Warung Kopi Dunia Bawah kembali sunyi setelah kejadian jam dinding. Tapi keheningan itu tidak lama. Sebab waktu, seperti kopi yang terus diseduh, tak pernah benar-benar selesai. Masih ada sisa-sisa yang mengendap di dasar cangkir. Dan malam itu, endapan itu kembali menguar.Langit malam di atas Kota Surya mendung, tapi tak menurunkan hujan. Awan menggantung berat, seolah menanti sesuatu. Di dalam warung, Sima, Rani, dan Karina duduk berdampingan, memandangi meja tengah yang kini bersih dari segala jimat pelindung. Mereka tahu, malam ini belum akhir.Dimas berdiri di dapur, membuat kopi sambil mengawasi cermin kecil di rak bumbu. Cermin itu—dulu milik seorang pelanggan dari dimensi cermin—memantulkan bukan dapur, tapi lorong lain. Sesuatu mulai mendekat dari dalam bayangannya."Jam dinding kita sudah disetel ulang. Tapi itu cuma satu bagian dari mesin waktu ini," ujar Rani perlahan. "Aku bisa rasakan... getaran dimensi lain mulai menyusup lagi."Sima mengangguk, menyesap kopinya. "Dan
Warung Kopi Dunia Bawah kembali tenang. Atau setidaknya, itu yang terlihat di permukaan. Tapi di bawah kesunyian itu, sesuatu berdenyut. Seperti bisikan kecil di sela waktu. Seperti langkah samar yang menghindari perhatian. Sesuatu yang belum selesai.Karina berdiri di depan jendela, memandangi hujan yang mulai turun deras. Di tangannya, foto Sima dan Rani yang tadi ditemukan di atas meja kini tersimpan dalam bingkai kayu tua, seolah sudah ada di sana sejak lama. Dimas duduk di bangku bar, memainkan cangkir kosong sambil sesekali menatap jam dinding tua yang menggantung di tengah ruangan.Jam itu tidak pernah berhenti berdetak. Tapi malam itu, detaknya terdengar berbeda. Seperti... menangis."Lo denger nggak, Kar?" tanya Dimas tanpa menoleh.Karina menengok. "Denger apaan?""Jam dinding. Kayak... ada suara isakan. Dari dalam mesinnya."Toyo yang tengah menyapu lantai pun menghentikan gerakannya. Ia menajamkan telinga. "Gue kira cuma perasaan. Tapi dari tadi jam itu bunyinya aneh, bro.
Langit sore di luar warung tampak mendung, namun di dalam Warung Kopi Dunia Bawah, cuaca jauh lebih kacau. Bukan karena hujan atau petir, melainkan karena emosi yang tak tertata.Sima duduk termenung di kursi rotan dekat rak buku, memegang secarik kertas usang yang baru saja ia temukan terselip di balik cermin retak di ruang belakang. Kertas itu berisi tulisan tangan seseorang—seseorang yang sangat dikenalnya, tapi tidak bisa ia ingat siapa.Tulisan itu berbunyi:> "Jika kau membaca ini, artinya aku sudah gagal. Tapi kau belum. Dan aku yakin kau bisa menyatukan ingatan yang tak pernah diceritakan… bahkan oleh waktu."Sima menatap kosong ke dinding. Dimas duduk di meja bar, menyeduh kopi sambil mencuri pandang padanya. Toyo berdiri di belakang Karina, yang tengah membaca ulang buku harian milik seseorang bernama Rani Azalia—nama yang baru saja muncul di daftar pengunjung warung, padahal Karina yakin ia pernah menghapus nama itu dari registri warung bertahun-tahun lalu.“Ada yang aneh d
Hujan deras mengguyur Kota Surya sepanjang malam, seolah langit sendiri hendak mencuci bersih apa pun yang telah melihat terlalu banyak. Warung Kopi Dunia Bawah tetap berdiri dalam diam, diterangi lampu kuning redup dan secangkir teh melati yang belum disentuh. Di dalamnya, Dimas dan timnya duduk melingkar di sekitar meja bar, di tengah tumpukan kertas, buku tamu misterius, dan catatan-catatan realitas yang mulai menyusun dirinya sendiri."Entah ini kutukan atau berkah," bisik Randi sambil membaca salah satu halaman. "Ini tulisan tangan kita... tapi kita nggak pernah nulis ini."Karina menimpali, "Buku ini mulai menulis dari ingatan yang bukan kita miliki. Dari kemungkinan yang belum terjadi. Dari masa depan yang belum memilih jalannya."Toyo, dengan mata setengah mengantuk tapi dipaksa melek oleh rasa takut, menunjuk salah satu entri yang baru muncul: 'Terima kasih atas kopi terakhir sebelum saya hilang. Saya akan mencoba bertahan di antara retakan waktu.' Namanya ditulis: Sima, frag
Hening menyelimuti ruangan belakang warung yang kini terlihat lebih asing daripada biasanya. Meja ritual yang biasanya dipakai Karina untuk merapal mantra kini kosong, hanya tersisa lilin yang sudah meleleh separuh dan secarik kertas lusuh bertuliskan aksara tua.Dimas duduk bersila, matanya kosong menatap lantai. Napasnya naik-turun, seperti sedang mencoba memahami kejadian beberapa jam sebelumnya — pertemuan dengan Suara yang bukan berasal dari dimensi mana pun yang pernah ia kenal.“Ada sesuatu yang salah…” gumamnya. “Bukan hanya portal yang terbuka. Realitas... ikut retak.”Toyo duduk di ujung ruangan, memeluk bantal dengan ekspresi waswas. “Mas... aku mimpi tadi malam. Kita semua—kayak... meledak. Tapi bukan tubuh kita. Jiwa kita yang kayak... pecah. Terbelah jadi serpihan kecil yang beterbangan ke... ke tempat yang bukan tempat.”Dimas memutar kepala pelan. “Kamu juga dengar suara itu, Toy?”Toyo mengangguk cepat. “Tapi suara itu ngomongnya pakai bahasa kayak... kertas sobek. Ak
Malam keempat sejak surat Kementerian Realitas Alternatif tiba, Warung Kopi Dunia Bawah menjadi lebih sunyi dari biasanya. Suara pintu kayu yang berderit pun terdengar seperti ledakan di keheningan itu. Lampu gantung redup menggantung di tengah ruangan, menciptakan bayangan panjang dari setiap benda. Dimas duduk di kursi kayu panjang, tangan kirinya menopang kepala. Pola akar di lengan kirinya kini sudah menjalar ke bahu."Kopi hitam, panas, dua sendok kesetiaan," ujar suara dari arah pintu.Karina yang sedang mengatur rak rempah-rempah menoleh. Sosok yang memesan adalah pria dengan wajah terbelah dua: satu sisi tampak muda dan bersih, sisi lainnya keriput dan penuh bekas luka. Ia duduk dengan tenang, tapi matanya seperti kabut yang menyimpan puluhan kehidupan."Kesetiaan dicampur pahit bisa bikin kau menyesal, Pak," jawab Karina sambil menuang air mendidih."Justru itu yang kucari. Aku datang bukan untuk rasa, tapi untuk ingatan yang tertinggal dalam setiap tegukan."Dimas berdiri pe