“Kalau kau melangkah, kau bukan manusia lagi.” Kalimat itu muncul di dinding koridor, ditulis dengan darah basah. Naira berhenti. Cahaya obor hitam di sepanjang lorong membuat tulisan itu seolah berdenyut, hidup. “Kalau kita teruskan, kita nggak bisa pulang,” bisik Kirana, suara bergetar. Revan berjalan tanpa menoleh. “Tidak ada pintu keluar. Satu-satunya jalan… adalah maju.” Naira menatap ujung koridor. Gelap. Tapi ada suara samar—suara napas… atau rintihan? Setiap langkah yang ia ambil, lantai marmer di bawahnya terasa seperti daging hidup. Licin. Hangat. “Ini… bukan tempat biasa,” gumam Naira. “Ini tubuh Pemanggil,” jawab Revan datar. “Kau berjalan di dalam dirinya.” Kirana terengah. “Jadi… kita benar-benar di dalam monster itu?” Revan tidak menjawab. Naira menatap kerisnya. Bilah itu semakin berat. Wajah-wajah korban yang terukir di sana bergerak—mata mereka terbuka, mengikuti gelap yang di depan. “Kau janji selamatkan kami…” suara-suara itu berbisik di kepalanya. Lor
“Setiap pintu punya pemilik. Setiap gerbang… punya pemanggil.” Revan berkata sambil berjalan menuju pintu hitam raksasa yang tiba-tiba muncul di tengah hamparan marmer gelap. Pintu itu tinggi menjulang, ukirannya berupa wajah-wajah yang menjerit, berlapis logam berkarat. Dari celahnya, asap putih keluar seperti napas makhluk hidup. Naira berdiri terpaku. “Siapa yang ada di baliknya?” “Pemanggil,” jawab Revan. “Dia yang mengikat kontrak darah 90 hari ini. Dia yang menulis takdirmu jauh sebelum kau lahir.” Kirana menggenggam tangan Naira erat. “Na… kalau kita buka itu… kita gak bisa mundur lagi.” “Kalau tidak dibuka,” Revan menoleh, menatap Naira, “kalian berdua akan jadi bagian ukiran di pintu ini.” Naira menatap keris di tangannya. Wajah-wajah korban masih terukir di bilahnya—mata mereka hidup, menatapnya. Kau sudah janji… jangan biarkan kami mati sia-sia. Suara itu menggema di kepalanya. Dia menggenggam bilah keris lebih erat. “Kalau ini satu-satunya jalan… kita b
“Kenapa kau biarkan kami mati?” Suara itu menghantam telinga Naira seperti dentuman gendang perang. Seratus suara, satu nada. Dia memutar tubuh—dan mereka ada di sana. Pak Edwin. Tukang ojek. Anak kecil itu. Bahkan wajah-wajah asing, samar, yang tak pernah ia temui tapi entah bagaimana terasa… terhubung. Mata mereka kosong. Tapi tatapan itu menusuk, membuat kulit Naira merinding. “Tidak…” Naira mundur. “Ini… bukan nyata.” Revan berdiri di sampingnya, tenang. “Mereka nyata. Hanya saja… tak lagi hidup.” “Kenapa mereka… di sini?” “Karena mereka bagian dari jalurmu.” Desa tua itu berbau tanah basah bercampur busuk, seperti kuburan yang digali paksa. Rumah-rumah reyot berdiri di sisi jalan. Pohon-pohon mati menjulang, rantingnya seperti tangan-tangan yang ingin meraih langit. Sosok-sosok itu melangkah mendekat. Serempak. Langkah mereka tak berirama—tapi bunyinya menimbulkan getar di tanah. Kirana bersembunyi di belakang Naira, tubuhnya gemetar. “Na… kita harus keluar dari sini.”
Pintu penthouse 9B bergetar. DUM! Sekali. Dua kali. Tiga kali. Naira berdiri tegak, keris di tangan. Jantungnya berdetak seirama dengan ketukan itu. “Siap?” tanya Revan. Suaranya terdengar seperti ujian terakhir. “Buka saja,” jawab Naira, walau tenggorokannya kering. Revan menjentikkan jarinya. Pintu terbuka perlahan. Sosok-sosok masuk satu per satu. Bukan bayangan. Bukan makhluk berwajah kosong. Tapi manusia. Nyata. Naira mengenali mereka. Kirana—sahabat SMA-nya. Pak Edwin—mantan bosnya. Tukang ojek yang biasa mengantar adiknya. Bahkan anak kecil yang pernah ia tolong di jalan. Mereka semua berdiri di depan Naira, diam. Tapi mata mereka… hitam legam. “Apa… ini?” suara Naira pecah. “Gerbang ketiga,” jawab Revan. “Gerbang penentuan. Semua yang terhubung ke jalurmu hadir di sini. Hidup mereka… ada di tanganmu.” “Apa maksudmu?” Revan berjalan ke tengah ruangan, menghadap mereka semua. “Kau akan memilih. Siapa yang tetap hidup. Siapa yang mati. Setiap nama yang kau pilih
Gelap. Naira membuka mata. Dia berdiri di ruangan yang tak memiliki dinding, tak memiliki lantai—hanya kegelapan yang meluas tanpa batas. Suara bisikan terdengar dari segala arah. “Kau sudah membuka gerbang pertamamu. Kini kami ingin tahu… berapa banyak pintu yang akan kau biarkan terbuka.” Suara itu bukan satu orang. Tapi ribuan. Tua, muda, laki-laki, perempuan—semuanya bercampur, seperti berasal dari satu mulut raksasa. Naira menggenggam keris. “Aku tidak mau membuka pintu lagi.” Bisikan itu tertawa. “Kalau begitu, tutup kami. Tapi sebelum itu… lawan sesuatu yang bahkan kerismu tak bisa bunuh.” Tanah hitam tiba-tiba muncul di bawah kakinya. Bentuknya seperti lantai basah, memantulkan bayangan samar. Bayangan itu… dirinya. Naira menatap—dan tubuhnya sendiri melangkah keluar dari permukaan hitam itu. Identik. Sama persis. Tapi matanya… kosong. “Ini apa lagi?” desis Naira. Bayangan itu tersenyum. “Aku kamu… tapi tanpa semua alasan. Tanpa semua beban. Tanpa semua orang yang k
“Sekarang aku bisa membuka pintu…?” Naira mengulang pelan. Kata-katanya sendiri terasa asing. Revan berdiri di hadapannya, menatapnya seperti seorang guru menilai murid. “Ya. Kau sudah bukan hanya pewaris. Kau pintu itu sendiri. Tapi berbeda dari mereka yang datang sebelummu.” Naira mencengkeram keris. “Apa maksudmu?” Revan berjalan memutari ruang putih itu, tangannya menyentuh udara kosong, dan seperti sulap, tembok hitam muncul, menampilkan bayangan-bayangan samar: orang-orang yang berlutut, menangis, beberapa menggantung di rantai besi. “Mereka adalah pewaris sebelummu. Semua orang yang pernah menandatangani kontrak darah. Mereka mencoba melawan… tapi kalah. Pintu memakan mereka, mengubah mereka jadi bayangan.” Bayangan-bayangan itu mendesis saat melihat Naira, tapi tak bisa mendekat. “Kau berbeda,” lanjut Revan. “Kau membunuh bayanganmu sendiri. Kau bertahan. Dan itu membuatmu bukan sekadar pintu… tapi penjaga gerbang yang sesungguhnya.” Naira menatapnya penuh curiga.