“Ibu itu ketemu Intan di mana, kok dia bisa kerja sama kita?” tanyaku saat kami sedang santai di teras belakang.“Di pinggir jalan, Dil. Dia sedang menangis sendiri, terus ibu tanya di mana keluarganya dia bilang tidak ada. Katanya dia diusir dari rumah gara-gara kesalahan yang tidak ia perbuat. Ya mungkin karena dia jadi korban rudapaksa sampai dia diusir warga. Tapi Ibu yakin, kok, kalau Intan itu anak baik-baik!” sahut Ibu menerangkan.“Kasihan dia ya, padahal gadis baik, shalihah, pinter ngaji. Eh, ada yang tega memperlakukan dia seperti itu. Mudah-mudahan laki-laki yang menodai Intan cepet dapet balasan yang setimpal!” imbuhnya lagi.“Ibu!” Tanpa sengaja aku berteriak kepada wanita yang telah melahirkanku itu.Ibu menautkan alis menatap wajahku.“Ada apa sih, Aidil? Ibu itu heran sama tingkah kamu sekarang ini loh. Aneh!” Dia menggelengkan kepalanya.“Bu, kalau seumpama aku berbuat kesalahan besar, apa ibu mau memaafkan aku, Bu?” Menggenggam jemari Ibu.“Tergantung, kalau kesalah
"Maafkan aku, Ibu. Aku khilaf. Saat itu yang terlintas di pikiranku hanya membalas dendam kepada Radit karena dia telah menodai istriku sehingga Lubna mengakhiri hidupnya. Tadinya aku fikir Intan itu adiknya Radit. Ternyata bukan, Bu. Aku menyesal sudah melakukan hal sebejat itu, Bu!"Plak!Rasa panas kembali menjalar di pipi, dia wanita yang lemah lembut, untuk pertama kalinya memukul sang putra karena kelakuan buruknya yang mungkin tidak ter maafkan. Aku menatap mata Ibu yang sudah memerah. Bibirnya terkatup, dadanya naik turun tidak beraturan. Aku tahu pasti saat ini ibu sedang menahan amarah yang sangat besar."Ibu kecewa sama kamu, Aidil. Ibu fikir kamu anak Ibu yang paling baik tapi ternyata Ibu salah. Kenapa kamu bisa berbuat hal sehina itu Aidil?" Dia menekan dadanya sambil menangis tergugu."Aku khilaf, Bu. Maaf!" Kini aku sudah bersimpuh di pangkuan Ibu.Ibu bergeming. Dia tidak mengusap kepalaku seperti biasanya, bahkan ia berusaha menjauh."Tolong Ibu jangan bilang dulu sa
Setelah menunggu cukup lama akhirnya mobil yang membawa Tante Sita dan Intan datang juga. Mataku tidak berhenti menatap saat pintu mobil terbuka dan sesosok wanita cantik berbalut kebaya putih dengan riasan sederhana tetapi membuat dia terlihat sangat memesona.“Jangan diliatin terus, puas-puasin nanti malam,” Om Erwin menyiku lenganku.Setelah Intan menandatangani surat Izin wali nikah, pak penghulu segera menikahkan kami. Tanganku bergetar hebat saat menjabat tangan laki-laki berseragam dinas itu dan mengucap janji suci di depan semua saksi.“Saya terima, nikah dan kawinnya Intan Karisa Kirana binti almarhum bapak Jaelani dengan mas kawin tersebut di bayar tunai!” Kuucap dengan lantang dan hanya dengan satu tarikan nafas, kemudian hadirin yang ada ramai gemuruh mengucap kata ‘sah’.Intan mencium punggung tanganku dan lekas kusematkan sebuah cincin emas yang dijadikan sebagai mas kawin. Kini wanita mungil di depanku sudah sah menjadi istriku. Intan tersenyum malu-malu saat aku menata
Dengan senyum terkembang di bibir mungilnya perempuan itu membuka kotak yang ia bawa dan duduk di meja makan. Ia lalu mengambil segelas air dan meneguknya hingga tandas.“Intan, kamu lagi ngapain?” tanyaku seraya mendekat ke arahnya.“Eh, Mas. Aku lapar, makanya makan roti yang kamu simpan di lemari” Dia menggigit bibir menatapku.“Ya sudah makan yang banyak, biar anak kita cepet besar!” titahku searaya menarik kursi lalu duduk di sebelahnya. Aku lihat dengan rakus ia menyantap roti yang ia ambil dari lemari, membuat diri ini tersenyum bahagia melihat pemandangan seperti itu.Dulu, si Ujo anak buahku suka bercerita, saat istrinya hamil suka sekali minta di beliin makanan yang aneh-aneh tengah malam. Istrinya juga katanya berubah jadi rakus dan doyan sekali makan. Mungkin sekarang Intan sedang dalam fase seperti istrinya Ujo karena kehamilannya sudah memasuki bulan ke lima dan janin di dalam perutnya pasti sudah mulai tumbuh besar.“Kok liatin aku seperti itu, Mas. Mau?” Dia menyodorka
Mas Aidil keluar dari kamar mandi dengan tubuh bagian bawah hanya di lilit handuk. Aku memalingkan wajah karena malu melihatnya.Tetapi karena penasaran, sesekali aku melirik ke arahnya yang sedang mengenakan dalaman baju.Setelah selesai mengenakan seluruh pakaiannya, Mas Aidil menggelar sajadah dan melaksanakan sholat isya.Duh, sholeh banget sih suami aku.Seusai salat Mas Aidil menoleh ke arahku yang masih duduk bersandar di atas pembaringan kemudian menghampiri diri ini dan berbaring di sebelahku.“Assalamualaikum, anak ayah lagi ngapain?” Dia mengelus perutku dan menciumnya dengan penuh kelembutan, membuat diri ini terharu melihatnya.Ya Tuhan, sungguh bahagia hati ini karena ditakdirkan berjodoh dengan laki-laki sebaik Mas Aidil.“Makasih ya, Mas,” ucapku seraya membelai rambut suamiku yang masih basah.“Untuk apa?” tanya lelaki itu sambil tangannya tetap mengusap-usap perut.“Semuanya. Aku bahagia banget bisa menjadi istri kamu. Maaf kalau aku belum bisa memberikan apa-apa unt
“Astaghfirullahaladzim, Intan. Apa yang kamu lakukan sayang?” Mas Aidil memegangi tangan kananku dan mengambil serpihan kaca dalam genggaman, sementara darah segar terus mengalir membanjiri lantai kamar. Kepalaku terasa seperti berputar-putar, berat, tidak lama kemudian ruangan di sekitarku menjadi gelap.Membuka mata perlahan, menoleh ke arah Ibu yang sedang menangis di tepi ranjang. Dua orang perawat dan seorang dokter sedang sibuk memegangi tanganku dan sepertinya sedang menjahit luka sayatan itu.Ada apa, apa yang sudah aku lakukan?Mas Aidil berdiri sambil menggigiti kuku-kukunya seperti orang sedang ketakutan.“Mas,” panggilku sambil menatap wajah sendu suamiku.“Iya, Sayang. Ada apa?” Dia mendekatiku dan mengusap rambut ini.“Aku minta maaf!” “Aku yang seharusnya minta maaf sama kamu, Intan!” Sebuah kecupan mendarat di kening.Ibu memutar badan kemudian keluar dari ruangan meninggalkan kami. Mungkin Ibu marah karena aku berbuat seperti ini. Sudah macam orang gila saja karena m
#Aidil.Lega rasanya setelah menceritakan semua yang telah aku lakukan terhadap Intan kepada Kiai Maulana. Beliau juga menyarankan supaya aku segera jujur kepada Intan, namun harus menunggu waktu yang pas.Kalau untuk sekarang, jujur aku belum berani karena takut mempengaruhi kehamilannya. Apalagi akhir-akhir ini dia sering depresi dan menyakiti dirinya sendiri. Pak Kiai juga menyarankan supaya aku selalu mengajak Intan ke majelis taklim dan juga bertilawah setelah selesai melaksanakan ibadah lima waktu.Jujur, aku juga sangat tersiksa dengan keadaan ini. Apalagi hampir setiap malam Intan mengigau dan selalu dihantui rasa takut. Puncaknya kemarin ketika aku mendengar kaca pecah di dalam kamar dan mendapati intan dengan tangan bersimbah darah. Aku menjadi semakin takut bila harus berkata jujur atas apa yang sudah aku perbuat.Dan semenjak kejadian itu, aku tidak berani lagi meninggalkan istriku sendirian. Aku dan Ibu bergantian menjaga wanita yang telah aku hancurkan hidupnya itu karen
"Maksud kamu apa, Mas. Aku nggak paham?""Sudah percaya saja sama Mas. Mas nggak bakal macam-macam sama Via.""Iya, Mas ini kan laki-laki paling baik sedunia!" Dia melingkarkan tangannya di pinggangku.Aku mengecup puncak kepalanya. Semoga saja kamu bisa selalu mencintaiku sampai saatnya nanti tahu siapa aku sebenarnya.***Memarkirkan mobil di depan gapura pemakaman, rasanya sudah lama sekali aku tidak berziarah ke makam Lubna saking sibuknya mengurus Intan dan calon anakku.Seperti biasanya aku menabur bunga di atas pusara Lubna lalu menancapkan dua tangkai bunga asoka di dekat nisan istri, menatap gundukan itu merasa telah mengkhianati dia."Maaf karena aku sudah menduakan cinta kamu, Lubna. Maafkan aku juga kalau sudah mulai mencintai Intan. Aku nggak tahu kenapa aku begitu cepat jatuh hati kepada wanita itu. Tapi aku janji akan selalu mencintaimu walaupun dunia kita sudah berbeda." Mencium dan mengusap batu nisan istri, tapi entah mengapa kali ini air mataku tidak begitu deras me