Kupandang foto lelaki bernama Elang Purnama yang akan datang besok untuk melamarku. Lumayan tampan alias tidak jelek-jelek amat. Serasi lah jika bersanding denganku yang cantik ini. Kata bapak, zsdia ini anak orang kaya sehingga tanpa ragu kuterima saja lamarannya.
Bukannya aku nggak laku sehingga mau dijodohkan dengan laki-laki anak sahabat bapak itu meski zaman sekarang perjodohan sudah jarang terjadi. Namun, aku sudah capek melanglang buana mencari pasangan yang pada akhirnya berakhir jadi mantan. Iya, aku pernah punya hubungan dengan banyak cowok, apalagi aku termasuk gadis cantik dan populer saat di kampus, tetapi sejauh ini tidak ada yang sreg, hanya untuk main-main saja. Parahnya, aku baru saja diselingkuhi oleh pacarku sendiri. Nyesek banget rasanya, gadis cantik seperti diriku diselingkuhi.
"Betapa cantiknya diriku ini." Aku berbicara sendiri saat melihat bayangan di cermin.
Aku ingin menunjukkan pada lelaki yang sudah membuatku menangis itu kalau aku bisa mendapatkan lelaki yang lebih baik darinya dan Elang lah orangnya.
Aku berdiri di depan cermin besar usai dandan secantik mungkin. Aku tersenyum, Elang pasti suka dengan penampilanku ini. Ia pasti akan bilang kalau belum pernah melihat gadis cantik selain diriku.
"Aduh, cantiknya anak Ibu?" Ibu ikut melihat cermin di depanku.
Aku tersenyum. "Iya, dong, Bu. Anaknya siapa dulu?"
"Kecantikan kamu memang menurun dari Ibu, Cit." Ibu tersenyum dan membelai pipiku.
"Tetapi, Bu. Lelaki bernama Elang ini memang benar-benar kaya, kan, Bu? Aku nggak mau ketipu, meski tampan kalau miskin juga apa gunanya?" Aku mengambil foto di atas meja rias yang tadi terus kupandangi.
Ibu mengambil foto itu dan berkata, "tampan, kalau Ibu belum punya suami, Ibu juga mau."
"Ish, Ibu. Nggak usah genit napa? Dia hanya milikku, Bu, asalkan dia benar-bebar punya banyak uang sehingga aku tidak harus bekerja keras." Aku mengambil kembali foto lelaki yang belum pernah sekali pun kutemui itu.
"Kamu nggak usah khawatir, dia asli kaya. Kalau tidak, mana mungkin bisa bantu keluarga kita yang pernah bangkrut sehingga tidak punya apa-apa?" Ibu mengusap pundakku.
Aku mengangguk. Memang, keluarga kami pernah terpuruk dan ada salah seorang teman bapak yang membantu hingga sekarang bisa bangkit lagi dan ternyata orang yang sudah membantu kami itu akan menjadi suamiku. Wah, kekayaan orang itu tidak diragukan lagi pastinya.
Aku sudah membayangkan, jika aku menikah dengan Elang, pasti akan menjadi ratu yang pekerjaannya hanya ongkang-ongkang kaki saja.
Aku dan ibu keluar kamar dan melihat Vira yang sedang menyapu di ruang tamu. Ibu pergi ke dapur dan aku mendekati si upik abu.
"Nem, jangan lupa bersihkan ruang tamu sampai-sampai benar-benar bersih dan kinclong. Jangan sampai ada sebutir debu pun yang menempel di sana," ucapku lantang.
Gadis yang tidak pernah melakukan perawatan itu diam sehingga membuatku geram.
"Nem, kalau ada orang bicara itu dengar dan jawab! Jangan hanya diam saja!"
Lagi, gadis itu tidak menjawab seruanku.
Tanganku mengepal, lalu maju dan siap menjambak rambutnya, tetapi belum juga tangan ini mendarat di kepalanya, gadis itu sudah menahannya. Si*l.
"Mau apa, Cit?" tanyanya sambil memegang tanganku cukup erat.
"Lepaskan tanganku!" Aku berontak karena ternyata pegangannya cukup kuat juga.
"Kenapa kamu ingin memukulku? Apa salahku?" tanyanya dengan nada tinggi. Aku kaget, kenapa ia jadi berani seperti ini?
"Kenapa ini kalian ribut-ribut?" tanya ibu yang tiba-tiba muncul di antara kami.
"Ini, Bi. Citra tiba-tiba mau mukul aku," jawab Vira.
"Habis, aku kesel, dia nggak mau mendengar panggilanku." Bibirku mengerucut dan tangan bersedekap.
"Aku merasa nggak dipanggil, kok."
"Selain kumal kamu juga tuli. Dipanggil berkali-kali nggak nyaut. Inem." Aku kesal.
"Namaku bukan Inem, tapi Vira!"
Aku kaget, kenapa tiba-tiba ia berani membantah? Biasanya selalu nurut.
"Ya udahlah. Yang bersih kalau nyapu karena aku nggak mau ruang tamu ini kotor saat tamuku datang nanti." Gegas aku menggandeng tangan ibu dan berlalu pergi.
***
Aku tersenyum saat melihat rumah sudah bersih dan rapi. Tentu saja Vira yang sudah menghandle semuanya. Bukan hanya itu, makanan juga sudah siap di atas meja dan itu juga Vira yang masak. Aku? Hanya bertugas sebagi pengawas dan komentator saja.
Saat aku sedang asyik dengan ponsel di tangan, tiba-tiba dikejutkan dengan suara motor yang berhenti di halaman.
Aku berseru pada Vira untuk memintanya agar melihat siapa yang datang.
"Ada tiga orang naik ojek, sepertinya pasangan suami istri dan yang satunya lagi masih muda dan lumayan tampan," jawab Vira setelah melihat dari balik jendela.
Aku penasaran lalu bangkit dari duduk dan segera melihat siapa yang datang.
Elang? Bukankah itu lelaki yang ada di foto dan akan melamarku hari ini? Tetapi kenapa naik ojek? Apakah mereka tidak punya mobil? Dan kakinya? Duh, kotor sekali, bahkan terlihat cipratan lumpur mengenai celana panjangnya.
Apa itu artinya aku sudah ditipu mentah-mentah oleh mereka? Katanya kaya, tetapi kenapa nggak naik mobil?
Aku memilih mundur dari perjodohan ini. Mana mungkin aku menikah dengan lelaki miskin yang masa depannya tidak jelas seperti Elang. Apalagi dia terang-terangan bilang kalau keluarga mereka baru saja bangkrut dan sekarang tidak punya apa-apa lagi.
Kalau aku mundur, maka Vira yang yang harus berkorban untuk menikah dengan Elang. Iya, itu adalah ide yang sangat bagus.
Enggak level aku nikah dengan pria miskin seperti Elang dan Vira lah yang cocok dengannya.
Si Miskin berjodoh dengan upik abu. Hahaha. Mantap.
Elang dan ayahnya berpamitan keluar sebentar sepertinya mereka berdua ingin membicarakan sesuatu yang sangat rahasia yang tidak ingin kami semua tahu.Namun, aku enggak peduli. Yang penting aku sudah merelakan Vira menggantikan aku untuk menjadi istrinya. Tidak lama kemudian mereka berdua masuk dan duduk kembali dan sang ayah berkata, "Elang tidak keberatan menerima Vira."Bapak tersenyum dan berkata, "deal, ya lamaran Elang untuk Vira kami terima. Utangku lunas, ya, Pur, karena aku sudah menepati janjiku untuk mempersatukan anak-anak kita. Yah, meski bukan anak kandungku, tetapi sama saja lah."Lelaki yang tadi dipanggil Pur oleh bapak itu terlihat menepuk tangan Elang yang duduk di sampingnya. "Iya, Man. Sekarang kita tinggal memikirkan kapan pernikahan ini akan dilangsungkan," kata lelaki yang menurutku masih lumayan tampan di usianya yang sudah tidak muda lagi itu. "Oh, iya tentu saja. Lebih cepat lebih baik dan kalian nggak usah khawatir, untuk mahar juga nggak akan minta y
Kami bertiga berpandangan mendengar ucapan calon mertuanya Vira yang ingin mengadakan pesta secara besar-besaran. Tidak lama meledaklah tawa kami hingga suaranya menggema di ruangan ini. Air mata ibuku sampai berderai. Mungkin ia juga merasakan apa yang kurasakan saat ini yaitu heran dengan ayahnya Elang yang tingkat kehaluannya tidak tanggung-tanggung itu. Bagaimana mungkin mereka bisa mengadakan pesta mewah? Apakah mereka pikir tidak butuh biaya? "Anda sehat?" tanyaku setelah puas tertawa hingga perutku sakit. "Kenapa?" lelaki berkumis itu malah balik tanya. Sepertinya ia tidak sadar kalau ucapannya cukup menggelitik. "Tadi bilang ingin mengadakan pesta besar-besaran pada pernikahan Vira dan Elang, kan?" tanyaku sambil mengusap air mata tawa."Iya. Memangnya kenapa? Salah?" Pak Purnama mengendikkan bahu. Berulang kali Elang mencubit tangan ayahnya itu, tetapi tidak digubris. Mulutnya masih saja mencerocos. "Elang adalah anak laki-laki kami satu-satunya. Kamu tahu sendiri, kan
Kuusap dada perlahan untuk menetralkan irama jantung yang mendadak tidak karuan. Aku mengorek telinga, barangkali kotor sehingga salah dengar. Mana mungkin bapak punya utang sebanyak itu? Kalau iya, kenapa selama ini terlihat tenang-tenang saja dan seolah tidak ada beban? "Bapak punya utang 50 juta? Nggak salah utangnya sebanyak itu? Lima juta kali?" tanyaku masih dengan berbisik dan kututup mulutku dengan tangan agar Pak Purnama tidak ikut mendengarnya.Bapak menghela napas panjang. "Iya, benar emang segitu. Kamu pikir usaha peternakan bebek Itu modalnya sedikit apa? Menyewa lahan, beli bebeknya yang sudah siap bertelur itu lumayan mahal dan dalam jumlah banyak, beli vitamin, beli pakan, gaji karyawan karena kita tidak bisa mengerjakan sendiri. Kamu tahu sendiri, kan, karyawan kita banyak dan semuanya minta digaji kecuali Vira? Belum lagi untuk beli lampu sebagai penerangan, serta printilan yang lainnya. Yah pokoknya banyak lah. Bapak jelaskan panjang lebar dan detail kamu juga ng
PoV ElangAku semakin geram saat mendengar Pak Arman dan keluarganya yang terus menyombongkan diri. Ingin kubungkam mulut mereka dengan apa yang kami punya, tetapi tidak sekarang karena aku yakin jika mereka tahu siapa kami yang sebenarnya pasti akan berubah pikiran. Aku berencana memberi kejutan setelah aku dan Vira resmi nikah nanti agar sudah tidak ada yang mengganggu gugat lagi. Katanya orang kaya, tetapi aplikasi M-banking saja tidak tahu. Orang kaya macam apa itu. "Jelaskan padaku, tetapi bukan isi hatimu, ya, karena kalau itu lagu.Jelaskan padaku apa yang kamu sebutkan tadi? M m apa itu?""M-banking, Pak. Itu adalah aplikasi untuk mengirimkan uang tanpa harus datang ke bank," jawabku. Tatapannya menerawang ke atas dan tangannya memegang dagu. Ia Sedang berpikir keras lalu ia berkata. "Ya ampun, aku sudah bilang, kan kalau uangku aku simpan di bank. Kalian tahu, kan, apa itu bank? Semua orang juga tahu kalau bank adalah tempat penyimpanan uang yang paling aman. Jangan-jangan
Citra masih mengulurkan tangannya untuk meminta ponselku."Ayolah berikan ponselmu padaku agar bapak tahu aplikasi M-banking itu seperti apa.""Pakai saja ponselmu biar aku tunjukkan." Aku menolak memberikan karena tadi aku dan ayah sudah berencana untuk tidak membongkar rahasia kami dulu. "Kenapa kamu nggak mau nunjukin ponselmu? Oh, aku tahu pasti malu karena ponsel kamu sudah jelek atau mungkin jadul? Atau karena ponselnya sudah retak sana-sini dan udah nggak sanggup untuk ganti lagi? Jelek juga nggak papa yang penting masih bisa digunakan sebagai mana mestinya. Kamu nggak usah khawatir, saat kamu menikah dengan Vira nanti, bisa pakai ponsel Vira meski miliknya juga nggak bagus-bagus amat." Rasa kesal yang sudah bergemuruh dalam dada membuatku refleks mengeluarkan benda pipih yang kupunya. "Ini adalah aplikasi M-banking yang kumaksud, Pak. Dengan aplikasi ini Bapak bisa transfer uang tanpa harus ke bank." Aku menyodorkan ponsel pada Pak Arman agar dilihat. Lelaki itu mengambil
Mataku memanas saat melihat pengantinku yang sudah duduk di kursi dengan menunduk. Ternyata kenyataan tidak sesuai ekspektasi. Aku yang sudah membayangkan Vira terlihat cantik dan beda saat make up, ternyata tidak diapa-apakan sama sekali. Wajahnya masih kusam seperti saat pertama kali aku melihatnya. Pakaiannya juga sederhana berupa kain jarik batik berwarna cokelat dan atasan kebaya berwarna putih dan kerudung panjang dengan warna senada. Yang membuatku semakin masygul adalah semua pakaian yang melekat di tubuhnya itu tidaklah baru. Ibu menggenggam erat tanganku seolah tahu apa yang kurasakan saat ini. Kutahan rasa sesak di dada sambil mensugesti diri kalau semua ini tidak akan lama. Aku tercengang saat melihat penampilan Citra dan ibunya yang terlihat sangat berbeda karena mereka berdua memakai baju baru dan dandan. "Ayo masuk. Kenapa masih berdiri di situ? nggak pengen cepet-cepet halalin si Vira? Dia sudah menunggu dari tadi, lho," kata Citra dengan senyum lebar. Apa maksu
Wanita cantik yang dibilang ibu sebagai MUA itu menggandeng tangan Vira dan meminta untuk menunjukkan di mana kamarnya. Awalnya Vira ragu, aku memberinya isyarat dengan menganggukkan kepala dan tersenyum. "Nurut aja, ya Vir."Wanita itu tidak datang seorang diri melainkan bersama asistennya yang membawa sebuah tas besar berisi pakaian untuk Vira dan aku nanti."Lang, kamu juga perlu make up agar enggak jomplang nanti sama Vira." Ibu tersenyum. Aku mengikuti Vira masuk ke kamarnya dan sungguh batinku menjerit melihat ini. Rumah keluarga citra ini lumayan bagus dan besar, tetapi kamar Vira tidaklah layak disebut sebagai kamar. Ruangan ini tidak memiliki ranjang. Vira tidur di bawah beralaskan kasur yang sudah usang. Geram aku melihatnya. Mataku memanas melihat kondisi kamarnya. Entah kenapa rasa sakit menyusup di sanubari. Namun aku juga tidak habis pikir Kenapa Vira betah tinggal di rumah seperti ini, apalagi penghuninya juga menyebalkan semua. Kenapa ia tidak berusaha pergi saja.
Suasana yang tadinya adem ayem mendadak heboh karena Citra pingsan, entah pingsan sungguhan atau hanya pura-pura. Katanya tidak heran dengan Vira, tetapi baru melihat kunci mobil yang menjadi hadiah pernikahan saja sudah pingsan, bagaimana kalau ia melihat mobilnya secara langsung nanti? Bisa-bisa ia pingsan dan tidak mau bangun lagi karena tidak sanggup melihat orang yang ia hina selama ini bahagia. Sifat sombong memang satu paket dengan sifat iri dan dengki yang paling tidak bisa melihat orang lain bahagia. Bu Tantri-- ibunya teriak histeris melihat anak kesayangannya tergeletak di lantai.Ia dan suaminya menggotong tubuh Citra ke kamar yang ada di sebelah ruangan ini. "Bangun, Cit. Ayo bangun." Bu Tantri menepuk pipi Citra yang masih memejamkan mata. Citra tak bergeming. Tidak ada tanda-tanda untuk membuka mata, hanya dadanya yang terlihat naik turun sebagai pertanda ia masih bernapas. "Aduh, kenapa, sih kamu pakai pingsan segala? dibangunin susah pula." wanita itu menggerutu