Share

Tersiksa

 Pemandangan macam apa ini?

“Aku sudah berusaha menjaga kehormatan ibu, tetapi laki-laki itu merenggutnya dengan paksa. Aku juga tidak menginginkan anak haram ini karena dia telah menjadi beban di hidupku!” Intan memukuli perutnya dengan brutal serta penuh kebencian.

“Intan stop. Jangan sakiti anak dalam perut kamu!” teriakku spontan.

Dia langsung menataku dengan tatapan aneh. Begitu pula dengan Ibu.

“Dia tidak bersalah, Intan,” ucapku lirih.

“Maafin Ibu ya, Nak. Mungkin perkataan Ibu sudah menyakiti hati kamu. Sekarang kamu nggak boleh mikir macem-macem. Kalau ada apa-apa, cerita saja sama Ibu. Anggap saja kalau Ibu ini ibu kandung kamu sendiri.” Wanita yang telah melahirkanku itu lalu memeluk Intan dengan erat.

Aku melangkah keluar dengan sejuta rasa bersalah yang terus menghantui diri. Intan hamil, dan itu sudah pasti anakku. Kenapa harus seperti ini. Kenapa dulu saat bersama Lubna Allah tidak memberiku amanah sebesar itu. Lima tahun aku menikah dengan Lubna, tetapi Allah tidak memberiku kepercayaan. Sekarang, Tuhan menumbuhkan benihku di rahim wanita yang telah aku hancurkan hidupnya.

Ibu ke dapur mengambil segelas teh hangat lalu kembali ke kamar Intan dan memberikan teh itu kepadanya.

“Terima kasih, Bu. Maaf saya jadi merepotkan Ibu,” ucap wanita itu terdengar sungkan.

Ibu hanya tersenyum mendengarnya. Apa aku harus terus terang dan mengatakan kalau aku adalah ayah dari bayi yang Intan kandung?

Tetapi, apa Intan mau memaafkan aku kalau dia tahu aku yang telah menodainya?

Aku benar-benar tersiksa dengan semua ini.

***

Sore hari setelah pulang kerja, aku menyempatkan diri mampir ke minimarket untuk membeli keperluan Intan juga calon bayi kami.

Kakiku terus melangkah menghampiri rak berisi berbagai macam produk susu ibu hamil. Entah mengapa ingin sekali rasanya membeli benda tersebut. Aku ingin anakku tumbuh sehat.

“Mbak, ini mana yang paling bagus?” tanyaku kepada seorang pelayan berseragam biru.

Dia menunjukkan berapa produk susu dan menerangkan kandungan vitaminnya, hingga akhirnya aku memilih salah satu produk yang aku rasa paling baik. Aku membeli beberapa boks kemudian kuberikan kepada Intan.

“Terima kasih, Mas. Sudah repot-repot belikan saya susu. Semoga Allah membalas semua kebaikan, Mas Aidil.” Senyum kecut terkembang di bibirku mendengar doa yang diucapkan oleh wanita yang telah kunodai itu.

Andai saja dia tahu kalau aku yang telah menghancurkan masa depannya, apa dia juga masih mau mendoakan kebaikan untuk diriku?

“Kamu beli susu untuk Intan?” tanya Ibu melihat Intan membawa beberapa boks susu masuk ke dalam kamar.

“Iya, Bu. Supaya anaknya sehat.”

Ibu tersenyum mendengar penuturanku.

“Kamu memang anak Ibu yang paling baik!” pujinya.

Apakah setelah tahu kebenarannya Ibu juga masih mau memujiku? Atau, malah sebaliknya akan membenciku karena kecewa anak yang selalu di banggakan ternyata hanya laki-laki tidak bermoral.

Masuk ke dalam kamar, mengganti baju kerjaku dengan baju rumahan. Ingin rasanya aku jujur kepada Ibu mengenai anak yang sedang dikandung oleh Intan tapi aku takut kalau Ibu syok dan jatuh sakit.

***

Malam semakin larut. Aku tidak bisa memejamkan mata sama sekali karena terus membayangkan masa lalu kelamku. Perlahan berjalan menuju kamar Intan, mengendap-endap supaya dia tidak mendengar derap langkahku. Kuputar gagang pintu itu lalu membukanya, dan ternyata tidak dikunci. Aku terus menatap wajah Intan yang sedang tertidur pulas. Kepalanya yang selalu tertutup hijab kini terbuka, membiarkan rambut hitamnya tergerai indah.

Aku menarik nafas menahan gejolak yang kembali merasuk dan meminta untuk dituntaskan. Aku terus memandangi tubuh Intan yang hanya memakai kaos lengan pendek dan celana bahan, memamerkan sebagian kulit mulusnya yang pernah aku jamah secara paksa. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status