedang bertilawah langsung berdiri dan menghampiriku. Diletakannya Al-Quran yang ada di tangan sebelum ia menyalami tanganku.“Hai anak ayah lagi ngapain? Kangen Ayah seharian nggak ngelus kamu.” Mengelus perut gendutnya lalu bertanya, “kamu sudah makan apa belum, Tan?”
“Lagian, saya mau menikah dengan siapa pun itu sudah bukan lagi urusan kalian. Kalian juga tidak usah menghina istriku. Dia wanita baik-baik, aku juga sangat mencintainya. Terserah kalian mau berpikir aku ini laki-laki apa!” pungkasku seraya meninggalkan mereka semua. Emosiku kini meledak-ledak dibuatnya. Aku membanting pintu hingga membuat Intan yang sedang bertilawah di dalam kamar berjingkat kaget. “Istigfar, Mas. Jangan emosian. Orang suka marah itu temennya setan, loh,” ucap Intan sembari menutup mushaf dan meletakkannya di atas nakas. “Laa taghdob walakal jannah (Jangan marah bagimu syurga)” Menggenggam jemari wanita itu ketika ia mengusap lembut pipi ini, menciumi punggung tangannya menunjukkan kalau aku benar-benar mendamba cintanya. Dialah sang penyejuk jiwa, ia juga seperti air yang selalu mendinginkan suasana hatiku yang sedang panas. *** POV Intan. Kandunganku sudah memasuki bulan ke delapan. Janin di dalam perut juga sudah sangat aktif bergerak, membuat aku sering t
Aku masih ingat betul dengan jaket hitam ini. Bahkan wanginya pun sama dengan yang di pakai pria brengsek itu.Ya Allah, Mas Aidil.....Segera kulipat kembali jaket itu lalu aku letakkan di atas kasur. Aku ingin menanyakannya langsung kepada si empunya barang agar tidak menimbulkan fitnah.Jarum jam sudah menunjuk ke angka enam sore. Azan Magrib juga sudah berkumandang di semua masjid. Bergegas diri ini menggelar sajadah dan bertafakur diri karena hati sedang kalut saat iniTidak, aku tidak boleh berprasangka buruk terhadap suamiku. Jaket semacam ini itu banyak sekali dijual di pasar. Mas Aidil tidak mungkin berbuat hal sebejat itu.“Duh, Intan. Kenapa kamu jadi seperti ini, tidak tahu diri sekali. Sudah di tolong, sekarang malah mau menuduh Mas Aidil yang bukan-bukan,” aku mengutuki diri sendiri.“Assalamualaikum, Sayang,” sapa Mas Aidil seraya membuka pintu.“Waalaikumsalam!” Aku segera bangkit dengan susah payah karena perut ini sudah semakin membesar.“Kamu sudah sholat, Mas?”“Su
Setelah dua hari di rawat di rumah sakit, akhirnya dokter mengizinkanku pulang ke rumah. Sudah rindu sekali diri ini menghirup udara pagi di pekarangan rumah Mas Aidil yang penuh dengan bunga-bunga. Bosan jika harus berlama-lama di rumah sakit dan mencium aroma obat-obatan terus.Mas Aidil memapahku masuk ke dalam mobil lalu meletakkan bantal di belakang kepala. Aku menatap wajah teduh laki-laki itu. Dia terlihat begitu tampan dan sempurna.“Maafkan aku, Mas,” ucapku seraya melingkarkan tangan di pinggang Mas Aidil.“Maaf untuk apa?” Dia mengusap pipiku lembut.“Karena aku sudah berprasangka buruk kepadamu. Tadinya pas aku baru nemuin jaket kamu di lemari, aku langsung berpikir kalau kamu lah orang yang sudah menodaiku!” ungkapku jujur.Dua bulir air bening mulai menyembul dari sudut mata laki-laki itu.“Sekali lagi aku minta maaf, Mas!” kata itu kembali kuucapkan.Mas Aidil masuk ke dalam mobil dan segera menyalakan mesinnya. Wajahnya memerah, mungkin dia marah, tersinggung, serta ti
“Kamu tidak usah takut sama aku, Intan. Aku bukan orang jahat!” ucap Kak Radit seraya terus mendekat.“Ka–kakak mau ngapain?” tanyaku tergagap, sungguh takut luar biasa.“Sudah aku bilang tidak usah takut, aku tidak akan menyakiti kamu!”“Bagaimana aku tidak takut, Kak. Kakak itu salah satu pelaku pemerkosa Mbak Lubna. Apa salah jika sekarang aku juga takut sama kakak?”“Kamu berbeda dengan Lubna, Intan. Kamu itu istimewa. Aku melakukan itu karena sakit hati kepada dia. Dia terus saja menyakitiku. Dia sudah menghianati cinta yang aku jaga selama bertahun-tahun.Dia bilang kalau dia sangat mencintaiku, tetapi dia memilih Aidil sebagai suaminya dan mengakhiri hubungan kami. Dia juga menghinaku, katanya aku itu impoten dan mandul. Maka dari itu aku ingin membuktikan kepada dia kalau aku tidak loyo seperti ucapannya.”“Jadi, Mbak Lubna itu mantan kekasih kamu, Kak?”“Iya, tetapi dia pindah ke kota ini setelah menikah dengan Aidil. Hingga pada suatu hari aku bertemu dengannya dan menanyaka
“Bagaimana keadaan Intan, Aidil?” Terdengar suara ibu menanyakan keadaanku.Tidak lama kemudian wanita berhijab panjang lebar itu masuk menemuiku. Wajah Ibu dan Mas Aidil terlihat gelisah, begitu pula dengan diri ini yang sejak tadi sudah tidak bisa lagi berpikir dengan tenang.“Sakit ya, Nduk?” tanya Ibu seraya mengusap kepalaku kemudian mencium kening ini sambil menitikkan air mata.Kugenggam tangan Ibu erat, meminta maaf atas semua kesalahan yang sudah aku perbuat.Entahlah, rasa sakit yang sedang aku rasakan membuatku merasa takut jika ini adalah jalan menghadap Sang khalik.“Intan nggak punya salah sama Ibu. Intan anak baik, Intan menantu Ibu yang paling sholehah.” Ibu berujar sambil sesekali menyeka air mata di pipi keriputnya.Andai saja keadaanku sedang tidak seperti ini. Tentu aku sudah turun dari ranjang dan langsung bersimpuh di pangkuan Ibu mertua. Akan tetapi keadaanku sedang tidak berdaya. Bahkan dokter melarangku supaya tidak banyak bergerak, sebab takut kehabisan air k
Intan masih saja menutup matanya, padahal sudah hampir dua belas jam dia keluar dari ruang operasi. Aku sangat takut kehilangan dirinya, terlebih lagi aku belum mengatakan kepada Intan kalau akulah laki-laki bejat yang sudah mematahkan sayap-sayapnya.Kuusap wajah ini sambil terus menata perasaan yang semakin terasa kacau juga selalu diliputi rasa bersalah karena sudah membuat Intan selalu dibayangi mimpi buruk.Jarum jam sudah menunjuk ke angka sebelas malam. Aku menyenderkan kepala di bibir ranjang karena rasa kantuk yang sudah tidak dapat lagi aku tahan, namun baru beberapa menit memejamkan mata terdengar suara Intan memanggilku. Bahagia sekali rasanya karena akhirnya kekasih hatiku membuka mata.“Tolong rahasiakan asal-usul dedek bayi, jangan sampai ada yang tahu kalau dia anak hasil perkosaan. Aku nggak mau dia diolok-olok oleh teman-temannya nanti!” Sungguh kata itu bagai belati yang menghunus tepat di hati. Sakit, perih hingga hampir menghentikan denyut nadi.Dia yang sedang be