“Jatuhkan tahtanya.” Kata-kata Revan masih bergema di telinga Naira ketika makhluk-makhluk tanpa wajah itu mengepung mereka dari semua arah. Ruangan itu seperti jantung hidup—berdenyut, panas, dipenuhi aroma darah dan asap dupa basi. Pemanggil duduk di takhta raksasanya, menatap mereka dari atas. Tubuhnya tak bergerak, tapi topeng kayu itu bergerak perlahan, menampilkan retakan yang mengeluarkan cahaya merah dari dalam. “Naira…” suaranya seperti ribuan orang berbicara bersamaan. “Kau pikir bisa menghancurkan singgasanaku? Itu sama saja menghancurkan jiwamu sendiri.” Naira menatapnya tajam. “Kalau itu yang harus kulakukan untuk menghentikanmu… aku akan melakukannya.” Revan melirik sekilas ke arah Naira. “Jangan ragu. Takhta itu sumbernya. Kalau dia terputus dari situ—dia kehilangan cengkeramannya.” Kirana, yang gemetar di belakang, memegang lengan Naira. “Na… kalau kamu jatuhkan itu… apa kita ikut mati?” Naira menggenggam kerisnya lebih erat. Bilah itu semakin panas, wajah-wajah
“Kalau kau masuk… kau mungkin tidak akan kembali dengan nama. Atau dengan jiwa.” Suara itu—suara pria tua penjaga gerbang—masih bergema di kepala Revan ketika ia dan Kirana berdiri di depan Monas. Tapi ini bukan Monas seperti yang mereka kenal. Langit di atasnya berwarna merah darah. Pilar Monas retak, dan di ujungnya, api emas berkobar liar, tapi bukan api biasa—api itu hidup, bernafas, menatap mereka. Di sekeliling, ratusan sosok berjubah putih berdiri melingkar, menghadap puncak Monas. Tak bergerak. Tak bersuara. Hanya seperti menunggu sesuatu… atau seseorang. “Ini… rumahnya,” bisik Kirana. Revan menggenggam keris Naira. Bilahnya bergetar, tapi tetap hitam. “Gerbang ketiga bukan pintu,” kata Revan, mengingat perkataan pria tua itu. “Ini… rumah. Dan sekarang kita berdiri di ruang tamunya.” Tanah di bawah mereka bergetar. Dari balik barisan sosok berjubah putih, sosok raksasa itu muncul. Tinggi hampir setara pilar Monas. Tubuhnya seperti dibungkus kain kafan, tapi longgar, m
“Setiap perjanjian darah… berakhir di takhta.” Suara itu menggema bahkan sebelum Naira benar-benar melangkah masuk. Ruangan ini… bukan sekadar ruangan. Langit-langitnya tak terlihat, gelap tanpa ujung, tapi di tengahnya berdiri takhta raksasa yang seolah terbuat dari tulang manusia. Dari sela-selanya menetes cairan merah kehitaman, mengalir ke lantai, membentuk lingkaran-lingkaran simbol yang berdenyut seperti nadi. Dan di atas takhta itu—Pemanggil. Kini wujudnya lebih jelas: tinggi menjulang, tubuhnya diselimuti kain hitam dengan ukiran darah, wajahnya tetap tertutup topeng kayu yang bercahaya samar. Dari tubuhnya keluar asap putih, seperti sisa dupa yang terus menyala. Kirana terisak di belakang. “Na… ini gila… tempat ini… bukan dunia kita.” “Memang bukan,” jawab Revan dingin. “Ini inti kontrak. Ruang perjanjian. Semua yang masuk… tidak keluar dengan cara yang sama.” Pemanggil mengangkat kepalanya. Topeng kayu itu bergerak—dan suara banyak mulut berbicara sekaligus. “Naira.
“Kalau kau melangkah, kau bukan manusia lagi.” Kalimat itu muncul di dinding koridor, ditulis dengan darah basah. Naira berhenti. Cahaya obor hitam di sepanjang lorong membuat tulisan itu seolah berdenyut, hidup. “Kalau kita teruskan, kita nggak bisa pulang,” bisik Kirana, suara bergetar. Revan berjalan tanpa menoleh. “Tidak ada pintu keluar. Satu-satunya jalan… adalah maju.” Naira menatap ujung koridor. Gelap. Tapi ada suara samar—suara napas… atau rintihan? Setiap langkah yang ia ambil, lantai marmer di bawahnya terasa seperti daging hidup. Licin. Hangat. “Ini… bukan tempat biasa,” gumam Naira. “Ini tubuh Pemanggil,” jawab Revan datar. “Kau berjalan di dalam dirinya.” Kirana terengah. “Jadi… kita benar-benar di dalam monster itu?” Revan tidak menjawab. Naira menatap kerisnya. Bilah itu semakin berat. Wajah-wajah korban yang terukir di sana bergerak—mata mereka terbuka, mengikuti gelap yang di depan. “Kau janji selamatkan kami…” suara-suara itu berbisik di kepalanya. Lor
“Setiap pintu punya pemilik. Setiap gerbang… punya pemanggil.” Revan berkata sambil berjalan menuju pintu hitam raksasa yang tiba-tiba muncul di tengah hamparan marmer gelap. Pintu itu tinggi menjulang, ukirannya berupa wajah-wajah yang menjerit, berlapis logam berkarat. Dari celahnya, asap putih keluar seperti napas makhluk hidup. Naira berdiri terpaku. “Siapa yang ada di baliknya?” “Pemanggil,” jawab Revan. “Dia yang mengikat kontrak darah 90 hari ini. Dia yang menulis takdirmu jauh sebelum kau lahir.” Kirana menggenggam tangan Naira erat. “Na… kalau kita buka itu… kita gak bisa mundur lagi.” “Kalau tidak dibuka,” Revan menoleh, menatap Naira, “kalian berdua akan jadi bagian ukiran di pintu ini.” Naira menatap keris di tangannya. Wajah-wajah korban masih terukir di bilahnya—mata mereka hidup, menatapnya. Kau sudah janji… jangan biarkan kami mati sia-sia. Suara itu menggema di kepalanya. Dia menggenggam bilah keris lebih erat. “Kalau ini satu-satunya jalan… kita b
“Kenapa kau biarkan kami mati?” Suara itu menghantam telinga Naira seperti dentuman gendang perang. Seratus suara, satu nada. Dia memutar tubuh—dan mereka ada di sana. Pak Edwin. Tukang ojek. Anak kecil itu. Bahkan wajah-wajah asing, samar, yang tak pernah ia temui tapi entah bagaimana terasa… terhubung. Mata mereka kosong. Tapi tatapan itu menusuk, membuat kulit Naira merinding. “Tidak…” Naira mundur. “Ini… bukan nyata.” Revan berdiri di sampingnya, tenang. “Mereka nyata. Hanya saja… tak lagi hidup.” “Kenapa mereka… di sini?” “Karena mereka bagian dari jalurmu.” Desa tua itu berbau tanah basah bercampur busuk, seperti kuburan yang digali paksa. Rumah-rumah reyot berdiri di sisi jalan. Pohon-pohon mati menjulang, rantingnya seperti tangan-tangan yang ingin meraih langit. Sosok-sosok itu melangkah mendekat. Serempak. Langkah mereka tak berirama—tapi bunyinya menimbulkan getar di tanah. Kirana bersembunyi di belakang Naira, tubuhnya gemetar. “Na… kita harus keluar dari sini.”