Share

Mengamuk

Mataku membelalak, ternyata Bang Udin sedang marah-marah. Terlihat dari matanya yang mengkilat dan wajahnya yang memerah. Gobang di tangannya diangkat tinggi-tinggi ke udara. Detak jantung semakin berdegup kencang, saat lelaki berambut gondrong itu berjalan menyeberang jalan dan menatapku tajam. Aku bingung harus bagaimana menghadapinya.

"Aku pamit dulu, bye semua!" Pamit Kak Mira dengan suara ketakutan dan buru-buru menuju mobil.

Rara yang sudah bangun ia dudukkan di samping kursi kemudi. Kak Mira sudah duduk dan menekan klakson sambil melambaikan tangan. Kemudian mobil berwarna gold itu melaju dengan kencang. 

"Belum sempat mendengar penjelasan tentang laki-laki sangar serta kata 'bung' yang belum ia lanjutkan tadi. Tapi Kak Mira udah pamit duluan," gumamku sambil menatap ke arah jalan.

Kini Bang Udin sudah berada tepat di hadapanku. Orang-orang yang lewat hanya bisa melihat sekilas dengan tatapan bingung, heran, ngeri, ketakutan. Mungkin karena mereka buru-buru akan bekerja sehingga enggan untuk berhenti.

"Ada apa, Bang?" Aku berusaha berbicara setenang mungkin. Padahal jujur, rasa khawatir takut bila sewaktu-waktu gobang itu akan mengenaiku.

"Aku tadi melihat kamu belanja di pasar, mau jualan `kan?!" tanyanya dengan suara menggelegar. Matanya melotot, posisinya sudah bersiap hendak menyerangku.

"Iya, kenapa Bang?" tanyaku ramah.

Lantas Ani sengaja aku suruh membawa Adel masuk ke dalam rumah, takut mereka kena imbas dari kemarahan si penjual nasi uduk. Istriku bergegas berjalan memasuki rumah dan menutup pintu lekas menguncinya dari dalam.

"Berani kamu, ya! Di saat warung kamu sudah buka, warungku menjadi sepi, tapi ketika warungmu sudah tutup warungku ramai lagi," pungkasnya dengan nada penuh emosi.

"Rejeki sudah ada yang mengatur. Kenapa Abang nggak terima. Kita sebagai manusia hanya bisa berusaha," jawabku santai walaupun sekali lagi ada rasa was-was di dada.

"Sekarang aku tanya, kamu masih mau jualan apa nggak?!" teriak Bang Udin bengis. Kini gobang yang dipegangnya sepertinya akan diarahkan ke leherku.

Seketika beberapa warga yang kebetulan sedang lewat di depan rumah kontrakanku mendadak berhenti dan hanya berani melihat kami. Mereka bergedik ngeri tidak berani untuk mencoba menolongku.

"Harus bisa tenang, kasihan anak istri bila aku mati di tangannya," batinku. Kami--aku dan si penjual nasi uduk--saling bertatapan.

Tiba-tiba di belakang Bang Udin ada Bang Deni. Ia memberi isyarat dengan tangan telunjuk menyentuh bibir sebagai pertanda aku harus diam. Di saat Bang Udin akan mengayunkan gobangnya ke arah leherku---dengan gerakan cepat dan sigap ia menjegal gobang dan mengunci gerakan Bang Udin.

Seketika gobang itu terlempar jauh dari posisi Bang Udin berdiri. Alhamdulillah tidak sampai mengenai siapapun. Dan langsung diamankan oleh warga. Sudah pasti lelaki itu sengaja mengarahkan di tempat yang jauh dari tempat warga berdiri.

Ia menjegal gobang itu dengan gerakan kilat. Gegas dikunci badan Bang Udin dengan posisi kedua tangannya ditekuk ke belakang. Laki-laki kekar itu langsung menjegal kaki Bang Udin sehingga si penjual nasi uduk reflek tertunduk duduk bersimpuh.

Wajah laki-laki berambut gondrong itu nampak menahan rasa sakit dan tak bisa berkutik. Sesaat kemudian Bang Deni menyiku perutnya, bersamaan memberi tekanan kejutan yang kuat pada kuncian di pergelangan tangannya. Sontak Bang Udin mengerang kesakitan, mungkin tangannya hampir patah. Namun, Bang Deni cukup hati-hati tidak ingin melukainya. Hanya ingin membuatnya jera.

"Ampun, Bang ...! Saya janji tidak akan mengulangi lagi," pintanya sambil memelas menangkupkan kedua tangan di dada. Sesaat setelah Bang Deni melepaskan gerakan kunciannya. Kulihat ia kesakitan sambil memegangi perutnya serta bergantian memegangi pergelangan tangannya.

Laki-laki berpakaian pendekar berwarna hijau itu menyunggingkan senyum. "Iya, Bang, kalau hanya masalah rezeki tak usah risau Bang, sudah diatur sama Allah," ujarnya sumringah kepada penjual nasi uduk.

Beberapa warga mencoba membantu Bang Udin dan mengantarnya kembali ke warungnya yang terletak di seberang jalan. Gobang tadi tak lupa sambil dibawanya meskipun tangannya sedang kram. Gobang itu biasa dipakainya untuk membelah buah kelapa yang dijualnya.

"Terimakasih, Bang Deni ..., " ucapku penuh rasa syukur. "Kalau tidak ada Bang Deni entahlah apa yang akan terjadi," imbuhku.

"Iya, Bang. Udah qodarnya Abang selamat dan diriku hanyalah perantara," jawabnya merendah sambil tersenyum.

"Aku tadi sebenarnya buru-buru mau pergi, tapi aku penasaran kenapa di depan kontrakan Bang Andi ramai.  Banyak orang berkerumun dan akhirnya aku berhenti,"

Aku menyimak ucapannya.

"Ya sudah Bang, aku ada acara mau ke arah Tasikmadu ke Masjid At-Taqwa. Aku mau melatih silat dulu," imbuhnya. Ia menaiki motornya yang ternyata sedari tadi terparkir di dekat pohon asem. Kemudian memakai jaket hitamnya.

"Iya, Bang, hati-hati .... " ucapku.

"Assalamu'alaikum, Bang Andi!"

"Wa'alaikumsalam ...."

Aku berniat segera masuk ke rumah untuk menemui Ani. Orang-orang yang tadi melihatku hampir dibacok sudah pada bubar. Setelah kepergian Bang Deni, aku kembali ke dalam rumah dan langsung menuju ke kamar. Melihat Ani yang sedang mengeloni Adel, akupun tak ingin mengganggunya, karena semalam hanya tidur beberapa jam saja.

"Alhamdulillah, mereka selamat," gumamku dan melangkah ke dapur, menyiapkan segala hal kebutuhan jualan.

Saat sedang mencuci sayur cesim, tiba-tiba ada suara dari atap rumah.

"Ah, paling hanya tikus atau kucing," pikirku. Kemudian melanjutkan kegiatanku lagi.

***

Waktu sudah menunjukkan pukul 16:00 sudah waktunya untuk membuka warung. Sebelum mempersiapkan semua hal di warung, aku terlebih dahulu menyapu halaman. Ketika hendak menyapu, ada beberapa pincuk daun pisang berisi bunga-bunga yang biasa untuk menyekar itu. Bahkan di halaman depan kontrakanku juga bertebaran bunga-bunga seperti disengaja disebar.

Entah apa maksud dari semua ini dan tidak mau berprasangka buruk, aku lekas menyapunya dan mengumpulkan semua sampah dalam keranjang yang sudah aku siapkan lalu membakarnya di halaman rumah kontrakan. Aku segera kembali ke warung untuk mempersiapkan barang daganganku dan berharap banyak rezeki untuk hari ini.

***

Jam sudah menunjukkan pukul 21:00 alhamdulillah daganganku sudah habis. Aku lekas beberes menutup warung lalu bergegas masuk ke rumah. Setelah mengunci pintu dan hendak melangkah ... terdengar suara rintihan dari dalam kamar ....

Note: Gunakan ilmumu solatmu jika memang di saat genting, bukan untuk bergaya atau sombong-sombongan. Gagah-gagahan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status