“Heh, Intan. Kamu jangan ngarang ya. Aku itu tahu rumah kamu, kamu ingetkan saat nabrak aku di depan gerbang kuburan. Kamu itu punya kakak namanya Radit bukan?” Aku menggebrak meja, membuat gadis itu seketika langsung menunduk ketakutan.
“Kak Radit?” Dia menjawab sangat pelan dengan nada bergetar.
“Iya, dia salah satu orang yang telah memperkosa istri saya!” Otakku dibuat kembali mendidih oleh wanita itu.
Intan terperanjat mendengar pernyataanku. Mungkin dia bisa membohongi ibu, tapi tidak denganku. Aku lihat buliran-buliran kristal putih mulai mengalir di pipinya. Air mata buaya!
“Ja-jadi, wanita yang dinodai Kak Radit adalah istri Mas?” Dia balik bertanya dan sekarang berani menatap wajahku.
“Iya! Saya juga pernah lihat kamu datang ke kantor polisi menemui baj*ngan itu!” sahutku muntab.
“Kak Radit itu mantan tunangan saya, Mas, Bu. Tapi demi Allah saya tidak tahu menahu masalah pemerkosaan itu. Saya datang ke kantor polisi karena dengar Kak Radit ditangkap dan tiba-tiba memutuskan pertunangan kami.”
Air mata wanita itu berderai-derai di pipi. Kata-katanya bagai godam memukul tepat di dadaku. Sesak, bahkan untuk bernafas saja terasa susah. Aku sudah seperti ikan yang berada di daratan.
Jadi, Intan bukan adiknya Radit. Aku sudah balas dendam ke orang yang salah. Ya Tuhan, sesak ini semakin mengimpit dada.
Dengan langkah terseok masuk ke dalam kamar, merasa jijik kepada diriku sendiri. Aku laki-laki baj*ngan yang sudah merenggut harta paling berharga milik wanita itu. Padahal aku tahu dia wanita baik. Bahkan, pada saat malam durjana itu aku sempat mendengar dia sedang mengaji di dalam kamar. Namun emosiku telah mengalahkan logika dan mengusai hati, sehingga dengan tega mengambil kesuciannya dengan cara yang sangat keji.
Menyesal, aku sungguh menyesali semua yang telah aku lakukan.
Tar!
Melempar ponsel yang ada di tanganku ke sebuah cermin, ketika melihat bayanganku sendiri yang seakan sedang mengejek serta menertawakan kebodohanku sehingga membuat serpihan-serpihan kaca jatuh berhamburan di lantai.
“Astaghfirullahaladzim, Le. Istigfar. Ada apa?!” jerit Ibu saat mendengar kegaduhan di dalam kamar.
Aku hanya diam. Ibu masuk dan meminta Intan untuk membantunya membersihkan pecahan kaca yang berserakan.
“Tidak Intan. Kamu sudah hancur, jangan sentuh kaca itu. Kamu hancur, hancur!” racauku tidak karuan.
Intan tetap membersihkan serpihan-serpihan kaca itu tanpa memedulikan ocehanku. Dia wanita yang sangat kuat. Dia tidak menunjukkan betapa hancurnya saat ini karena ulahku, walaupun aku lihat beberapa kali dia menyeka air mata.
“Aidil, tolong kendalikan emosi kamu. Perbanyak ibadah dan sholawat supaya hati kamu tenang.” Ibu duduk di bibir ranjang sambil terus mengusap rambutku.
Aku layaknya anak kecil yang sedang merajuk untuk menutupi segala kesalahan yang pernah aku perbuat.
***
Azan subuh menggema saling bersahutan di seluruh masjid dan musala. Lekas diri ini beranjak dari tempat tidur dan segera mengambil wudu, menggelar sajadah yang entah kapan terakhir kali aku gunakan. Rasanya sudah lama sekali aku tidak menjalankan perintah-Nya.
Huek!
Huek!
Kutatap dari kejauhan saat Intan sedang memuntahkan semua isi perutnya, lalu memberanikan diri mendekati wanita itu.
“Apa kamu sakit, Intan?” tanyaku kemudian.
Dia menggeleng pelan. Aku lihat wajahnya begitu pucat dan basah oleh keringat. Tiba-tiba tubuh perempuan itu ambruk membuatku panik melihatnya.
“Bu, Ibu!” teriakku ketika melihat Intan pingsan.
Ibu yang masih menggunakan mukena segera berlari menghampiri.
“Ya Allah, Intan kenapa, Dil?” tanya ibu terlihat sangat khawatir.
“Nggak tahu bu!”
Aku menggotong tubuh mungilnya, membawanya masuk ke dalam kamar lalu merebahkannya di atas petiduran. Kupadangi wajah cantiknya, seketika bayangan kelam itu kembali berkelebat dalam angan menghantui pikiran.
“Tolong jangan sakiti saya!” lirih Intan berucap sambil menangis.
Aku tidak peduli, segera kulucuti semua baju yang menempel di tubuhnya dan membalaskan dendamku kepada Radit. Wanita itu terus menangis, tetapi aku tidak menghiraukan ratapannya.
“Aidil, kok kamu malah bengong. Tolong panggil dokter Muthia!” Ibu mengguncang bahuku, menarikku dari bayangan kelam yang terus menghantui.
Lekas aku pergi ke rumah dokter Muthia yang letaknya tidak jauh dari tempat tinggalku.
“Sepertinya putri bu haji hanya kelelahan saja!” ujar dokter Muthia sembari tersenyum setelah memeriksa Intan.
“Tolong dijaga pola makannya ya, Bu. Supaya janin yang ada di rahim Ibu sehat terus, Ibu juga nggak boleh stres,” ucapnya menasihati Intan.
Janin? Apa Intan sedang mengandung. Ya Tuhan, kenapa semuanya menjadi serumit ini?
“Makasih, Dokter!” jawab Intan pelan, hampir tidak terdengar.
Dokter Muthia pamit dan aku mengantarnya hingga ke depan pintu garasi.
“Tolong dijaga kandungan istri bapak ya, usahakan jangan sampai ibu stres karena bisa mengganggu pertumbuhan calon bayi kalian!”
Kenapa dokter Muthia mengira kalau Intan ini istriku, apa dia tidak mendengar gosip tentang Lubna?
Ah, aku tidak peduli. Aku hanya mengangguk mengiyakan, karena bisa jadi anak yang dia kandungan adalah darah dagingku.
“Kamu sedang hamil, Intan?” Kudengar ibu bertanya.
“I-iya, Bu,” jawab Intan. Mata wanita itu mulai di penuhi kaca-kaca.
“Kenapa kamu tidak bilang sama Ibu. Terus mana suami kamu?”
Intan hanya menunduk seiring dengan air mata yang terus saja berlomba-lomba jatuh membasahi pipi.
“A-aku tidak punya suami, Bu.” Dia begitu jujur kepada Ibu.
“Tidak punya suami tapi hamil? Ya Allah Intan. Ibu pikir kamu itu wanita baik-baik yang mampu menjaga marwah kamu sebagai wanita. Tetapi selama ini Ibu salah. Kamu sama saja seperti wanita-wanita di luaran sana, Intan!” Kini Ibu terlihat emosi.
Sedang Intan, wanita malang itu hanya menangis tergugu sambil meremas pinggiran seprai.
Pemandangan macam apa ini? “Aku sudah berusaha menjaga kehormatan ibu, tetapi laki-laki itu merenggutnya dengan paksa. Aku juga tidak menginginkan anak haram ini karena dia telah menjadi beban di hidupku!” Intan memukuli perutnya dengan brutal serta penuh kebencian. “Intan stop. Jangan sakiti anak dalam perut kamu!” teriakku spontan. Dia langsung menataku dengan tatapan aneh. Begitu pula dengan Ibu. “Dia tidak bersalah, Intan,” ucapku lirih. “Maafin Ibu ya, Nak. Mungkin perkataan Ibu sudah menyakiti hati kamu. Sekarang kamu nggak boleh mikir macem-macem. Kalau ada apa-apa, cerita saja sama Ibu. Anggap saja kalau Ibu ini ibu kandung kamu sendiri.” Wanita yang telah melahirkanku itu lalu memeluk Intan dengan erat. Aku melangkah keluar dengan sejuta rasa bersalah yang terus menghantui diri. Intan hamil, dan itu sudah pasti anakku. Kenapa harus seperti ini. Kenapa dulu saat bersama Lubna Allah tidak memberiku amanah sebesar itu. Lima tahun aku menikah dengan Lubna, tetapi Allah tidak
“Tidak, aku bukan laki-laki bejat seperti mereka. Aku tidak mau melakukannya lagi!” Segera kututup pintu kamar Intan dan kembali ke kamarku sendiri.Mengacak-acak rambut, merasa bingung dengan keadaan diri sendiri. Kenapa aku menjadi seperti ini?Terus memandangi perut Intan yang sedang sibuk membantu Ibu di dapur, aku tersenyum sendiri ketika membayangkan perut wanita itu mulai membesar lalu anak dalam perutnya menendang-nendang dari dalam. Indah nian bayangan itu.“Pagi-pagi udah ngelamun, udah sana ke toko!” celetuk ibu menyentakku dari lamunan.Intan menoleh ke arahku dan tersenyum. Apa kamu masih bisa tersenyum semanis itu jika mengetahui akulah penyebab kehancuranmu?Aku memijat kepalaku yang terasa seperti mau pecah. Beban di hati membuat aku sulit sekali untuk memejamkan mata, hingga kepalaku sering terasa sakit.Pun saat aku berada di toko. Aku hanya diam melamun sambil menatap lalu lalang pelanggan dan juga anak buahku saat mengambil barang.Aku memiliki dua buah toko materi
“Ibu itu ketemu Intan di mana, kok dia bisa kerja sama kita?” tanyaku saat kami sedang santai di teras belakang.“Di pinggir jalan, Dil. Dia sedang menangis sendiri, terus ibu tanya di mana keluarganya dia bilang tidak ada. Katanya dia diusir dari rumah gara-gara kesalahan yang tidak ia perbuat. Ya mungkin karena dia jadi korban rudapaksa sampai dia diusir warga. Tapi Ibu yakin, kok, kalau Intan itu anak baik-baik!” sahut Ibu menerangkan.“Kasihan dia ya, padahal gadis baik, shalihah, pinter ngaji. Eh, ada yang tega memperlakukan dia seperti itu. Mudah-mudahan laki-laki yang menodai Intan cepet dapet balasan yang setimpal!” imbuhnya lagi.“Ibu!” Tanpa sengaja aku berteriak kepada wanita yang telah melahirkanku itu.Ibu menautkan alis menatap wajahku.“Ada apa sih, Aidil? Ibu itu heran sama tingkah kamu sekarang ini loh. Aneh!” Dia menggelengkan kepalanya.“Bu, kalau seumpama aku berbuat kesalahan besar, apa ibu mau memaafkan aku, Bu?” Menggenggam jemari Ibu.“Tergantung, kalau kesalah
"Maafkan aku, Ibu. Aku khilaf. Saat itu yang terlintas di pikiranku hanya membalas dendam kepada Radit karena dia telah menodai istriku sehingga Lubna mengakhiri hidupnya. Tadinya aku fikir Intan itu adiknya Radit. Ternyata bukan, Bu. Aku menyesal sudah melakukan hal sebejat itu, Bu!"Plak!Rasa panas kembali menjalar di pipi, dia wanita yang lemah lembut, untuk pertama kalinya memukul sang putra karena kelakuan buruknya yang mungkin tidak ter maafkan. Aku menatap mata Ibu yang sudah memerah. Bibirnya terkatup, dadanya naik turun tidak beraturan. Aku tahu pasti saat ini ibu sedang menahan amarah yang sangat besar."Ibu kecewa sama kamu, Aidil. Ibu fikir kamu anak Ibu yang paling baik tapi ternyata Ibu salah. Kenapa kamu bisa berbuat hal sehina itu Aidil?" Dia menekan dadanya sambil menangis tergugu."Aku khilaf, Bu. Maaf!" Kini aku sudah bersimpuh di pangkuan Ibu.Ibu bergeming. Dia tidak mengusap kepalaku seperti biasanya, bahkan ia berusaha menjauh."Tolong Ibu jangan bilang dulu sa
Setelah menunggu cukup lama akhirnya mobil yang membawa Tante Sita dan Intan datang juga. Mataku tidak berhenti menatap saat pintu mobil terbuka dan sesosok wanita cantik berbalut kebaya putih dengan riasan sederhana tetapi membuat dia terlihat sangat memesona.“Jangan diliatin terus, puas-puasin nanti malam,” Om Erwin menyiku lenganku.Setelah Intan menandatangani surat Izin wali nikah, pak penghulu segera menikahkan kami. Tanganku bergetar hebat saat menjabat tangan laki-laki berseragam dinas itu dan mengucap janji suci di depan semua saksi.“Saya terima, nikah dan kawinnya Intan Karisa Kirana binti almarhum bapak Jaelani dengan mas kawin tersebut di bayar tunai!” Kuucap dengan lantang dan hanya dengan satu tarikan nafas, kemudian hadirin yang ada ramai gemuruh mengucap kata ‘sah’.Intan mencium punggung tanganku dan lekas kusematkan sebuah cincin emas yang dijadikan sebagai mas kawin. Kini wanita mungil di depanku sudah sah menjadi istriku. Intan tersenyum malu-malu saat aku menata
Dengan senyum terkembang di bibir mungilnya perempuan itu membuka kotak yang ia bawa dan duduk di meja makan. Ia lalu mengambil segelas air dan meneguknya hingga tandas.“Intan, kamu lagi ngapain?” tanyaku seraya mendekat ke arahnya.“Eh, Mas. Aku lapar, makanya makan roti yang kamu simpan di lemari” Dia menggigit bibir menatapku.“Ya sudah makan yang banyak, biar anak kita cepet besar!” titahku searaya menarik kursi lalu duduk di sebelahnya. Aku lihat dengan rakus ia menyantap roti yang ia ambil dari lemari, membuat diri ini tersenyum bahagia melihat pemandangan seperti itu.Dulu, si Ujo anak buahku suka bercerita, saat istrinya hamil suka sekali minta di beliin makanan yang aneh-aneh tengah malam. Istrinya juga katanya berubah jadi rakus dan doyan sekali makan. Mungkin sekarang Intan sedang dalam fase seperti istrinya Ujo karena kehamilannya sudah memasuki bulan ke lima dan janin di dalam perutnya pasti sudah mulai tumbuh besar.“Kok liatin aku seperti itu, Mas. Mau?” Dia menyodorka
Mas Aidil keluar dari kamar mandi dengan tubuh bagian bawah hanya di lilit handuk. Aku memalingkan wajah karena malu melihatnya.Tetapi karena penasaran, sesekali aku melirik ke arahnya yang sedang mengenakan dalaman baju.Setelah selesai mengenakan seluruh pakaiannya, Mas Aidil menggelar sajadah dan melaksanakan sholat isya.Duh, sholeh banget sih suami aku.Seusai salat Mas Aidil menoleh ke arahku yang masih duduk bersandar di atas pembaringan kemudian menghampiri diri ini dan berbaring di sebelahku.“Assalamualaikum, anak ayah lagi ngapain?” Dia mengelus perutku dan menciumnya dengan penuh kelembutan, membuat diri ini terharu melihatnya.Ya Tuhan, sungguh bahagia hati ini karena ditakdirkan berjodoh dengan laki-laki sebaik Mas Aidil.“Makasih ya, Mas,” ucapku seraya membelai rambut suamiku yang masih basah.“Untuk apa?” tanya lelaki itu sambil tangannya tetap mengusap-usap perut.“Semuanya. Aku bahagia banget bisa menjadi istri kamu. Maaf kalau aku belum bisa memberikan apa-apa unt
“Astaghfirullahaladzim, Intan. Apa yang kamu lakukan sayang?” Mas Aidil memegangi tangan kananku dan mengambil serpihan kaca dalam genggaman, sementara darah segar terus mengalir membanjiri lantai kamar. Kepalaku terasa seperti berputar-putar, berat, tidak lama kemudian ruangan di sekitarku menjadi gelap.Membuka mata perlahan, menoleh ke arah Ibu yang sedang menangis di tepi ranjang. Dua orang perawat dan seorang dokter sedang sibuk memegangi tanganku dan sepertinya sedang menjahit luka sayatan itu.Ada apa, apa yang sudah aku lakukan?Mas Aidil berdiri sambil menggigiti kuku-kukunya seperti orang sedang ketakutan.“Mas,” panggilku sambil menatap wajah sendu suamiku.“Iya, Sayang. Ada apa?” Dia mendekatiku dan mengusap rambut ini.“Aku minta maaf!” “Aku yang seharusnya minta maaf sama kamu, Intan!” Sebuah kecupan mendarat di kening.Ibu memutar badan kemudian keluar dari ruangan meninggalkan kami. Mungkin Ibu marah karena aku berbuat seperti ini. Sudah macam orang gila saja karena m